2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Bunda tahu bahwa aku sudah terbangun. Namun tanpa melontarkan kata-kata sepatah pun Bunda beraksi terus, mengayun memeknya naik turun sambil membesot-besot kontol ngacengku.

Namun hanya 20 menitan Bunda beraksi dalam posisi WOT itu. Akhirnya Bunda ambruk ke atas dadaku, dengan tubuh keringatan.

Lalu Bunda berkata setengah berbisik, “Bunda udah lepas, Sayang… ayo lanjutkan… kamu di atas aja… Bunda udah capek.”

Lalu dengan hati-hati kami menggulingkan badan dengan kontol yang tetap berada di dalam liang memek Bunda.

Kini Bunda menelentang. Aku mengentotnya sambil berlutut, sementara kedua paha Bunda berada di atas kedua pahaku. Ini posisi yang paling kusukai, karena aku bisa membenamkan kontolku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang memek Bunda.

Terkadang lipatan kedua lutut Bunda berada di atas bahuku, sehingga aku semakin asyik mengentotnya.

Dan pada saat itu pula terawanganku berkelebatan. Terbayang lagi seperti apa garangnya Gustav menyetubuhi Bunda berulang kali di kamar depan itu…!

Namun bayangan itu justru membuatku jadi garang. Dan entotanku pun jadi habis-habisan, seolah ingin menjebolkan liang memek Bunda…!

Ya… kudorong kedua paha Bunda sampai kedua lututnya mendesak sepasang toketnya, sementara puncak kontolku terus-terusan menabrak dasar liang memek Bunda.

Ini membuat Bunda merintih-rintih histeris, “Ooooh… Odiii… aaaah.. aaaa… aaaaahh… Oooodiiii… adudududuuuuuuh… Bunda mau lepas lagi ni Oooodiiii… oooooh… ooo… oooooh… Odddddddiiii…”

Lalu sepasang kaki bunda terasa jadi kejang… kejang sekali…!

Pasti Bunda sedang mencapai orgasmenya yang kedua. Tapi aku tak peduli lagi. Karena aku seperti sedang kesetanan… mengentot memek Bunda dengan gerakan yang gila-gilaan…!

Tak ubahnya gerakan hardcore seperti di film-film bokep, kontolku “menghajar” memek Bunda tanpa mengenal ampun.

Bahkan ketika tiba saatnya hendak ejakulasi pun, aku tidak menghentikan entotanku. Dan ketika moncong kontolku menembak-nembakkan air mani pun, aku masih mengentot Bunda tanpa menghentikannya dulu.

Setelah air maniku habis, barulah kucabut kontolku, lalu menghempaskan diri ke samping Bunda yang tampak seperti letih sekali.

Agak lama aku terkapar di samping Bunda.

Sampai akhirnya jiwaku terasa normal kembali. Bunda pun sudah mencuci memeknya di kamar mandi, lalu berbaring di sampingku.

“Bunda gak kepengen nyobain bersetubuh di alam bebas?”

“Iiih, amit-amit… nggak mau. Itu sih kerjaan gembel, yang gak punya rumah, gak punya tempat tidur, lalu ngewe di luar. Sekalinya kepergok orang lain, pasti heboh.”

“Tapi di film-film bokep, orang bule sering melakukannya. Ada yang di hutan, ada yang di pantai dan sebagainya.”

“Biarin aja mereka seperti itu. Kita sih nggak usah ikut-ikutan. Biar bagaimana pun juga ngewe itu paling enak ya di dalam kamar tertutup. Di atas kasur empuk dan bersih dari debu.”

“Tapi Bunda kan pernah dientot Gustav di atas meja tulisku kan?”

Bunda tersentak, “Kamu ngintip waktu itu ya?” Bunda mencubit pipiku.

Aku tidak menjawab. Bahkan mengalihkan pembicaraan ke topik lain, “Kalau Bunda sudah menikah dengan Gustav, kita takkan bisa hubungan seks lagi ya?”

“Ya iyalah. Kamu juga kalau sudah nikah kan takkan rela kalau melihat istrimu digauli lelaki lain.”

“Hmh… “aku menghela nafas.

“Rencanamu kapan menikahi Maya itu?”

“Dua bulan lagi,” sahutku, “Lalu rencana Bunda dengan Gustav kapan?”

“Nunggu rumah bunda selesai aja.”

“Rumah itu kan dibangun dengan uang pemberian Edmond.”

“Biarin aja. Kalau Edmond gak rela, balikin aja duitnya semua. Masih banyak kan sisanya?”

“Masih. Dana untuk membeli dan membangun rumah itu tidak sampai seratusribu dollar. Ohya… dana sisanya nanti mau diapain?”

“Simpan aja sama kamu,” sahut Bunda, “Kamu kan ingin membangun gallery besar-besaran.”

“Pikiranku berubah. Aku mau bisnis yang gak usah pakai otak.”

“Bisnis apa yang gak pakai otak?”

“Mau bikin kos-kosan di beberapa titik.”

“Ogitu?! Hihihi… anakku ini cerdas juga cara berpikirnya.”

“Kos-kosan gak perlu kecerdasan Bun. Justru aku ingin punya bisnis yang nggak usah terlalu banak berpikir. Karena otak dan mataku harus tetap konsentrasi ke lukisan-lukisanku.”

“Iya. Bunda setuju. Lagian kalau bisnis rumah kos takkan bikin heboh.”

“Betul. Kalau bikin gallery besar-besaran, pasti jadi sorotan dari sana-sini. Termasuk para awak media. Pasti banyak pewrtanyaan yang sulit dijawab nanti. Kalau bisnis rumah kos sih orang kampung juga banyak yang bikin. Usahanya tenang dan gak usah banyak mikir. Gak dikejar-kejar pajak pula.”

“Tapi di satu titik, rumah kosnya jangan yang terlalu mentereng. Kalau menyolok, pasti dikejar pajak juga.”

“Iya… rumah kos yang sederhana aja. Yang penting titiknya banyak. Di sekitar pabrik, di sekitar kampus dan sebagainya.”

Tiba-tiba handphoneku berdering. Ternyata dari Tante Kayla, pemilik gallery yang biasa memajang lukisan-lukisanku. Kemudian :

“Hallo Tante… ada kabar baik nih?”

“Iya, ada dua kabar baik buat Odi. Yang pertama, lukisan gadis Bali dan mojang Priangan sudah habis semua.”

“Ohya?! Bagus lah. Terus kabar baik keduanya apa, Tante?”

“Ada cewek bule yang ingin dilukis untuk koleksi pribadinya. Dia itu anak konglomerat dari Frankfurt.”

“Frankfurt Jerman maksudnya?”

“Ya iyalah… emangnya ada nama Frankfurt di negara lain?”

“Tapi kalau dia mau dilukis, berarti dia harus datang ke studioku tiap hari dong.”

“Justru dia ingin dilukis di villanya aja, di Puncak. Rundingan aja langsung sama diua deh. Besok sore dia mau datang ke gallery lagi.”

“Ya udah. Besok sore aku ke gallery.”

“Iya, sekalian ngambil duit penjualan lukisan-lukisan Odi itu.”

“Siap Tante. Besok jam tiga sore aku sudah merapat kle Gallery.”

Lalu hubungan seluler dengan Tante Kayla ditutup.

“Telepon dari siapa?” tanya Bunda.

“Dari gallery,” sahutku, “Lukisan-lukisan lamaku sudah terjual semua.”

“Lukisan-lukisan yang kamu buat waktu masih tinggal di rumah panggung itu?’

“Iya. Duitnya pun takkan seberapa. Tapi duitnya bisa dijadikan kenang-kenangan, sebagai hasil karyaku waktu masih miskin.”

“Ah, kamu gak boleh bilang miskin. Pada saat itu kamu kan sudah mampu membeli rumah panggung dan tanahnya yang dipakai bangunan rumah ini. Orang miskin mana mampu beli rumah dan tanah segini luasnya.”

Sorenya, beberapa menit sebelum jam 15.00 sedan hitamku sudah kuparkir di depan gallery itu.

Tante Kayla menyambutku dengan senyum manis. Manis sekali.

Senyum yang membuatku heran, karena tidak seperti biasanya dia menyambutku dengan senyum yang “mengundang” seperti itu.

“Cepat sekali datangnya,” kata istri pemilik gallery itu, “Miss Magda baru akan datang jam enam nanti. Tiga jam lagi.”

“Ohya?! Gak apa-apa. Untuk menjalankan profesi kan harus ulet dan sabar,” sahutku menghibur diriku sendiri.

Tiba-tiba Tante Kayla memegang kedua pergelangan tanganku. Menatapku dan bertanya perlahan, “Kalau rundingannya sukses nanti… apa bonusnya untukku?”

“Bonus?! Tumben Tante minta bonus.”

Tante Kayla malah mendekatkan mulutnya ke telingaku, “Bonusnya bukan duit.”

Merasakan sikap Tante Kayla yang lain dari biasanya itu, membuatku kuatir juga. Takut ketahuan suaminya.

“Oom Kusno ke mana?”

“Ke Bangkok. Baru tadi pagi terbangnya juga.”

“Mau lama dia di Bangkok?”

“Semingguan,” sahutnya sambil mempererat pegangannya. “Odi merasa gak kalau aku sering merhatiin Odi?”

“Mmm… aku gak pernah merhatiin istri orang yang kuanggap sangat baik padaku,” sahutku. Bayangan Oom Kusno yang begitu baiknya padaku pun mulai tergambar di terawanganku.

“Masa gak pernah merhatikan sama sekali? Aku mau jujur aja ya… sudah lama aku merasa suka sama Odi… suka sekali…” bisik Tante Kayla yang dilanjutkan dengan kecupannya di pipiku.

Batinku terhenyak. Siapa sih yang tidak tergiur pada wanita 30 tahunan ini? DIa cantik, bertubuh tinggi semampai dan berkulit putih sekali pula (maklum dia orang Indo).

“Terus bonus yang Tante inginkan apa?” tanyaku sambil mencoba untuk menguatkan diri.

“Aku lagi horny banget Od,” sahut Tante Kayla hampir tak terdengar, “Aku akan berterima kasih sekali sama Odi kalau mau meredakan amukan yang sedang kurasakan ini.”

Aku tidak bodoh. Tentu saja aku mengerti apa sebenarnya yang Tante Kayla inginkan. Dan memang aku juga sadar betul bahwa sejak lama pandangan Tante Kayla di belakang suaminya selalu bernada “mengundang”. Tadi aku menjawab tidak dengan sejujurnya. Seolah-olah tidak pernah memperhatikan sikap wanita Indo yang lahir besar di Nederland itu.

Sedangkan aku memang pada dasarnya lemah waktu menghadapi godaan seperti ini. Mungkin berdasarkan perasaan ingin menyenangkan hati siapa pun yang punya hubungan baik denganku, akhirnya aku menjawab, “Berarti kita harus cek in ke hotel dong.”

“Ngapain cek in ke hotel segala? Di belakang kan ada kamar,” ucapnya sambil menarik tanganku, “Yuk kita lihat kondisi kamarnya… nggak kalah sama kamar di hotel berbintang kok.”

Yang aku tahu, Oom Kusno dan Tante Kayla menjadikan gallery itu sebagai tempat usahanya semata. Tiap pagi gallery itu dibuka, lalu ditutup pada jam delapan malam. Karena itu aku tidak tahu bahwa di bagian belakang gallery itu ada kamar segala… kamar yang sekarang diperlihatkan oleh Tante Kayla… kamar yang memang tak kalah kalau dibandingkan dengan kamar hotel bintang lima sekali pun…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu