2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Waktu aku masuk ke kamar, Bunda baru mau masuk ke kamar mandi.

“Tadi malam tidur di mana?”

“Di atas,” sahutku.

“Sama Ratih ya?”

“Iya.”

“Udah dapet?”

“Apanya?”

“Memek Ratih, “Bunda melangkah masuk ke kamar mandi.

“Udah. Kepanasan sama Mama sih,” sahutku sambil masuk juga ke kamar mandi.

“Berapa set main sama Ratih tadi malam?”

“Dua. Sama aja dengan Bunda. Dua kali juga kan main sama Gustav kan?”

“Hehehee… sok tau. Bunda malah tiga kali…”

“Ohya? Kalau gitu draw dong. Aku lupa, tadi subuh juga maen lagi. Jadi sama… tiga kali juga.”

Bunda melepaskan housecoatnya. Jadi langsung telanjang bulat, karena di balik housecoat itu tiada beha maupun celana dalam.

Aku pun mene;anjangi diriku sendiri. Lalu memeluk Bunda dari belakang. Dan langsung menyelinapkan jari tengahku ke dalam celah memeknya. “Dientot tiga kali sama kontol yang panjang gede gitu sih, pasti ;liang memek Bunda jadi gede… entar kalau doipakai sama aku pasti longgar…”

Bunda membalikkan badannya. Memeluk leher dan mencium bibirku. “Sayang… jangan ngomong gitu dong. Kan semuanya itu terjadi atas desakan kamu juga. Kalau tidak mikirin masa depan kamu sih, mana mau bunda dientot sama kontol kulup gitu?”

(kulup = kontol yang tidak disunat)

“Tapi enak kan? Bunda sampai dientot dari belakang segala… lalu main di atas pula…”

“Yahhh… bunda gak mau munafik. Tapi Gustav sudah siap jadi mualaf kok. Karena dia serius ingin menikah dengan bunda.”

Aku masih mengelus-elus celah kemaluan Bunda yang mulai membasah.

“Sayang… kamu kangen sama memek bunda?”

“Iya… sambil pengen tau aja apa bedanya setelah dientot tiga ronde oleh Gustav.”

“Alaaa… sama aja kali. Memangnya memek bunda terbuat dari kertas? Habis melahirkan juga memek bunda kan sempit lagi… cobain aja sekarang…” kata Bunda sambil bersandar ke dinding, lalu menarik kontolku yang masih lemas. Diremas-remasnya sebentar. Akhirnya ngaceng lagi.

Bunda menempelkan puncak kontolku pada bagian yang basah di memeknya. Lalu memberi isyarat dengan kedipan, agar aku mendorong kontolku.

Blessss…

Tanpa banyak bicara lagi, aku mulai mengentot Bunda. Ternyata tidak seperti dugaan burukku. Liang memek Bunda tetap enak. Meremas-remas toketnya pun tetap asyik. Dan yang jelas, tadi malam aku menggauli Ratih 2 kali, subuh tadi subuh 1 kali. Sehingga dalam waktu yang begitu dekat, pada waktu mengentot Bunda sambil berdiri di dalam kamar mandi ini, adalah yang ke 4 kalinya bagiku.

Dengan sendirinya aku jadi lama sekali berdiri sambil mengentot Bunda ini. Kedua kakiku sampai pegal, tapi kontolku belum ngecrot-ngecrot juga.

Mungkin seperti plesetan lagu Jawa…sue ora ngono, ngono ora sue. Lama tidak begituan, begituannya takkan lama. Maka sebaliknya kalau baru sebentar abis gituan, maka begituannya takkan sebentar. Hahahaaaa…!

Baru sekali ini aku merasakan letihnya bersetubuh sambiol berdiri begini. Keringat pun sampai bercucuran, seperti pemain bulu tangkis yang sedang bertanding rubber set.

Namun akhirnya aku bisa juga ngecrot di dalam liang memek Bunda. Crotttt… crottt… croooootttt… croooooootttttt… crocrotcroooottt…!

Bunda hanya tersenyum-senyum melihatku seperti yang kehabisan nafas ini.

Lalu kami mandi sebersih mungkin.

Pada waktu sedang mengeringkan tubuh dengan handuk, Bunda berkata, “Gustav sudah setuju berapa ratus pun lukisanmu akan dibelinya. Dia malah menyambut baik kalau memakai model-model lain, supaya kolektor tidak jenuh katanya.”

Aku senang mendengarnya. Tapi aku seperti belum puas, “Apa lagi janjinya?”

“Dia ingin membangun rumah untuk bunda. Pokoknya banyak janjinya, asalkan bunda bersedia dijadikan istrinya.”

“Bagus lah. Berarti misi kita mulai mendatangkan hasil.”

“Tapi.. bunda ini bukan peselingkuh Odi,” kata Bunda sambil mengenakan pakaian dalamnya, “Kalau bunda sudah menjadi istri orang, bunda takkan bisa berselingkuh denganmu nanti. Hal itu yang bunda pikirin terus.”

Aku terlongong. Ucapan Bunda itu mengingatkanku pada suatu kalimat filosofis :Lelaki berbuat nista seribu kali, dunia masih tersenyum. Tapi perempuan berbuat nista satu kali saja, dunia akan menangis dibuatnya…

Aku tidak tahu apakah kalimat seperti itu yang Bunda jadikan pegangan atau ada pedoman lain. Yang jelas, ucapan Bunda itu sangat memukulku.

Begitu keluar dari kamar mandi, Bunda mengenakan gaun barunya.

“Bunda mau ke mana?” tanyaku heran.

“Mau ke rumah Tante Maryam. Dia kan mau menikahkan anak sulungnya,” sahut Bunda, “Kamu mau nyetirin bunda?”

“Badanku penat, Bun. Nyetir sendiri bisa kan?”

“Bisa. Tapi kalau kamu mau ikut, ya ayo aja.”

“Anak sulung Tante Maryam itu Vina kan?”

“Vina anak kedua. Anak sulungnya itu Ine.”

“Owh… iya… Ine yang kerja di Honduras itu kan?”

“Iya. Calon suaminya juga kerja di Honduras. Tapi kontrak kerja mereka sudah habis. Jadi mereka sekarang kerja di Jakarta aja.”

Aku terdiam lagi.

Adik-adik Bunda memang banyak. Ada Tante Maryam, Tante Rukmini, Tante Dini, Oom Taufan, Tante Inaydan Tante Mala. Sementara Ratih adik seayah, tapi berlainan ibu. Karena setelah nenek meninggal, kakek menikah lagi dengan wanita yang jauh lebih muda (sebaya dengan Bunda). Dari wanita itulah kakek punya anak Tante Ratih, yang sekarang kubiasakan memanggilnya Ratih saja.

Hubungan Bunda dengan adik-adiknya seperti kurang harmonis. Mereka jarang saling mengunjungi. Tapi kalau sudah berkumpul, kelihatan akrab juga.

Biasanya setiap habis lebaran mereka suka mengadakan reuni. Tapi pada saat itu keadaan Bunda masih payah. Sehingga Bunda jarang menghadiri reuni keluarga besarnya. Mungkin karena merasa minder kalau berkumpul dengan saudara-saudaranya yang sudah lebih mapan hidupnya.

Ayah juga anak sulung di keluarganya. Ketiga adik Ayah perempuan semua. Ada Bi Mimi, Bi Rani dan Bi Etty (di keluarga Ayah tidak mengenal istilah Oom dan Tante).

Aku ini seniman yang kerasan tinggal di rumah. Makanya sedan hitam itu pun malah Bunda yang sering memakainya. Aku sendiri hanya sekali-sekali saja memakainya.

Aku lebih suka bertekun diri di studioku. Karena aku sudah punya target untuk menyelesaikan sekian lukisan dalam waktu yang sudah kutentukan.

Setelah Bunda berangkat, kulihat Bi Marni sudah datang dan sedang beres-beres di dapur. Aku pun menghampirinya. “Kapan mau ke rumah yang di batas kota itu?” tanyaku sambil menepuk pantat gedenya.

“Mungkin lusa Den. Ini saya masih bingung juga. Bagaimana caranya untuk ngomong sama Ibu…” sahutnya mengambang.

“Jadi Bibi lebih suka tetap bekerja di sini sebagai pembantu? Nggak kepengen naik derajatnya?”

“Mau sih Den. Cuma saya merasa kasihan aja meninggalkan Ibu yang telah begitu baik pada saya.”

“Ya udah… kalau Bibi merasa berat meninggalkan rumah ini, aku juga takkan memaksa,” kataku. Tapi aku tetap berniat menjadikan Bi Marni sebagai salah seorang model lukisn-lukisanku. Karena tubuhnya yang chubby itu punya nilai tersendiri bagiku.

Akhirnya aku naik lagi ke atas. Untuk melanjutkan lukisanku yang menggunakan Ratih sebagai modelku.

Kulihat Ratih sedang bersenam di studioku.

“Nah, betul tuh. Harus rajin senam, biar bentuk tubuhnya semakin indah,” kataku/

Ratih malah bertanya soal lain, “Sudah dipindahin monitor cctv-nya?”

“Eeeeh… belum! Lupa aku !” sahutku sambil bergegas turun lagi.

Hanya dalam tempo beberapa menit, aku sudah selesai memindahkan monitor cctv wireless itu ke dalam kamar Ratih.

“Nanti kalau Bunda nanya, bilangin aja televisi gitu ya,” kataku kepada Ratih yang hadir di kamarnya waktu aku sudah selesai memasangkan monitor itu di dindingnya.

“Iya. By the way, sekarang kan cctv wireless dimonitor di laptop juga bisa,” sahut Ratih.

“Laptop kan ada. Tapi aku membeli laptop itu hanya untuk kebutuhan melukis. Untuk melihat lukisan-lukisan di luar negeri.”

“Kalau monitor ini untuk keperluan apa?” tanya Ratih sambil memelukku dari belakang.

“Untuk nonton Gustav ngentot Bunda,” sahutku, “Nontonnya sambil ngentot memek Ratih yang eenaaaakkk…” sahutku sambil mencium pipi Ratih yang kemerahan karena habis senam.

Lalu aku mulai melanjutkan sketsa yang memakai Ratih sebagai model, dengan coretan kuas dan cat minyak.

“Bagaimana perasaanmu dijadikan model lukisan telanjang begini?” tanyaku waktu sedang tekun melukis.

“Seneng aja. Karena pelukisnya adalah orang yang sudah memiliki diriku lahir-batin,” sahut Ratih yang sedang berpose berdiri sambil meletakkan tangan kanannya ke dinding, sementara lengan kirinya bertolak pinggang.

“Ohya?! “aku mengacungkan jempol kiriku, “Memang ada gunanya juga kita ML tadi malam dan tadi subuh. Kalau kita belum ngapa-ngapain, pasti sekarang aku sedang tersiksa melihatmu telanjang begitu.”

“Waktu melukis bundamu gimana?” tanya Ratih tiba-tiba. Membuatku agak keteteran menjawabnya.

Tapi lalu kujawab, “Kalau melihat Bunda telanjang sih gak aneh. Kan sejak kecil suka mandi bareng. Jadi aku sudah hafal seluk beluk tubuh Bunda.”

“Ogitu ya…”

Hhhh… untunglah Ratih gak berkepanjangan menanyakan masalah yang sangat dirahasiakan itu.

Malamnya Gustav tidak datang. Karena itu aku pun asyik saja melukis terus sampai jam sembilan malam. Sementara Ratih tidak selalu harus nongkrong telanjang di depan mataku, karena aku sedang mengerjakan latar belakangnya dulu. Latar belakang imajinatif, berbentuk tebing di dasar jurang. Jadi nantinya lukisan Ratih itu seolah-olah sedang berada di dekat tebing.

Keesokan malamnya, Gustav datang. Bergegas aku masuk ke kamar Ratih untuk mengaktifkan cctvku. Suaranya pun kukeluarkan dari speaker, tapi volumenya pelan saja.

Ratih pun berada di sisiku sambil tersenyum-senyum sendiri. Aku memantau monitor itu sambil rebahan di tempat tidur.

“Harusnya aku yang rebahan sambil dipijitin… badanku pegel-pegel nih,” kata Ratih sambil merebahkan diri di sampingku.

“Nanti kalau udah kuentot juga pasti hilang pegel-pegelnya,” kataku sambil menghimpit dada Ratih yang sudah berkimono.

“Iya… tapi kita lihat dulu apa yang akan mereka lakukan.”

Terdengar suara Bunda memasuki kamar depan, sementara Gustav sudah duduk di sofa.

(percakapan mereka berlangsung dalam bahasa Inggeris, tapi biar jangan ribet akan diterjemahkan saja langsung ke dalam bahasa Indonesia)

“Aku besok siang akan pulang ke Jakarta,” kata Gustav.

“Ohya? Terus kapan mau ke sini lagi?” tanya Bunda.

“Mungkin awal bulan depan baru bisa ke sini lagi.”

Bunda memegang kedua bahu Gustav sambil berkata, “Sekarang baru tanggal lima. Berarti hampir sebulan kita takkan bertemu.”

“Iya, pekerjaanku banyak, Sayang. Makanya kalau ingin tetap bersamaku, ikut saja ke Jakarta besok. DI sana aku tinggal di apartment.”

“Nggak ah. Aku harus standby di rumah ini, karena Odi masih membutuhkanku.”

Lalu kulihat Gustav membuka kotak kecil dan mengeluarkan cincin berkilauan dari kotak itu. Dipasangkannya cincin itu di jari manis Bunda sambil berkata, “Ini sebagai tanda besarnya cintaku padamu, Sweetheart…”

Bunda menatap Gustav dengan senyum manis. “Thank you My Lover,” kata Bunda yang dilanjutkan dengan ciuman mesra di bibir lelaki bule itu.

“Bundamu romantis ya,” bisik Ratih di dekat telingaku.

Saat itu Bunda mengenakan kimono putih yang terbuat dari bahan handuk. Kimono itu ditanggalkan oleh Gustav sambil berkata, “Kita harus bikin acara perpisahan dulu, karena besok kita akan berpisah.”

“Kamu nginap aja malam ini di sini,” sahut Bunda.

“Iya, “Gustav mengangguk, “maksudku juga ingin nginap di sini.”

Setelah kimono itu ditanggalkan oleh Gustav, Bunda jadi telanjang bulat. ternyata Bunda tidak mengenakan beha mau pun celana dalam di balik kimono putih itu.

Lalu tampak Gustav membopong Bunda dan meletakkannya di atas tempat tidur. Kemudian Gustav melepaskan seluruh pakaiannya sehelai demi sehelai.

Gustav pun sudah telanjang bulat. Kontol panjang gedenya tampak masih lemas. Tapi Bunda segera beraksi. Di atas tempat tidur Gustav menelentang, sementara Bunda menelungkup di antara kedua paha Gustav. Dan mulai menyelomoti kontol tak bersunat itu dengan lahapnya.

“Iiiih… kontol bule itu gede banget…” ucap Ratih setengah berbisik.

“Iya,” sahutku, “Pengen nyobain dientot sama kontol bule itu?”

“Amit-amit… aku sih gak mau dientot sama kontol yang gak disunat gitu. Lagian aku kan sudah punya kamu. Cukup satu orang saja yang akan kucintai sampai kapan pun…” ucap Ratih sambil memelukku erat sekali.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu