2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Dalam tempo sebulan saja aku sudah bisa menghasilkan 10 lukisan wanita telanjang dalam bermacam-macam posisi. Dari yang artistik sampai yang erotis.

Sebenarnya masih banyak lagi yang sudah hampir selesai. Tapi yang sudah benar-benar kering yang 10 buah itu.

Aku pun secepatnya menelepon Mr. Gustav, karena aku sudah menyimpan kartu namanya. Lalu dia berjanji akan datang ke kotaku dan pasti menginap di hotel langganannya.

Pada hari yang dijanjikan, aku pun menelepon hotel langganan Mr. Gustav itu. Ternyata dia baru datang, kata operator telepon hotel itu. Lalu aku disambungkan dengan kamar Mr. Gustav.

Begitulah prosesnya. Sampai akhirnya aku membawa kesepuluh lukisan itu ke hotel tempat orang bule itu menginap.

Yang sangat menyenangkan, Mr. Gustav itu sudah pandai berbahasa Indonesia. karena sebelum ditugaskan di Indonesia, dia kursus bahasa Indonesia dulu di negaranya. Jadi aku bisa lancar berkomunikasi dengannya.

Lalu Mr. Gustav menanyakan berapa harga semua lukisan itu? Aku jadi bingung sendiri, harus kutawarkan dengan harga berapa ya?

Akhirnya aku berkata, “Saya ingin dengar dulu berapa harga yang pantas menurut Anda?”

Mr. Gustav menyebutkan harga kesepuluh lukisan itu dalam bentuk US dollar.

Sebenarnya aku terkejut, karena nominal yang disebutnya besar sekali. Kalau dikurs-kan dengan rupiah pada saat itu, nominal yang disebutkan itu cukup untuk membangun sebuah rumah yang besar…!

Tapi aku masih berusaha untuk minta lebih besar lagi. Dengan alasan bahwa aku sudah berjanji akan membagi dua hasil penjualan lukisan-lukisan itu dengan wanita modelnya.

Mr. Gustav bertanya, “Who is the model of your paintings?” (siapa model lukisan-lukisanmu?)

“My own mother*(Ibuku sendiri), “* sahutku.

“Ohya? Apakah ayah kamu tidak marah melihat ibumu dijadikan model wanita telanjang?” tanyanya.

“Ibuku sudah bercerai dengan ayahku,” sahutku.

“Oh begitu ya. Baiklah. Saya akan membayar dua kali lipat. Supaya kamu dan ibumu sama-sama mendapatkan uang yang lumayan besar kan?”

Aku pun langsung menyetujuinya. Tentu saja dengan hati melonjak-lonjak girang, karena tidak menyangka akan mendapatkan uang sedemikian besarnya.

Mr. Gustav segera menyerahkan pembayaran lukisan-lukisan itu secara cash, dalam bentuk dollar.

Dia juga memberitahu, bahwa kalau aku menjual lagi lukisan-lukisanku padanya, harganya sudah dipatok seperti yang sudah dibayarnya itu. Jadi kalau aku membawa 20 lukisan, maka ia akan membayarnya dua kali lipat pembayaran 10 lukisan itu.

Aku pun menytakan setuju. Dan berjanji akan menyiapkan lukisan-lukisan baru untuknya. Sementara Mr. Gustav memberikan saran tentang lukisan-lukisan yang harus kulukis selanjutnya. Dia pun meminta agar lain kali lukisan-lukisan yang akan dijual padanya harus dalam kedadaan benar-benar kering. Karena lukisan-lukisan itu harus dilepaskan dari spanramnya, kemudian digulung dan dibungkus secara rapi.

Uang dollar dari Mr. Gustav itu sangat banyak. Sehingga aku minta izin untuk membeli tas dulu, supaya aman membawanya.

Kebetulan di hotel itu ada tokonya, yang mmenjual pakaian dan tas juga. Setelah membeloi tas yang kupikir cukup untuk membawa uang dollar itu, aku memasukkan uang dollar dari Mr. Gustav ke dalam tas itu.

Untung orang bule itu membayar dengan uang dollar. Kalau pakai rupiah, wow… bisa semobil penuh dengan uang rupiah…!

Setibanya di rumah, aku disambut oleh Bunda dengan pertanyaan, “Kok bawa tas segala? Mau ke mana?”

“Sttt… tas ini penuh dengan uang dollar, Bunda,” kataku sambil melangkah ke dalam kamar. Lalu kubuka tas itu.

Bunda terbelalak dan mengambil segepok dollar. Segepok pecahan 100 US dollar itu berarti 10.000 US dollar. Kalau kursnya Rp 10.000 per dollar saja, maka segepok dollar itu sama dengan 100 juta rupiah!

Setahuku, pada saat itu kurs 1 US dollar = 11 ribu rupiah lebih*(pada saat tulisan ini dibuat, 1 US dollar = 14.000 rupiah lebih).*

“Waaaah… kalau dirupiahkan… duit ini lebih dari semilyar ya?” ucap Bunda setengah berbisik.

“Iya, sepuluh gepok aja sudah semilyar lebih,” sahutku, “makanya aku harus rajin melukis lagi Bun. Karena orang bule itu akan tetap membeli lukisan-lukisan wanita telanjang seberapa banyak pun, untuk dibawa ke negaranya.”

Bunda mencium pipiku, lalu berkata, “Kamu bakal jadi orang kaya Od.”

“Amiiin…”

“Terus uang ini mau diapain?”

“Menurut Bunda harus diapain?”

“Mmm… katanya tanah di sebelah itu mau dibangun rumah. Pakai bangun rumah aja dulu. Kalau ada lebihnya, baru dipakai kebutuhan lainnya.”

“Iya Bunda. Tapi duit itu kan punya Bunda setengahnya. Kalau Bunda mau, buat beli mobil mahal juga bisa tuh.”

“Ah, gak usahlah. Jadiin aja rumahnya ddulu. Biar kita jangan tinggal di rumah panggung begini. Nanti kalau ada sisanya, baru dipakai untuk kebutuhan lain.”

“Barangkali Bunda mau beli pakaian yang pantas, atau perhiasan kan bisa pakai duit itu.”

“Mending bangun rumah dulu, Od. Membangun rumah itu gak bisa ditaksir-taksir sebelumnya. Yang disangka hanya bakal habis seratus juta, jadinya malah bisa lebih dari duaratus juta. Karena banyak yang tadinya belum terpikirkan, setelah mulai membangun tiba-tiba banyak yang diinginkan.”

“Di tanah yang kosong itu bisa dibangun rumah besar Bun. Kalau cukup sih duitnya, aku ingin membangun rumah dua lantai. Di lantai atas, khusus untuk melukis aja.”

“Iya. Semoga cita-citamu itu terkabul. “ “Mmmm… begini aja. Aku akan tukarkan dollar itu ke money changer, supaya dijadikan rupiah. Tapi seperempatnya saja dulu. Sisanya kita simpan aja. Kalau sudah butuh, baru kita tukarkan ke rupiah.”

“Itu betul,” sahut Bunda, “Dollar kan suka naik terus. Mendingan dollarnya ditukar pada waktu kursnya sedang tinggi.”

“Nah… berarti Bunda sependapat denganku. Ayo sekarang kita tukarkan sebagian uang dollar itu ke money changer Bun.”

“Ayo… nanti bunda beliin kimono ya. Udah lama kepengen punya kimono nggak kebeli-beli.”

“Iya, kalau perlu beli deh selusin kimono. Biar Bunda makin seksi.”

“Bunda juga pengen punya handphone.”

“Oh iya… tadi orang bule itu bilang, aku harus punya hape, biar gampang dihubungi. Jadi nanti kita beli hanphone yang bagus dua buah. Satu buat Bunda, satu lagi buatkiu sendiri.”

Beberapa saat kemudian aku dan Bunda sudah berada di dalam angkot yang menuju ke pusat kota. Pada waktu naikangkot inilah aku berpikir ingin punya kendaraan roda empat. Tak usah yang bagus-bagus. Yang penting bisa dipakai untuk mengangkut lukisan dan belanja peralatan untuk melukis, seperti kanvas, cat minyak, kuas dan sebagainya.

Setelah menukarkan dollar di money changer, kami berjalan kaki menuju toko handphone yang letaknya tidak jauh dari money changer itu. Kami beli handphone yang sama dua buah. Satu untuk Bunda yang berwarna merah, satu lagi untukku yang berwarna hitam.

Lalu kami menuju toko pakaian untuk membeli kimono Bunda.

Aku pun mampir di toko buku, untuk membeli majalah yang berisi tentang design rumah-rumah, untuk dijadikan pedoman waktu membangun rumah nanti.

“Sebenarnya aku ingin beli mobil yang ada bak di belakangnya Bun,” kataku kepada Bunda waktu sedang makan di warung soto.

“Sekjarang udah keburu sore. Mendingan besok aja pagi-pagi, biar leluasa memilih mobilnya.”

“Aku sih gak kepengen beli mobil yuang bagus-bagus. Cuma ingin mobil yang bisa dipakai mengangkut lukisan dan bahan-bahan yang diperlukan untuk melukis. Tapi sekali-sekali bisa kita pakai juga kalau mau ke kota seperti sekarang ini.”

“Iya. Bunda mendukung tuh. Kalau beli mobil bagus, bisa gempar nanti orang-orang. Lalu timbul saja gosip yang gak enak di telinga kita.”

“Banyak sih yang kubutuhkan. Tapi selama ini kupendam aja di dalam hati. Ohya… sebelum pulang kita mampir dulu ke toko laptop ya.”

Bunda mengangguk. Bunda memang tak pernah merintangiku kalau sudah punya keinginan untuk memiliki sesuatu.

Dan di warung soto itu aku memperhatikan sesuatu.

Bahwa Bunda itu cantik. Dibawa ke kota juga tidak memalukan. Lalu kubisiki telinganya, “Aku bangga punya ibu secantik Bunda. Meski sedang berada di tengah kota begini pun, Bunda tetap tampak paling cemerlang di mataku.”

Bunda tersenyum. Kelihatan senang. Tapi lalu berkata lirih, “Kalau bunda ini cantik, kenapa ayahmu meninggalkan bunda?”

“Aaah… biarin aja Bun. Jangan pikirkan Ayah lagi,” sahutku ketus, “Lagian Ayah kan sudah sering kita balas.”

Setelah makan di warung soto itu, aku mengunjungi sebuah toko laptop yang paling lengkap di kotaku. Memang kalau dipikir-pikir sih aku ini sudah ketinggalan oleh zaman, akibat kemiskinan. Misalnya saja, sopir-sopir angkot saja sudah pada punya handphone. Tapi baru hari itu aku bisa membelinya.

Laptop pun baru hari itu aku bisa memilikinya.

Tapi gak apa-apalah. Segala sesuatu akan indah pada waktunya, kata oirang-orang. Siapa tahu kelak aku akan jadi orang kaya seperti yang Bunda sebut berkali-kali di rumahku yang cuma rumah panggung itu.

Setibanya di rumah, Bunda tampak senang sekali bisa memiliki handphone, yang mahal pula harganya. Bunda juga senang sekali karena sudah punya tiga helai kimono yang dibeli dari kota tadi.

Ketika sedang mencoba kimono biru tuanya, Bunda mematut-matut diri di depan cermin besar.

“Bagaimana? Apakah bunda pantes memakai kimono ini?” tanyanya sambil bertolak pinggang di depanku.

Aku memandang Bunda dari ujung kaki sampai kepalanya. Lalu kupeluk pinggangnya sambil berkata, “Di mataku Bunda ini cantik sekali. Dalam kimono ini pun Bunda tetap kelihatan cantik. Mungkin selama ini karena Bunda hanya mengenakan pakaian-pakaian yang lusuh terus, sehingga kecantikan Bunda tidak kelihatan, kecuali kalau sedang telanjang…

“Tapi… “Bunda seperti mau mengatakan sesuatu.

Tapi cepat kusergah, “Jangan ngomong soal Ayah lagi, Bun. Apakah Bunda pikir aku juga gak sakit hati diusir dari rumah seperti mengusir anjing buduk? Sudahlah, lupakan saja Ayah. Aku akan berusaha untuk membahagiakan Bunda lahir batin.”

Lalu kucium pipi Bunda yang terasa hangat.

“Sekarang masih mau melukis?” tanya Bunda.

“Sudah keburu malam Bun. Melukis malamp-malam itu suka menipu mataku sendiri. Terasa sudah bagus, tapi lalu kecewa keesokan siangnya.”

Dan Bunda pun membisiki telingaku, “Kalau begitu mendingan ngewe aja yuk… bunda lagi horny nih…”

“Iya Bun. Aku juga lagi kepengen. Entah kenapa waktu di kota tadi, aku merasa cemburu melihat banyak lelaki yang memperhatikan Bunda. Dan dari perasaan cemburu itu aku jadi kepengen ngentot Bunda. “Kulepaskan pakaianku sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat. Lalu merebahkan diri di atas tempat tidur, sambil menunggu Bunda melepaskan kimono, beha dan celana dalamnya.

Lalu Bunda menghimpitku sambil berkata perlahan, “Pemanasan dulu seperti biasa ya. Jangan langsung dimasukin…”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu