1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

Aku terbangun karena suara ribut. Lantas kufokuskan telingaku.

“Semalam kok sebentar sih. Apa udah bosen ngegodanya?”

“Dia lagi gak mood.”

“Yang bener aja.”

“Baiklah, mama yang lagi gak mood. Mama lelah, juga takut kebablasan. Dia benar - benar terangsang, juga ingin yang lebih lagi.

“Kan sudah papa bilang.”

“Ya… ya… ya…”

“Papa hanya ingetin. Sebelum ini mama kebablasan sama Eri, trus mama tau sendiri apa yang terjadi.”

“Tenang aja. Asal papa gak ngacauin semuanya.”

“Enggak mama. Mama udah terlalu jauh.”

“Tapi liat keadaanya sekarang. Mungkin kalau mama melangkah agak jauh lagi, dia akan sembuh.”

“Ya Tuhan. Mah, dia anak kita.”

“Mama tahu. Mama hanya menolongnya. Daripada dokter - dokter itu.”

“Iya. Mama memang menolongnya. Di sisi lain, mama juga mengacaukannya. Kalau mama terlalu jauh, mungkin malah kacau.”

“Dia baik - baik saja sebelum papa mengacaukan segalanya.”

“Iya, papa memang pengacau, tapi mama juga ikut andil.”

“Tenang saja. Dia bisa mama kontrol.”

“Terlambat mah. Kalau mama menentukan batasan - batasan yang wajar, mungkin mama masih bisa menanganinya. Tapi mama malah ikut menikmatinya. Eri gak salah mah. Dia hanyalah bocah. Mama yang bertanggung jawab.”

***

Edan, ternyata Bu Bambang bermain dengan anaknya. Bahkan dengan sepengetahuan Pak Bambang. Pantesan saja Pak Bambang seperti gak suka aku tinggal di rumahnya.

Tapi kenapa Pak Bambang kini seolah senang dengan keberadaanku?

***

“Mama gak menikmatinya. Mama hanya mencoba menolong anak kita. Setelah semua pengobatan yang kita beri tak ada artinya.”

“Iya, apa yang mama lakukan memang sangat membantu Eri. Papa akui cara mama bisa mengembalikan Eri, meski hanya sebentar. Tapi papa harap, kini mama mesti hati - hati. Jangan kebablasan.”

“Iya. Mama gakkan kebablasan. Mungkin mama akan biarkan dia mencium, meraba dan atau bahkan melihat mama telanjang.”

“Gak apa - apa. Selama mama bisa mengontrolnya.”

“Itulah yang mama coba andai papa berhenti mempertanyakan.”

“Baiklah. Papa nyerah.”

“Mama bakal bisa ngontrol Eri.”

“Ali mungkin maksud mama.”

“Eh iya, Ali.”

***

Gila, makin edan aja. Bu Bambang udah main - main sama Eri. Bahkan Pak Bambang tahu istrinya mulai mempermainkanku, tapi tak tahu seberapa jauh permainanku dengan istrinya.

Aku sih yakin Bu Bambang gak ingin mengontrolku, yang ada malah dia juga menikmatinya. Mungkin Bu Bambang sangat menikmati permainannya dengan anaknya, kini dia mencoba dengan teman anaknya. Jadi gak sabar nunggu Pak Bambang pergi biar bisa main - main sama istrinya.

***

Aku keluar kamar setelah mendengar mobil Pak Bambang pergi. Kucari Bu Bambang, namun tiada kudapati. Akhirnya aku menuju kamarnya.

Rupanya Bu Bambang sedang bercermin, tubuhnya telanjang tetapi tangannya memengan daster tipis yang dipegang di depant tubuhnya.

Menyadari kehadiranku, Bu Bambang berbalik.

“Gimana menurutmu, bagus gak kalau Ibu pake ini?”

“Iya, cocok.”

“Tapi kayaknya gak bakalan dipake deh.”

“Kenapa?”

“Abisnya seksi banget sih.”

“Memang seksi sih.”

“Memang kenapa?”

Bu Bambang seperti tak mendengar pertanyaanku.

“Memangnya kenapa?” kataku.

“Memangnya kenapa, mah?” kata Bu Bambang.

“Memangnya kenapa, mah?” kuulangi kata - kata Bu Bambang.

“Kamu tadi menguping yah?”

“Iya.”

Tapi aku tak mau membicarakannya.

“Bapak merasa mama terlalu menggodamu.”

“Oh.”

“Gimana menurutmu?”

“Ali sih gak benci kok sama Bapak.”

“Iya. Mama tahu kamu gak benci sama Bapak. Tapi, gimana menurutmu soal godaan mama, apakah terlalu berlebihan?’

Godaan? Memangnya apa sih yang mau dia katakan? Dia telah merasakan kontolku, kok malah mempersoalkan godaannya sih?

“Mungkin, kalau Bapak tak suka, sebaiknya memang dihentikan saja.”

“Tapi kamu suka kan?”

“Iya mah.”

“Mama juga suka. Menurut mama, terserah kamu aja.”

“Ya… kalau… Bapak gak usah dikasih tahu aja.”

“Jadi kamu gak ingin mama menggodamu saat ada Bapak?”

“Kayak gitulah.”

“Tapi kalau Bapak gak dirumah, gak apa - apa, gitu?”

Apakah ini jebakan? Entahlah, aku tak bisa memastikannya.

“Iya, kalau Bapak gak ada, rasanya gak akan membuat Bapak protes.”

“Mama juga berpikir seperti itu. Mau bantu mama gak?”

“Bantu apa?”

“Tolong tumpuk dua bantal mama ditengah - tengah kasur.”

“Iya deh.”

“Bukan ‘iya deh, ’ tapi ‘iya mah.‘”

“Iya Mah.”

Kulakukan keinginannya. Bu Bambang lantas melepaskan pakaiannya, membuat pakaiannya jatuh ke lantai. Akhirnya aku bisa melihatnya berdiri telanjang, secara jelas. Bu Bambang lantas berbaring di atas bantal. Bantal itu ditekan perutnya, membuat pantatnya menungging ke atas dengan jelas. Kedua kakinya dilebarkan.

Aku diam melihat, tak tahu apa yang harus aku lakukan.

“Bapak lagi gak ada di rumah,” katanya lirih.

Aku tetap diam selama beberapa detik, mencoba mencerna kata - katanya. Lantas kulepas pakaianku hingga telanjang. Aku naik ke kasur.

“Li.”

“Iya,” jawabku sambil mengarahkan ujung kontol ke memeknya.

“Kalau kamu mau panggil Ibu dengan sebutan mama, kamu gak keberatan kan kalau Ibu panggil dengan kata ‘Eri’?”

Wow… gila, rasanya jadi makin liar, nakal, brutal membuat semua orang menjadi gempar.

Dulu, memanggil Bu Bambang dengan sebutan ‘mama’ aja udah ganjil, meski aku diperlakukan dengan begitu ramah.

Tapi kini, mendengar dia ingin memanggilku ‘Eri, ’ membuatku yakin pernah ada sesuatu antara Bu Bambang dan anaknya. Sesuatu yang, mungkin, sama seperti ini. Bahkan, mungkin, lebih jauh lagi. Jangan - jangan dia rindu sama anaknya. Aku bahkan makin terangsang.

“Boleh mah. Panggil aja Eri.”

“Oh, Eri. Kamu mau ngapain sama mama sayang?”

Tangan Bu Bambang meraih pantatnya dan melebarkannya membuat lubang anusnya seperti membesar. Gila, apakah ini undangan untuk mencicipi anusnya? Waw. Permainan jadi Eri rupanya membuat Bu Bambang jadi makin gila.

Kumasukan kontolku, perlahan, ke memeknya. Saat kepalanya terbenam, kutarik lagi. Tapi tangan Bu Bambang tetap di tempatnya, membuat anusnya seperti melebar. Jangan - jangan dia ingin aku masuk ke sana.

Apa dia menungguku memutuskannya sendiri? Tiap kali kontolku menusuk memeknya, pantatnya serasa menggoda. Setelah beberapa pompaan, akhirnya aku ingin melepas rasa penasarananku.

Kucabut kontol dan kutusukan ke anusnya. Mentok. Susah. Kucoba lagi dan lagi. Tetap mentok. Tetap susah.

“Pake pelumas dong Ri.”

Betapa mudahnya Bu Bambang mengucap nama Eri, seolah begitu alami, seolah lupa akan nama asliku. Mungkin, merasakan anusnya dicoba ditusuk membuat Bu Bambang lebih menginginkan anaknya daripada teman anaknya.

Kutekan lagi kontolku.

“Lumasi Ri. Lumasi.”

Tangan kiri Bu Bambang lepas dari pantatnya, lantas mengambil pelumas dari sisi kasur. Pelumas itu diberikan padaku dan langsung kuambil. Kubuka dan kutumpahkan isinya ke anus Bu Bambang. Juga ke kontolku.

Kucoba masukan jari ke anusnya.

“Oh Ri. Udah lama mama gak ngerasain.”

“Benarkah? Berapa lama?”

Kugerakan jemari di anus Bu Bambang. Ternyata gak susah - susah amat. Saat jari kucabut, aku heran melihat gak ada bercak - bercak tainya. Aku sungguh amatir…

“Sejak kamu pergi.”

Kini kumasukan telunjuk dan jari tengah ke anusnya membuat Bu Bambang mengerang seperti keenakan. Kumankan jemari di anus Bu Bambang kira - kira selama lima menit. Pantatnya pun ikut bergerak, seolah tak ingin diam membiarkanku asik sendiri.

Akhirnya kuputuskan menarik jemari dan menggantinya dengan kontolku. Kali ini kontolku bisa masuk dengan mudah. Anusnya bener - bener sempit, padahal tadi jemariku begitu mudah bermain di dalamnya.

“Oh, pelan - pelan Ri.”

Aku diam, tak ingin melukainya.

Kugerakan perlahan. Perlahan. Bener - bener sempit.

Kutarik kontolku hingga akan lepas, lantas kudorong lagi.

“Terus Ri, enak.”

Aku jadi lupa diri. Kutekan dengan agak bertenaga.

“Ahhhh…”

Kutekan hingga akhirnya kontolku terbenam seluruhnya. Lantas aku diam, Bu Bambang diam. Kutarik perlahan, Bu Bambang kembali mengerang. Baru kali ini kudengar Bu Bambang mengerang seperti ini. Erangan yang sungguh - sungguh erotis.

Kudorong lagi kontolku.

Kutarik lagi konolku.

Terus begitu beberapa kali.

Bu Bambang terus mengerang tiada henti.

Setelah agak lancar, kumulai mempercepat tempo.

Erangan Bu Bambang makin tak jelas. Makin menyerupai erangan hewan.

Hingga akhirnya kucengkram pantat Bu Bambang. Kutusukan kuat - kuat saat kontolku menyemburkan pejunya.

Kulepas kontolku lantas duduk. Pejuku mengalir keluar dari anusnya hingga ke memeknya dan terus ke pahanya.

“Eri ingin kayak gini terus mah.”

“Mama tahu.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu