2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Aku tak pernah berlebihan dalam menilai seseorang, baik dari sisi positifnya maupun dari sudut negatifnya.

Tapi Magdalena itu… benar-benar luar biasa cantiknya…!

Dipandang dari sudut mana pun, dia tetap sempurna di mataku. Dan yang paling mengagumkan, dia sangat ramah, fasih pula berbahasa Indonesia, karena dia lahir besar di Jakarta, pada saat ayahnya sedang menjadi perwakilan perdagangan dari negaranya di Indonesia.

Namun aku tetap tahu diri. Aku tetap sadar siapa diriku dan siapa gadis bule bernama Magdalena itu.

Lalu aku berkonsentrasi ke atas kanvas-kanvas yang sedang kulukis, di dalam villa yang dijaga oleh belasan petugas security itu.

Aku sangat hati-hati dalam mengusapkan kuasku ke kanvas, karena aku tidak ingin Miss Magda kecewa sekecil apa pun.

Tapi anehnya… tanganku seolah ada kekuatan gaib yang membimbingku. Sehingga sapuan kuasku bergerak dengan cepat, namun hasilnya… aku sendiri kagum pada karya-karyaku ini.

Pelukis pada umumnya tidak usah dikritik, karena mereka bisa mengkritik dirinya sendiri. Bisa juga mengapresiasi dirinya sendiri.

Inilah yang terjadi pada diriku sendiri. Rasanya coretan-coretanku di atas kanvas jadi begini halusnya, namun cepat sekali mengerjakannya.

Lukisan-lukisan dengan Miss Magda sebagai modelnya itu, terdiri dari berbagai macam posisi dan latar belakang. Ada yang sedang mengenakan pakaian casual, ada pula yang mengenakan gaun formal.

Sembilan lukisan sudah kuselesaikan, dalam tempo dua bulan. Dan Miss Magda tampak puas. Selalu berdecak kagum melihat lukisan-lukisan yang sudah selesai itu. Sambil berkomentar, “Lukisan-lukisan ini sudah berkaliber internasional. Benar-benar halus dan persis seperti aslinya.”

Pada saat aku sedang serius untuk mengerjakan lukisan kesepuluh, Bunda menelepon. Melaporkan bahwa rumah Bunda sudah selesai. Dan harus membayar sisa pembayaran untuk kontraktor.

“Sekarang juga akan kutransfer,” kataku di dekat handphoneku, “tolong kirimkan saja nomor rekening kontraktornya.”

“Memangnya kamu gak bisa pulang dulu?” tanya Bunda di speaker handphoneku.

“Nggak enak meninggalkan pemesan lukisan-lukisan yang sedang kukerjakan ini. Soalnya dia itu bukan orang biasa.”

“Ini kan sedang ada Gustav. Bagaimana kalau minta ditalangin aja dulu sama dia pembayarannya?”

“Haaa?! “aku terhenyak mendengar nama Gustav disebut-sebut oleh Bunda, “Gak usah Bun. Sekarang nomor rekening kontraktornya kuterima, sekarang juga akan kubayar !”

“Tapi niat Gustav kan baik. Laghian kalau bunda sudah menikah dengan dia, nanti kan rumah itu seolah rumah dia juga.”

“Ya udah, kalau begituterserah Bunda dan Gustav aja,” kataku dengan nada jengkel. Lalu menutup hubungan seluler dengan Bunda.

Tapi handphoneku berdering lagi. Kuangkat dan kubuka. “Ada apa lagi Bunda? Bisa nggak jangan ganggu dulu aku yang sedang konsentrasi ini !” ucapku setengah membentak.

Tapi terdengar suara lain di handphoneku, “Lho… lho… kok langsung marah-marah?! Ini Ratih, Sayang.”

“Oh Ratih?! Maaf ya… kusangka Bunda. Ada apa Tih?”

“Odi Sayang, selama kamu masih di Puncak, aku mau tinggal di rumah Mama dulu ya.”

“Lho kenapa begitu? Merajuk?”

“Nggak. Ngapain merajuk kayak anak kecil?! Aku nggak enak aja di rumah lagi ada Gustav. Dua hari lagi Edmond juga akan datang. Aku jadi takut…”

“Takut apa?”

“Takut dipaksa harus meladeni Edmond.”

“Hahahaaa… ya udah deh. Kalau mau tinggal di rumah Oma dulu nggak apa-apa. Nanti kalau pekerjaanku di Puncak sudah selesai, kamu balik lagi ke rumahku ya.”

“Iya… pasti itu sih. Kalau sekarang aku kan seperti gak ada yang melindungi, karena Odi jauh gitu.”

Baru saja hubungan seluler dengan Ratih ditutup, terdengar suara di belakangku. Suara Miss Magda :

“Jadi pesanan awal yang sepuluh lukisan itu hampir selesai ya?”

“Iya Non.”

“Panggil Magda aja, jangan kebanyakan basa-basi,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku hanyamengangguk perlahan.

“Setelah kesepuluh lukisan itu selesai, bisa pesan empatpuluh lukisan lagi?” tanyanya membuatku terhenyak. Girang? Tentu saja. Tapi kalau pesanan itu kusetujui, berarti aku harus ngendon di villa ini terus sampai berbulan-bulan ke depan.

“Nona… eh, Magda mau jualan lukisan di Jerman?”

“Nggak. Aku kan punya museum pribadi di Frankfurt. Lukisan-lukisan itu akan menjadi hiasan dindingnya.”

“Mmmm… kalau Magda memesan empatpuluh lukisan lagi, berarti harus tinggal di Indonesia lebih lama lagi.”

“Nggak apa-apa. Visaku kan bisa diperpanjang setahun lagi. Karena aku berada di Indonesia kan sambil mengurus perusahaan di negara ini juga.”

Aku cuma mengangguk perlahan lagi. Dengan pikiran melayang-layang tak menentu.

Percakapan beberapa hari yang lalu dengan Magda itu, terbayang lagi di pelupuk terawanganku dan terngiang di telinga batinku :

“Aku cinta Indonesia. Karena aku lahir dan dibesarkan di Indonesia. Senang juga dengan pria Indonesia yang ramah dan murah senyum. Makanya sejak lama aku bercita-cita ingin punya suami orang Indonesia.”

Pada saat itu aku sedang melukis. Sehingga ucapannya itu tidak kutanggapi.

“Odi dengar aku ngomong apa barusan?” tanya Magda yang sedang duduk di sofa mewah dan sedang menjadi model lukisan pesanannya.

“Dengar, “aku mengangguk, “Nona bercita-cita ingin punya suami orang Indonesia kan?”

“Kenapa tidak ditanggapi?” tanyanya lagi.

“Nona ingin kucarikan cowok Indonesia untuk dijadikan pacar Nona?”

“Nggak usah dicariin jauh-jauh. Odi aja jadi pacarku. Bagaimana?”

“Jangan bercanda ah. Nanti kalau aku mikir serius gimana?”

Magda bangkit dari sofa. Melangkah ke belakangku sambil berkata perlahan, “Aku tidak tau apa yang sedang terjadi pada diriku ini. Tapi rasanya aku ingin memilikimu, Odi.”

Aku tidak berani menjawabnya. Bahkan berhari-hari aku menganggap ucapan Magda itu tak pernah terdengar di telingaku.

Masalahnya aku tahu siapa dia dan siapa aku. Seperti langit dengan bumi. Seolah sesuatu yang mustahil.

Kini hal itu seperti akan terjadi lagi. Karena Magda memegang kedua pergelangan tanganku sambil bertanya, “Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kutemukan di negaraku. Sesuatu itu adalah sosok yang membuat hatiku nyaman. Membuatkju kerasan duduk berjam-jam sebagai model lukisan pesananku. Sosok itu adalah dirimu, Odi.

Aku terdiam. Terasa sulit menghadapi kenyataan seperti ini.

Memang aku pernah baca berita tentang cewek cantik dari Ukraina yang sengaja jauh-jauh mendatangi Indonesia, hanya untuk bertemu dengan seorang cowok kampung. Karena cowok itu pernah bekerja sebagai TKI di negaranya.

Aku juga pernah membaca berita tentang seorang tukang ngamen di Eropa, lalu jadi pemain band lokal di kampungnya. Juga dikejar oleh cewek yang cantik dari Inggeris, bahkan bersedia menjadi seorang mualaf, asalkan dinikahi oleh pengamen yang sudah jadi pemain band kampung itu.

Aku juga pernah membaca berita tentang seorang gadis cantik asal Rusia yang kepincut pada cowok asal Indonesia. Dia pun sengaja datang ke Indonesia, hanya untuk menjumpai buah hatinya, cowok Indonesia yang berasal dari pelosok juga. Ketika ditanya kenapa dia tidak mencari cowok Rusia saja agar tidak usah jauh-jauh mengejar ke Indonesia?

Itu semua berita. Bukan dongeng sebelum bobo.

Lalu apa motivasi Magda sehingga dia bisa jatuh hati padaku?

Entahlah.

Tapi aku jadi ingat pada kata-kata seorang ahli spiritual dan supra natural. Saat itu aku masih hidup pas-pasan. Dan diajak oleh seorang teman untuk meminta petunjuk kepada orang tua yang sudah berusia 100 tahun itu. Orang tua yang kuhormati itu berkata, “Tak lama lagi hari-hari gelapmu akan menjadi terang benderang.

Saat itu aku belum percaya pada yang begitu-begituan. Karena itu aku hanya mengangguk-angguk, tanpa minta petunjuk apa-apa lagi.

Sayangnya sekarang orang tua itu sudah meninggal. Padahal kalau beliau masih hidup, aku ingin memberi sesuatu yang berharga sebagai tanda terima kasihku padanya.

Lalu apakah Magdalena ini termasuk cewek yang diramalkan oleh almarhum orangt pandai itu?

Entahlah. Yang jelas lidahku selalu terasa kelu kalau mau menjawab pernyataan Magda itu. Karena, sekali lagi, aku tahu siapa dia dan siapa diriku. Perbedaannya terlalu jauh. Seperti langit dengan bumi.

Apakah aku ini minder setelah mendengar pernyataan Magda itu? Tidak. Aku tidak minder. Aku hanya tahu diri dan sadar bahwa Magda tidak sepadan denganku.

Dia terlalu cantik bagiku. Dia terlalu kaya bagiku. Dua point itu yang membuatku harus pandai-pandai membawa diri.

Namun aku tetap tekun melukis pesanan Magda yang cukup banyak itu.

Pekerjaan melukis itu memang profesiku. Dalam keadaan bagaimana pun aku harus tetap profesional. Tak boleh mencampur adukkan masalah perasaan dengan profesiku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu