1 November 2020
Penulis —  qsanta

Mamanya Eri

Menit - menit berganti dengan detik dan detik pun silih berganti. Hari - hari pun silih berganti. Bilal menjaga omongannya. Jauhi gim, jauhi masalah. Dan aku ingin mendengar laporannya dari emaknya, sekalian ambil hadiahku. Ayah lagi sibuk di ruang kerjanya. Sedang di radio, mama dengar lagu kesayangannya.

Kuraih boneka mama. Kubaca mantra. Aku keluar kamar. Mengendap - endap ke tv. Mama lagi duduk. Aku berdiri jauh di belakangnya. Kuposisikan dan kutaruh boneka dihadapanku. Kuelus paha boneka dengan kuasku. Setelah beberapa menit, aku mendengar erangan dari mulut mama. Siapa yang bakal mengira aku jadi pengikut film vampire?

Aku tahu mama kesepian. Biar kubantu mengatasinya, batinku berkata.

Boneka yang kupegang mulai menghangat. Meski tahu, tetap ada sedikit rasa takut. Kulepas kaos boneka tersebut lantas terkejut melihat mama yang juga ikut melepas kaosnya. Ternyata mama tak memakai bh. Kuelus dengan kuas punggung boneka hingga ke titik di atas belahan pantatnya. Posisi duduknya membuatku bisa melihat sebagian dari susu kirinya.

Suka gak diginiin mah, batinku saat melihat mama menggelinjang. Kayaknya mama suka ya.

Setelah puas mengelus susu boneka, kulepaskan celana yang menempel pada boneka. Ternyata mama bangkit dan melepas rok pendeknya. Saat mama akan duduk, mama berdiri lagi. Rupanya mama ikut melepaskan cdnya. Mama pun duduk lagi.

Kuposisikan boneka agar nungging di atas kedua tangan dan lututnya. Mama ikut nungging. Perlahan, kutusukan kuas dari belakang untuk mengelus memek boneka. Pantat mama kini bergerak maju mundur.

Saat dahi mama jatuh menindih karpet, aku terpana melihat pantat mama yang nungging ke atas. Kuasanku terus berjalan. Mama terus menggoyangkan pantatnya seolah dientot oleh orang yang tak terlihat.

Pergerakan pantat mama mulai melambat, namun tubuh mama mengejang hingga akhirnya pantat mama pun ikut roboh ke karpet.

***

Esoknya, saat siang aku menuju rumah Bilal, memenuhi undangan dari emaknya. Saat kuketuk, tiada jawabnya. Akhirnya kubuka pintu, lantas masuk.

“Silakan duduk. Tunggu bentar yah.”

Aku duduk di sofa di ruang tamu.

“Seorang laki akan berdiri kalau melihat wanita datang.”

Suaranya mengejutkanku. Aku lantas berdiri.

“Bapaknya Bilal mau ngajak ibu keluar. Menurutmu, pakaian ini cocok gak?”

Aku melihat emaknya Bilal memakai sejenis gaun malam tipis hingga sepaha. Begitu tipisnya gaun itu membuatku bisa melihat kalau emaknya Bilal hanya memaki cd di dalamnya.

“C… cocok Bu.”

Emaknya Bilal mendekatiku hingga berdiri di depanku.

“Yakin? Apa gak terlalu mencolok?”

Tangannya memegang tanganku. Lantas tanganku di bimbingnya hingga memegang susunya. Tangannya meremas tanganku, membuat tanganku meremas susunya.

“Jupri.”

“Eh, enggak. Ibu jadi terlihat cantik kok.”

“Yakin nih? Apa gak terlalu kekecilan?”

Emaknya Bilal menarik roknya ke bawah, tanganku otomatis lepas dari susunya. Namun, karena tarikan tangannya, gaun itu tertarik hingga membuat susu kirinya seperti tumpah keluar dari belahan lehernya.

“Ups. Tolong benerin dong Jup.”

Kuangkat tangan dan membenarkan posisi gaunnya. Tanpa kusadari, emaknya Bilal makin mendekat. Kini bahkan kurasakan selangkangannya menggesek selangkanganku.

“Kecil ya?”

Emaknya Bilal menyadari tatapanku ke susunya.

“Enggak. Bagus kok?”

“Ah masa?”

“Iya.”

“Masa iya sih kamu bisa menilai hanya dengan tatapan?”

Gila. Maksudnya apaan nih?

“Boleh gak?”

“Boleh dong. Lagian kamu udah sangat membantu ibu.”

Kupegang susunya dengan kedua tanganku.

“Udah ibu bilang, ibu akan sangat berterimakasih kalau kamu membantu ibu. Tenang saja Jup, gakkan pecah kok.”

Kuremas susunya.

“Nah, gitu bagus.”

selangakangannya tak berhenti menggesek selangkanganku. Aku meremas susunya untuk beberapa saat.

“Kamu mau menciumnya gak?”

Aku mengangguk. Emaknya Bilal melihatku tanpa ekspresi. Entah itu berarti mengiyakan atau tidak. Kumajukan kepalaku, namun ekspresinya tak berubah. Kucium bagian atas susunya. Lantas diam. Aku tak berani bergerak lagi.

Tangan emaknya Bilal memegang rambutku. Lantas memandu kepalaku hingga mulutku mencapai putingnya yang terbalut gaun malam.

“Ayo Jup.”

Merasa mendapat angin segar, aku main kan lidah di putingnya. Tak lupa aku hisap. Kini tangan emaknya Bilal mengeluarkan susu dari gaun itu, hingga akhirnya tumpah. Kulanjutkan hisapanku.

“Ibu tahu kamu telah membantu Bilal. Kalau kamu mau membantu lagi, ibu akan lebih berterimakasih lagi.”

“Apapun yang ibu butuhkan, Jupri bakal bantu.”

Kudengar suara mobil bapaknya Bilal.

“Sial. Dia pulang cepat. Cepat sembunyi ke dapur!”

Aku lari ke dapur lantas sembunyi.

“Dari mana aja pah?”

“Biasa. Ngapain mama pake baju kayak gitu?”

“Emang kenapa?”

“Kok kenapa. Kalau si Bilal pulang gimana?”

“Iya deh mama ganti. Mandi dulu sana!”

“Iya. Tapi papa telat nih. Mama mau ikut gak?”

“Iya. Mama lagi beresin dapur dulu.”

Aku tegang. Takut ketahuan. Saat kudengar suatu langkah menjauh, aku lantas mengintip. Namun tangan emaknya Bilal mendorongku.

“Tunggu,” bisiknya. “Janji kan mau bantu Ibu soal Bilal?”

“Iya.”

“Janji?”

“Iya, janji. Jupri mau pergi dulu.”

“Janjinya pake cium dong.”

“Tapi bu, bapak kan lagi mandi.”

“Iya. Bayangkan segimana marahnya dia kalau tahu apa yang kamu lakukan sama istrinya.”

“Bu,” aku putus asa.

“Satu ciuman aja Jup.”

Tubuhnya mendekat, membuat bibirnya menempel pada bibirku.

“Remas tangan ibu sambil nyium.”

Kulakukan keinginannya. Ciuman dan pergerakan lidahnya di mulutku membuatku bertanya - tanya apa rasanya kalau mulut itu dimasuki kontolku. Ciuman kami agak lama.

“Udah cukup. Mending kamu pergi sekarang.”

Kuikuti sarannya. Aku melangkah ke pintu. Namun sebelum membuka pintu, aku dipanggil.\

“Jup, ibu tahu soal kalian dan dua gadis itu. Bagus juga membuat Bilal dekat sama cewek.”

Aku keluar rumahnya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu