1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

Ternyata tak begitu sulit. Pas pertama, ketakutan begitu mencengkramku. Tapi, setelah termotivasi dengan baik, akhirnya aku bisa menguasai rasa takutku, membeli tiga tiket. Bahkat setelah itu, aku beli es kelapa muda dan meminumnya dengan santai.

Aku jadi heran, kenapa rasa - rasanya selalu begitu menakutkan berada di keramaian. Kini aku pulang dengan santai, tak berlari lagi.

***

Malamnya, seperti biasa kami makan bersama.

“Ali tadi pergi lagi lho.”

“Iya?”

Pak Bambang menatapku, lantas menatap istrinya, seolah meminta penjelasan.

“Dia beli sesuatu lagi.”

“Beli apa lagi sih?”

“Coba kasih liat Bapak, Li.”

Kuraih tiket dari saku, lantas kutaruh di depan Pak Bambang. Pak Bambang meraihnya lantas membacanya.

“Tiket? Kamu beli tiket bola?

“Kamu yakin Li?” tatapnya padaku. Lantas Pak Bambang menatap istrinya. “Apa dia siap?”

“Dia gak kenapa - napa kan.”

Pak Bambang kembali menatapku.

“Apa kamu mau Li?”

“Iya pak. Ibu bilang gakkan terjadi apa - apa kok.”

“Baguslah kalau gitu. Bapak senang kita bakal nonton bola.”

Tangan kanan Pak Bambang lantas memengang tangan kiriku, sedang tangan kiri Pak Bambang memegang tangan kanan istrinya.

“Kita nonton besok.”

Lantas kami tertawa.

***

Malamnya tak ada acara Bu Bambang mempertontonkan kaki. Yang ada malah kami bertiga nonton tv bersama sambil ngobrol. Aku merasa bahagia, aku merasa menjadi bagian keluarga ini. Eri sungguh beruntung lahir di keluarga ini. Aku harap Pak Bambang tahu apa yang memotivasiku dan tak merasa keberatan.

Kucoba bayangkan Eri berada di posisiku dan mendapat perlakuan khusus dari ibunya. Apakah ayahnya akan marah? Apakah mereka bisa berbagi satu wanita cantik ini bersama?

***

Berbaring di kasur, sambil nunggu Bu Bambang aku mencoba berandai - andai. Andai orang tuaku belum meninggal, apakah kehidupanku akan seperti barusan?

Namun anehnya aku tak bisa membayangkannya.

Aku jadi merinding karena tak bisa membayangkan kehidupanku bersama orangtuaku, andai belum meninggal.

Aku bahkan tak bisa menggambarkan secara jelas wujud dan atau wajah kedua orangtuaku. Aku tak ingat suara orangtuaku.

Ada apa denganku? Bukankah belum terlalu lama orangtuaku meninggal. Apakah kematian orangtuaku begitu membuatku trauma?

Akhirnya kuputuskan untuk tak memikirkan orangtuaku.

Mendadak muncul suatu bayangan saat aku disuruh beli sepatu. Saat aku duduk, aku melihat di luar toko ada seorang ibu yang lagi menyusui. Namun anehnya aku merasa ganjil.

Sang bayi berbaring di roda bayi. Yang menyusu malah anak yang lebih besar, kutaksir usianya tiga tahun. Karena dia menyusu sambil berdiri.

Rupanya sang ibu sadar sedang diperhatikan. Dia lantas menatapku. Wajahnya mendadak terlihat seperti malu karena ada yang menyadari kalau dia menyusui anak yang bukan bayi.

Kenapa pikiran ini mendadak muncul?

Bu Bambang masuk, pikiranku tentang orangtua serta adegan di mall mendadak lenyap. Bu Bambang naik ke kasur, namun tak berbaring, melainkan berlutut.

“Bapak begitu senang kita akan pergi nonton. Ibu bilang mau bikin susu dulu, lantas Bapak nyuruh Ibu berterimakasih sama kamu andai kamu belum tidur.”

“Bapak ternyata baik ya orangnya.”

“Iya, tapi Ibu rasa bapak sedang bahagia, begitu bahagianya hingga sepertinya bakal sulit tidur.”

“Jadi, Ibu gak bisa lama?”

“Iya. Tapi kamu berhak mendapat hadiah atas keberanian kamu.”

“Saat beli sepatu, Ali liat ibu - ibu nyusuin anaknya.”

“Oh, terus kenapa kamu pikirin?”

“Yang nyusu bukan bayinya”

“Tentu bayinya. Masa dia nyusu bayi orang lain.”

“Maksud Ali, bayi ada di keranjang Bayi, ibu itu nyusuin anak yang lebih besar.”

Tatapan Bu Bambang mendadak menyiratkan sesuatu.

“Berapa tahun?”

“Entahlah. Tiga atau empat tahun mungkin.”

“Terus kenapa? Apa terasa aneh?”

“Iya.”

“Apa mamamu juga masih nyusuin kamu saat udah gede?”

Aku tak menyadari itu sebelumnya. Tapi anehnya aku tak memiliki ingatan tentang hal itu sama sekali.

“Mungkin. Entahlah.”

“Menurutmu salah ya kalau seorang ibu mencoba menenangkan anaknya?”

“Entahlah. Iya mungkin.”

“Gak ada yang salah jika seorang ibu menenangkan anaknya.”

Bu Bambang lantas mengeluarkan satu susu dari dari lubang kerahnya.

“Nih, coba. Biar kamu tahu sebagaimana menenangkannya.”

Lantas Bu Bambang merendahkan tubuhnya hingga susunya berada tepat di depan mulutku. Perasaanku sungguh luar biasa. Tangannya memegang kepalaku, menekannya. Tanganku masuk ke dalam dasternya mencoba meraih susu yang satunya lagi.

“Ali suka gak?”

Aku menggangguk sambil mencoba bersuara.

“Kamu bisa ingat gak rasanya saat dulu kamu nyusu sama ibumu?”

Aku menggelengkan kepala tanpa melepaskan mulut dari susunya.

“Ibu yakin kamu menyukainya. Bahkan setelah gede, bukan bayi lagi.”

Aku menggelengkan kepala, namun ada sesuatu pada suaranya yang meyakinkanku kalau Bu Bambang benar. Bagaimana Bu Bambang bisa mengetahuinya? Ibuku dan Bu Bambang bukanlah teman dekat. Jangan - jangan Bu Bambang juga menyusui Eri saat Eri sudah gede, gak lagi bayi. Aku jadi terangsang dibuatnya.

Kulepas mulutku, “aku suka nyusu susu mama.” lantas aku kembali nyusu.

Tanganku mencoba menaikan rok dasternya. Aku ingin cdnya lagi.

“Mah,” kataku saat mulutku lepas dari satu puting menuju puting yang lain.

Kata - kataku seolah membuat Bu Bambang makin liar. Kini dia menggesekan selangkangannya pada selangkanganku. Kuangkat terus dasternya, Bu Bambang menaikan pinggul agar dasternya bisa lewat.

Ternyata Bu Bambang gak pake cd. Kuelus pantat Bu Bambang. Jemariku kugerakan ke anusnya, lantas menurun hingga ke memeknya. Kucoba masukan jari ke memeknya, sedang jempolku mencari lubang anusnya. Lantas kumasukan dua jari ke memek Bu Bambang.

Kulepas tangaku dari memek Bu Bambang. Kuselipkan diantara tubuhnya dan tubuhku untuk melepas celana pendekku. Kuangakt pantat dan kudorong hingga lepas.

“Jangan Li.”

Namun Bu Bambang tak bangkit. Bu Bambang hanya menggesek - gesek memeknya ke kontolku. Aku ingin lebih. Kubiarkan Bu Bambang untuk sesaat, agar dia mengira aku takkan bertindak lebih jauh lagi.

Saat kurasakan nafsu Bu Bambang makin liar, kuputuskan untuk mencoba peruntungan. Ku angkat sedikit pantatnya lantas kucoba masukan kontol ke memeknya.

Bu Bambang mengerang tanda protes. Tapi memeknya malah menurun mencoba menelan batang kontolku seutuhnya.

“Jangan.”

Tapi pinggulnya berkata lain. Pinggulnya mulai bergerak liar. Tanganku memegang dan mengelus punggungnya agar tetap menyatu. Aku serasa di surga. Kuraih rambutnya dan kutarih agar wajahnya bisa kulihat.

Ekspresinya seolah tak peduli. Akhirnya aku keluar. Bu Bambang keluar.

Kira - kira sepuluh menit Bu Bambang diam menindih tubuhku. Aku tak menyesal. Kukira Bu Bambang juga tak menyesali apa yang telah terjadi.

“Wow,” aku akhirnya bersuara.

“Hehe.”

“Nikmat Bu.”

“Jangan panggil Ibu dengan kata mama.”

“Emangnya saya bilang mama?”

“Iya. Jangan ya!”

“Maaf Bu. Ali gak bermaksud…”

“Jangan dipikirin. Hanya saja malah membuat Ibu makin terangsang, makin liar lupa diri.”

“Benarkah?”

Bu Bambang tak menjawab, malah tertawa.

“Kalau gitu, boleh gak Ali panggil mama?”

“Boleh. Kamu lebih terangsangkan kalau panggil ibu mama?”

“Iya. Gak tahu kenapa, mah.”

“Gak usah dipikirin.”

Bu Bambang lantas bangkit dan membenarkan dasternya.

“Ibu tahu kenapa kamu panggil ibu mama.”

“Benarkah? Kenapa?”

Bu Bambang memilih pergi daripada menjawab. Kenapa dia bilang begitu? Kenapa dia tahu kalau mamaku menyusuiku bahkan setelah aku bukanlagi bayi?

Meski bisa saja dia melihat mamaku menyusuiku, tapi batinku berkata kalau dia tahu lebih banyak lagi.

Jadi apa maksudnya kalau dia tahu kenapa aku memanggilnya mama? Apa Bu Bambang tahu sesuatu antara aku dan mama kandungku? Apakah itu yang membuat Bu Bambang makin terangsang?

Jangan - jangan Bu Bambang sudah ngentot anaknya? Rasanya tak mungkin Bu Bambang ngentot Eri, kecuali mungkin mengkhayalkannya.

Jangan - jangan Pak Bambang tahu khayalan istrinya, hingga seperti tak menerima kehadiranku, meski kini sepertinya lebih bisa menerima kehadiranku.

Semua pikiran ini malah membuatku pusing hingga akhirnya tidur.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu