1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

“Gak ada yang lupa?”

Bu Bambang melihat kosmetik yang berserakan di meja. Kosmetik yang baru saja aku beli.

“Dari beberapa toko berbeda kan?”

Berbeda dari hari kemarin, kali ini Bu Bambang terlihat terpukau.

Kuusapkan lutuku ke belakang lututnya. Lantas kutekan selangkanganku ke pantatnya. Wajah Bu Bambang menatap ke arah suaminya sedang duduk.

Aku tak peduli, kugesekan selangkanganku dan kucium pipinya.

“Jangan Li”

“Sedikit hadiah dong.”

Kuputar tubuh Bu Bambang lantas kucium.

“Ada Bapak.”

“Biar saja.”

Kucium lagi Bu Bambang. Kumainkan lidah. Bu Bambang mencoba berontak. Kupegang rambutnya hingga kepalanya diam. Setelah beberapa detik, Bu Bambang mulai tenang.

Tangan kananku kini meremas susu kirinya. Bu Bambang tak protes.

Saat Bu Bambang berbalik untuk menghitung lagi kosmetiknya, Pak Bambang datang.

“Apalagi ini? Sukses belanja lagi? Hore.”

“Iya. Ali beli ini. Tapi dari beberapa toko berbeda.”

“Benarkah? Menakjubkan. Bapak udah bilang ke mamamu kalau ini hanya sementara.”

Bu Bambang mendadak menatap, memelototi suaminya.

“Maksud bapak, rasa takut di luar rumah, eh, tapi kamu benar - benar sembuh.”

“Iya. Ali rasa Ali bisa melakukannya dengan sedikit motivasi.”

Aku menyadari kecanggungan Pak Bambang karena menyinggung mamaku. Pak Bambang tentu tahu kalau orang tuaku telah meningggal. Reaksi Bu Bambang menyiratkan seolah dia khawatir kalau aku berbicara soal orang tuaku.

Pak Bambang kini mencoba mengganti topik pembicaraan.

“Memang luar biasa perkembangannya. Tapi kita mesti terus mencoba.”

Setelah Pak Bambang pergi, Bu Bambang kembali bicara, pelan.

“Jangan dengar omongannya. Kadang dia bicara tanpa dipikir dulu.”

Kurasa Bu Bambang terlalu khawatir padaku. Orang tuaku telah lama meninggal. Aku bahkan tak bisa mengingat wajah mereka. Bahkan, aku tak bisa mengingat mereka. Apa mungkin Bu Bambang memang sepantasnya khawatir?

Mungkin ada sesuatu yang menyebabkanku tak bisa mengingat orangtuaku. Aku mulai khawatir. Tapi tak kutunjukan pada wajahku.

“Iya Bu, Ali juga gak memikirkannya.”

Malamnya, seperti biasa, Bu Bambang mempertunjukan kebolehannya. Aku tak lagi khawatir pada Pak Bambang semenjak beliau menunjukan kekagumannya atas diriku. Dan lagi, dari pembicaraan mereka yang aku kuping dari luar rumah, Pak Bambang menyerahkan sepenuhnya aksi Bu Bambang untuk membantuku mengatasi ketakutanku.

Aku merasa Pak Bambang tak lagi keberatan atas aksi istrinya. Atas aksi istrinya yang diketahuinya. Tentu Pak Bambang akan marah jika tahu aksi istrinya yang terjadi diluar sepengetahuannya.

Kini Pak Bambang sedang nonton berita. Saat iklan, Pak Bambang beranjak ke kamar mandi. Aku beranikan diri menghampiri Bu Bambang untuk melihat tubuhnya dari dekat. Bu Bambang tak mau repot - repot menutupi tubuhnya.

Aku makin berani, kulebarkan selangkangannya hingga terlihatlah cd birunya. Bu Bambang tak terlihat panik karena memang belum terdengar siraman air dari kamar mandi.

Tentu aku belum menyadari kalau Bu Bambang tak suka dipaksa atau dibuat terburu - buru. Apalagi beliau tak berusaha menutup pahanya. Tapi matanya menatap ke arah lain, menunjukan ketidaksukaannya.

Tatapan Bu Bambang itu menyadariku kalau Bu Bambang tak suka paksaan.

“Maaf bu. Ali gak bisa bersabar. Aku terlalu antusias menunggu esok hari.”

Tatapan Bu Bambang melunak.

“Masih butuh bantuan ibu ya?”

“Selamanya bu. Ibu nanti mau ke kamar Ali?”

“Emang Ali butuh Ibu?”

“Iya.”

“Kalau gitu Ibu akan datang.”

Terdengar suara siraman air.

***

Lampu kamarku mati. Satu - satunya sumber cahaya berasal dari tv, yang suaranya ku-mute-kan, alias tiada suara. Bu Bambang lantas masuk dan menciumku.

“Ibu gak bisa lama, Bapak belum tidur.”

Aku tak membantahnya. Kuangkat kepala dan menciumnya. Tangan kananku memegang kepalanya sedang tangan kiriku memegang bahunya.

“Mungkin untuk satu ciuman saja,” lirihnya.

Kutekan tanganku hingga tubuh Bu Bambang menindihku. Kucium.

“Kamu nakal ya menahan Ibu,” katanya sambil telunjuknya mengelus dahiku. “Bapak pasti bertanya - tanya kenapa Ibu lama sekali.”

“Benarkah?”

Kembali kucium bibir Bu Bambang. Rupanya Bu Bambang mulai sadar akan tiadanya selimut yang memisahkan tubuhku dan tubuhnya.

“Selimutnya kemana?”

“Gerah bu, jadi gak pake selimut.”

Tanganku memeluknya erat agar tak bangkit.

“Tapi kita gak boleh begini.”

“Begini gimana?”

“Tanpa selimut.”

“Kenapa? Lagian bedanya apa?”

“Gak sopan.”

“Kenapa? Kita kan berpakaian, gak telanjang.”

Tak kusinggung tentang diriku yang hanyha memakai celana pendek. Kucoba mencium tapi bibirnya menolak.

“Entahlah, ibu rasa terlalu.”

“Tenang aja.”

Kutahan kepalanya dan kuhujani bibirnya dengan ciumanku. Awalnya Bu Bambang menolak, namun akhirnya pasrah.

“Pak Bambang bakal penasaran Ibu ke mana. Ibu mesti pergi.”

Kuelus punggung Bu Bambang dengan tanganku.

Kuelus bibir Bu Bambang dengan bibirku.

“Ibu mesti pergi.”

Aku tahu Bu Bambang tak ingin beranjak.

“Bapak kemungkinan ketiduran.”

“Kamu yakin?”

“Apa bapak lagi baca?”

Kuarahan tanganku ke pantatnya. Kuelus dan kuremas. Tiada penolakan.

“Iya.”

“Kan Ibu bilang bapak selalu langsung ketiduran kalau lagi baca di kasur.”

“Memang.”

“Jadi Ibu gak usah terburu - buru.”

“Mungkin.”

Kuremas pantatnya dengan kedua tanganku dan kucoba melebarkannya.

“Tanganmu lagi ngapain?”

“Lagi meriksa hadiah dong.”

“Hadiah?”

“Cd biru ini.”

“Kamu mesti belanja ke tempat spesial kalau mau hadiah itu. Besok Ibu beri hadiahnya.”

Bu Bambang menggodaku, namun tak mencoba menyingkirkan tanganku.

“Sekarang.”

“Sekarang?”

“Ali ingin hadiahnya sekarang biar esok bisa beraksi lagi.”

“Ibu gak bisa ngasih sekarang. Kan lagi Ibu pakai.”

“Kan Ibu pake daster, tinggal lepas saja.”

“Ibu gak bisa tidur tanpa cd. Ntar Bapak menyadarinya.”

“Bapak kan tidur.”

“Siapa tahu belum.”

“Bapak gakkan menyadarinya.”

Kucium Bu Bambang. Tangan kiriku mengelus rambutnya sedang tangan kananku tetap di pantatnya. Lantas aku mulai menarik ujung dasternya.

“Mau ngapain kamu?”

“Siap - siap ambil cd.”

“Ibu gak bilang boleh.”

Aku tak bicara namun tetap menarik ujung dasternya.

“Jangan sekarang. Ibu lepas saat ibu pergi.”

“Jangan, sekarang aja.”

“Ali, Ibu gak bisa..”

“Bisa, Ibu bisa.”

Kuangkat hingga ujung roknya mencapai pinggangnya. Lantas Bu Bambang mengangkat pinggul dan menarik cdnya.

“Biar sama Ali bu.”

Bu Bambang diam membiarkanku menarik cdnya hingga ke lutut. Lantai kakiku menariknya hingga lepas. Kami kembali beciuman. Kali ini tanganku mengelus pantatnya langsung tanpa terbungkus cd. Kulebarkan pantatnya hingga beberapa kali karena tiada penolakan.

Bu Bambang mulai menggoyangkan selangkangannya kepadaku. Celanaku mulai basah. Kupikir aku orgasme, lantas kusadari aku belum orgasme.

Bu Bambang melepas ciumannya lantas menekan memeknya ke celanaku sambil terus menggoyangkannya. Tangannya mencengkram bahuku sedang kepalanya berada di samping kepalaku.

Aku orgasme.

Beberapa detik kemudian, Bu Bambang bangkit. Bagian rok depan dasternya terlihat basah.

“Duh,” kata Bu Bambang lantas melepas dasternya hingga telanjang. “Sebaiknya Bapak udah tidur lelap.” Bu Bambang memegang dasternya, lantas mengambil cdnya dan keluar dari kamarku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu