2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Setelah mencoba gaun-gaun baru itu, Devi berkata kepada Maya, “Kamu kan baru ML dengan Odi. Berarti masih ada luka yang belum kering di dalam memekmu. Kamu nonton aja dulu ya…”

“Iya deh,” sahut Maya, “Aku mau nonton aja. Sekalian belajar bagaimana cara meladeni mas Odi di ranjang.”

Aku cuma tersenyum-senyum mendengar percakapan mereka itu.

Dua hari kemudian, Bunda pulang sendirian. Tidak diantarkan oleh Gutav dan Edmond.

Ketika aku mau bertanya, Bunda menggoyang telapak tangannya di depanku, sambil berkata, “Tolong jangan ganggu Bunda selama dua-tiga hari ini ya Sayang.”

Lalu Bunda masuk kedalam kamar belakang. Dan terdengar bunyi kunci diputar, klik. Berarti Bunda ingin mengurung diri di kamar dan tak mau diganggu oleh siapa pun.

Memang benar, selama tiga hari Bunda tidak mau diganggu. Sempat berpapasan juga di dapur, Bunda cuma meletakkan telunjuknya di bibirku. Berarti aku tidak boleh ngomong sama sekali.

Pada hari ketiga setelah Bunda pulang, aku memberanikan diri bertanya, “Bagaimana Bunda? Sekarang sudah boleh nanya sedikit aja.”

“Nanya soal apa?” Bunda balik bertanya.

“Cek ini mau dikembalikan kepada Edmond, karena Ratih tidak jadi berkencan dengannya,” sahutku sambil memberikan cek yang nominalnya 100.000 USD itu.

“Ngapain dikembaliin? Kan bunda sudah menggantikan Ratih,” kata Bunda sambil mengembalikan cek itu padaku.

“Kalau begitu, berarti cek ini hak Bunda.”

“Nggak. Bunda juga sudah dikasih cek kok sama dia,” sahut Bunda sambil membuka tas kecilnya, lalu mengeluarkan selembar cek dan memberikannya padaku, “Amankan aja cek ini olehmu. Mau diapakan juga terserah kamu.”

Kuterima cek itu. Dan setelah membaca nominal cek itu, wow fantastis! Nominalnya 500.000 USD!

Kenapa Gustav dan Edmond seolah bersaing untuk mendapatkan hati Bunda? Apakah Bunda sedemikian cemerlangnya di mata mereka? Entahlah…

“Kenapa Edmond ngasih duit sebanyak ini Bun?” tanyaku penasaran.

“Nggak tau, “Bunda menggeleng, “Dia cuma bilang duit itu jadikan rumah untuk Bunda sendiri. Karena mereka tau kalau rumah ini rumahmu. Bukan rumah Bunda.”

“Bunda mau punya rumah sendiri?” tanyaku.

“Kalau kamu gak keberatan sih Bunda memang ingin punya rumah sendiri. Karena nantinya kamu harus punya istri. Dalam keadaan seperti itu, gak enak kalau bunda menumpang terus di rumahmu ini.”

“Rumah ini rumah kita. Bukan rumahku sendiri.”

“Nggak, “Bunda menggeleng, “Rumah ini adalah rumahmu. Bunda tidak merasa punya andil serupiah pun di rumah ini.”

“Hak Bunda banyak sekali di rumah ini.”

“Ya biarlah. Kalau kamu merasa bunda punya andil di rumah ini, anggap aja andil itu sebagai pemberian seorang ibu kepada anak kandungnya.”

“Tapi ada pertanyaan yang mau kusampaikan juga. Bunda sudah meladeni Edmond juga di ranjang?”

Bunda tidak menjawab. Bahkan mengeluarkqan ipad dari laci meja tulis dan menyerahkannya padaku sambil berkata, “Di situ sudah ada pengakuan bunda, yang bunda ketik selama tiga hari tiga malam. Baca saja sendiri. Sudah ya. Bunda mau istirahat lagi.”

“Tapi cek bunda ini?”

“Ambil aja. Bunda cuma minta sebuah rumah yang terpisah dengan rumah ini. Kalau bisa, belikan juga sebuah sedan yang kecil dan matic, supaya mudah nyetirnya.”

Lalu Bunda mendorongku agar keluar dari kamar belakang itu.

Dalam perasaan galau, aku melangkah ke kamar depan. Cek Bunda dan cek yang tadinya untuk Ratih itu kumasukkan ke dalam dompetku. Lalu aku rebahan di sofa sambil menghidupkan ipad itu.

Ternyata benar… banyak tulisan Bunda di tablet ini.

Pantasan Bunda mengurung diri di kamarnya selama tiga hari tiga malamj. Rupanya Bunda ingin serius mengetik pengakuannya ini :

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Aku tidak mau menang sendiri. Tapi sesungguhnyalah semua yang telah kulakukan ini demi masa depan anakku, Odi.

Padahal ketika pertama kali Odi mengiming-imingi lelaki bule bernama Gustav itu, sedikit pun aku tidak tertarik. Apalagi kalau mengingat dia itu seorang lelaki bule, yang pasti tidak pernah disunat penisnya. Malah bergidik-gidik kalau aku membayangkannya. membayangkan digauli olehnya… membayangkan liang kewanitaanku ditembus oleh penis yang tidak disunat itu…

Padahal Gustav sudah menyatakan secara jelas, bahwa ia mencintaiku sejak pandangan pertama di rumah.

Lalu, demi Odi, aku mau diajak oleh Gustav untuk bertamasya ke luar kota, yang tidak begitu jauh dari kotaku. Pada saat inilah aku merasa bahwa ternyata Gustav itu gentle. Bahwa Gustav hanya berani memegang tanganku sambil mengucapkan cintanya.

Ketika aku heran dan kurang percaya mengingat dia lebih mudsa dariku, dia bahkan berkata, “I’m serious… I love you. And I want to marry you.”

(Aku serius… aku mencintaimu. Dan aku ingin menikahimu)

Ketika kutanyakan kenapa dia bisa secepat itu jatuh cinta padaku, dia menjawab bahwa sesungguhnya sejak melihat lukisan telanjang yang modelnya aku itu, dia jadi ingin sekali berjumpa dengan model lukisan itu. Bahkan sejak bertugas di Jakarta, dia pun sudah bercita-cita untuk menikah dengan wanita Indonesia.

Aku belum menjawabnya. Belum menyatakan menerima atau tidak menerima cintanya. Karena aku harus memikirkannya dulu. Aku juga malah berkata padanya, bahwa pernikahan berbeda agama itu sulit dilaksanakan di negaraku. Harus ada salah seorang yang mengalah, supaya perkawinannya tiada hambatan.

Anehnya Gustav bahkan siap untuk menjadi seorang mualaf, asalkan aku mau dijadikan istrinya.

Lalu… ketika keputusanku masih mengambang, Odi malah mempersiapkan kamar depan itu untuk menerima Gustav kalau sedang bertamu di rumah Odi. Padahal jelas kamar itu kamar tidur. Bukan untuk menerima tamu. Tapi Odi sudah menatanya sedemikian rupa sehingga pantas untuk menerima tamu. Kelebihannya adalah…

Odi pun bilang bahwa sebaiknya terima saja cinta Gustav itu, supaya profesi dan masa depannya semakin baik. Karena Gustav itu sumber duit bagi Odi.

Pada saat itulah aku mulai goyah. Terutama setelah Gustav datang dan kuterima di kamar depan yang sudah ditata oleh anakku itu.

Di kamar depan itulah Gustav mulai berani mencium bibirku. Ciuman yang membuatku terlena dalam perasaan yang mendadak indah… indah sekali.

Pada saat itulah aku menyatakan… menerima cinta Gustav.

Dan Gustav tampak senang sekali.

Sementara aku ini seorang wanta, yang pada dasarnya lemah. Sementara Gustav seperti minta dikasihani. Sehingga akhirnya kubiarkan dia menciumi dan menjilati kemaluanku yang sangat peka ini.

Dan kalau sudah dalam keadaan seperti ini, adakah wanita lain yang bisa bertahan untuk mencegah terjadinya “sesuatu”?

Aku luluh… tiada tenaga sedikit pun untuk mencegahnya.

Ya, aku membiarkan kontol putih tak bersunat itu memasuki liang kewanitaanku yang teramat peka ini.

Lalu apakah semuanya ini tidak enak?

Aku harus mengakuinya secara jujur. Bahwa alat vital orang bule pada umumnya jauh lebih gede dan lebih panjang daripada lelaki-lelaki sebangsa denganku. Maka aku pun tak mau munafik, bahwa entotan Gustav ini luar biasa enaknya. Bahkan bisa kuanggap sebagai entotan ternikmat di sepanjang hidupku…!

Namun di tengah kenikmatan yang sedang kurasakan ini, tiba-tiba bayangan wajah Odi berkelebatan di pelupuk khayalanku.

Oh, Odi! Maafkan bundamu ini nak. Bunda terpaksa melakukan semuanya ini, karena kamu sendiri yang mengharapkan semuanya ini terjadi kan? Bukankah kamu ingin agar hubunganmu dengan Gustav semakin dekat, lalu aku diumpankan sebagai pelicinnya?

Tapi aku pun tak bisa menyalahkanmu, anakku sayang. Aku pun sudahtergetar pada waktu Gustav pertama kali menyatakan cintanya.

Dan kini semuanya terjadi. Begitu cepatnya semua ini terjadi begitu saja. Bahwa kontol tak bersunat itu semakin perkasa menggenjot liang kewanitaanku. Sementara aku hanya bisa mendesah-desah dalam nikmat yang sulit dilukiskan dengan kata-kata belaka.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu