1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

Esoknya aku menuju rumah Bilal. Bukan karena ingin menemui Bilal, namun karena disuruh emaknya datang. Aku terkejut begitu emaknya menelepon. Bagaimana dia tahu nomorku?

Kuputuskan untuk menemuinya karena, katanya, kalau aku tak datang, dia akan bicara sama mama dan mengatakan hal - hal yang kulakukan bersama Bilal.

Jangan - jangan Bilal benar, emaknya hanyalah pelacur tua yang brengsek. Kuketuk pintu. Lantas pintu dibuka oleh emaknya Bilal. Senyum ramah tersungging di bibirnya. Aku pun dipersilakan masuk.

Aku takkan tertipu oleh senyum ramahnya. Aku telah melihat, dulu saat aku dan Bilal masuk dan disambut dengan senyum ramahnya, begitu pintu ditutup, emaknya Bilal langsung memarahi Bilal.

Maka dari itu, baru saja tiga langkah, aku sudah ingin berbalik dan berlari, pergi dari rumahnya. Namun ancamannya menghentikanku. Aku diam. Lantas emaknya Bilal berjalan. Kuikuti. Dari belakang kuamati emaknya Bilal. Ternyata dia memakai daster pendek yang agak transparan. Kuamati lebih serius lagi, aku tak melihat tali bh di dalamnya.

Aku lega saat dia menyuruhku duduk di kursi makan. Emaknya Bilal lantas mengambil gelas dan mengisinya dengan minuman dari kulkas. Satu gelas diserahkan kepadaku, satu lagi dipegangnya. Dia tetap berdiri, bersender ke konter untuk masak di dapur.

“Begini jup. Makasih ya kamu mau datang. Ibu mau berterimakasih atas semua bantuanmu untuk Bilal, terutama bantuanmu di sekolah.”

Melihat emaknya Bilal minum, aku pun ikut minum. Aku kira yang disuguhkan adalah sirop murni. Ternyata aku merasakan sedikit arak di dalamnya.

“Kini ibu mau membicarakan hubungan kalian di luar sekolah. Ibu tahu kalian selalu melakukan hal - hal yang… Sudahlah, kok ibu jadi ngelantur. Intinya, ibu ingin membicarakan hubungan kalian ke depannya. Ibu bahkan takkan bertanya, kenapa kemarin dan hari ini kamu memberikan uang ke Bilal.”

Jangan - jangan nih emak udah utak - atik hpnya si Bilal lagi… Gawat nih, gawat. Tapi kalau dia sudah utak - atik hpnya si Bilal, mestinya dia udah tau juga tentang boneka sialan itu. Mudah - mudahan dia tahu hanya karena menguping pembicaraan saja. Apa dia juga tahu anaknya jualan tuak juga?

“Gak usah membantah. Ibu juga tahu semuanya,” kata emaknya Bilal seolah membaca raut wajahku.

Namun tangannya, tangannya yang memegang gelas, perlahan dia gerakan. Dia gerakan gelas itu hingga setetes demi setetes tumpah membasahi dasternya, tepatnya bagian dadanya. Aku tak berani bergerak. Hingga tetesan yang membasahi dasternya cukup untuk membuat daster itu menempel ke susunya dan membuat cetakan putingnya terlihat.

“Kamu memang temannya Bilal. Tapi, mulai kini ibu juga mau jadi teman kamu. Kamu mau gak jadi teman ibu? Kamu mau gak bareng sama ibu membantu Bilal?”

Aku hanya mengangguk, sedang mataku terfokus pada dadanya.

“Bagus. Yang pertama kali mesti kita lakukan adalah membuat Bilal berhenti main gim warnet.”

Aku lantas tersadar.

“Menghentikan maen gim? Entahlah Bu, bukannya Bilal hobi banget ke warnet.”

“Ibu tahu. Mulai kini Bilal mesti berhenti maen gim.”

“Entahlah bu, kayaknya susah untuk menyuruhnya berhenti.”

“Kamu yakin? Bukankah gim itu hanya untuk anak kecil?”

Emaknya Bilal lantas mendekatiku, memegang bahuku hingga berdiri. Gelasku diambilnya dan diletakan di meja. Kini aku berdiri berhadapan dengan emaknya Bilal.

“Andai kamu juga berhenti main gim, ibu yakin Bilal juga mau mengikuti.”

Tangan emaknya Bilal meraih tanganku, lantas mengangkatnya.

“Kamu bukan anak kecil lagi kan?”

Telapak tanganku diposisikan oleh emaknya Bilal hingga menekan susunya.

“Kamu udah siap kan jadi laki?”

Aku terpana. Tanganku memegang susunya. Dapat kurasakan pentilnya yang mengeras seolah menusuk tanganku.

“Ibu bingung mesti ngapain lagi sama anak itu. Kamu mau kan bantu ibu?”

“Biar Jupri coba bu.”

“Kamu mau kan bantu ibu?”

“Siap bu.”

Emaknya Bilal lantas mencium pipiku, setelah itu bibirnya diusapkan ke bibirku, lantas dilepasnya.

“Makasih Jup. Ibu tahu kamu bisa diandalkan.”

Tangannya memengang belakang kepalaku. Bibirnya kembali menekan bibirku. Setelah beberapa saat, tubuhnya kembali menjauh.

“Buat Bilal berhenti main gim. Setelah itu, kita bisa melangkah lebih jauh lagi.”

Emaknya Bilal lantas tersenyum.

“Kalau kamu bisa, ibu sangat berterimakasih padamu. Bapaknya Bilal bentar lagi pulang.”

Aku pun pamit. Lantas pulang, aku tak bisa lari ke rumah, karena kontolku ngaceng berat…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu