2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Semua cek dari Edmond kupindahkan ke buku tabungan baruku. Karena aku memang bermaksud untuk memisahkan duit dari Gustav dengan dari Edmond.

Bunda hanya ingin dibangunkan rumah dan sebuah mobil kecil yang automatic, supaya gampang mengemudikannya, kata Bunda saat itu. Padahal nominal dalam cek punya Bunda itu besar sekali. Dengan seratus ribu dollar pun cukup bahkan bisa lebih, kalau hanya untuk membangun sebuah rumah dan membeli mobil baru.

Itu menurut levelku. Kalau menurut level konglomerat, tentu saja takkan cukup

Kebetulan aku pernah ditawari tanah yang letaknya hanya terhalang dua rumah di sebelah kanan rumahku, oleh Pak Daud, yang biasa jadi broker tanah. Tanah kosong itu sedikit lebih luas kalau dibandingkan dengan tanah yang sudah kubangun rumah di atasnya ini.

Kebetulan harga yang ditawarkan oleh Pak Daud lumayan murah, menurutku. Dan tanpa meminta persetujuan Bunda, kubeli tanah itu. Karena Bunda sudah menyerahkan kepadaku untuk mencarikan tanah dan membangun rumahnya.

Lalu kurencanakan bangunannya, hanya dengan melihat-lihat dari majalah design rumah yang kubeli beberapa hari yang lalu.

Akhirnya pilihanku jatuh pada gambar sebuah rumah minimalis bergaya Spanyol. Pada waktu gambar rumah itu kuperlihatkan kepada Bunda pun langsung Bunda setujui.

Rumah itu terdiri dari dua lantai. Sementara garasi terdapat di sebelah kanannya, di bawah dua kamar dari kedua lantai di atasnya. Jadi sebenarnya pas di bagian yang ada garasinya, terdiri dari tiga lantai. Dan garasinya berada di lantai dasar. Tapi di puncak bangunan itu tingginya sama dengan yang dua lantai.

Seminggu kemudian pembangunan pun dimulai. Dikerjakan oleh kontraktor yang membangun rumahku itu.

Sang kontraktor menjanjikan pembangunan rumah Bunda itu akan selesai dalam tempo kurang dari 4 bulan. Lebih cepat daripada waktu membangun rumahku dahulu, karena kontraktornya sudah banyak peralatan baru yhang akan digunakan untuk membangun rumah Bunda itu.

Bunda senang karena rumah yang sedang dibangun itu tak jauh dari rumahku. Lebih senang lagi setelah mendengar kalau aku sudah mempersiapkan diri untuk menikah dengan Maya.

Bahkan Bunda menyarankan agar pernikahanku dengan Maya dilaksanakan setelah rumah Bunda itu selesai. Aku pun menyetujuinya.

Sementara itu, aku sedang bertekun diri untuk menyelesaikan 43 lukisan pesanan Edmond.

Ratih tidak terus-terusan harus telanjang di depan mataku. Karena aku sudah punya teknik baru. Ratih hanya kusuruh telanjang di tempat model, hanya pada waktu finishing saja. Pada waktu aku masih melukis latar belakang dan sebagainya, aku bisa menyapukan kuasku di atas kanvas tanpa kehadiran Ratih sekali pun.

Pada waktu rumah Bunda hampir selesai, 47 lukisan untuk Edmond pun hampir selesai.

Namun begitulah… setiap kali aku hampir menyelesaikan lukisan-lukisanku, ada saja godaan yang harus kualami.

Ketika aku sedang beristirahat di café, dengan seorang pelukis bernama Aruna, kulihat seorang wanita yang bentuknya mirip Bunda tampak sedang minum juice sendirian. Ternyata dia adik kandung Bunda yang bernama Rosmala dan biasa kupanggil Tante Mala. Kebetulan Aruna sudah mau pulang, karena dia pun sedang sibuk untuk menyiapkan pameran tunggal.

Maka setelah Aruna berlalu, aku menghampiri wanita yang memang tanteku itu.

“Tante Mala?! “tegurku di dekat kursi yang diduduki tanteku itu.

Tante Mala menoleh padaku. “Odi?!” serunya tertahan, lalu berdiri dan memegang kedua bahuku, dengan tatapan seolah tak percaya dengan pandangannya sendiri.

Aku pun mencium tangan adik kandung Bunda itu. Yang dilanjutkan dengan cipika-cipiki sebagaimana layaknya seorang keponakan berjumpa dengan tantenya.

Tante Mala itu adik kandung Bunda yang bungsu. Karena Ratih adik “seayah” Bunda berlainan ibu. Dan sebenarnya aku sudah tahu rahasianya dari Oma Rosa, bahwa Ratih itu anak Ricardo. Lalu almarhum Kakek ingin menolong Oma dengan menikahinya, setelah lelaki bernama Ricardo itu menghilang pada saat Oma Rosa sedang hamil muda.

“Kamu kok jadi sombong sih? Setelah kaya, kamu nggak pernah datang lagi ke rumah tante,” kata Tante Mala yang mungkin usianya sekitar 30-31 tahunan itu.

“Maaf Tante, bukannya sombong… aku sibuk melukis terus,” sahutku setelah duduk di kursi yang berhadapan dengan tanteku, “Tante lagi nungguin siapa di sini?”

“Nggak nungguin siapa-siapa. Lagi berusaha menghibur diri aja.”

“Emangnya ada masalah apa?”

“Mmm… kamu bawa mobil?”

“Bawa.”

“Kalau gitu tante numpang di mobilmu saja ya. Nanti di mobilmu akan tante ceritakan semuanya.”

“Iya, “aku mengangguk.

Beberapa saat kemudian Tante Mala sudah duduk di dalam mobil yang selalu kukemudikan sendiri ini.

Tante Mala pun mulai curhat di dalam mobil. Bahwa dia akan bercerai dengan Oom Dirga, suaminya. Masalahnya Tante Mala tidak bisa hamil juga, padahal mereka sudah 6 tahun berumah tangga.

“Tante sudah memeriksakan diri ke dokter kandungan?” tanyaku menanggapi.

“Sudah. Tapi kata dokter, tante normal-normal saja.”

“Oom Dirga sudah memeriksakan diri juga?”

“Katanya sih sudah. Tapi tante juga gak tau dokter mana yang memeriksanya.”

“Dan hasil pemeriksaannya gimana?”

“Katanya sih normal juga.”

Aku berpikir di belakang setir mobil yang sedang melewati jalanan macet. Pikirku, jangan-jangan Oom Dirga belum pernah diperiksa oleh dokter, tapi mencari-cari alasan untuk menceraikan Tante Mala, karena tergoda oleh perempuan lain, mungkin. Ya mungkin seperti itu keadaan yang sebenarnya. Tapi entahlah, aku juga belum bisa memastikannya.

Lalu Tante Mala melanjutkan curhatnya. Bahwa Oom Dirga jadi jarang tidur di rumah. Tante Mala pun sudah curiga kepada suaminya, yang diduga kecantol perempuan lain lagi.

Tiba-tiba Tante Mala memegang tangan kiriku yang bebas, karena sedan hitamku matic. “Kamu mau menolong tante nggak?”

“Menolongnya dengan cara apa?”

“Kamu normal kan?” tanyanya, “Maksud tante… gak mandul kan?”

“Normal, Tante,” sahutku dengan nada pasti. Karena aku sudah punya bukti. Bahwa sebelum mengenal Gustav, Bunda sempat “disedot” oleh seorang dokter kandungan, setelah telat datang bulan seminggu dan dinyatakan hamil oleh dokter. Tentu saja Bunda tak mau hamil dariku, karena bisa gempar kelak.

“Sekarang tante sedang dalam masa subur. Kamu mau kan menggauli tante, untuk membuktikan siapa sebenarnya yang mandul?” tanya Tante Mala sambil memegang pergelangan tangan kiriku.

Aku ini seorang lelaki muda, yang masih sangat normal. Munafik sekali diriku ini kalau tidak tertarik pada permintaan Tante Mala yang jauh lebih muda daripada Bunda itu.

“Mau nggak?“ Tante Mala mengguncang tanganku.

“Mau Tante… tapi nggak mau di rumah Tante.”

“Terus mau di mana?”

“Kita cek in ke hotel aja ya.”

“Boleh. Mmm… Odi… tante akan bertterima kasih sekali kalau kamu bisa menghamili tante.”

“Tapi kalau Tante benar-benar hamil nanti gimana?”

“Bilangin aja anak Oom Dirga.”

“Kalau Oom Dirga sudah diperiksa dan dokter yang memeriksanya itu mengatakan bahwa Oom Dirga takkan bisa punya anak gimana? Dia kan bakal curiga, lantas…”

“Aaah… soal itu sih nanti aja dipikirinnya. Yang jelas kalau tante hamil, Oom Dirga takkan bisa menceraikan tante, karena tiada alasan lain baginya.”

“Begitu ya,” sahutku datar. Padahal aku sedang membayangkan seperti apa menggiurkannya Tante Rosmala setelah telanjang bulat di hotel nanti…!

Dan diam-diam “si dede” mulai bangun di balik celana dalam dan celana jeansku ini. Karena aku sudah membayangkan seperti apa “rasa” adik kandung Bunda ini.

Kupilih sebuah hotel bintang lima untuk “mengeksekusi” tanteku ini. Karena kalau di hotel ecek-ecek sering ada razia. Tapi sebenarnya meski ada razia pun aku bisa ber-alibi. Karena Tante Rosmala ini adik kandung ibuku. Hanya saja aku ingin agar suasananya aman dan nyaman. Siapa tahu kelak aku bakal kepengen dan kepengen lagi begituan dengan tanteku yang sebenarnya seksi di mataku ini.

Setelah masuk ke dalam kamar di lantai 5, Tante Mala langsung masuk ke kamar mandi. Ingin pipis dulu, katanya.

Aku pun duduk di sofa mewah hotel five star ini. Sambil membayangkan apa yang harus kulakukan sebentar lagi. Maka semakin ngaceng saja sang kontol di dalam celanaku ini.

Setelah Tante Mala keluar dari kamar mandi, aku pun berdiri dan melangkah ke dalam kamar mandi sambil berkata, “Aku juga pengen pipis, Tante.”

Lalu aku berdiri di depan urinoir, sambil menyembulkan kontolku dari belahan ritsleting celana jeansku.

Aku tidak menyadari bahwa Tante Mala masih berada di ambang pintu kamar mandi. Menghampiriku dan memegang batang kemaluanku yang mau kencing ini. “Wow! Gak nyangka… kontolmu segede dan sepanjang ini?! Sudah ngaceng gini pula! “serunya sambil menepuk-nepuk bagian bawah batang kontolku.

“Hehee… sebentar… aku mau pipis dulu…” sahutku sambil memancarkan air kencingku ke urinoir itu.

Ketika aku sedang membasuh moncong kontolku, Tante Mala memelukku dari belakang sambil berkata, “Apa pun yang terjadi nanti, harus dirahasiakan ya. Jangan sampai ada keluarga yang tau.”

“Ya iyalah. Masa soal yang begitu dibocorin. Percaya deh, mulutku bukan ember bocor, tante.”

Lalu kami keluar dari kamar mandi. Dan duduk berdampingan di sofa mewah ini. Tapi Tante Rosmala berdiri lagi. Untuk melepaskan gaun hitam dan lingerinya. Lalu, dalam keadaan tinggal mengenakan bra dan celana dalam, Tante Rosmala berdiri di depanku sambil bertanya, “Bagaimana? Apakah tante ini menarik gak?

Aku memperhatikan Tante Rosmala dari jujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Meski usia Tante Rosmala lebih tua daripada Maya, tapi bentuk tubuhnya sangat mirip. Tinggi tegap. Kulitnya pun tak kalah putih dan mulus kalau dibandingkan kulit calon istriku itu.

Memang Bunda dan adik-adiknya berkulit putih semua. Yang perempuan cantik-cantik. Dan satu-satunya adik Bunda yang laki-laki (Oom Taufan), tampan pula.

Aku masih terpana menyaksikan betapa menggiurkannya tubuh Tante Rosmala itu. Maka kutarik tangannya sambil berkata, “Tante seksi sekali…”

“Syukurlah kalau kamu suka,“ sahut Tante Rosmala sambil mengecup pipiku. Lalu dia duduk di sampingku lagi, “Behanya kamu aja yang lepasin.”

Kuturuti permintaan tanteku, melepaskan kancing kait di punggungnya, lalu menanggalkan beha itu.

Tanpa ragu, langsung kupegang toket adik Bunda itu. “Masih kencang,“ gumamku.

“Ya iyalah. Tante kan gak pernah nyusuin bayi.”

Ucapan itu dilanjutkan dengan pagutan Tante Rosmala di bibirku, seperti gemas dan ingin melumat bibirku.

Setelah lumatannya dilepaskan, giliran aku yang mengemut pentil toket tanteku. Tubuhnya pun mulai menghangat. Terlebih lagi setelah tanganku sudah menyelusup ke balik celana dalamnya. Terada memeknya berjembut, tapi hanya di atasnya saja. Sementara memeknya sendiri bersih dari jembut. Mungkin supaya tidak terlalu “gersang”, maka jembut di atas memeknya dibiarkan tumbuh.

“Di sana aja yuk,” ucap tante Rosmala sambil menunjuk ke arah bed.

Aku mengangguk dan mengikuti langkah tanteku menuju bed.

Tante Mala menanggalkan celana dalamnya di atas bed, sehingga dia sudah benar-benar telanjang. Aku pun ingin mengimbanginya dengan menanggalkan seluruh pakaianku, sampai telanjang. Lalu melpompat ke atas bed dan merayap ke atas perut Tante Mala.

Aku sempat berpikir sesaat. Bahwa kalau Bunda benar-benar menikah dengan Gustav kelak, mungkin Tante Mala ini tepat untuk mengggantikan Bunda. Karena sekujur tubuhnya perfect di mataku. Sangat memenuhi syarat untuk kujadikan pelampiasan nafsu syahwatku.

Bahkan Tante Mala ini terasa lebih agresif daripada Bunda. Begitu aku sudah berada di atasnya, bibirku dipagut dan dilumatnya lagi, sementara leherku berada di dalam pelukannya.

Namun aku mulai tak sabaran. Setelah lumatan Tante Mala dilepaskan, aku melorot turun, sampai wajahku berhadapan dengan memek tante Mala yang unik itu. Memeknya memang bersih dari bulu. Namun di atas memeknya tumbuh jembut yang sudah digunting rapi berbentuk segitiga.

Dan aku mulai menciumi memek tanteku yang sudah menantang itu. Awalnya Tante Mala tersentak, mungkin karena tidak menyangka kalau mulutku akan menyentuh memeknya. Tapi ia lalu terdiam pasrah. Begitu pula pada waktu aku mengangakan memeknya yang tampak masih tertutup rapat, Tante Mala malah merenggangkan sepasang pahanya, mungkin untuk memberikan keleluasaan padaku yang memang akan ngerjain memek tembemnya ini.

Lidahku mulai beraksi, menyapu-nyapu bagian dalam memek tanteku yang berwarna pink membara itu. Yang mulai membuat Tante Mala mengejang sedikit. Lalu mengelus-elus rambutku yang berada di bawah perutnya.

Belasan menit aku menjilati bagian yang berwarna pink itu. Tante Mala pun menggeliat-geliat sambil mengelus-elus rambutku.

Dan ketika aku mulai menjilati clitorisnya, Tante Mala semakin menggeliat-geliat lagi. Bahkan mulai disertai rengekan-rengekan tertahannya, “Odi… ooooh… Odiii… ooooooh… kamu kok pandai membuat tante enak sih… oooooh… iya… itilnya jilatin terus Ooood… ini enak sekali… ooooh… ooooo…

Dengan lahap mulutku menggasak itil Tante Mala terus-menerus… sampai akhirnya Tante Mala memegang kepalaku sambil berucap terengah, “Ma… masukin aja kontolmu Od… ooooh… memek tante sudah basah banget, Odiiii…”

Aku sendiri memang sudah ingin secepatnya mengetahui seperti apa rasa memek tanteku itu.

Dengan sigap kuletakkan moncong senjata pusakaku pada arah yang tepat. Dan sekali dorong… blesssss… melesak masuk ke dalam liang memek yang sempit tapi sudah terlicinkan oleh lendir libidonya bercampur dengan air liurku.

“Uuuuuuu… uuuuuh… masuk Ooood… “Tante Mala mendekap pinggangku erat-erat seolah takut ditinggalkan olehku.

“Gila… ternyata memek Tante masih sempit banget gini…” ucapku setengah berbisik ketika aku belum mengayun kontolku.

“Ya iyalah… memek tante kan belum pernah dilewati kepala bayi…” sahut Tante Mala sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

“Seandainya Tante diceraikan, biarin… tante buatku aja nanti…”

“Kalau sekadar hubungan backstreet tante mau… kalau menikah sih gak mungkin. Bisa gempar keluarga kita nanti.”

“Iya… yang penting aku gak mau melihat Tante tersia-sia nanti… memek enak gini kok mau diterlantarkan…”

“Kontolmu juga gede banget… sampai terasa sesak begini… ayo entotin Od…”

Kurengkuh leher Tante Mala. Lalu kucium bibirnya dengan sepenuh gairah dan kehangatanku, sambil mulai mengayun kontolku, bermaju-mundur di dalam liang kemaluan yang sempit dan legit ini.

Awalnya entotanku perlahan saja. Makin lama makin cepat… sampai di kecepatan normalnya bangsaku ngentot, bukan kecepatan ngentot orang bule di bokep-bokep.

Tante Mala pun mulai menggeliat-geliat. Namun kemudian pinggulnya mulai bergeol-geol laksana geol penyanyi pantura yang masih kelas ecek-ecek (biasanya mereka lebih gila-gilaan daripada yang sudah berkelas).

Entah kenapa, belakangan ini aku selalu ingin agar pasangan seksualku senantiasa merasa puas pada waktu kuentot.

Pada waktu sedang mengentot Tante Mala pun aku melakukan hal yang sama. Pada saat kontolku semakin lancar bermaju-mundur di dalam jepitan liang memek Tante Mala, diiringi dengan geolan pantatnya yang aduhai, tangan dan mulutku pun mulai beraksi. Tangan kiriku mulai meremas-remas toket yang lumayan gede ini, sementara mulutku mulai mengemut pentil toket kanannya dengan jam terbangku yang sudah lumayan tinggi.

Ini membuat nafas Tante Mala mulai tersendat-semndat. Namun geolan pantatnya semakin menjadi-jadi. Berputar-putar dan maju mundur sedemikian rupa, sehingga itilnya berhasil menggesek-gesek kontolku.

Wanita bule sering mengelus-elus clitorisnya sendiri pada waktu sedang dientot oleh partner seksualnya di film-film bokep. Tapi tante Mala tak usah melakukan “self service” begitu. Karena geolannya sangat trampil, sehingga itilnya bisa bergesekan terus dengan kontolku.

Jelas hal ini membuatnya keenakan. Sehingga ia mulai merengek-rengek histeris, “Oooo… ooooh… Oooodiiii… oooh… tante belum pernah merasakan dientot seenak ini, Ooood… oooo… ooooh… Odiiii… oooooh… entot terus Ooood… entot… entoooot… entot terus… entoooot… entottttt… entoooot…

Aku pun menanggapinya dengan entotan yang semakin massive. Sementara bibir dan lidahku mulai menggeluti leher jenjangnya yang mulai keringatan dengan jilatan bercampur gigitan-gigitan kecilku… tanpa peduli keringatnya tertelan olehku. Bahkan ketika kedua lengan tante Mala terangkat lurus ke atas kepalanya, kujilati ketiaknya yang bersih dari bulu dan tidak menyiarkan aroma kurang sedap.

Lebih dari setengah jam aku mengentot adik Bunda ini. Sehingga keringatku mulai bercucuran, berjatuhan di dada, leher dan wajah Tante Mala. Bercampur aduk dengan keringatnya sendiri.

Dan akhirnya terdengar suara tanteku terngah, “Tantew udah mau lepas Od… barengin yok… biar tante hamil…”

Kuikuti keinginan Tante Mala, karena aku sudah tahu bagaimana caranya untuk memperlambat atau pun mempercepat ejakulasiku. Kalau ingin lambat, kubayangkan yang buruk-buruk. Sebaliknya kalau ingin cepat-cepat ejakulasi, kubayangkan saja yang indah-indah dan enaknya liang memek tanteku ini.

Maka kupercepat ayunan kontolku sambil membayangkan yang indah-indah itu. Sampai akhirnya Tante Mala berkelojotan… lalu mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat, sementara kontolku sudah kubenamkan sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi.

Pada saat itulah tante Mala seperti orang kesurupan. Meremas sepasang bahuku, bahkan terasa kukunya mencakar-cakar.. sementara liang memeknya terasa berkedut-kedut… diiringi kejut-kejut kontolku yang tengahg memuntahkan air maniku… creeet… creeet… creeeeettt… cretcretcreeeettttttttt…

Lalu kami sama-sama terkapar di pantai kepuasan. Dengan keringat semakin membanjir.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu