1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

Ternyata Ayah pun mau ikut campur urusanku, untungnya mama keburu ngomong. Jangan - jangan mama mau ngikuti langkah yang ditempuh emaknya Bilal sama Eri?

Kuambil boneka lantas duduk di kasur. Kembali kumainkan boneka dengan pelbagai langkah. Setelah puas, aku kembali ke ruang tv. Mama lagi menyenderkan diri di sofa sambil nonton tv. Untung lampunya dimatikan, hingga ereksiku yang menonjol tak begitu terlihat. Aku ke dapur dulu, menuangkan softdrink ke gelas, lantas membawa gelas.

“Nonton apaan mah?”

“Film barat. Drama.”

“Seru gak mah?”

“Sssshhh…”

Mama lantas mendekatkan pinggulnya padaku. Aku diam sambil sesekali meneguk minumanku. Kucoba peruntunganku, kurangkulkan tangan ke pinggang mama. Lantas diam. Mama diam. Kuturunkan sedikit telapakku, hingga menyentuh pinggulnya. Lantas diam. Kuremas sedikit, tangan mama bergerak, memegang tanganku.

Kali ini kuputuskan untuk tidak meremasnya, namun mengelusnya. Mama tetap diam. Kuelus terus hingga kusadari jariku mulai menyentuh kulit mama. Saat kulihat, ternyata elusanku membuat rok mama sedikit terangkat. Beberapa menit kemudian kucoba menyingkap rok mama hingga akhirnya telapak tanganku menyentuh kulit mama.

Untuk sedikit meredakan ketegangan, kuhabiskan minumanku. Kuangkat gelas kosong di hadapan mama.

“Tolong taruh di meja dong mah.”

Mama tak menjawab, hanya melihat tv saja. Kuputuskan menggerakan tubuh ke belakang mama untuk menyimpan sendiri gelasku ke meja. Saat itu, gundukan kontol di celanaku menekan pantat mama. Rasanya hangat, hehehe…

“Mundur dong. Sempit nih.”

“Oh, iya mah.”

Kumundurkan tubuh sedikit saja, membuat kontolku masih menekan pantatnya. Saat kulihat, ternyata rok mama sudah tertarik hingga ke pinggangnya. Kuputuskan untuk berbaring dengan satu sisi, kepalaku kuletakan ke tangan hingga pinggulku tetap menempel ke pantat mama. Posisiku kini, aku berbaring menyender ke sandaran sofa, sedang mama berbaring menyender ke tubuhku.

Dengan posisi mama yang berbaring membelakangiku, dapat kupastikan mama mengetahui gundukan kontolku yang menekan pantatnya. Namun mama bersikap seolah tak terjadi apa - apa. Tanganku yang bebas, kutaruh di pinggul mama.

Filmnya tamat.

Ternyata mama tetap menonton tv. Aku dan mama tak bergerak, kecuali tanganku yang kini mengelus pinggul mama. Tangan mama yang menyangga kepalanya bergerak, meraih bantal dan menaruhnya di depan kepala mama sehingga wajah mama tertutup bantal sofa. Kaki kiri mama mengangkat sedikit, elusanku bergerak ke paha kanan dalam mama.

Aku diam, kusadari aksiku berikut akan merubah masa depan hubunganku dengan mama. Bisa menjadi semakin mulus atau bahkan bisa menjadi berantakan.

Aku menunggu.

Aku menunggu.

Andai tangan mama tak mencengkram erat, mungkin sudah kukira kalau mama tertidur. Sekarang sudah bukan efek boneka lagi. Lagian mama tak tahu tentang bonekaku itu. Sekaranglah saat - saat penentuan bagi mama, apakah akan mengikuti jalan emaknya Eri dan Bilal, ataukah mengambil jalan sendiri?

Bukankah mama sudah bilang ke emaknya Bilal kalau aku takkan tertarik sama mama, tidak seperti apa yang Bilal lakukan pada emaknya?

Tapi sekarang mama mestinya tahu lebih pasti kalau aku juga tertarik sama mama, sama seperti Bilal yang tertarik sama emaknya.

Apakah mama juga menginginkannya?

Apakah mama akan membiarkanku?

Aku menunggu.

Paha mama masih mengunci tanganku.

Apa mungkin mama tak bisa menentukannya sendiri?

Tentu mama tak ingin aku tumbuh menjadi anak nakal.

Tentu mama ingin aku memiliki masa depan yang cerah.

Tapi, apakah ini sebanding dengan apa yang akan aku, kami, lakukan?

Kugerakan jempolku sedikit ke atas, paha mama menegang. Aku mesti meyakinkan mama kalau tiada cara lain lagi. Akhirnya kubuka mulutku.

“Kayaknya setiap orang pada dasarnya baik, tapi selalu ada sedikit noda, sedikit dosa, yang mengikuti kebaikan. Seperti apa yang ayah lakukan tadi.”

Aku jadi merasa gak enak menyinggung apa yang telah ayah lakukan. Mama tentu tahu kalau kata - kataku merujuk pada apa yang ayah lakukan bersama bu Susan di ruang kerjanya.

“Jupri selalu berusaha jadi anak yang baik, tapi jupri bukan nabi yang bisa sempurna, jupri tak luput dari dosa.”

Kugerakan kepalaku hingga dahiku menyentuh bagian samping mama yang dekat ke susunya. Kuelus - elus hidungku ke tubuh mama.

“Jupri terus berusaha jadi yang terbaik, namun susah,” bisikku. “Andai saja ada sesuatu yang bisa memotivasi Jupri. Sesuatu yang mengingatkan saat Jupri sendirian.”

“Andaikan mungkin,” aku diam beberapa detik, untuk memberi efek dramatisir, “kenakalan Jupri dipindahkan dari luar rumah ke dalam rumah. Seperti keseimbangan, baik diluar, nakal di dalam.”

Aku diam berharap mama bisa mencerna kalimatku. Ketegangan di paha mama kurasakan menurun.

Aku menunggu mama bersuara.

Mama menunggu.

Kugerakan lagi jempol, kini paha mama tak lagi menegang seperti tadi.

Kugerakan jempol seperti membelai naik turun, mama tetap diam.

Aku tak bisa mengontrol nafasku yang naik turun kegirangan.

Aku tak bisa menyembunyikan rasa senangku.

Aku tak bisa menyembunyikan nafsuku.

Kugerakan tangan kanan melewati tubuh, mama lantas memegang susunya.

“Jupri sayang sama mama. Jupri yakin mama bakal membantu Jupri.”

Tangan kiri kudorong hingga kini memegang selangkangannya. Jari tengahku mulai mengelus daerah yang kuyakin memeknya, meski masih memakai cd. Kutarik sedikit jariku, lantas kumasukan dari celah pinggir cdnya. Kini jari tengahku menyentuh langsung memek mama, yang ternyata lembab. Kutekankan lebih jauh jariku, hingga masuk ke memek mama.

Aku mengocok memek mama dengan jari tengahku. Pinggulku ikut bergerak menekan pantatnya. Karena keasikan, aku akhirnya mengeluarkan peju di dalam celanaku.

Setelah itu, mama berlagak seolah terbangun dari tidur, lantas duduk. Aku ikut duduk dan menarik tanganku dari memek mama. Mama lantas bangkit menuju kamarnya, bahkan tanpa berkata apa - apa. Aku ikut bangkit, mematikan tv dan ke kamarku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu