2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Sebuah taksi berhenti di depan rumahku. Seorang lelaki bule berperawakan tinggi tegap turun dari taksi itu.

Aku pun menyambutnya di ambang pintu depan, “Welcome to my home and studio, Mister Gustav.”

Mr. Gustav mengangguk-angguk sambil tersenyum. Lalu kupersilakan masuk ke ruang tamu.

Lalu kupanggil Bunda yang sudah mengenakan gaun berwarna orange dengan bunga-bunga kecil di bagian lehernya.

Setelah Bunda berada di ruang tamu, kuperkenalkan Bunda kepada Mr. Gustav, “This is my mother who has always been the model of my painting.”

(Inilah ibu saya yang selalu menjadi model lukisan saya).

Mr. Gustav pun menjabat tangan Bunda, sambil menoleh padaku dan bertanya, “Is she really your mother? She looks very young and very beautiful. “ (Apakah dia benar-benar ibumu? Dia kelihatan masih sangat muda dan cantik sekali)

“Yes, she is my mother.”

Tangan Mr. Gustav masih memegang tangan Bunda. Dia memperhatikan wajah Bunda dengan seksama, “Yaayayaaa… her face really resembles the face in your paintings.”

(wajahnya benar-benar menyerupai wajah di lukisan-lukisan Anda)

Bunda pun nyeletuk sambil berkata, “It’s true, I’m Odi’s mother.”

“Wow… ibu Odi bisa bicara bahasa Inggeris?” cetus Mr. Gustav yang masih saja memegang tangan Bunda.

“Pendidikan ibu saya malah lebih tinggi daripada pendidikan saya,” sahutku.

Lalu Mr. Gustav mencium tangan Bunda, disusul dengan ucapan, “Nice to meet you, Madam.”

Bunda pun menyahut, “Nice to meet you too, Sir.”

Mr. Gustav tertawa, “Hahahaaa… panggil saya Gustav saja. Tak usah pakai istilah Sir.”

Setelah melepaskan tangan Bunda, Mr. Gustav menoleh padaku, “Di mana studionya?”

“Upstairs. Mau langsung ke atas?”

“Ok… “Mr Gustav mengikuti langkahku ke tangga menuju lantai atas.

Setibanya di lantai atas, Mr. Gustav mengamati lukisan-lukisan yang sudah selesai itu satu persatu. Lalu berkomentar, “Kelihatannya lukisan-lukisanmu semakin bagus coretan dan warna-warnanya. Kelihatan lebih hidup. Saya suka cara kerjamu yang sudah berusaha meningkatkan kualitas lukisanmu. Mmm… mana ibu Anda tadi?

“Bisa,” sahutku sambil melangkah ke pintu menuju tangga dan berseru dari situ, “Buuun… sini dulu Bun !”

“Yaaa…” sahut Bunda dari bawah.

Sesaat kemudian Bunda sudah muncul di lantai atas. Disambut oleh Mr. Gustav dengan ucapan, “Saya hanya ingin membandingkan lukisan-lukisan ini dengan bentuk Madam…”

Lagi-lagi Mr. Gustav memegang tangan Bunda sambil berjalan mengelilingi studioku. Lalu berkomentar lagi, “Amazing! The faces in the paintings are exactly the same as the original!”

(Luar biasa! Wajah-wajah dalam lukisan itu persis sama dengan aslinya !)

“Terima kasih,” sahutku.

Mr. Gustav berkata lagi, “If your mother is brought to my country, it must be uproar. “(Jika ibumu dibawa ke negara saya, pasti gempar)

Bunda nyeletuk, “But I don’t want to be taken to your country. “(Tapi saya tidak mau dibawa ke negara anda)

“Why?” Mr. Gustav tampak heran.

Bunda menjawab, “I am embarrassed… because I will be known as a model of naked painting. “(Saya malu… karena saya akan dikenal sebagai model lukisan telanjang)

“Hahaahaaa… di Eropa gadis model telanjang itu malah sangat dikagumi orang-orang. Karena profesi itu bukan profesi yang hina di sana. Mungkin jauh beda dengan tradisi di negara ini,” kata Mr. Gustav sambil duduk di sofa dan mengajak Bunda duduk di sampingnya.

“Sekarang kita bicarakan masalah bisnisnya,” kata Mr. Gustav, “Karena lukisan-lukisanmu makin meningkat kualitasnya, saya akan menaikkan harganya limapuluh persen. Bagaimana?”

“Saya setuju. Terima kasih atas penghargaan Anda kepada hasil kerja saya,” sahutku.

“Tapi besok saya mau minta ibu anda mengantar saya ke lokasi wisata yang dekat-dekat kota ini. Apakah Odi izinkan?”

“Silakan.”

“Ohya… sampai lupa… siapa nama anda, Madam?” tanya Mr. Gustav sambil menepuk lutut Bunda.

“Ratna,” sahut Bunda.

“Okay. Besok pagi Ratna akan saya jemput ke sini, untuk menjadi guide ya?”

Bunda menoleh padaku, seolah minta izin. Aku pun mengangguk sebagai tanda mengijinkan.

Memang ada perasaan cemburu juga di hatiku. Tapi biar bagaimana Mr. Gustav itu sumber duit bagiku. Bahkan bisa dibilang ikut menentukan masa depanku.

Dan aku sudah bosan dengan kemiskinan. Sekarang aku ingin berlari secepat mungkin ke puncak suksesku, sekaligus ingin memperlihatkan kemenanganku kepada Ayah yang sudah mengusirku laksana mengusir anjing buduk. Hmmm… sakit sekali hatiku kalau teringat semua itu.

Gustav membayar 30 lukisan itu dengan cek dari salah satu bank internasional yang di kota ini pun ada cabangnya. Cek itu dalam bentuk US dollar. Dan bisa dicairkan pada hari ini juga. Tapi lukisan-lukisannya takkan dibawa oleh Mr. Gustav. Dia bilang, “Saya masih agak lama tinggal di kota ini. Mungkin dua minggu lagi lukisan-lukisan itu akan saya bawa ke Jakarta.

“Baik,” sahutku, “Kalau boleh saya tau, apakah Mister Gustav seorang kolektor lukisan?”

“Hahahaaa… bukan. Saya membeli lukisan-lukisan itu untuk dijual kembali di negara saya,” kata Mr. Gustav, “Tentu saja saya harus punya untung dari penjualan lukisan-lukisanmu itu. Kebetulan di negara saya banyak peminatnya. Sepuluh lukisan yang dulu saya beli juga sudah habis terjual di negara saya.

Setelah Mr. Gustav pulang, aku mengajak Bunda untuk mencairkan cek dari Mr. Gustav itu.

“Kamu mau cairkan cek itu jadi dollar lagi apa dijadikan rupiah saja?” tanya Bunda.

“Aku tidak akan mencairkannya Bun,” sahutku, “aku mau buka rekening saja di bank internasional itu.”

“Naaah… itu namanya anak Bunda sudah semakin cedas dan pandangannya tajam ke masa depan. Bunda sangat mendukung niat itu. Ayolah kita ke bank sekarang, mumpung masih agak pagian.”

Meski pun rumahku ada di luar kota, tapi sebenarnya tidak jauh dari pusat kota. Karena rumahku hanya 5 kilometer dari batas kota. Jadi tidak terlalu sulit mencapai bank internasional itu. Setengah jam juga sudah tiba di bank itu.

Kemudian aku dan Bunda masuk ke dalam bank itu.

Niatku untuk memindahkan nominal yang tertera di cek dari Mr. Gustav itu ke rekening tabungan yang baru akan kubuka, disambut baik oleh pihak bank. Aku bahkan mendapat pelayanan khusus, karena nominal yang tertera di cek itu banyak sekali (menurut ukuranku).

Hanya setengah jam aku mengurus pemindahan isi cek itu ke buku tabunganku. Beginilah cara kerja bank internasional. Segalanya dimudahkan, bukan dipersulit.

Dalam perjalanan pulang, Bunda berkata, “Sebaiknya sisa uang dollar di rumah juga masukkan aja ke tabunganmu. Biar semakin banyak simpanan dollarmu di bank itu.”

“Gak usahlah Bun. Biar aja sisa uang dollar yang di rumah sih untuk keperluan kita. Mungkin Bunda juga harus banyak pakaian baru, perhiasan, alat make up, parfum dan sebagainya. Supaya Bunda semakin cantik dan harum… iya kan?”

“Nggak ah. Bunda tidak butuh perhiasan yang menyolok, pakaian yang glamour dan sebagainya. Bunda ingin tetap terlihat sederhana. Tapi kalau parfum sih bunda mau. Tapi parfum import. Biar awet harumnya.”

“Ya udah, sekarang kita ke toko parfum dulu. Ohya… sekalian lihat-lihat mobil juga ya Bun.”

“Katanya cukup dengan mobil ini aja. Sekarang masih pengen nyari mobil yang lebih pantes ya?”

“Iya Bun. Mobil ini kan cuma untuk angkut-angkut barang. Aku juga ingin punya mobil pribadi. Kan duit dollar masih banyak di rumah. Apa salahnya kalau beli jeep atau…”

“Beli sedan aja. Jangan jip. Biar Bunda bisa ngelancarin nyetir juga nanti.”

“Iya boleh deh. Beli sedan yang mahal aja sekalian.”

“Jangan yang mahal-mahal lah. Beli yang di bawah limaratus juta aja.”

“Iya maksudku juga yang tiga atau empat ratus juta. Bukan yang milyar-milyaran.”

“Iya… kalau empat ratusan sih bunda mendukung. Eh iya… besok pagi Gustav mau ngajak ke daerah wisata yang dekat-dekat. Gimana ya? Bunda sih takut dia macem-macem nanti.”

“Macem-macem sih gak bakalan. Dia itu kan orang terhormat di kantornya juga. Kalau mau macem-macem, ajak call girl aja sekalian. Masa mau macem-macem sama Bunda?”

Bunda terdiam.

Kataku lagi, “Yang penting Bunda harus bisa jaga diri. Jangan mau diperlakukan semaunya oleh siapa pun.”

“Ya iyalah. Cuma kalau melihat dari cara mandangnya… ah entahlah… mungkin bundanya aja kege-eran.”

“Emang cara mandangnya gimana?” tanyaku disertai desir-desir cemburu yang kusembunyikan.

“Biasanya sih kalau cara mandangnya seperti itu… berarti dia suka sama bunda.”

“Manfaatkan aja Bun. Cari celah supaya dia mau menggelontorkan duit sama Bunda. Jangan mau cuma diisengin doang… ya… satu-satunya yang harus Bunda ingat, Gustav itu sumber duit bagi kita. Tidak mudah mendapatkan orang seperti dia, Bun.”

“Iya, makanya tadi bunda juga tidak menolak waktu dia bilang ingin dianter ke daerah wisata itu. Karena bunda sadar, kalau gak ada dia, kita masih tinggal di rumah panggung yang sudah mau roboh itu.”

Keesokan paginya, Mr. Gustav benar-benar datang dengan taksi, untuk menjemput Bunda. Dengan senyum di bibirku pula. Dan aku berusaha agar “tidak kampungan”. Kulepaskan kepergian Bunda dengan lambaian tangan yang seolah-olah ikhlas melepaskannya. Padahal batinku sedang bergulat saat itu.

Ada perasaan takut begini dan begitu. Tapi lalu kutindas sendiri. Jangan kampungan… jangan…!

Setelah taksi itu lenyap dari pandangan, aku pun naik ke studioku. Untuk melanjutkan lukisanku yang hampir selesai.

Tapi di lantai atas hatiku malah semakin resah. Kalau sedang resah begini, tak mungkin aku bisa melukis. Bahkan bisa-bisa hancur nanti hasil kerjaku.

Akhirnya aku turun lagi ke bawah.

Sebuah sedan hitam berhenti di depan rumahku. Oh, itu pasti sedan yang sudah kubayar DP-nya kemaren sore.

Memang benar. Yang turun dari sedan itu adalah orang yang menerima DP dariku kemaren.

“Selamat pagi Bang Odi,” ucapnya ketika aku menyambutnya di ambang pintu depan.

“Pagi, “aku mengangguk, “itu mobil yang sudah saya bayar DP-nya kemaren kan?”

“Betul Bang. Kan kemaren saya sudah janji mau mengantarkannya ke sini.”

Lalu orang dealer itu kupersilakan duduk.

“Ini surat jalan sementara saja, sampai STNK dan BPKBnya keluar nanti. Nopolnya juga masih nopol sementara,“kata orang dealer itu sambil menyerahkan selembar surat jalan dari Polda dan remote control mobil itu. Termasuk remote control cadangannya. Karena mobil itu keyless

(tidak menggunakan kunci kontak).

“Kira-kira berapa lama STNK dan BPKBnya keluar?” tanyaku.

“Paling lama juga sebulan sudah keluar. Nanti saya sendiri yang akan mengantarkannya ke sini, berikut nopol aslinya.”

Kubaca surat jalan itu sebentar. Lalu masuk ke dalam kamarku, kamar yang biasa kupakai bersama Bunda. Memang sudah kusediakan uang untuk membayar sedan itu secara cash.

Setelah menerima pembayaran sesuai dengan kewajibanku, orang dealer itu pun memasukkan mobilku ke dalam garasi, lalu pamitan pulang.

Aku bernafas lega. Karena aku sudah memiliki mobil yang pantas untuk dipakai secara pribadi. Sementara mobil pickup buntung itu tetap akan kupakai untuk membeli kanvas atau mengantarkan lukisan-lukisanku ke gallery.

Tapi entah kenapa, aku jadi ingat lagi kepada Bunda. Apakah Bunda tetap “aman” bersama lelaki bule itu?

Entahlah. Tapi aku berharap, semoga tidak terjadi sesuatu pada diri Bunda.

Tiba-tiba pintu pagar dibuka oleh seorang wanita muda cantik, mengenakan blouse abu-abu muda dan spanrok abu-abu tua. Siapa dia itu? Aku tidak mengenalnya.

Lalu kusongsong di ambang pintu depan.

“Permisi… mmm benarkah Bu Ratna tinggal di sini?” tanyanya.

“Betul, “aku mengangguk sambil berpikir jangan-jangan wanita cantik itu mau menagih hutang Bunda. Andai pun Bunda masih punya hutang, aku akan membayar lunas sekarang juga.

Maka kupersilakan wanita cantik itu masuk.

Wanita itu pun masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

“Adek ini yang namanya Odi?” tanyanya.

“Betul. Mbak ini siapa sebenarnya?” aku balik bertanya.

“Saya Devi, Dek.”

“Devi?! “aku mengernyitkan dahi. Berpikir sesaat. Rasanya tak ada teman atau pun famili yang bernama Devi. “Devi yang mana ya?”

“Saya istrinya Pak Tisna… ayah Dek Odi.”

Darahku spontan mendidih. Lalu berdiri, menghampiri perempuan bernama Devi itu. Dan dengan kasar kujambak rambutnya, dengan niat ingin menamparnya, menendangnya dan mengusirnya ke luar seperti waktu Ayah mengusirku dari rumahnya…!

“Jadi kamu yang telah menghancurkan kehidupan ibuku? Jawab! Kamu yang telah membuat Ayah mengusirku seperti menghardik anjing basah?” bentakku sambil mengangkat tanganku untuk menampar pipinya.

Tapi aku membatalkannya. Karena seolah mendengar bisikan gaib di telinga batinku, “Jangan Odi… jangan kau siksa perempuan itu. Dia hanya seorang perempuan. Kau bunuh pun takkan bisa melawan. Lalu kamu masuk penjara dan kamu akan kehilangan segalanya…!

Perempuan itu bercucuran air mata sambil menangis terisak-isak, “Silakan Odi… dibunuh pun saya rela… karena saya bersalah… dan saya datang ke sini untuk minta maaf kepada Bu Ratna. Tapi kalau Odi mau menyiksa saya, mau membunuh saya… silakan… saya takkan melawan… saya sudah pasrah…”

Entah kenapa, hatiku mendadak luluh. Karena aku paling tidak tega melihat wanita menangis.

Tapi dendamku pada Ayah masih berkobar di dalam jiwaku. Dan mendadak aku seperti mendapat ilham untuk membalas dendam kepada Ayah dengan caraku sendiri. Lalu kutarik pergelangan tangan wanita cantik bernama Devi itu ke dalam kamar yang di depan. Kamar yang belum pernah kupakai, karena aku dan Bunda biasa tidur di kamar yang di belakang.

Wanita itu menurut saja. Tak meronta sedikit pun.

Setelah berada di dalam kamar depan itu, kututup dan kukunci pintu kamar itu. Dan aku masih melontarkan katap-kata kasar, “Jadi sekarang kamu sadar bahwa rumah tangga ibuku hancur, sementara aku sendiri diusir oleh ayahku seperti mengusir anjing buduk gara-gara kehadiran pelakor seperti kamu? Di dalam kamar tertutup ini, kalau aku mau…

Tiba-tiba perempuan bernama Devi itu mendekapku dan membenamkan wajahnya di dadaku sambil menangis tersedu-sedu. “Iya… memang aku pantas mau diapain juga olehmu… karena aku ini perempuan jahanam… aku ini pelakor.”

Edannya, ketika ia mendekapku sambil menangis begini, diam-diam kontolku mulai ngaceng…!

Maka tanpa banyak bicara lagi kulepaskan blousenya, spanroknya, behanya dan juga celana dalamnya. Gila… dalam keadaan telanjang bulat begitu, perempuan bernama Devi itu ternyata sangat menggiurkan!

Tapi secantik dan seseksi apa pun perempuan bernama Devi ini, harus kuperlakukan secara tidak terhormat. Karena itu sambil berdiri kuturunkan rits;leting celana panjangku, lalu kusembulkan kontolku yang sudah ngaceng ini dan kuangsurkan padanya sambil membentak, “Ayo emut kontolku sampai ngecrot di dalam mulutmu, lalu telan air maniku semuanya…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu