1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

“Ini Bu Susan mah. Ingat gak?” Ayah mengenalkan seorang wanita muda ke mama.

“Ingat dong. Saya Sandra. Lho, suaminya mana?”

“Di rumah bu. Jaga si kecil. Maklum, masih bayi.”

“Ya udah. Sebaiknya kita mulai,” kata ayah setelah menutup pintu.

Bu Susan lantas mengikuti ayah ke ruang kerjanya. Aku duduk di sofa. Mama lantas ikut duduk. Beberapa saat kemudian kami bisa dengar suara ruang kerja ayah dikunci. Kulihat mama, namun mama bertingkah seolah tak mendengar apa pun. Kami menonton tv selama beberapa saat.

Saat iklan, mama mengambil majalah, lantas berbaring di sofa. Kudengar suara cekikikan dari ruang kerja ayah. Kuambil remot dan kutambah volume.

“Jangan terlalu keras.”

Kukecilkan lagi volume yang sempat kutambah. Kulihat kaki mama.

“Masih ada lecet gak mah?”

Mama melihat kakinya. Seperti juga penglihatanku, sepertinya mama tak melihat ada lecet di kakinya.

“Iya.”

“Mau diolesin salep lagi gak mah?”

Mama melihat ke ruang kerja ayah.

“Iya. Bentar mama ambil dulu salepnya.”

Mama bangkit ke kamarnya. Aku duduk sabar menanti. Mama datang dan memberikan salep padaku. Setelah itu mama berbaring di sofa. Kaki kiri mama direnggangkan hingga aku bisa menyalepi kakinya. Mama melihat tv sambil kusalepi.

Tiap beberapa saat, kudengar suara bu susan di ruang kerja ayah.

Saat usapanku mencapai lututnya, mama mulai mengangkat lututnya. Kuusapkan lagi lutut yang satunya. Setelah kurasakan salep yang ada di tanganku habis, kuangkat tangan.

Namun, belum juga jauh, mama meraih tanganku dan mendaratkan ke pahanya.

“Kamu nakal gak hari ini nak?”

“Iya mah.”

“Bagus.”

Mama melepaskan tangannya di tanganku. Namun tanganku tetap menempel di paha mama. Karena merasa canggung, kulepas juga tanganku, membuat rok mama jatuh ke pinggangnya.

“Kamu gakkan nakal lagi kan?”

Aku terkejut mendengar mama bicara, karena nampaknya mama seperti sedang tertidur. Meski aku yakin mama tak tidur sama sekali.

“Enggak mah. Jupri janji gak bakalan nakal lagi.”

Sial. Apa yang aku katakan? Kalau aku gak akan nakal lagi, mama tentu gak perlu mengubah kenakalanku seperti apa yang terjadi pada Bilal dan emaknya.

Tangan mama memegang tanganku, yang masih licin akibat salep.

“Tanganmu belum kering nak.”

Mama melepas tangannya lantas mengelapkannya pada roknya hingga membuat roknya makin tersingkap. Biasanya mama menyuruhku memakai lap, tisu dan atau membasuhnya. Namun kini mama malah mengelap dengan roknya. Kini aku menatap selangkangan mama yang berbalut cd.

“Nak?” suara mama samar, terdengar seperti suara orang yang lelah.

“Iya mah?”

“Lecetnya masih terasa.”

“Biar Jupri bantuin.”

Tangan mama sekarang ditaruh di belakang kepalanya, seolah bantal. Kuolekan salep ke tanganku lantas mengelus paha mama. Karena mama tak protes, kucoba mengelus hingga lebih dekat lagi ke cdnya. Kudorong sedikit paha kiri mama ke sebelah kanan, agar lebih lebar lagi. Mama tak protes, tak juga menahannya.

Kusemprotkan salep dengan agak banyak ke tanganku.

“Duh, salepnya kebanyakan.”

Kuusapkan tangan yang berlumuran salep ke bagian samping cd mama. Saat mama tak protes, kutekan jemariku hingga ke bagian tengah, tempat kuyakin terdapatnya memek mama. Aku deg - degan, jantungku berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Kutekan dan kuelus jemariku.

Karena mama tak merespon, kutambah lagi satu jari, kini telunjuk dan jari tengahku mengelus - elus bagian memek mama yang terbalut cd.

Kudengar suara pintu kerja ayah dibuka kuncinya. Karena panik, kutarik tangan, kubenarkan posisi rok mama lantas lari ke kamarku. Aku mencoba menguping apa yang akan terjadi.

“Sudah selesai ya?”

“Iya, bu Susan ini wajahnya fotogenik. Jadinya mudah.”

“Bagus dong.” Aku yakin ayah menyadari sarkasme yang terdengar di nada mama.

“Makasih udah mau membantu, saya harap saya gak mengganggu Bu.”

“Tidak kok. Kalau memang mau lagi, tinggal bilang saja.”

Kudengar pintu terbuka. Mungkin Bu Susan.

“Mama gak sopan amat sih.”

“Benarkah? Memang ayah gak bisa ya nunggu mama gak ada di rumah buat sesi moto tetangga?”

“Dia kan fotogenik. Lagian ayah cuma bantu saja kok.”

“Iyalah.”

“Terserah mama deh. Mana si Jupri?”

“Gak tahu. Dia langsung pergi setelah ayah bawa proyek ayah masuk.”

“Oh. Ayah mau tidur dulu. Mau ikut gak?”

“Gak. Liat tv dulu.”

“Lho, katanya mau ngomongin si Jepri?”

“Gak usah. Biar mama tangani sendiri?”

“Jangan marah tentang Bu Susan dong. Lagian ayah cuma bantuin sesama tetangga. Jangan sampai tetangga masa gitu.”

“Mama hanya pikir kalau waktunya gak tepat.”

“Iya. Yang penting kita mesti jauhkan dulu dia dari si Bilal.”

“Biar mama ya tangani.”

“Terserah deh.”

Kudengar langkah ayah menjauh, mungkin ke kamarnya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu