2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Dengan penuh gairah kuayun lagi kontolku, bermaju-mundur di dalam jepitan liang kemaluan Magda. Ini adalah persetubuhan yang sangat mengesankan. Karena Magda tidak merengek-rengek dan meraung-raung seperti orang kerasukan. Magda hanya berdesah-desah dengan ekspresi serius. Terkadang matanya terpejam, terkadang menatapku dengan sorot cinta.

O, adakah persetubuhan yang seindah ini?

Mungkin karena tadinya aku sangat menghormati Magda sebagai calon sumber duitku. Karena aku berprinsip “Pembeli itu Raja”. Tapi sekarang, aku bisa menikmati padat kenyalnya sepasang toket bule berukuran ideal ini, tidak kecil namun tidak terlalu gede juga. Bisa menikmati bibirnya yang sensual, matanya yang bening kebiru-biruan, hidungnya yang mancung meruncing.

Dan ketika ayunan kontolku mulai kupercepat, Magda seolah ingin berpacu menuju puncak kenikmatan itu.

Lalu kami berpelukan dengan eratnya. Berciuman dengan mesranya.

Ternyata kami sudah sama-sama tiba di puncak kenikmatan kami. Bahwa ketika spermaku berlompatan dari moncong meriam pusakaku, liang kewanitaan Magda pun tengah berkedut-kedut di puncak orgasmenya… crotttt… croooot… crot… croooot… crooot… crotttt… crot… crooooooottttt…!

Rasanya air mani yang terletuskan banyak sekali. Maklum, selama dua bulan “tersekap” di dalam alat vitalku. Sekalinya meletus, di dalam memek perawan pula.

Ya… ternyata Magda masih perawan. Ketika kucabut kontolku dari dalam vaginanya, ternyata ada cipratan darah di kain seprai putih bersih itu.

Tadinya kusangka Magda seperti cewek-cewwek bule pada umumnya. Yang sudah melepaskan virginitasnya sejak masih anak tanggung. Dan menganggap keperawanan bukan hal penting. Tapi ternyata Magda tidak seperti mereka. Meski pun hidup di benua yang moralnya sudah kebablasan, Magda masih mampu mempertahankan diri.

Dan aku sangat menghormati Magda. Mencium bibir Magda dengan mesra, lalu berkata, “Ternyata Magda masih suci sebelum kita bersetubuh tadi. Aku sangat menghormatimu, Sayang. Sekarang lah saatnya aku mengatakan… aku mencintaimu, Magda…”

Tampaknya Magda sangat bahagia mendengar pernyataanku. Ia mencium bibirku. Lalu berkata lirih, “Seperti yang kubilang tadi, di Jerman aku tidak bisa bergaul seenaknya. Ke mana pun aku pergi, selalu dikawal dengan ketatnya. Maka aku pun bertekad hanya akan menyerahkan keperawananku pada orang yang sangat kucintai…

“Terima kasih, mein Liebhaber…” ucapku mesra.

“Heee… kamu sudah mulai bisa berbahasa Jerman…! “Magda mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Lalu mencium dahi dan ujung hidungku (yang kebetulan tidak pesek).

“Hehehe… baru sepatah-dua patah kata. Masih sangat awam…”

“Di Jerman banyak mahasiswa dari Indonesia yang sudah pada fasih berbahasa jerman lho.”

“Ya kalau hidup di tengah lingkungan orang Jerman, tentu saja mereka cepat fasih berbahasa Jerman.”

“Ohya… hari ini tak usah melukis dulu ya. Kita libur saja…”

“Mau liburan di villa ini saja atau mau jalan-jalan sambil refreshing?”

“Kalau kamu setuju sih, aku ingin bertemu dengan ibumu.”

“Boleh. Tapi pakai mobilku saja ya.”

“Mmm… mobilmu tinggalin di sini aja. Kalau aku pergi kan harus dikawal minimal oleh dua orang petugas security itu.”

Akhirnya aku setuju. Akan berangkat menuju rumahku dengan menggunakan limousine Magda.

Beberapa saat kemudian aku dan Magda sudah berada di dalam limousine berwarna hitam itu (sewarna dengan sedanku), yang dikemudikan oleh salah seorang petugas security. Petugas yang seorang lagi duduk di sampingnya. Sementara aku dan Magda duduk di belakang… sebagaimana lazimnya kalau boss duduk di dalam limousine-nya.

Saat itu Magda mengenakan gaun putih polos, yang terbuat dari bahan sutera mahal. Aku sempat terlongong menyaksikan Magda mengenakan gaun sutera putih itu. Karena dia tampak teramat sangat cantik… Membuatku serasa bermimpi. Bahkan bertanya-tanya di dalam hati, “Apakah Magda tidak salah pilih? Mungkinkah aku akan benar-benar memiliki gadis bule yang sangat cantik dan kaya raya begitu?

Limousine itu kuarahkan menuju rumah baru Bunda. Karena aku yakin Bunda sedang sibuk memberesi rumah barunya itu.

Benar saja. Ketika aku dan Magda turun dari limousine hitam itu, Bunda dan Gustav muncul di ambang pintu depan.

Bunda terheran-heran menyaksikanku membawa gadis bule jelita ini. Sementara Gustav malah terkejut dan tampak sangat hormat kepada Magda sambil berkata, “Fräulein Magdalena?!”

Magda mengangguk sambil tersenyum. Dan berkata, “Kita pakai bahasa Indonesia saja ya. Tentang statusku, silakan tanya Odi saja.”

Di ruang tamu rumah baru Bunda, aku berkata singkat kepada Gustav, “Magda ini calon isteriku.”

Gustav terperanjat lagi, “Wow! Fräulein Magdalena ini calon isterimu?” tanyanya.

Magda yang menyahut, “Ya, aku ini calon isteri Odi.”

Kemudian Magda berkata padaku, “Herr Gustav ini pengusaha dari Jerman juga.”

Lalu Gustav yang bicara, “Fräulein Magdalena ini puteri salah seorang konglomerat dari Jerman dan tinggal di kota Frankfurt. Tentu saja para pengusaha dari Jerman mengenal siapa Fräulein Magdalena ini.”

Sementara itu, Bunda sejak tadi cuma menatapku, menatap Magda, kemudian menatapku lagi… tanpa melontarkan kata-kata sepatah pun.

Sedangkan Gustav, tampak seperti takut-takut berhadapan dengan Magda. Gustav kelihatan sangat menghormati Magda. Mungkin karena ayah Magda pengusaha yang sangat disegani di negaranya.

“Bunda,” kataku, “Magda ini berkali-kali minta dipertemukan dengan Bunda. Tapi baru sekarang aku bisa mengajaknya ke sini.”

Magda bangkit dari sofanya, lalu pindah ke samping Bunda. Lalu memegang tangan Bunda sambil menoleh padaku, “Aku harus manggil apa sama ibumu, Honey?”

“Panggil Bunda aja,” sahutku, “Dia kan calon ibu mertuamu.”

Bunda cuma tersenyum-senyum sambil menepuk-nepuk tangan Magda yang sedang memegang tangan kanan Bunda.

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu