2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Ratih menceritakan semuanya. Bahwa ia sudah terlalu dalam mencintaiku, sehingga takkan bisa membiarkan dirinya disentuh oleh lelaki selain diriku.

“Tapi, seandainya kita melanjutkan hubungan ini ke jenjang pernikahan, aku sudah mengikat janji dengan seseorang. Apakah kamu bersedia untuk dimadu olehku?” tanyaku setelah ratih menerangkan semua yang telah terjadi bersama Bunda dan kedua lelaki bule itu.

“Nggak apa-apa,” sahut Ratih, “aku juga tau diri. Aku sudah menjadi janda, sementara kamu masih bujangan. Dijadikan istri keberapa pun aku mau. yang penting status kita sah sebagai suami-istri.”

“Besok akan kurundingkan dulu dengan pacarku ya,” kataku sambil membelai rambut Ratih yang tampak pasrah… pasrah sekali.

Esok paginya aku berangkat ke rumah di batas kota itu. Tujuan utamaku bukan untuk membicarakan masalah Ratih. Tapi untuk mengajak Maya main ke luar kota, sekaligus ingin membuktikan apakah dia benar-benar masih perawan atau tidak. Kalau dia masih perawan, aku akan menikahinya. Tapi kalau tidak perawan lagi…

Setibanya di rumah itu, aku langsung mencari Maya.

“Maya ada, Dev?” tanyaku kepada Devi yang menyambutku di ambang pintu depan.

“Ada,” sahut Devi, “sedang mandi.”

Aku memegang kedua pergelangan tangan Devi sambil bertanya perlahan, “Devi beneran setuju kalau Maya dijadikan calon istriku?”

“Iya, setuju, “Devi mengangguk dengan senyum, “soalnya aku sudah nanya ke sana-sini. Jawabannya sama semua. Bahwa yang pernah menjadi istri seorang ayah, tidak boleh menikah dengan anaknya. Kalau Maya kan bebas dari kendala hukum agama kita.”

“Tapi meski pun kita tidak bisa menikah, hubungan kita tetap jalan ya,” kataku sambil mengelus pipi Devi yang terasa hangat.

“Iya, “Devi mengangguk dengan senyumk manis, “Maya juga sudah tau kalau kita sudah ada hubungan, tapi tak bisa menikah.”

“Baguslah. Jadi nanti Devi akan kuanggap istri muda, meski gak bisa menikah secara sah.”

“Hihihiii… iya… jadi istri sah juga kalau seperti dengan ayahmu, malah nangis terus kerjaku tiap hari.”

“Oke… denganku sih gak boleh mengucurkan air mata lagi ya,” ucapku yang kulanjutkan dengan ciuman mesra di bibirnya.

Tak lama kemudian Maya muncul. Dalam kimono putih, sementara kepalanya dibalut oleh handuk, seperti habis keramas.

Dalam keadaan seperti itu, diam-diam aku menilai ulang sosok cewek bernama Maya itu. Rasanya aku tak salah pilih, karena Maya cantik secara alamiah, bukan cantik karena make up. Wajahnya memang mirip Elsa, tapi jelas Maya lebih cantik, usianya pun lebih muda beberapa tahun.

Kehadiran Maya sendiri kuanggap laksana sinar di tengah kemelut yang sedang melanda jiwaku.

“Jadi sekarang kita ke luar kotanya Mas?” tanya Maya di dekat pintu kamarnya.

“Iya,” sahutku, “Dandanlah dulu.”

“Iya. “Maya pun masuk ke dalam kamar.

Tinggal aku dan Devi yang masih duduk di ruang tamu.

“Aku mau ngajak Maya ke luar kota. Agar saling mengenal karakter kami masing-masing,” kataku.

“Iya, silakan. Maya kan sudah punya Odi,” sahut Devi sambil tersenyum.

Kubalas dengan bisikan di dekat telinganya, “Maya belum jadi milikku. Malah Devi yang sudah menjadi milikku.”

Devi mengerti ke mana arah kata-kataku. Karena ia mencubit perutku perlahan.

Beberapa saat berikutnya, aku sudah membawa Maya ke pusat perbelanjaan. Untuk membelikan beberapa helai pakaian yang kupandang cocok untuknya. Pakaian yang tidak terlalu mahal, tapi murah pun tidak. Memang aku takkan memanjakannya dengan pakaian yang terlalu branded, supaya bisa hidup sederhana namun pantas.

Bahkan kuminta agar salah satu pakaian yang baru dibeli itu dikenakannya langsung, sebagai pengganti pakaian dari rumah. Untuk Devi pun kubelikan, karena sejak mengenalnya aku belum pernah membelikan pakaian. Maya yang memilihkan beberapa helai pakaian untuk kakaknya itu, dengan jumlah yang sama supaya adil.

Kemudian kuajak Maya sarapan pagi dulu di rumah makan langgananku, yang harga makanannya standar saja, tidak mahal tapi juga tidak murah.

Selesai makan, kami tinggalkan rumah makan itu. Maya sudah berada di dalam mobil yang tengah kularikan menuju ke luar kota, pada arah berlawanan dengan daerah wisata yang sedang Bunda kunjungi bersama kedua lelaki bule itu.

Bunda ada di daerah utara, sementara aku sekarang sedang mengarahkan mobilku ke arah timur.

“Nanti di luar kotanya mau nginap?” tanya Maya.

“Lihat suasananya aja dulu. Bisa nginap, bisa juga nggak. Mmm… kalau nginep gak apa-apa kan?”

“Nggak apa-apa sih. Tadi kan sudah minta izin sama Mbak Devi. ‘

“Berarti kita akan tidur seranjang. Gak takut?”

“Nggak. Soalnya aku yakin Mas Odi orang yang penuh tanggung jawab.”

“Memang aku takkan menghindari tanggung jawab atas apa pun yang telah kulakukan.”

“Iya. Mbak Devi juga sering cerita bahwa Mas Odi ini orang baik dan penuh tanggung jawab.”

“Syukurlah kalau Devi sudah bicara begitu. Dan sekarang, terus terang aja, aku akan membuktikan keperawanan kamu nanti.”

“Kalau sudah terbukti bahwa aku masih perawan gimana?”

“Aku akan menikahimu secepat mungkin. Tapi kalau tidak perawan lagi, yah… mungkin aku tak bisa menikahimu, May.”

“Mas… boleh tanyain sama Mbak Devi. Mas Odi ini pacar pertamaku lho. Sebelumnya, aku tak pernah mau didekati cowok mana pun.”

“Kenapa begitu?”

“Aku kan berhak memilih juga Mas. Kalau belum ketemu yang cocok, buat apa aku buang-buang waktu dengan pacaran segala macam? Aku tak mau menyusahkan orangtua yang hidupnya paspasan. Karena itu aku memilih Mas Odi, bukan karena matre, tapi karena Mas Odi tampaknya sudah siap untuk menghidupiku dan tidak mehnyusahkan orang tuaku lagi.

“Bagus… pandanganmu itu realistis. Tidak muluk-muluk, tapi tidak mau tenggelam ke dalam arus yang belum pasti masa depannya.”

“Lalu… seandainya aku sudah jadi istri mas Odi, apakah aku akan dijadikan model lukisan-lukisan Mas Odi juga?”

“Tidak. Seandainya pun kujadikan model, aku hanya ingin melukismu dalam keadaan berpakaian. Bukan telanjang.”

“Iya Mas. Seandainya Mas mau melukisku, maunya sih jangan lukisan sedang tewlanjang begitu.”

Kebetulan waktu itu mobilku tiba di daerah macet. Sehingga aku sempat memegang lutut Maya yyang tidak tertutupi gaun putih barunya, sambil berkata, “Kamu benar, May. Aku pun takkan mau memamerkan tubuh istriku sendiri lewat lukisan-lukisanku.”

“Hihihihiii… aku jadi lega rasanya Mas. Tadinya aku takut kalau Mas Odi mau melukisku dalam keadaan telanjang.”

“Ketelanjanganmu hanya untukku sendiri. Orang lain tak boileh ikut melihatnya. Ohya… sebentar lagi kita akan melewati sebuah hotel. Bagaimana kalau kita cek in dulu di hotel itu. Jalan-jalannya bisa kita lakukan di malam hari nanti.”

Maya menyandarkan kepalanya di bahu kiriku sambil menjawab, “Terserah Mas Odi. Aku percaya Mas Odi tentu tau mana yang terbaik bagi kita berdua.”

“Yang terbaik adalah… kita pacaran di kamar yang tertutup… tanpa rasa takut ada yang ngintip.”

“Hihihi… aku merinding ini Mas…”

“Kenapa? Takut?”

“Nggak… cuma merinding aja. Karena Mas Odi kan udah berpengalaman dalam soal cewek. Pasti pacarannya tak sekadar pegangan tangan doang.”

“Memang iya. Hari ini adalah hari pembuktian bahwa kamu masih perawan. SUpaya jelas ke mana arah hubungan kita selanjutnya.”

“Iya Mas. Demi cintaku sama Mas Odi, aku akan mengikuti jalan mana pun yang terbaik bagi kita berdua.”

Belasan menit kemudian kubelokkan mobilku ke pelataran parkir di depan sebuah hotel yang lumayan bagus.

Tak sulit mencari kamar kosong di hotel itu, karena hari ini bukan hari-hari weekend.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu