1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

Dasar lonte tua. kata Bilal setelah keluar rumah.

Nutup pintunya jangan keras-keras, teriak emaknya Bilal.

Dari sudut mataku bisa kulihat mamanya Bilal melihat dari jendela. Namun aku pura-pura tidak mengetahuinya. Aku tahu aku tak begitu disukai oleh mamanya Bilal. Kalau gak penting-penting amat, aku gak mau masuk rumah. Mending sms aja suruh Bilal keluar.

Tentu gak semua ibu berengsek. Tapi, meski begitu, mamanya Bilal memiliki postur yang cukup menarik. Tubuh langsing dengan susu kendor yang agak besar, tentu sia-sia kalau tak dilihat. Apalagi kalau pake daster tipis.

Meski begitu, Bilal tak pernah melihatnya dari sudut pandang seperti itu.

Lu serius? Emak gw mah kagak ada bagus-bagusnya. Kalau gw dipaksa ngentot dia, mending lu potong aja kontol gw, jawab Bilal suatu hari, saat kukatakan kalau mamanya seksi. Emak lu tuh yang seksi. Bikin sange aja.

Aku gak peduli pendapat Bilal. Kalau ada kesempatan, gak akan kusia-siakan ngentot mamanya Bilal. Aku dan Bilal memang gak baik-baik amat. Merokok, kadang kelahi, bahkan minum tuak. Maklum, kecamatan sebelah terkenal dengan pohon arennya yang sangat banyak. Sehingga masyarakatnya ada yang menjual gula aren, meski lebih banyak yang menjual tuak.

Mamanya Bilal selalu berpendapat kalau aku mempunyai pengaruh yang buruk bagi Bilal. Kenyataannya, dalam semua tindakan tidak terpuji yang kami lakukan, selalu atas inisiatif Bilal. Meski aku tak menolak, aku tak pernah berinisiatif.

Kami melangkah menuju sebuah tempat yang Bilal katakan sebelumnya. Rumah yang kami datangi termasuk besar, namun nyatanya kurang terawat. Bilal mengetuk pintu. Kami menunggu.

Keluarlah seorang wanita paruh baya. Kami disuruh masuk dan duduk yang manis, semanis madu.

Bagaimana Bu, ada pesanan saya?

Rupiahnya mana?

Bilal memberi sebuah amplop yang lantas diterima dan dihitung oleh ibu-ibu tadi. Si ibu tadi kemudian membawa amplopnya ke sebuah ruangan, lantas keluar sambil membawa sebuah keresek. Bilal kemudian pamit dan kami keluar rumah.

Lu beli apaan?

Ntar gw tunjukin di alun-alun. Yang pasti, lu hutang tiga ratus ribu sama gw.

Hutang apaan?

***

Kami lantas duduk di alun-alun.

Lu beli apaan sih? Mahal amat.

Bilal lantas mengeluarkan sesuatu dari keresek, yang ternyata dua buah boneka. Aku terkejut melihatnya.

Lu beli boneka? Mahal amat, buat siapa tuh?

Bukan buat siapa, tapi buat kita.

Buat kita? Udah, gw gak mau buat lu aja dua-duanya.

Liat aja nanti.

Bilal lantas memegang satu boneka.

Lho, kok mukanya ada gambar emak lu sih?

Nah, kan. Gw harap benda ini gak boongan.

Lu bayar ratusan rebu cuma buat boneka yang ada wajah emaklu?

Setengahnya. Yang ini buat lu!

Bilal mengambil boneka yang satunya dan menyerahkan padaku. Kulihat dan kucermati.

Kok yang ini ada wajah emak gw sih?

Yoi.

Dapet dari mana lu gambar emak gw?

Lu kira taun tujuh puluhan? Sekarang gampang dapat gambar siapapun.

Bukan soal gambar. Lu bayar ratusan ribu cuma buat boneka yang ada gambar emak-emaknya? Aneh lu.

Gw mau tusuk nih boneka biar emak gw tahu rasa.

Apa?

Gw gak beli boneka biasa. Gw beli boneka vampire.

Boneka vampire?

Iya. Lu tahu kan, kayak di film-film vampire yang suka diputer di tv. Tiap sabtu jam sembilan.

Bilal lantas mencari-cari sesuatu dari dalam keresek.

Catatannya mana sih? Sial. Ketipu gw.

Aku melihat lagi bonekaku. Terdapat kertas catatan di belakangnya dan kuperlihatkan pada Bilal.

Maksudlu ini?

Bilal ikut melihat belakang bonekanya.

Nah, bener lu. Ayo coba.

Meski aku tak percaya, namun aku tak mau mengambil resiko. Siapa tahu ini benar. Tak seperti Bilal, aku tak begitu benci mamaku. Lagian, kadang mama juga baik. Kubaca tulisan tersebut, lantas kuelus dan agak kutekan sedikit kepala bonekanya. Namun kemudian aku bosan. Maka dari itu aku kembalikan bonekaku ke Bilal.

Nih, gw gak mau.

Yakin lu? Kalau ntar lu berubah pikiran, harganya jadi gope.

Lah, terserah dah.

Bilal lantas kembali memasukan kedua boneka tersebut ke keresek.

***

Mamaku termasuk pintar, menurutku, namun terpaksa berhenti kerja karena mengandungku. Saat aku besar, mama tak mau kerja lagi karena menurutnya gajinya terlalu kecil. Sedang penghasilan papa pun sebenarnya cukup besar. Maka dari itu mama sering mengisi waktu luangnya dengan pelbagai hal. Seperti ke salon, ngumpul bareng teman-temannya.

Ayahku adalah tukang foto. Awalnya ayah fokus pada foto-foto yang bernilai seni tinggi, meski kadang susah dirupiahkan. Namun, setelah berkeluarga dan memiliki dua orang anak, Ayah beralih ke foto-foto yang menghasilkan banyak rupiah. Seperti pemotretan untuk brosur, iklan, majalah dan lainnya. Lama-lama orang mulai mengenal karya ayah, dan bayarannya pun makin gede.

Saat aku dan kakakku sekolah, mama kembali terjun ke dunia fotograpi bersama ayah, namun tak lama kemudian, minatnya padam. Mama bahkan ikut mencoba jadi model foto ayah, namun itu pun tak lama. Karena tubuh mama sudah bukan lagi tubuh daun muda, tentu fotonya pun kalah bersaing.

Hei mah, kataku saat melihat mama masak di dapur sambil melihat tv. Suara tv tersebut terdengar pelan.

Jangan teriak Jup, kata mama sambil menunjuk kepalanya.

Iya mah, maaf.

Mama memang tak suka kebisingan. Kubuka kulkas dan mengambil softdrink.

Jupri.

Maaf ma. Mama kenapa sih? Sakit kepala atau apa?

Iya. Mendadak sakit nih.

Mama kembali menunjukan bagian kepalanya yang terasa sakit.

Apa mama jatuh, atau tertimpa sesuatu?

Enggak. Tiba-tiba aja nih datangnya.

Mau Jupri masakin gak? Biar mama berbaring aja.

Yakin nih?

Iya mah.

Ntar ayah kerja sampai malam.

Mama mengucap kata kerja dengan sinis.

Jadi, hanya kita berdua ya mah.

Aku pun masak. Tiba-tiba aku berpikir tentang keluhan mama. Area yang mama tunjukan sama dengan area di kepala boneka yang kuelus dan kutekan, walau secuil, secuil. Gila, kalau ternyata benar, aku mesti ambil lagi bonekanya dari si Bilal. Andai saja tadi kubawa pulang.

Aku jadi teringat, bagaimana kalau emaknya Bilal benar-benar jadi korban? Jadi mati? Atau cacat berat? Bilal memang sangat membenci emaknya. Tapiā€¦

Setelah masak, kutelepon Bilal.

Anjing sesat dasar pelacur.

Emak lu ngapain lagi?

Bukan emak gw. Tapi emak-emak yang jual nih boneka. Ketipu gw. Mesti gw ambil lagi duit gw.

Emang kenapa?

Gak mempan. Gw dibohongi. Gw tampar bonekanya, tapi gak terjadi apa-apa. Gw tusuk pake jarum juga gak ngaruh.

Lu sih percaya yang gituan.

Gw kira, pas gw pulang, lonte tua itu bakalan berdarah hidungnya. Eh ternyata enggak. Kalau lu gimana, bisa gak? Apa emak lu kenapa-kenapa?

Gak terjadi apa-apa, suaraku berusaha seolah datar. Ya udah, biar gw ambil bonekanya.

Maksudlu?

Biar gw yang tagih duitnya. Kalau lu yang dateng, belum juga sampai ke pintu, dia udah ngunci rumahnya. Atau malahan kabur.

Iya deh. Lagian gw juga udah emosi.

Aku lega. Ternyata emaknya Bilal gak kenapa-kenapa. Rupanya sakit kepala mamaku ini hanya kebetulan saja.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu