2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

Bunda dan Wanita-Wanitaku- true story

Sebenarnya aku mulai terangsang melihat Ratih dalam keadaan sudah telanjang seperti itu. Tapi aku berlagak seorang dokter profesional yang sudah biasa melihat pasiennya telanjang.

Lalu aku pun mulai membuat sketsa, menyalin dari posisi Ratih ke atas kanvas kosongku. Kebetulan anatomi Ratih termasuk mudah untuk dilukis. Sehingga aku yakin bakalan banyak lukisanku yang mengambil Ratih sebagai modelnya.

Sekitar dua jam aku membuat sketsa yang mengambil Ratih sebagai modelku. Tadinya aku mau membuat sketsa kedua, tapi tiba-tiba handphoneku berdering.

Call dari Gustav!

“Hallo Mister Gustav.”

“Apakah ibu Odi ada di rumah? Tadi saya telepon tidak diangkat terus.”

“Earlier my mother went to her sister’s house. But now it’s at home. Do I need to call her?” “Tadi ibuku pergi ke rumah saudaranya. Tapi sekarang adav di rumah. Apakah aku perlu memanggilnya?”

“No no no. Tolong sampaikan saja nanti malam saya mau datang ke rumah. Okay?”

“OK. I will tell my mother.”

“Thank you.”

Setelah hubungan seluler ditutup, aku menghampiri Ratih. “Kita istirahat dulu. Pacar Bunda mau apel,” kataku setengah berbisik.

“Pacar bundamu?!” Ratih tampak heran, “Kok barusan kedengarannya pake bahasa Inggeris segala?!”

“Dia memang orang bule. Nanti kalau dia sudah datang, siap-siap aja kita mngintip. Tapi jangan bilang sama Bunda ya. Pasti seru kalau orang bule apel sih.”

Ratih mengangguk-angguk sambil tersenyum.

Lalu mengenakan pakaiannya yang ditumpukkan di atas sofa.

Aku pun berbisik lagi ke telinganya, “Nanti Bunda pacarannya di dalam kamar depan. Bunda tidak tau kalau aku sudah memasang beberapa camera cctv di kamar itu. Lalu kita ngintipnya dari gudang. karena monitornya ada di gudang.”

“Ohya? Asyik dong…” ucap adik Bunda yang satu ayah beda ibu itu.

“Aku nggak tau apakah mereka bakal melakukan sampai bersetubuh atau cuma ciuman doang. Tapi biasanya kalau bule sudah berduaan di dalam kamar, pasti ujung-ujungnya bersetubuh juga,” kataku perlahan.

“Tapi… ngintip lewat cctv gitu… kita bisa terangsang Odi. Kalau aku horny gimana?” tanya Ratih seperti kebingungan.

Kujawab dengan bisikan di dekat telinganya, “Kalau Ratih horny, kan ada aku. Santai aja.”

“Iya… iya…”

“Tunggu sebentar ya… aku mau ngasih tau Bunda dulu kalau orang bule itu mau datang,” ucapku sambil menepuk bokong ratih.

Lalu aku berjalan menuruni tangga. Mau memberitahu Bunda kalau Gustav akan datang. Bi Marni tampak sedang siap-siap mau pulang, karena biasanya begitu. Datang pagi pulang sebelum magrib.

“Bunda ke mana Bi?” tanyaku.

“Setahu saya sih tadi masuk ke kamar. Belum keluar lagi sampai sekarang. Mungkin sedang tidur sore Den,” sahut Bi Marni.

Kemudian aku membuka pintu kamar belakang itu. Ternyata benar. Bunda sedang tidur sambil memeluk bantal guling.

Kupeluk Bunda dari belakang sambil berkata, “Bunda… Gustav mau apel tuh. Sebentar lagi dia datang.”

Bunda tersentak bangun sambil menggesek-gesek matanya, “Masa sih?!”

“Iya. Tadi siang dia nelepon terus sama Bunda, tapi gak nyambung-nyambung terus katanya.”

“Oh iya. Tadi siang waktu jemput Ratih, batre hape bunda habis. Tuh sekarang lagi dicas hapenya juga.”

“Ohya… nanti terima Gustav di kamar depan aja Bun. Supaya dia merasa leluasa. Kalau di ruang tamu, p[asti dia merasa rikuh, takut kelihatan sama aku dan sebagainya. Bebas aja di kamar depan. kan sudah ada sofa dan meja kecil segala di situ.”

“Iya… iya… tapi bunda ini kan perempuan. Sayang. Perempuan itu laksana batu karang di tepi pantai. Seteguh apa pun kalau diterjang ombak terus-terusan, pasti akan luluh juga.”

“Maksud Bunda, takut Gustav ngajak hubungan seks gitu?”

“Iya. Memangnyha kamu rela kalau bunda dibegituin sama dia?”

“Sebenarnya aku pasti cemburu juga Bun. Tapi kalau sama Gustav, aku rela deh. Dia kan sumber duit kita. Kalau Gustav dikecewakan oleh kita, lantas dia merajuk dan tidak mau beli lagi lukisan-lukisanku, bagaimana?”

“Iya sih. Makanya bunda ngajak Ratih tinggal di sini dan menjadi pegganti bunda dulu… ya maksudnya sih gitu. Biar kamu jangan terlalu sedih.”

“Nggak lah Bun. Apa yang mau terjadi, terjadilah… yang penting Gustav harus semakin dekat hubungannya dengan kita.”

“Iya… iya… bunda mau mandi dulu ya,” kata Bunda sambil turun dari tempat tidur. Lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

Aku pun keluar dari kamar belakang. Kulihat Bi Marni sudah mau pulang. Kukeluarkan beberapa helaui duit seratus ribuan dan kuberikan padanya, “Sttt… ini buat mengurangi beban Bibi sehari-hari,” kataku perloahan, sambil menyelipkan uang itu ke balik behanya.

“Duh terima kasih Den… ohya, bibi pamit mau pulang ya Den.”

“Iya, Bi.”

Setelah Bi Marni berlalu, aku masuk ke dalam gudang. Lalu kuaktifkan monitor cctv yang kusembunyikan di dalam sebuah lemari kosong itu. Kemudian aku keluar lagi dan melangkah ke lantai atas lagi.

Ternyata Ratih juga sedang mandi di kamar yang sudah ditempatinya itu.

Pintu kamar mandi di dalam kamar itu tidak dikunci. Aku pun membukanya sambil berkata, “Memeknya cuci yang bersih ya Tih.”

“Aaaw! Odi bikin aku kaget aja. Sana ah… aku lagi mandi kan ini… bukan sedang menjadi model lukisanmu. “.

“Tadi lebih dari dua jam aku melihat Ratih telanjang. Jadi apa bedanya dengan sekarang? Aku ingin meloihat Ratih mandi. SIapa tau bisa mendatangkan ilham… iya… aku akan melukis Ratih sedang mandi nanti…”

“Hihihi… ya udah terserah kamu aja deh,” sahut Ratih sambil melanjutkan mandinya di bawah pancaran air shower.

“Kalau mau pakai air hangat, putar gerakkan kerannya ke arah bulatan merah itu Tih,” kataku di ambang pintu kamar mandi.

“Iya,” sahutnya, “Aku lebih suka mandi pakai air dingin gini. Biar seger badannya. Eh.. pacar bundamu udah datang?”

“Belum. Tadi juga janjinya mau datang malam. Ya mungkin setengah jam lagilah dia datang. Bundanya juga lagi mandi.”

Ratih sudah selesai mandinya. Lalu menghanduki tubuhnya sampai kering. Dan melilitkan handuk itu ke badannya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu mobil ditutupkan. Bluuugggg!

Aku bergegas menuju jendela kecil yang bisa melihat ke bawah sana. Memang benar. Gustav turun dari taksi di depan pintu pagar rumahku. “Tih… Ratih… lihat tuh… pacar Bunda sudah datang…!”

“Mana?” sahut ratih sambil bergegas menghampiriku yang sedang melihat keadaan di bawah. Tampak Gustav sedang berbicara dengan sopir taksi, lalu membuka pintu pagar dan masuk ke dalam pekarangan rumahku.

“Masih muda juga pacar bundamu ya?”

“Ya, sekitar tigapuluh tahunan gitulah. Ganteng gak?” tanyaku.

“Kalau gantengnya sih gantengan kamu…” sahut Ratih sambil mencolek pipiku.

“Ohya?! Ratih juga cantik kok. Makanya aku senang punya model secantik tanteku yang usianya lebih muda dariku ini,” sahutku sambil mencolek pipinya juga.

Ratih menatapku dengan senyum manis. Maaak… rasanya aku sangat beruntung punya tante yang lebih muda dariku itu… cantik pula orangnya.

Lalu Ratih mengenakan kimononya yang berwarna pink. Sepintas pun aku tahu bahwa ia tgidak megenakan beha mau pun celana dalam di balik kimono pink itu. Tapi aku pura-pura tidak tahu saja. Bahkan senang, karena aku sudah punya rencana yang masih kupendam di dalam hati.

Hanya aku sendiri yang tahu. Bahwa kalau aku melihat Bunda dan Gustav dari monitor cctv, lantas mereka melakukan “sesuatu”, pastilah aku cemburu dan ingin melakukan hal yang sama. Lalu kenapa aku tidak memanfaatkan Ratih yang lebih muda dan lebih cantik daripada Bunda ini? Bukankah tadi Bunda sudah berkata, “…

Kalau Odi nafsu ya tau sama tau aja lah. Yang penting jangan sampai hamil aja.”

Tiba-tiba aku jadi ingat sesuatu… pil anti hamil! Ya. Sebenarnya aku sudah menyiapkan 1 strip pil kontrasepsi. Tapi tadinya aku siapkan untuk Bi Marni. Aku dengan mudah mendapatkan pil kitu dari toko obat yang letaknya hanya beberapa puluh langkah saja dari rumahku.

Aku pun ingat lagi tentang sesuatu. Tentang monitor cctv wireless itu… kenapa tidak kuletakkan di lantai atas saja, biar lebih santai memantaunya? Ah… nanti akan kupindahkan ke studioku.

“Ayo… katanya mau lihat monitor cctv,” kata Ratih sambil memegang pergelangan tanganku.

“Nanti dulu… biarkan mereka ngobrol dulu. Kan nggak mungkin mereka langsung begituan. Kalau pun terlewat acara serunya, kan cctv bisa diputar ulang nanti.”

“Oh iya ya. Mmm… kira-kira kamu bakal nafsu nggak kalau melihat bundamu berhubungan seks sama lelaki bule itu?”

“Pasti nafsu juga. Mungkin lebih merangsang dari nonton bokep.”

“Terus kalau kamu nafsu mau ngapain?”

“Kan aku punya tante yang cantik dan masih muda ini,” sahutku sambil memeluk Ratih dari belakang, “Lagian tadi Bunda juga bilang asal tau sama tau aja.. yang penting jangan sampai hamil… iya kan?”

“Iya… lalu kalau aku hamil gimana?”

“Aku sudah menyiapkan ini nih,” sahutku sambil mengeluarkan dompet dari saku celanaku. Lalu kukeluarkan 1 strip pil kontrasepsi itu dan kuberikan pada Ratih.

“Haaa?! Odi sudah beli pil kontrasepsi segala?”

“Iya. Tadi aku sempat lari dulu ke toko obat yang di sebrang sana itu.”

“Jadi kamu udah punya rencana mau gituin aku ya?”

“Merencanakan benar sih nggak. Cuma siap-siap aja untuk menjaga segala kemungkinan.”

Tiba-tiba Ratih membisiki telingaku, “Aku ini sangat sensitif, Od. Kena sentuh sedikit aja bisa horny. Soalnya aku sudah lama sekali tidak merasakannya.”

Kupeluk lagi Ratih dari belakang, “Lalu mau begituan sekarang aja?”

“Ntar dulu dong… aku penasaran, ingin lihat bundamu dan si bule itu dulu. Emang pasti mereka bakal begituan?”

“Belum pasti sih. Tapi seandainya pun mereka begituan, kan bisa diputar besok atau kapan pun dari rekaman cctv itu,” kataku yang masih memeluk Ratih dari belakangnya, sambil menyelinapkan tanganku ke balik kimononya… sampai menyentuh memeknya. Karena aku tau sejak tadi bahwa Ratih tidak mengenakan beha mau pun celana dalam.

“Jangan dulu megang-megang memek ah. Aku pengen lihat mereka dulu secara langsung. Kita ke bawah aja yok,” kata Ratih sambil menepiskan tanganku dari balik kimononya.

Kami pun melangkah menuruni tangga menuju lantai dasar.

Setelah berada di bawah, aku meletakkan telunjuk di depan bibirku, sebagai isyarat agar jangan mengeluarkan suara. Ratih mengangguk sambil tersenyum.

Kutengok sesaat ke arah ruang tamu. Tidak ada siapa-siapa di ruang tamu itu. Berarti Bunda dan Gustav benar-benar sudah berada di kamar depan.

Aku pun menuntun Ratih menuju pintu gudang di dekat dapur. Kubuka pintu gudang itu dan setelah kami berada di dalam gudang, kututup pintu gudang itu sekaligus menguncikannya.

Ada dua sofa tua, bekas waktu aku masih menghuni rumah panggung itu, yang kuseret ke depan lemari tempat menyembunyikan monitor cctv itu. Lalu aku duduk di sofa sambil menarik tangan Ratih agar duduk di sampingku sambil menyaksikan adegan di layar monitor.

Ratih tercengang menyaksikan Bunda di layar monitor itu. Benar-benar sedang pacaran… pacaran secara dewasa pula. Tampak dengan jelas, bunda mengenakan housecoat yang ada belahan di depannya. Mungkin sengaja Bunda mengenakan housecoat itu agar “memudahkan” Gustav untuk menrayapkan tangannya ke balik housecoat Bunda.

Ratih memegang tanganku sambil berkata setengah berbisik, “Waaah… benar-benar lebih merangsang daripada nonton bokep…”

Aku pun langsung tersentak menyaksikan tangan Gustav yang sudah diselundupkan ke balik housecoat Bunda itu. Bahkan aku sampai gemetaran dibuatnya…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu