1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

Besoknya Bu Bambang menyuruhku membeli tiket untuk pertandingan bola beberapa hari kedepan. Begitu tiba di lokasi penjualan tiket, aku terkejut karena begitu banyak orang mengantri, begitu banyak orang di satu tempat, begitu banyak orang di sekitarku.

Aku tak tahan. Aku langsung berlari ke rumah.

Wow, cepat juga ya.

Bu Bambang bicara dari dapur begitu mendengar aku pulang.

Aku langsung ke kamar. Kujatuhkan diri ke kasur. Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya. Meski tidak menangis, mungkin terlihat seperti menangis. Kayak anak kecil saja, bahkan tak sanggup beli tiket. Kuhentakkan kepala ke kasur beberapa kali.

Kutarik nafas dalam-dalam. Mencoba mengusir rasa malu akibat kegagalanku. Apa yang Bu Bambang pikirkan kini? Pintu diketuk, lantas terbuka.

Kamu gak apa-apa Li?

Iya. Entar juga baikan kok.

Aku sengaja membelakangi pintu, agar gak bisa dilihat Bu Bambang.

Gak usah dipikirkan. Biar nanti Bapak yang beli tiketnya sekalian pulang kerja.

Yah, bukan kejutan lagi dong.

Tetap saja, Bapak sudah senang kamu ngajak Bapak nonton bola.

Apa iya Ali sanggup nonton, sedang beli tiket saja Ali gak sanggup. Pokoknya biar Ali coba lagi beli tiket.

Iya. Ibu ada di rumah kok kalau Ali butuh.

Sepuluh menit kemudian aku keluar kamar. Aku ingin membuktikan pada Bapak dan Ibu Bambang kalau aku bisa. Aku bukanlah anak kecil yang mudah ditakuti.

Kudapati Bu Bambang di dapur. Lantas kusadari beliau di sana bukan untuk masak, namun menungguku. Kudekati lantas Bu Bambang memelukku. Rasanya aku seperti termotivasi lagi.

Aku berlutut di pelukannya. Kepalaku menekan perutnya. Tangannya mengelus rambutku.

Sshhh…

Aku menangis. Tanganku gemetaran. Kulihat keatas. Aku terkejut melihat ekspresinya yang menyatakan ketidakberdayaan.

Kenapa Bu Bambang terlihat tidak berdaya? Bukankah yang yang memiliki ketakutan berlebih. Jangan-jangan Bu Bambang begitu peduli padaku. Tak mampu menolong orang yang sangat dipedulikannya mungkin membuat Bu Bambang tak berdaya.

Kupegang roknya lantas ku angkat.

Jangan Li, Bapak bentar lagi pulang.

Ali ingin liat hadiah Ali biar bisa beli tiket.

Udah telat Li. Besok lagi aja.

Enggak.

Kuangkat lebih tinggi lagi roknya hingga terpampanglah cd Bu Bambang. Kuserahkan rok ke tangannya.

Pegang Bu.

Kulihat cd Bu Bambang.

Ali.

Ssshhh…

Bu Bambang kini menyandarkan tubuh ke meja. Roknya tetap terangkat. Tanganku memegang pantatnya, hidungku mengelus selangkangannya sambil menghirupnya.

Tangan Bu Bambang kini mengelus rambutku. Kucium selangkangannya dengan mulutku. Kujulurkan lidah lantas kusapu. Kukakukan lidah dan kudorong membuat Bu Bambang mengerang.

Kujilati lagi layaknya menjilati es cone dulu. Jilatanku makin cepat. Erangan Bu Bambang makin tak jelas.

Sudah Li, sudah.

Bu Bambang mencoba menutup pahanya, namun tanganku menahannya. Hingga akhirnya kupelorotkan cdnya.

Terlihatlah kini memeknya. Kujulurkan lantas kujilati memeknya. Tangan Bu Bambang makin meremas kepalaku, namun bukannya ditarik, malah ditekannya. Kumasukan lidahku sedalam mungkin ke memeknya, lantas kugerakan keluarmasuk.

Kuhentikan dorongan lidahku, kuganti dengan sapuan dari bawah ke atas.

Kini kucoba memasukan satu jari ke memeknya. Erangan Bu Bambang makin terdengar jelas.

Kukocok jariku. Saat aku merasa Bu Bambang akan orgasme, kucabut jariku lantas kusapu lagi memeknya dengan lidahku.

Ohhhhhhh…

Bu Bambang menjerit, pahanya menjepi kepalaku.

Kepalaku mulai bisa bergerak lagi saat pahanya tak lagi tegang. Namun tanganku tak lepas dari pantatnya hingga Bu Bambang tak mengejang lagi.

Kulepas cd yang masih menempel di kakinya, lantas berdiri. Rok daster Bu Bambang kembali melorot. Napasnya masih tak menentu namun matanya terlihat senang. Tak terlihat sorot mata kecewa dan atau marah. Kumasukan cdnya ke saku celanaku.

Ali pasti bisa kali ini.

Tunggu Li.

Aku berbalik. Bu Bambang meraih tisu dan mengelap wajahku.

Beli juga buat Ibu. Ibu juga ingin nonton.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu