1 November 2020
Penulis —  qsanta

Menikmati Deburan Ombak - Ibu dan anak

Suara petir membangungkanku dari tidur. Kulirik jam, masih jam setengah satu malam. Tiba - tiba aku ingat, malam ini, kamis kliwon sepuluh kawolu, februari atau tepatnya tepat satu tahun suamiku meninggal.

Aku masih ingat, saat itu saat kemarau panjang, kutinggalkan anakku di rumah kakeknya, sedang aku dan suamiku sedang duduk di selembar tikar. Bulan bersinar dengan terangnya ditemani puluhan atau bahkan ratusan bintang. Di sisi laut itu, entah kenapa suamiku mengajak aku untuk menikmati deburan ombak di malam hari.

Tak seperti biasanya, aku mengiyakan. Beberapa saat kemudian, tiba - tiba hujan turun dengan derasnya. Saat aku dan suamiku bangkit untuk menepi, saat itulah tiba - tiba petir menyambar suamiku. Meninggalkan aku yang pingsan sendirian. Meninggalkan aku di alam fana ini berdua dengan anak semata wayangku, meski matanya tidak seperti wayang.

Teringat suamiku menjadikan aku teringat malam - malam sunyi, sepanjang hidupku selalu kesepian. Malam tanpa belaian seorang lelaki dan atau perempuan, pokoknya tanpa belaian. Aku rindu. Kuputuskan untuk mengerakan tangan ke selangkanganku. Daster kusingkap hingga sepinggang. Kumainkan tangan di selangkanganku.

Aku terkejut hingga membuatku diam membeku saat melihat anakku berdiri di pintu sambil sedang melihatku. Tiba - tiba aku tersadar, kucabut tanganku dan langsung kututupi memek dengan dasterku. Aku langsung duduk di kasur, kutepuk sebelahku. “Sini nak, duduk!”

Anakku tak beranjak, “Sini, jangan takut!” Akhirnya anakku duduk di sampingku.

“Mama lagi apa mah?”

Wajar anakku tak tahu apa yang kulakukan. Selain karena baru masuk smp, juga masih kuat kekanak - kanakannya. Berbanding terbalik dengan tubuhnya yang termasuk tinggi untuk seukuran anak seusianya.

“Mama lagi masturbasi sayang.”

“Oh, seperti kata Bili. Tapi kok beda mah dengan cerita Bili?” kata anakku sambil menatap pahanya, menunduk.

“Tentu beda sayang, mama kan wanita, sedang bili kan lelaki,” kataku sambil merangkul bahunya.

Wayan mengangkat kepala lalu menatapku. Wayan juga mengangkat tangannya dan mendaratkan di lututku. “Mah,” katanya pelan, “saat mama memegang tubuh mama …”

“Namanya memek.”

“Oh, saat mama menyentuh memek mama, apa sakit mah? Mama kok kayak mau nangis?”

“Enggak nak, gak sakit. Bahkan mama gak nangis kok.”

“Apa semua perempuan seperti mama?”

“Tentu tidak. Ada yang tinggi, ada yang pendek. Ada yang rambutnya panjang, ada yang keriting.” Aku mulai menjelaskan gambaran umum tentang wanita kepada anakku. Kujelaskan juga perbedaan antara wanita dan pria. “Wanita memiliki memek. Sedang pria memiliki kontol. Kalau pria tertarik kepada wanita, biasanya kontolnya langsung keras.

“Kalau itu Wayan juga sering mah. Kalau pagi hari ingin pipis kontol Wayan pasti keras.”

Aku tersenyum mendengarnya, “berarti kamu normal nak. Saat kontol pria sedang keras, pria bisa memasukan kontol ke memek wanita. Lalu bisa di gerakan bolak - balik. Pria dan wanita bakal merasak nikmat.” Aku diam sesaat. “Kamu kok belum tidur sayang?”

“Gak bisa tidur mah.”

“Ya udah, kamu tidur di sini aja ya sama mama.” kataku sambil merebahkan anakku di kasur. Saat itu kulihat gundukan di selangkangannya. Betapa anakku kini telah gede.

Rupanya anakku sadar aku sedang melihat selangkangannya, “mama lihat apaan sih mah?”

“Eng… enggak liat apa - apa nak.” kataku malu.

Anaku kini telah berbaring, namun aku masih duduk. Tangannya yang tadi di lututku otomatis kini berada di pahaku. “Mah, apa Wayan boleh liat mama gak?”

Meski terkejut, kuusahakan agar terlihat sebiasa mungkin. Kuatur nafasku lalu mulai berbicara, “melihat apa nak?”

“Saat Wayan datang, Wayan gak begitu jelas liat mama saat sedang memegang memek mama.”

“Terus, apanya yang mau kamu liat?”

“Wayan ingin liat letak tangan mama dan ingin tahu memek itu kayak apa sih?”

“Kamu yakin nak?”

“Iya mah.”

Aku lalu berdiri dan melepas dasterku. Aku kembali ke kasur. Wayan bergerak ke ujung kasur sementara aku berbaring dan melebarkan paha. Kutunjuk memekku. “Ini yang disebut memek. Namun kalau kamu belajar biologi di sekolah, namanya vagina.” Kubuka bibir luar memekku dan menunjuk klitorisku. “Kalau ini namanya itil.

“Udah ngerti apa ada yang mau ditanyakan?” Tiba - tiba aku merasa bodoh berkata seperti ini.

Entah bagaimana caranya anakku telah ada diantara kakiku. Anakku lalu menyentuh anusku, “Kalau ini namanya apa mah?”

“Kalau itu pelajaran untuk lain hari nak.”

“Boleh gak Wayan memegang mama?”

“Tentu saja sayang,” kataku penuh kelembutan.

Wayan mengulurkan tangan hingga menyentuh kulit diatas memeku. Wayan lalu menatapku, mungkin untuk melihat reaksiku.

Aku hanya tersenyum kepadanya, “Teruskan nak!”

Wayan lalu membuka bibir luar mememku. Dengan tangan lain, dia menyentuh itilku. Aku menerawang saat merasakan sensasinya. Rupanya anakku cepat belajar.

“Mah,” katanya lembut.

Aku membuka mata. Betapa tampannya anakku ini. Nafasku agak lebih cepat sekarang.

Wayan berdiri lalu melepas piyama dan melemparkannya ke lantai. Aku takjub melihat anakku. Meski masih kecil, namun tubuhnya, kontolnya serasa sudah siap memuaskan wanita.

“Mah?”

“Iya nak?”

“Ajari Wayan caranya dong mah!”

“Iya, coba berlutut di depan memek mama. Dorong pantatmu ke depan.”

Wayan melaksanakan perintahku.

“Pegang kontolmu. Arahkan hingga menempel ke lubang memek mama.”

Aku mengejan saat kontolnya menyentuhku.

“Sekarang kamu dorong pelan - pelan.”

Begitu lama lahirku tak pernah dinafkahi. Begitu lama penantian ini hingga saat kontol anakku mencoba masuk, aku hanya ingin menjerit, mendesah, mengerang. Namun aku tahan hingga hanya mampu mengejang.

Wajah tampan itu menatapku seolah minta persetujuanku. Aku mengangguk membuat anakku terus melesakan kontolnya. “Kok rasanya enak mah? Wayan salah gak?”

“Terus nak, kamu udah benar kok.”

Setelah kontolnya mentok di memekku, Wayan mulai memompanya. Setiap tusukan membuat pompaannya semakin cepat. Wajahnya menunjukan seakan dia sedang berada di surga. Aku tahu anakku takkan bertahan lama.

“Udah dulu nak! Liat mama!”

“Wayan gak bisa berhenti mah.” Kini Wayan menatapku.

“Kalau gitu, diamkan di memek mama nak!”

Wayan pun mendorongkan kontolnya dan mendiamkan.

“Kamu pintar nak!”

Aku benar - benar diambang orgasme yang sangat kutunggu. Tapi tak terlaksana. Kutahan karena aku takut jika aku benar - benar ogasme, anakku akan terkejut dan ketakutan.

“Mah,” kata anakku pelan. “Wayan ingin pipis. Gak tahan nih.”

“Berhenti dulu nak, mama mau ngajari yang lain.”

“Wayan gak kuat mah. Enak.”

“Kamu mau pipis sekarang atau nunggu?” kataku sambil mencoba mengontrol nafasku.

“Wayan pingin sekarang.”

“Baiklah, sekarang gerakan pantatmu secepatnya.”

Wayan kembali memompaku. Yang kudengar hanyalah erangan anakku ini. Kini, orgasme yang hampir melandaku menjadi tak penting. Yang kuinginkan sekarang adalah anakku merasakan orgasmenya yang pertama. Kenikmatan yang bisa kuberikan.

Matanya menutup saat anakku menusukan kontol dan menyemburkan spermanya beberapa kali hingga usai. Semprotannya membuatku mengejang nikmat, aku orgasme. Setelah itu ia membuka mata dan menatapku. Tubuhnya kini ambruk di atas tubuhku. Kupegang pantat anakku agar kontolnya tak segera lepas.

“Mah…” bisiknya, “Wayan sayang mama…”

Anakku merendahkan bibirnya hingga mengenai bibirku. Kami pun berciuman. Akhirya kontol anakku mengecil dan lepas dari memekku. Anakku langsung melihatku dengan panik, bertanya - tanya.

“Kenapa ini mah?”

“Gak apa - apa sayang. Barusan kamu keluar orgasme. Kalau kontol udah keluar, langsung mengecil.”

“Oh…”

Kembali kuraih kepala anakku hingga kami berciuman lagi. Anakku menciumku sambil berbaring di perutku, namun sebentar kemudian dia menghentikan ciumannya. Kepala anakku turun dan langsung mendekat di susuku. Rupanya anakku langsung menyusu. Sensai ini membuat memekku kembali gatal. Kuraih rambut anakku dan kuelus - elus.

Anakku terus menyusu tanpa bangkit. Sementara aku dibuatnya makin tak tahan. “Sayang.” bisikku.

“Iya mah.”

“Mama pingin ke kamar mandi dulu.”

Anakku lalu berguling ke sisiku dan berbaring. Saat aku bangun, aku berbalik dan menciumnya. Aku ke kamar mandi, kencing lalu kembali ke kasurku. Aku duduk di sebelah anakku.

“Mah,” kata anakku. “Katanya tadi mau ngajarin yang lain.”

“Iya. Karena sekarang kamu udah bisa ngentot, mama mau ngajarin kamu soal nyepong.”

“Oh, bili juga pernah bilang saudarinya suka nyepong pacarnya.”

“Kamu mau diajarin soal nyepong sama kakaknya bili?”

“Ya enggak dong mah.”

“Mama gak mau ngelarang kamu, tapi kalau ada gadis yang ngajakin kamu ngentot, mending cepet - cepet pulang ke mama.”

“Iya mah.”

Anakku bangkit lalu kembali menyusu padaku. Kanan dan kiri bergantian.

“Mama kok cantik sih?” katanya polos. “Mama gak perlu khawatir, Wayan gakkan main ngentot sama wanita lain kok mah.” katanya lalu menciumku.

“Kamu kok pintar ciuman sih nak, belajar dari mana?”

“Gak tau mah. Gak belajar dari mana - mana kok.”

Kini kepala anakku bersandar di dadaku sementara rambutnya kuelus. Kami berbaring cukup lama hingga kurasakan kontolnya bergerak - gerak menggesek pahaku.

“Mah, kontol Wayan keras lagi, gimana ini?” katanya sambil melihat kontolnya.

“Berarti udah siap belajar lagi.” Desahku ke telinganya.

Aku bergerak hingga kepalaku dekat dengan kontolnya. Kumasukan kontol ke mulutku dan kuelus dengan lidahku. Kontol anakku kini makin keras. Kurasakan campuran cairan cinta kami sebelumnya. Kudengar juga erangan Wayan saat mulutku beraksi.

“Oh… Mah… Enak mah… Ajari terus mah…”

Kuusap rambutku ke pinggir agar Wayan bisa melihat dengan jelas apa yang sedang kulakukan. Kuelus pelir anakku sambil kontolnya kuhisap. Anakku sedang berjuang merintih menahan nikmat. Kini kulepas kontolnya, namun ganti kujilati layaknya magnum. Semakin lama jilatanku, semakin jelas erangan anakku.

Beberapa saat kemudian, mulutku mulai pegal. “Mau lanjut atau ganti mau ngentot lagi?”

“Wayan ingin ngentot mah.”

Aku berbaring di kasur, kubuka kembali pahaku. Anakku tersenyum lalu menciumku.

“Bisa ngentot dengan cara lain gak mah?”

“Bisa dong sayang,” kataku lalu berbalik dan nungging. “Ini namanya doggie style, atau gaya anjing. Kamu ke belakang mama, terus masukan kontolmu dari belakang.”

Anakku langsung mengikuti kalimatku. Luar biasa cerdasnya dia, dia mengelus pantatku. Kurasakan helm kontolnya masuk ke memekku hingga terbenam seluruhnya. “Sekarang gerakan kontolmu nak.”

Wayan mulai memompaku dari belakang membuatku makin tak tahan ingin segera orgasme. Wayan kini agak membungkuk untuk meraih putingku dengan tangannya. “Ahh… ahh…” erangku menyambut tangannya. Sodokan anakku membuatku makin melayang.

“Pelan - pelan nak, biar gak cepet keluar,” desahku sambil menoleh. Anakku berkilau penuh dengan peluhnya.

“Enak mah… ah…” katanya disela sodokannya yang makin liar. Tangannya kini kembali meremas pantatku. Hingga akhirnya sodokannya menukik bersamaan dengan semburan peju di memekku. Semburan itu kembali membuatku orgasme.

Anakku membiarkan kontolnya di memeku hingga beberapa saat kemudian keluar. Dia lalu meniciumi pantatku. Diantara ciumannya, terdengar bisikannya, “Mah… Wayan ingin yang lain lagi…”

Aku lalu ambruk ke kasur. Kubalikan tubuhku.

“Ingin apa lagi anakku yang ganteng ini?”

“Wayan ingin.. kalau boleh… ingin yang ini,” katanya sambil menunjuk anusku dengan jemarinya.

Aku tak pernah memberitahukan hal ini. Dari manakah ia mengetahuinya? Ah… jangan - jangan dari si bili lagi.

“Sayang…” kataku saat anakku menciumiku, dari memek naik hingga susu. “Mama rasa kamu, kita belum siap untuk itu. Sekarang, memek mama hanya untukmu.”

“Mama emang pintar,” desahnya sambil menyusu padaku.

Anakku menurunkan kepala untuk menciumi perutku. Kubuka lebar pahaku. Tangannya memegang tubuhku.

“Wayan dulu di salam sini ya mah?” katanya sambil menatap perutku.

“Ya nak. Memangnya kenapa?” Aku penasaran tentang pikirannya itu.

“Mah… Wayan bisa buat bayi gak di sini?” katanya sambil melepaskan pandangan dari perutku. Kini pandangannya menatapku.

Aku menatapnya. Kini anakku tak seperti anak - anak. Pria dewasalah yang kutatap. Karena tak ada lelaki lain, aku tak memakai kb setelah kematian suamiku. Aku tak yakin bagaimana harus menjawabnya. Usiaku memang belum terlalu tua untuk memiliki anak lagi.

Bahkan sepertinya, benih anakku sudah mulai bersarang di rahimku yang tanpa pengaman. Kuraih kepalanya dan kudekatkan kepadaku. Aku berbisik di telinganya. “Tentu bisa nak.”

Akhirnya kami pun tertidur.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu