1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

Pelayan toko olahraga mengira aku aneh. Begitu masuk, kuberikan uang yang Bu Bambang kasih kepadanya.

“Saya mau beli sepatu lari.”

Aku duduk dan dia langsung melihat kakiku, mungkin mencoba menakar ukurannya. Aku melihat pintu toko.

“Lari,” batinku berteriak.

Tapi bagian lain dari diriku, bagian yang menjadi dominan akibat perlakuan Bu Bambang seolah mencegahku.

“Kamu telah sejauh ini, kalau lari, sia - sialah sudah. Kamu bisa, pikirkan hadiah yang akan kamu terima dari Bu Bambang, yang menunggu kamu di rumah,” batinku lagi.

Kubayangakan Bu Bambang berbaring di sofa. Kakinya terpampang, haus akan tatapanku meski ada suaminya. Jiwaku seolah lepas dari tubuh, melayang mendekati Bu Bambang hingga bisa melihat cdnya dengan begitu jelas. Bu Bambang bicara, tapi aku tak begitu jelas mendengarnya. Jangan gugup Li, Kamu pasti bisa.

“Coba yang ini pak.”

Lamunanku buyar lantas melihat pelayan.

“Iya. Biar saya pakai.”

“Baik, biar saya masukan yang ini.”

Pelayan lantas mengambil sepatuku.

“Tak perlu, biarkan saja.”

“Sayang lho pak, masih bagus.”

“Saya hanya bercanda,” aku mencoba tertawa.

Tentu orang akan curiga kalau aku meninggalkan sepatuku di toko. Atau memberikan seluruh uang kembaliannya untuk pelayan, yang hampir aku lakukan. Aku menanti dengan sangat cemas hingga pelayan menaruh sepatu lamaku ke dus baru dan memasukannya ke kantong. Lantas uang kembaliannya dia berikan padaku.

Aku tak lari keluar toko. Bahkan aku berjalan biasa hingga keluar dari mall. Kenyataanya, aku berjalan hingga ke rumah. Kepalaku dipenuhi pikiran - pikiran tentang Bu Bambang. Aku melakukan ini untuk Bu Bambang, bahkan aku akan melakukan apa saja demi Bu Bambang.

Aku kecewa melihat mobil sudah ada, tanda kalau Pak Bambang sudah pulang. Aku melangkah lunglai ke rumah. Namun sebelum masuk, aku mendengar Bu Bambang bercakap dengan Pak Bambang. Aku penasaran dengan apa yang mereka percakapkan. Aku pun tak langsung masuk, namun mencoba mencuri dengar.

“Mama melangkah terlalu jauh.”

“Mama tahu apa yang mama lakukan.”

“Benarkah? Mama menggodanya. Bahkan membiarkannya melihat kaki mama. Ya tuhan.”

“Mama gak mempertontonkan kaki. Mama hanya berbaring santai.”

“Mah.”

“Baik, mama memang memperlihatkan kaki mama. Terus kenapa? Papa tahu gak dia kemarin ke minimarket beli susu. Dan papa tahu dimana dia sekarang?”

“Tentu tidak mah”

“Mama kasih tahu. Dia ke mall pergi beli sepatu lari.”

Suara Bu Bambang terdengar seperti bangga.

“Mama suruh dia ke mall sendirian? Ya tuhan, apa yang mama lakukan?”

“Dia akan baik - baik saja.”

“Enggak mah. Apa yang mama suruh terlalu dini. Terlalu cepat.”

“Jangan papa hancurkan apa yang sudah mama lakukan.”

“Dia gakkan bisa mah.”

Tangis. Aku mendengar suara tangis. Tangis Pak Bambang.

Awalnya aku yakin Bu Bambang yang menangis, namun setelah mendengar lebih teliti, suara tangis itu adalah suara Pak Bambang.

Aku terkejut Pak Bambang menangis karena kepeduliannya padaku.

“Dia bisa. Dan dia melakukannya demi mama.”

“Kenapa? Apa mama kira mempertontonkan kaki bakal…”

“Diam. Papa udah janji gakkan membicarakan itu.”

Kuputuskan untuk masuk. Kubuka pintu dan suara - suara itu langsung hilang. Mereka menatapku.

Bu Bambang melihatku, biasa saja. Tanpa kesan apapun.

Pak Bambang melihatku, terkejut seolah terpukau.

Aku penasaran dengan tatapan Pak Bambang. Pergi ke mall beli sepatu menurutku bukan suatu yang wah. Bahkan, malam nanti aku akan bertanya ke istrinya apa lagi yang dia mau aku lakukan.

Kalau soal pertunjukan kaki saja Pak Bambang marah, bisa jadi Pak Bambang kena serangan jantung kalau melihat istrinya menindih tubuhku.

Tapi kali ini, tak terlihat sedikitpun amarah di mata Pak Bambang. Bahkan, Pak Bambang terlihat senang membuatku terlihat bersalah.

***

Lebih dari semenit kami berciuman. Tanganku masuk ke belahan leher bajunya lantas mengelus punggungnya.

Kusadari Bu Bambang mencoba membantu teman anaknya untuk menguasai rasa takut.

Rasa takut kesendirian.

Rasa takut sendiri di luar, di tempat yang ramai.

Mencoba membantu dengan cara menggodaku.

Kuakui bantuannya berhasil. Dan aku ingin dibantu lebih jauh lagi. Aku mulai berpikir untuk minta membantunya lagi belanja. Namun kusadari lebih baik tidak meminta karena bisa jadi Bu Bambang berpikir kalau aku gak lagi takut dan tak perlu dibantu lagi.

Bu Bambang menekan lutut ke kasur mencoba bangkit saat merasakan kontolku yang makin menegang.

“Ali benar - benar takut saat di sana.”

Usapan tanganku di punggungnya makin ke bawah dan menekan agar selangkangannya kembali menekan selangkanganku.

“Tapi Ali bisa menguasainya kan,” suaranya terdengar bangga.

“Ali hampir lari, Ali hampir kabur.”

“Benarkah?”

“Iya.”

Bu Bambang terlihat khawatir.

Kuangkat selangkanganku sambil mencoba menekan punggung Bu Bambang.

“Tapi Ali melawan keinginan untuk kabur kan?”

“Iya, Ali mencoba memikirkan Ibu, seperti sekarang. Itulah yang membuat Ali berani.”

“Nah, Ali bisa kan.”

“Iya, karena Bu Bambang.”

Tekanan tanganku kini membuat selangkangan Bu Bambang kembali menekan selangkanganku.

“Ali gakkan bisa melakukannya kalau bukan demi Bu Bambang.”

“Li, Bapak mulai curiga. Ibu mestinya gak membiarkan permainan kita lebih jauh lagi.”

“Ali gakkan bisa melakukannya kalau tanpa Ibu. Ali mau pergi lagi besok, asal Ibu janji mau terus bantu Ali.”

“Ibu gak bisa bantu kamu selamanya. Hanya sampai kamu bisa melakukannya dengan kemauan sendiri.”

“Makasih Bu.”

Kugoyangkan pantatku dan kembali bicara agar Bu Bambang tak menyadarinya.

“Pak Bambang sepertinya mulai menyukai Ali.”

“Tentu saja.”

Tangan Bu Bambang kini memegang wajahku. Kucium Bu Bambang.

Untuk kali pertama, kujulurkan lidah meski aku tahu Bu Bambang akan menolaknya.

Ternyata tidak.

Lidahku menyentuh bibirnya.

Lidahku melewati bibirnya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu