1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

Kuberikan boneka pada Bilal. Menurut apa yang aku dengar, perbonekaan ini awalnya dimulai oleh emaknya Eri, yang minta tolong pada dukun tua, untuk membantu anaknya. Lantas emaknya Eri ini ngomong sama emaknya Bilal, informasi ini digunakan emaknya Bilal untuk membantu memperbaiki tingkah laku Bilal.

Mama kini tahu tingkah lakuku sama Bilal. Sial. Kira - kira apa yang akan mama lakukan? Mama bilang ke emaknya Bilal kalau dia akan pake cara yang berbeda karena mama mengira aku takkan tertarik padanya.

Eh, tapi, apa itu artinya mama akan melakukan apa yang dilakukan oleh emaknya Eri dan emaknya Bilal?

Kemungkinan mama gak tahu kalau Bilal telah memberiku boneka yang mirip mama. Dari percakapan yang aku kuping, mama takkan menggunakan sensualitas tubuhnya untuk meredakan kenakalanku.

Benarkah itu?

Lebih baik aku bertindak dengan dugaan kalau boneka itu benar - benar nyata, seperti di film - film vampire tiongkok yang selalu diputar di tv tiap sabtu pagi. Seingatku, mama tak pernah begitu sensual jika ada aku.

Tapi, semenjak aku memiliki boneka ini, sakit kepala mama, saat mama bersila di ruang tv, maupun saat mama menelepon di halaman belakang, penjelasan apa yang mungkin bisa aku dapatkan? Apakah itu semua hanyalah kebetulan?

Kini kusadari kalau mama jauh lebih menarik dibanding emaknya Bilal. Lamunanku buyar saat mendengar mama bercakap dengan ayah. Kuraih bonekaku dan kuleus pahanya dengan jempolku.

Bagaimana kalau boneka ini benar - benar nyata?

Bukankah menghangatnya boneka ini bukan merupakan imajinasiku?

Bagaimana kalau boneka ini bekerja secara umum?

Tiap kali kuelus, mama jadi sange, hingga mau tak mau mesti masturbasi untuk meredakan nafsunya.

Kira - kira sepuluh menit aku bermain dengan bonekaku. Lantas boneka kutaruh di bawah kasur. Aku pun turun. Mama sedang membaca majalah sambil berbaring di sofa. Mama memakai kaos dan rok selutut. Aku duduk di bagian lain sofa, dekat kaki mama. Mama sedikit mengangkat kakinya untuk memberiku lahan duduk.

Wajah mama tertutupi majalah. Dari posisi dudukku, aku bisa melihat cd yang membalut selangkangannya.

“Jup.”

“Ya?”

“Mama mau ngomong.”

“Ya?”

“Mama dengar kamu mulai nakal di luar.”

Mama berhenti bicara, mungkin untuk memberi sentuhan khusus. Lagian jantungku berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Mama masih belum menaruh majalahnya, jadi kuputuskan untuk melihat cd mama lagi. Bagaimana kalau bonekaku tadi bekerja?

“Sebaiknya kamu mesti hentikan kenakalanmu sebelum terlambat.”

“Iya.”

Ayah memanggil mama.

“Mama lagi sibuk.”

“Kenapa ayah gak ke sini terus ngomong ke mama?”

“Ayahmu ingin mama membantunya memasang pencahayaan. Tapi mama lagi sibuk.”

“Iya, Jupri juga tahu kok.”

“Ayahmu juga gakkan ke sini bantuin mama olesin salep ke bagian yang lecet.”

“Lecet di mana mah?”

“Di kaki mama.”

“Soal kenakalanmu…”

“Sakit gak mah?”

“Lecetnya? Iya.”

“Mau Jupri olesin salep gak?”

“Gak.” Hening. “Terserah kamu lah.”

“Di mana?”

“Di belakang kakinya.”

“Maksud Jupri salepnya.”

“Oh, nih.”

Tangan mama menjangkau salep yang ada di meja di dekat kepala mama. Kuraih dan kubuka. Kusadari mama belum juga melihat dan atau menatapaku. Wajahnya selalu tertutup majalah. Kusemprotkan ke jariku.

“Di mana mah?”

“Di sini,” kata mama sambil menggerakan kaki kanannya. “Di pergelangan.”

Kuelus pergelangan kaki.

“Naikin.”

“Apa?”

“Naik ke atas lagi. Lecetnya sampai ke lutut.”

“Oh.”

kusemprotkan lagi salep ke tangan, lantas kembali kueluskan ke kaki mama. Dari pergelangan kaki naik ke lututnya. Aku tak melihat ada lecet di lututnya. Tapi di pergelangan kakinya pun aku tak melihat lecet.

Aku tak peduli, terus kuelus lutut mama, juga belakang lututnya.

“Mmmmm…” mama bersuara.

Tiba - tiba terlintas di kepalaku, mama tak perlu bantuanku atau bantuan ayah untuk sekedar mengoles salep di kakinya.

“Kaki kirinya juga Jup.”

Kuulangi langkahku di kaki kiri mama. Mama agak melebarkan pahanya. Karena keasikan, aku terlalu banyak mengoleskan salepnya membuat pergerakan jari di belakang lutut mama bersuara becek.

“Kebanyakan salepnya mah.”

Lantas tanganku yang berlumur salep kueluskan ke paha mama. Waw, aku terkejut akan tingkahlakuku sendiri. Aku takut akan tindakanku yang mungkin terlalu jauh, terlalu berani.

Ternyata benar, mama langsung merapatkan kedua pahanya.

“Gak ada lecet di sana.”

“Iya, maksud Jupri. Kan kebanyakan salep, biar tangannya kering lagi, jadi ya reflek.”

Meski mama tak menatap, aku tahu kalau mama merasakan kegugupanku yang terdengar jelas dari suaraku. Mama kembali menaikan bawahan roknya hingga ke lututnya.

“Oh gitu. Ya udah, makasih udah bantuin mama.”

“Iya, kalau mama butuh bantuan, panggil Jupri aja.”

Mama sepertinya akan menjawab, namun ayah muncul.

“Mah, bantuin ayah dong. Bentar kok.”

“Jupri aja yah.”

“Tapi kan dia gak tahu tata pencahayaan.”

“Jupri bisa kok bantuin ayah.”

“Iya lah.”

Ayah melangkah pergi. Kuikuti. Aku senang pergi dari ketercanggunganku bersama mama. Kira - kira sepenanakan nasi, aku membantu ayah menyusun tata pencahayaannya. Rupanya ada suami istri baru menikah yang pindah ke lingkungan kami, masih satu rt. Istrinya ingin jadi model baru ayah. Aku jadi penasaran, kenapa sesi pemotretan ini malah dilakukan di rumah, bukannya di kantor ayah?

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu