2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Kemudian Gustav dan Edmond kuajak naik ke lantai atas, ke studioku.

Dengan cermat mereka memperhatikan ketujuh lukisan yang sudah selesai itu. Lukisan-lukisan wanita telanjang dengan Ratih sebagai modelnya.

Ratih juga hadir di studio, tentu saja dengan berpakaian rapi, bukan telanjang seperti dalam lukisan-lukisan itu.

Edmond berkali-kali memperhatikan lukisanku, lalu memperhatikan wajah Ratih.

Lalu Edmond menoleh ke arahku sambil berkata, “Your painting is perfect. The face in your paintings is exactly the same as the face of the model

.(Lukisan Anda sempurna. Wajah dalam lukisan Anda persis sama dengan wajah modelnya)

“Thank you,” sahutku.

Lalu Gustav berkata, bahwa Edmond hanya tiga hari akan berada di Indonesia. Setiap lukisan itu dihargai sama dengan harga setiap lukisan yang sudah dibeli oleh Gustav (harga terakhir, setelah Gustav naikkan harganya).

Lalu obrolan masalah lukisan-lukisan itu dilanjutkan di ruang tamu di lantai dasar

Ratih tietap di studio, tidak ikut ke bawah.

Di ruang tamu itu Gustav menyampaikan keinginan temannya yang bernama Edmond itu. Seperti sengaja, Gustav menyampaikannya dalam bahasa Indonesia, mungkin agar temannya tidak mengerti.

“Ketujuh lukisan itu akan dibayar sekarang. Tapi belum akan dibawa ke negaranya,” kata Gustav.

“Jadi akan dititipkan dulu di sini?”

“Betul. Dia memesan empatpuluhtiga lukisan lagi. Jadi setelah genap limapuluh lukisan yang bisa dibawa ke negaranya, dia akan balik lagi ke sini untuk membayar sisanya, kemudian akan membawa ke negaranya. Kira-kira berapa lama kamu bisa menyelesaikan empatpuluhtiga lukisan lagi?”

Aku berpikir sejenak. Lalu menjawab, “Paling lambat enam bulan akan kuselesaikan keempatpuluhtiga lukisan itu.”

Gustav menoleh ke arah Edmond. Lalu mereka berbicara dalam bahasa Jerman, yang aku tidak mengerti sama sekali.

Lalu Gustav menoleh padaku, “Dia setuju. Ena, m bulan mendatang dia akan datang ke Indonesia lagi Dan ketujuh lukisan yabng sudah selesai itu akan dibayar dua kali lipat, asalkan kamu izinkan gadis model itu menemaninya selama tiga hari saja. Karena tiga hari lagi dia harus terbang kembali ke negaranya.

Aku tersentak. Karena permintaan Edmond itu sukup berat untuk mengabulkannya.

Gustav menambahkan, “Jadi kami akan beristirahat di daerah wisata yang dekat-dekat kota ini selama tiga hari. Maka aku pun sekalian minta izin untuk membawa ibumu selama tiga hari. Bagaimana?”

“Sebentar… aku harus menanyakan dulu kepada gadis model itu. Kalau dia bersedia, ya silakan aja,” kataku sambil berdiri.

Gustav mengangguk. Bunda tampak keluar dari kamar. Kelihatannya seperti habis mandi dan berdandan.

Aku bergegas naik ke lantai atas. Menghampiri Ratih yang sedang duduk di sofa di dalam studioku.

Dengan agak tergesa-gesa kujelaskan semuanya itu kepada Ratih. Bahwa Edmond bermaksud membawanya selama 3 hari.

“Iiiiih…! Gak mau!” ucap Ratih bernada marah, “Biarin aja dua-duanya dimakan sama bundamu. Aku sih gak mau… !”

“Bunda kan sudah jadi calon istri Gustav. Aku sih cuma ingin kamu melesat dengan cepatnya. Bayangin aja… aku akan menerima uang duaratuslimapuluh ribu dollar. Kalau Ratih bersedia menemani Edmond sekaligus menemani Bunda juga, aku akan berikan seratusribu US dollar untukmu. Artis saja nggak ada yang dibayar sekian mahalnya kan?

Ratih tampak mulai goyah. “Emangnya seratusribu dollar itu berapa rupiah?” tanyanya.

“Semilyar lebih!” sahutku tegar, “Kapan lagi Ratih akan punya duit sebanyak itu? Lagian Edmond itu lebih muda daripada Gustav. Ganteng pula.”

“Emang kamu ikhlas kalau terjadi seperti yang pernah kita lihat di monitor cctv itu?”

“Yaaa… ikhlas aja. Demi masa depan kita. Lagian Edmond sudah memesan lukisan empatpuluh tiga lagi, supaya genap jadi limapuluh kalau dijumlahkan dengan ketujuh lukisan yang akan dibayar sekarang itu.”

“Ketujuh lukisan itu akan dibawa ke negaranya tiga hari yang akan datang?”

“Dia akan membayarnya, tapi lukisannya akan ditinggalkan dulu di sini. Setelah jumlahnya genap limapuluh lukisan, dia akan ke Indonesia lagi.”

“Yang empatpuluh tiga lukisan itu pakai aku lagi modelnya?”

“Iya. Setelah dibayar, ada royalti juga yang akan kamu terima. Makanya, cepat mandi lalu dandan secantik mungkin. Kemudian turun ke bawah, samperin Bunda.”

“Iya deh. Berarti pada waktu pulang nanti, aku bisa punya mobil kan?”

“Kalau sekadar ingin punya mobil sih, sekarang juga bisa. Ayo cepetan mandi. Mereka menunggumu tuh di bawah.”

Aku pun turun ke bawah lagi.

Bunda mengajakku ke kamar. Setelah berada di kamar, Bunda memegang kedua pergelangan tanganku, “Kamu izinkan bunda selama tiga hari bersama Gustav?”

“Iya, “aku mengangguk tegar, “Yang penting hasil sesudahnya. Aku ingin membuka gallery gede-gedean.”

“Lantas lukisan-lukisan wanita telanjang itu mau dipajang?” tanya Bunda.

“Nggak Bun. Justru nanti aku mau menampung karya pelukis-pelukis lain. Kalau majangin lukisan wanita telanjang sih, bisa suisah kita nantinya.

“Ooo… jadi gallerymu akan dipajangin lukisan-lukisan biasa, begitu?”

“Iya Bunda. Kita kan harus menyesuaikan diri dengan hukum yang berlaku di negara kita.”

“Ohya… Ratih gimana? Dia mau ikut dengan Edmond?”

“Mau lah. Duit yang akan dia terima nanti kan banyak sekali. Kalau kerja di toko pakaian, sepuluh tahun juga takkan bisa mengumpulkan duit segitu banyaknya.”

“Iya sih. Mmm… si Marni suruh tidur di sini aja sampai bunda pulang ya.”

“Bunda sendiri lah yang ngomong sana. Kan Bunda bossnya.”

Sesaat kemudian, Edmond menyerahkan dua lembar cek. Yang satu nominalnya 150.000 USD. Yang selembar lagi nominalnya 100.000 USD. Lalu kuserahkan yang seratus ribu kepada Ratih di lantai atas. Tapi Ratih bilang, “Pegang sajalah olehmu, Sayang. Aku kan mau mengikuti mereka. Nanti kalau hilang di jalan bagaimana?

“Iya, di tanganku dijamin aman. Kucairkan saja besok dalam bentuk rupiah ya. Biar nggak ribet.”

Ratih menatapku dengan air mata tergenang di kelopak mata indahnya. Lalu ia merengkul leherku ke dalam pelukannya. Mencium bibirku dengan air mata berjatuhan ke pipinya, “Meski apa pun yang terjadi nanti, aku akan tetap mencintaimu. Sekarang ini aku hanya ingin mengikuti keinginanmu saja. Takkan ada hubungan cinta dengan lelaki itu.

Maka kuelus rambut Ratih sambil berkata setengah berbisik, “Aku hanya ingin mengangkat levelmu. Bukan ingin menjerumuskanmu.”

Memang ada perasaan sedih juga melihat Ratih dan Bunda berangkat bersama Gustav dan Edmond. Tapi aku menindasnya dengan siap-siap untuk mengunjungi Oma Rosa. Karena aku menganggap ibu tiri Bunda itru bukan sekadar cantik dan bertubuh menggiurkan, namun juga aku ingin agar dia bisa menjadi asset profesiku pada suatu saat kelak.

Tapi ketika aku baru mau menghidupkan mesin sedan hitamku, terdengar bunyi dering handphoneku. Ketika kulihat layar hapeku, ternyata yang memanggilku itu Devi. Istri Ayah itu…!

Lalu kuterima panggilan itu, “Halllo?”

“Odi… aku sudah bercerai dengan ayahmu. Dan sekarang sudah berada di rumahmu yang di batas kota ini.”

“Oke. Aku akan ke situ sekarang,” sahutku sambil menghidupkan mesin mobilku.

Sesaat kemudian aku sudah menggerakkan mobilku menuju batas kota yang letaknya hanya lima kilometeran dari rumahku.

Rumah itu memang sudah kusiapkan untuk tempat tinggal Devi, sekaligus bagian belakangnya sudah kutata untuk dijadikan studio keduaku.

Setibanya di rumah itu, kulihat Devi menyambut kedatanganku dengan seorang gadis belasan tahun, yang menurut taksiranku belum 20 tahun usianya. Mungkin 18 atau 19 tahunan.

“Ini siapa?” tanyaku ketika cewek itu menjabat tanganku dengan sikap sopan.

“Dia adikku,” sahut Devi, “Maya namanya. Gak apa-apa kan aku ngajak Maya tinggal di sini, biar aku tidak kesepian kalau Odi gak ada di sini?“

“Nggak apa-apa sih,” sahutku sambil memperhatikan bentuk adik Devi yang bernama Maya itu. Cantik sekali adik Devi itu. Bahkan ada beberapa kelebihan yang mirip Elsa, cewek sialan yang pernah jadi pacarku itu…

Mata Maya sayu, sementara bibirnya tipis mungil… sangat mirip Elsa. Bahkan Maya ini tampak lebih segar kalau kubandingkan dengan Elsa.

“Kalau Maya mau, aku bisa menjadikannya gadis model. Mmm… berapa tahun usianya?” tanyaku.

“Delapanbelas,” sahut Devi, “Justru dia ingin sekali dijadikan gadis model.”

“Tapi gadis modelku harus bersedia dilukis dalam keadaan telanjang. Bagaimana?” aku menatap Maya sambil menilai-nilai anatominya.

Devi yang menyahut, “Soal itu sudah dikasih tau kok. Dia sudah mau kok. Kan lukisan-lukisannya pun langsung diterbangkan ke Eropa ya?”

“Iya, “aku mengangguk, “Jadi Maya sudah siap untuk dijadikan model telanjang?”

“Siap Mas,” sahut Maya perlahan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu