1 November 2020
Penulis —  Neena

Paha Mulus Itu pun Merenggang

Bagian 11

Aku mulai dengan menjilati paha putih mulus itu, sampai ke selangkangannya. Kemudian kedua tanganku mengangakan mulut vagina Hanum. Dan mulai menjilatinya. Dengan sepenuh gairahku, sekaligus bernostalgia pada masa kuliahku dahulu.

Hanum mjulai menggeliat dan mengerang erotis, “Saaaam… aaaaa… aaaaah… aaaaa… aaaaaah… Saaaam… Saaaam… aaaaah… aaaah… aaaaah… Saaaaam… aaaaah… Saaaam… Saaaaaam…”

Pada waktu aku sedang intensif menjilati kelentitnya, tanganku pun menjulur sampai berhasil memegang payudara kecil tapi masih sangat kencang padat itu. Maka kulanjutkan menjilati kelentit Hanum sambil meremas - remas toket kecilnya.

Hanum pun mengerang dan merintih - rintih sambil menggeliat - geliat terus, “Saaaam… aaaaah… Saaaaam… ini… makin lama makin enak Saaaam… aaaaaah… Saaaam… gak nyangka aku akan mengalami semuanya ini Saaaam… aaaaaaah… Saaaam… aku… seperti melayang - layang Saaaam… aaaaah…

Setelah kuamati, ternyata memek Hanum sudah basah oleh air liurku, mungkin juga bercampur dengan lendir libidonya.

Maka dengan sigap kulepaskan kimonoku, sehingga sekujur tubuhku tak ditutupi apa - apa lagi. Sementara ketika memandang ke arah Hanum, ternuyata dia pun sudah melepaskan kimononya, sehingga tubuhnya yang sangat putih mulus itu pun sudah telanjang.

Hanum seperti mengerti apa yang akan kulakukan. Sepasangpaha mulus itu pun merenggang.

Ketika aku memegang batang kemaluanku dan meletakkan puncaknya di ambang mulut vagina Hanum, masih sempat aku bertanya, “Hanum tau kan apa yang akan kulakukan?”

Spontan Hanum menyahut, “Iya… Sam mau menyetubuhiku kan?”

“Betul. Apakah kamu tidak berkeberatan?”

“Tidak Sam. Jujur… sebenarnya sudah lama aku pun ingin merasakannya. Tapi tidak ada seorang cowok pun yang sesuai dengan kriteriaku. Baru Sam ini yang kuanggap memenuhi kriteriaku.”

“Oke… aku akan mulai yaaaa…” ucapku yang dilanjutkan dengan mendorong penis ngacengku sekuat tenaga.

Mulai masuk kepalanya. Kudorong lagi sekuatnya. Membenam sampai lehernya. Dan tanpa melihat darah perawannya pun aku sudah yakin bahwa Hanum benar - benar masih perawan. Sehingga aku perlu mengerahkan tenaga lagi agar penisku membenam minimal setengahnya dulu.

Uuuugghhhh… seret sekali masuknya. Tapi akhirnya masuk juga penisku separohnya. Inilah saatnya untuk mengayun penisku perlahan - lahan… dengan gerakan pendek - pendek dulu.

Hanum tampak memejamkan matanya, sementara kedua tangannya meremas - remas kain seprai.

Dengan susah payah aku “berjuang” untuk mengayun batang kemaluanku, akhirnya liang kewanitaan Hanum mulai beradaptasi dengan ukuran tongkat kejantananku.

Maka entotan penisku pun mulai lancar bermaju mundur di dalam jepitan liang memek yang luar biasa sempitnya ini.

Hanum pun mulai merapatkan pipinya ke pipiku, sambil mendesah - desah dan merintih - rintih histeris, “Saaaam… ooooooh Saaaaam… oooooooh… Saaaaam… ooooooohhhhhhh…”

“Sakit?” tanyaku setengah berbisik.

“Tadi… sakit sedikit… tapi sekarang tidak lagi… ma… malah jadi enaaak… Saaaam… oooohhh… enaaaak Saaaam…”

Maka aku pun mulai menggencarkan entotanku. Sambil melumat bibir Hanum… terkadang sambil menjilati lehernya yang mulai keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Di saat lain kuremas toket kanannya, sementara ketiak kirinya kujilati dengan lahapnya.

Hanum pun mulai menggeliat - geliat erotis, seperti ular yang terinjak kepalanya.

Ini membuatku nikmat… nikmat sekali.

Durasi entotanku berlangsung cukup lama. Keringat pun mulai bercucuran dari tubuh kami. Namun aroma keringat Hanum justru membuatku semakin bergairah untuk menggenjot penisku. Sehingga rintihan - rintihan histeris Hanum pun semakin menjadi - jadi.

“Saaaam… aku cinta padamu Saaam… aaaaaa… aaaahhhh… cinta Saaam… Cintaaaaaaaa… Cintaaaaa… aaaaaaaaahhhhh… aaaaaaa… aaaaaaaah Saaaaaam… Saaaaam… aaaaaaah… Saaaaaam… aaaaa… aaaaah Saaaam…”

Aku memang merasakan nikmat yang luar biasa. Tapi aku p[un tak mau terlalu lama menyiksa fisik Hanum. Aku tahu bahwa tadi, ketika aku sedang gencar - gencarnya mengentot liang memeknya, Hanum sudah mencapai orgasme yang pertama. Maka aku mengintai orgasme keduanya. Kalau gejala - gejalanya mulai kelihatan, aku pun akan memfokuskan diri untuk berejakulasi.

Berhasil. Hanum mulai berkelojotan lagi, meski gejalanya agak samar - samar. Namun ketika ia mulai mengejang tegang, dengan perut agak terangkat, aku tahu bahwa ia benar - benar akan orgasmu.

Pada saat itulah kupacu penisku dengan ayunan yang semakin dominan. Semakin kencang dan semakin keras.

Sampai akhirnya kutancapkan penisku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek Hanum.

Pada saat itulah terjadi sesuatu yang sangat indah. Bahwa ketika liang memek Hanum berkedut - kedut kencang, penisku pun sedang berkejut - kejut sambil memuntahkan lendir hangatnya.

Crooootttttt… crotttt… croooot… crotttt. crooootttt… croooootttt…!

Lalu aku terkapar di dalam pelukan Hanum, dengan keringat makin membanjiri tubuh kami.


Para readers yang tercinta…

Sampai di situ penulis kehilangan jejak.

Jelas masih ada yang harus kutulis. Tapi dasarnya (email dari Ayu) belum datang lagi.

Sampai akhirnya aku menelepon Ayu dan menanyakan email dari Sam yang biasanya diforward ke alamat emailku.

Ayu menjawab, “Belum datang lagi emailnya, Neen. Coba aku mau telepon dia dulu ya. Mungkin dia lupa karena tenggelam dalam kesibukannya. Tutup dulu teleponnya ya. Nanti gimana - gimananya akan kukabari.”

Aku cuma mengiyakan, meski dengan perasaan kecewa.

Tak sampai sejam kemudian, Ayu meneleponku dan berkata, “Neena… Sam bilang akan berusaha menemuimu untuk mengantarkan flashdisk berisi catatan pribadi selengkapnya.”

Haaa?! Sam mau menemuiku langsung untuk mengantarkan flashdisk berisi catatan pribadinya itu?

Mungkin Sam gak mau terlalu banyak mengganggu privasi Ayu yang sekarang sudah hidup mapan. Sehingga ia akan menemuiku langsung, untuk mengantarkan flashdisk berisi catatan rahasianya itu.

Kalau memperturutkan nafsu, mau saja rasanya kutamatkan saja cerita ini, dengan akhir yang floating. Namun aku berusaha untuk bersabar.

Sampai pada suatu pagi…

Pagi itu aku baru saja selesai masak untuk makan Chida, anak semata wayangku yang baru berusia 3 tahun itu. Lalu makanan itu kuberikan kepada Riris, babysitter yang mengurus Chida sejak masih bayi merah.

Tiba - tiba handphoneku berdering. Kuambil hapeku dan kulihat nomor tidak kukenal yang memanggilku. Siapa ya? Jangan - jangan orang yang mau menipu seperti yang sering terjadi pada teman - temanku. Tapi akhirnya aku “nekad” dan menerima call itu.

“Hallo?”

Terdengar suara lelaki, “Hallo… apakah ini benar nomor Neena Maureen?”

“Be… betul. Ini dengan siapa ya?”

“Aku adik tirinya Mbak Ayu. Aku ini yang biasa disamarkan sebagai Sammy dalam cerita karya Neena.”

“Ooooh gitu…” sahutku cukup kaget, “Berarti Ayu juga yang ngasih nomor hapeku ya?”

“Bukan cuma nomor hape. Alamat rumah dan foto - foto Neena juga kasih liat. Tapi gak apa - apa kan?”

“Gak apa - apa sih. Foto - fotonya paling juga buat nakut - nakutin tikus.”

“Iiiih… Neena gak boleh bilang begitu. Merendahkan diri sih boleh - boleh aja. Tapi kalau terlalu merendahkan diri, sama aja dengan melecehkan sang Pencipta yang menciptakan kita semua.”

“Iya, iya… by the way, ada apa nih. Kok tumben Big Boss mau nelepon aku yang cuma ibu rumah tangga biasa?”

“Pertama, aku ingin mengucapkan terima kasih, karena Neena sudah menulis semuanya tentang diriku dan tentang keluarga besarku. Aku merasa semuanya telah mewakili diriku untuk curhat tapi tak mau identitasku dikenal orang.”

“Iya… kebetulan juga sih aku sering banyak waktu terluang…”

“Yang kedua adalah… aku takkan mengirim email lagi kepada Mbak Ayu. Karena aku ingin menyerahkannya langsung kepada Neena. Ini aku ada flashdisk yang berisi curhatan perjalanan hidupku, panjang sekali isinya. Kalau dibuat naskah, bisa ribuan halaman. Flashdisk ini akan kuberikan pada Neena. Tapi gimana caranya?

“Ketemuan di café aja deh. Rumahku malu - maluin. Masa Big Boss mau mampir ke rumahku yang sudah mau roboh gini?”

“Ya sudah. Kalau gitu nanti sore sekitar jam empat kita ketemuan di café ya,” kata Sam sambil menyebutkan nama sebuiah café terkenal di kotaku.

“Mmm… oke deh.”

Aku tahu bahwa Sam itu seorang playboy. Tahu juga bahwa semua perempuan yang pernah digaulinya selalu mendapatkan limpahan harta yang tidak sedikit. Tapi sedikit pun aku tak memikirkan hal yang lain - lain, kecuali ingin mendapatkan flashdisk itu saja. Supaya cerita yang sedang kukerjakan tidak terputus di tengah jalan.

Tidak ada pikiran lain kecuali flashdisk itu.

Namun sorenya, tak urung aku degdegan juga ketika kakiku sudah menginjak teras café yang dijanjikan itu. Terlebih lagi setelah seorang lelaki muda muncul dari dalam café dan menghampiriku dengan senyum yang… aaaah… kenapa pula aku harus degdegan setelah melihat senyum lelaki ganteng yang aku yakin sebagai Sam itu?

Apakah perempuan - perempuan lain pun langsung terpesona dan runtuh di depan kaki kegantengan lelaki yang selama ini kusamarkan namanya sebagai Sam itu?

Di depan café itu ia menjabat tanganku dengan lembut… bukan genggaman tangan kasar sebagaimana lazimnya tangan lelaki pekerja keras.

Tak cuma itu. Dia pun mencium pipi kanan dan pipi kiriku. Mencium dengan bibir, bukan cuma menyentuhkan pipi dengan pipi lagi.

“Ternyata Neena ini jauh lebih cantik aslinya daripada di foto - foto yang pernah kulihat di album Mbak Ayu. Ayo masuk, “ajaknya sambil menuntun tanganku, masuk ke dalam café yang terkenal dan mahal itu. Café yang biasa dikunjungi orang - orang tajir melintir itu.

Lalu Sam mengajakku duduk berhadapan terbatas oleh meja café. Seorang waiter menghampiriku dan menyodorkan daftar menunya. Aku hanya meminta coffee late. Kemudian waiter itu berlalu.

“Selain hobby menulis, apa kegiatan Neena sehari - hari?” tanya Sam sambil menatapku dengan sorot menyelidik, membuatku jengah dan menunduk.

“Jadi ibu rumah tangga aja,” sahutku merendah.

“Sudah punya anak berapa?”

“Satu.”

“Suaminya kerja di mana?”

“Di kapal pesiar.”

“Wah jarang pulang dong.”

“Sembilan bulan di laut tiga bulan di darat. Terkadang bisa sebelas bulan di laut, sebulan di darat.”

“Bisa bertahan dengan keadaan seperti itu?”

“Yahhh… mau apa lagi? Udah kepalangan punya anak sih.”

“Jadi… demi anak tercinta, Neena berusaha mempertahankan keutuhan perkawinan?”

Aku mengangguk perlahan.

“Ohya… ini flashdisk yang kumaksudkan itu,” kata Sam sambil menyerahkan sebuah kotak berlapiskan beludru merah. Kotak itu sebesar kotak sepatu.

“Loh… flashdisk kok besar sekali kotaknya?”

“Memang ada yang lain - lain juga di dalamnya. Tapi jangan dibuka di sini ya. Nanti aja bukanya setelah di rumah.”

Karena kotak berlapiskan beludru merah itu sebesar kotak sepatu, maka kupikir isinya hanya sepatu atau sandal, selain flashdisk. Karena itu aku hanya mengucapkan terima kasih. Lalu kuletakkan kotak itu di atas meja. Dan kuteguk coffee late yang sudah dihidangkan itu.

“Tadi ke sini pakai apa?” tanya Sam.

“Taksi.”

“Kalau begitu, sebentar lagi aku anterin ke rumahmu ya. Kebetulan aku mau melewati jalan yang melewati rumahmu, sekalian mau meeting setengah jam lagi.”

“Jadi ngerepotin dong. Aku bisa pulang pake taksi lagi kok.”

Namun akhirnya aku diantarkan dengan sedan yang dikemudikan oleh Sam sendiri.

Di dalam sedan itulah Sam berkata, “Flashdisk itu berisi kisah rahasiaku sampai hari kemaren. Tentu saja selama aku masih hidup, kisahku takkan berakhir. Bahkan aku ingin akhirnya hanya ada satu nama perempuan yang muncul di catatan rahasia itu. Nama perempuan yang akan menjadi milikku, semoga.”

“Siapa nama perempuan itu?” tanyaku dengan perasaan ingin tahu.

“Neena Maureen.”

“Haaa?! Jangan bercanda laaah…”

“Aku serius. Sangat serius. Neena punya aura positif yang belum pernah kulihat dari perempuan mana pun.”

“Kita kan bisa menjadi sahabat.”

“Hmmm… nanti aja kita lanjutkan komunikasinya lewat WA ya.”

“Boleh. Komunikasi antar dua orang sahabat.”

“Mungkin lebih dari sekadar sahabat, maunya sih.”

“Yang lebih dari sahabat itu, sahabat karib, sahabat kental, sahabat dekat.”

“Hahahaaa… lebih dari itu semua. Nanti saja kita bahas dalam chat. Sekarang aku lagi terburu - buru mau meeting dulu.”

Tak lama kemudian sedan yang kutumpangi berhenti tepat di depan rumahku. Sam turun duluan untuk membuka pintu di sebelah kiriku, lalu dengan gentle ia membantuku turun dari sedannya.

“Terima kasih Sam. Mau mampir dulu ke gubukku?” tanyaku.

“Nanti aja kapan - kapan aku akan mampir ke rumahmu. Sekarang aku mau meeting dulu. Sampai berjumpa lagi ya Neen.”

“Oke. Selamat meeting ya. Semoga sukses terus bisnisnya.”

“Amiiin. Terima kasih,” sahut Sam di belakang setir mobilnya.

Setelah sedan Sam berlalu, aku melangkah ke dalam rumahku, dengan penuh kepenasaranan tentang box berlapis beludru sebesar koatk sepatu ini. Kalau isinya cuma sepatu atau sandal, masa kotaknya dilapisi beludru segala?

Setelah berada di dalam kamarku, barulah aku membuka box berlapis beludru merah itu. Selain flashdisk, ternyata isi kotak itu seperangkat perhiasan emas bertatahkan berlian semua…!

Aku terbelalak kagum melihat perhiasan selengkap dan semewah itu. Dan tak bisa membayangkan berapa milyar harganya. Ada kalung dengan liontin, ada gelang, ada cincin, ada bros dan ada anting pula, semuanya bertatahkan berlian. Bahkan ada surat pembeliannya segala dari sebuah toko perhiasan di Jakarta.

Ada kartu nama Sam pula dengan tulisan di belakangnya: With the best compliment for Neena Maureen from Sammy Dardano. (Dengan pujian terbaik untuk Neena Maureen dari Sammy Dardano).

Aku tidak bisa membayangkan kalau harus membeli perhiasan semahal itu dengan uangku sendiri. Mungkin mengumpulkan uang selama berpuluh - puluh tahun pun takkan cukup untuk membeli perhiasan semahal ini…! Bermimpi pun tidak pernah kalau aku akan mendapatkan hadiah sedahsyat ini nilainya.

Ini hadiah yang sangat - sangat - sangat luar biasa buatku. Dan aku harus mengucapkan terima kasih kepada Sam.

Ingin aku menghubunginya lewat handphone. Tapi tadi dia bilang mau meeting. Dan aku takut kalau mengganggu meetingnya.

Kemudian kulihat nomor handphonenya yang belum kusaving itu. Lalu kusaving di handphoneku. Dan… muncul logo WA. Maka lewat WA itulah aku mengetik message :

- Aku jadi speechless setelah melihat isi box merah itu. Terima kasih buat hadiahnya yang sangat berharga itu Sam. Semoga Tuhan mengganti dengan rejeki yang jauh lebih besar dari harga perhiasan amazing itu. -

Ternyata Sam langsung membalasnya dengan :- Itu baru awalnya Neen. Yang jelas, Neena pun sangat berharga buatku -

Aku tidak berani membalasnya lagi. Takut berkepanjangan ke arah sesuatu yang berbeda. Berbeda keinginan antara keinginan Sam dengan keinginanku sendiri.

Kemudian aku mengganti gaunku dengan daster katun abu - abuku. Dan merebahkan diri sambil mengamati perhiasan gemerlapan yang masih berada di dalam kotaknya itu. Dan belum berani memakainya.

Dua hari kemudian, Sam yang duluan ngirim chat: - Selamat pagi Cantik. Lagi ngapain neh?-

Aku tercenung sesaat. Agak bingung, harus dengan cara apa membalasnya. Lalu menjawab seenak udelku saja :

- Lagi beres - beres rumah gubuk -

- Deuh, rumah bagus gitu dibilang gubuk. Nanti sore ketemuan lagi di café itu yuk -

_

- Ngapain? Cuma mau ngobrol? -

- Mau curhat. Boleh kan? -

- Di sini kan bisa Sam -

- Maksudnya, aku harus datang ke rumah Neena? -

-Yeee… di chat ini kan bisa curhat -

- Aku maunya ketemuan empat mata -

- Iya deh. Jam berapa aku harus merapat ke café itu? -

- Jam empat sore aku sudah berada di sana. Oke? -

- Oke -

_

Setelah hubungan seluler ditutup, aku tercenung sendiri, dengan benak bertanda tanya. Ada apa ya Sam ngajak ketemuan lagi di café itu? Tentu dia tidak main - main ketika menyebutkan mau curhat, pasti benar - benar mau curhat. Lalu kenapa dia harus curhat padaku? Apakah aku sudah tahu banyak tentang kehidupannya yang dirahasiakan sekali pun, sehingga dia merasa diriku ini satu - satunya orang yang layak untuk mendengar curhatannya?

Entahlah. Yang jelas jam 15.00 aku sudah mandi sebersih mungkin. Lalu kukenakan celana corduroy biru tua dengan baju kaus berwarna biru tua juga. Sengaja aku mengenakan pakaian casual, agar Sam jangan berpikir macam - macam. Maklum aku sudah tahu banyak mengenai jiwanya lewat buku harian rahasianya yang sudah kubongkar dan kujadikan tulisan di media favoritku.

Sebelum jam empat sore, aku sudah merapat ke café yang dijanjikan itu. Dengan harapan agar aku datang duluan. Karena tidak enak juga kalau Sam yang seorang big boss harus menunggu kedatanganku di café itu.

Tapi ternyata Sam sudah datang duluan. Dia menyongsongku di pintu café itu, dengan senyumnya yang… aaaah… pantaslah banyak perempuan yang langsung bertekuk lutut padanya, karena lewat senyuman dan tatapannya saja aku pun merasa seolah terhipnotis dibuatnya.

“Kenapa perhiasannya tidak dipakai?” tanya Sam setelah aku duduk di depannya, dibatasi oleh meja café.

“Takut Sam. Kalau dijambret orang jahat, aku bisa bengong seumur - umur.”

“Hahahaaa… memang betul itu. Lagian dalam pakaian casual begitu juga Neena tetap cantik kok.”

“Semua perempuan cantik. Gak mungkin ganteng kan?” sahutku tersipu.

“Tapi Neena benar - benar sosok yang istimewa bagiku. Neena seolah memancarkan aura keteduhan dan kesejukan di hatiku. Itulah sebabnya aku ingin curhat padamu Neen. Tapi curhatnya jangan di sini. Neena bersedia kalau kuajak ke suatu tempat?”

“Ke mana?”

“Ke sebuah rumah yang akan kuhadiahkan pada Neen.”

“Haaa?! “aku kaget mendengar ucapan Sam itu. Dan aku yakin kalau Sam berkata sebenar - benarnya. Bahwa dia akan memberikan sebuah rumah untukku. Tapi tentu ada imbalannya.

“Aku serius Neen. Ayo kita pergi sekarang aja mumpung masih sore,” kata Sam sambil bangkit dari kursinya. Lalu memegang pergelangan tanganku menuju sedannya di depan café.

Seperti dua hari yang lalu, Sam membukakan pintu mobilnya yang depan sebelah kiri, lalu memegang pergelangan tanganku sampai aku duduk di dalam mobilnya. Setelah itu barulah dia masuk ke belakang setir sedannya.

Tak lama kemudian Sam sudah melarikan mobilnya di jalan aspal.

“Neena… tau gak? Sejak kita ketemuan di café itu, aku jadi sulit tidur. Ingat Neena terus,” kata Sam.

“Masa sih baru ketemu sekali aja sudah seperti itu?”

“Aku juga gak tau kenapa bisa begini. Neena tentu tau, aku sudah banyak melangkah dengan perempuan demi perempuan. Tapi baru sekali inilah aku merasakan hal seperti ini. Demi Tuhan… aku tidak asal ngomong. Semua yang kukatakan ini terlontar dari hati sanubariku yang terdalam Neen.”

“Jadi ceritanya Sam nembak aku neh?”

“Whatever the name is, the conclusion is… I love you, Neena. “(Apa pun namanya, kesimpulannya adalah… aku mencintaimu, Neena.”

“Jadi masalah ini yang Sam mau curhatkan padaku?”

“Betul. Aku memang sering bertualang. Tapi percayalah, kiali ini aku bicara bukan sebagai seorang petualang.”

“Tapi aku kan sudah punya suami Sam.”

“Justru itu yang membuatku tidak bisa tidur sejak ketemuan di café yang pertama itu.”

Aku terdiam. Karena tidak tahu apa yang harus kukatakan.

“Sekarang aku akan membawamu ke rumah yang akan kuhadiahkan padamu, Neen. Nanti di rumah itu tidak ada orang kecuali kita berdua. Percayalah, aku takkan berbuat apa - apa padamu nanti. Karena aku bicara atas nama cinta dan perasaan. Bukan atas nama nafsu birahi.”

“Iya aku percaya. Tapi kita seperti makan buah simalakama Sam. Aku punya suami. Sam sendirti sudah punya istri empat orang kan? Jadi baik Sam mau pun aku sama - sama punya kendala.”

“Hubungan cinta kan tidak selalu harus melangkah ke perkawinan.”

Aku mau menjawab. Tapi mobil Sam keburu berhenti di depan sebuah rumah yang begitu megahnya, berada di kompleks perumahan elit pula.

“Ini rumahnya Neen. Sudah kubayar lunas. Bukan rumah cicilan. Sertifikatnya sudah ada, tinggal balik nama saja ke BPN nanti,” kata Sam setelah kami sama - sama turun dari sedan itu.

Aku cuma bisa bengong. Benar - benar speechless. Lalu mengikuti langkah Sam memasuki rumah megah itu. Rumah yang furniture dan perabotannya sudah lengkap semua itu.

Di dalam ruang keluarga Sam memberikan kunci rumah dan sebuah map sambil berkata, “Ini kunci rumahnya dan ini sertifikatnya, mulai sekarang rumah ini menjadi milikmu Neen. Ohya ada yang lupa, “Sam memasukkan tangan ke dalam saku celananya, lalu mengeluarkan kunci lain sanbil berkata, “Ini remote control mobil dan ini STNK serta BPKBnya, juga menjadi milik Neena mulai saat ini.

“Saaam… ooooh… aku jadi bingung Saaam… “aku terduduk di sofa ruang keluarga, dengan pikiran benar - benar bingung.

Sam duduk di sampingku, “Kenapa bingung? Rejeki gak boleh ditolak lho,” ucapnya sambil membelai rambutku.

“Iya… aku sangat gembira menerima semuanya ini. Tapi aku bingung, harus bilang apa pada suamiku nanti?”

“Katakan saja Neena bekerja di perusahaanku. Katakan juga rumah dinas perusahaan dan mobil itu mobil inventaris perusahaan juga. Coba lihat dulu dong mobilnya di garasi… mobil baru tuh… bukan mobil bekas.”

Dengan langkah gontai aku melangkah di samping Sam menuju garasi. Dan… sebuah sedan putih bersih tampak begitu cantiknya di mataku. Aku speechless lagi setelah melihat sedan yang masih sangat mengkilap dan aku tahu harga barunya di atas 2 milyar itu. Entah harus ngomong apa aku ini.

Sam memperagakan cara menghidupkan dan mengoperasikan sedan putih itu. Memang aku juga sudah pernah tahu mobil yang keyless begitu. Karena pamanku juga punya mobil keyless. Bahkan cara mernghidupkan dan menjalankannya juga sudah tahu dan sudah pernah mencobanya walau cuma sejam saja.

Tapi tetap saja aku bingung. Harus ngomong apa pada Fariz kalau dia pulang nanti? Jangankan mobil dan rumah dengan perlengkapannya yang serba mewah itu. Seperangkat perhiasan yang diberikan oleh Sam dua hari yang lalu saja, masih bingung, bagaimana cara melaporkannya kepada Fariz nanti.

“Sekarang tenangkan dulu hati dan pikiranmu, ya Neen. Nanti kalau sudah tenang, kita bicara lagi. Oke?”

“Iya Sam. Aku hanya bisa bilang beribu - ribu dan berjuta - juta terima kasaih pada Sam yang telah berbaik hati begini padaku.”

Lalu Sam memegang sepasang bahuku sambil berkata, “seperti yang kubilang tadi, aku membawamu ke sini atas nama cinta. Bukan atas nama nafsu birahi. Tapi… bolehkah aku mencium bibirmu Neen?”

Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, selain membiarkan bibirku dikecupnya dengan hangat dan mesra. Ya, aku memang bisa membedakan mana ciuman yang mesra dan mana yang ciuman penuh nafsu.

Hanya sebentar Sam mencium bibirku. Lalu melepaskan pelukannya sambil berkata, “Sekarang terserah Neena mau tinggal di rumah barumu ini atau mau pulang ke rumah lamamu. Aku hanya minta agar semua yang telah kukatakan tadi dipikirkan sematang mungkin, ya Neen.”

“Iya Sam, “aku mengangguk, “Sekarang aku mau pulang ke rumahku saja dulu. Supaya tenang memikirkan semuanya ini. Mudah - mudahan aku bisa mencari jalan keluarnya yang penuh kedamaian.”

Setelah mengunci pintu - pintu rumah dan garasi, Sam mengantarkanku pulang ke rumahku.

DI sepanjang perjalanan dari rumah barfju ke rumah lamaku, aku dan sama - sama membisu. Namun setelah tiba di depan rumah, aku berkata, “Mau mampir dulu Sam?”

“Gak usah Neen. Sekarfang Neena istirahat aja dulu ya. Tenangkan hati dan pikiran Neena. Aku hanya ingin mengatakan sekali lagi, aku sangat serius ingin memilikimu seumur hidupku.”

“Iya Sam. Tapi maaf ya, aku belum bisa menjawabnya sekarang.”

“Oke… nanti kita lanjutkan dalam chatting aja ya Neen.”

“Iya Sam. Sekali lagi… terima kasih ya Sam. Aku tak menyangka kalau Sam akan sebaik ini padaku.”

Kemudian Sam berlalu. Aku pun melangkah masuk ke dalam rumahku.

Chida yang semakin cantik dan sudah bisa berlari - lari itu memburuku di ambang pintu depan, “Mamaaaa… mana tokat maaa tokat maaa…”

Aku pun berjongkok untuk menciumi pipi anak semata wayangku. Riris, babysitter yang mengurus Chida sejak bayi merah, cuma tersenyum - senyum melihat kelakuan Chida. Lalu kukeluarkan coklat kesenangannya dari dalam tas kecilku. Chida berjingkrak - jingkrak kesenangan dikasih coklat itu.

Sementara aku masuk ke dalam kamarku. Melepaskan sepatuku, lalu menghempaskan diri ke atas kasur.

Menelntang sambil menerawang ka mana - mana. Percakapanku dengan Fariz pun terngiang - ngiang lagi di telingaku batinku :

“Aku mengerti kalau Neen sering merasa kesepian selama aku berbulan - bulan berada di lautan. Karena itu aku akan merelakan kalau Neen mengisi kesepian itu, tapi hanya kuijinkan dengan Daniel saja.”

“Apa? Kamu kok bisa ngomong gitu Riz?”

Fariz yang tadinya adik kelasku di SMA, bahkan dua tahun bedanya, dia kelas satu aku kelas tiga, yang lalu jadi suamiku dan ayah dari anakku, lalu berkata, “Aku hanya ingin membuka hati dan pikiranku semoderat mungkin. Soalnya aku tak bisa membayangkan bagaimana kesepiannya Neen selama aku berada di lautan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu