1 November 2020
Penulis —  Neena

Paha Mulus Itu pun Merenggang

Bagian 07

Aku terpana ketika wanita kebule - bulean itu berdiri di depanku, dalam gaun seksi berwarna kuning lemon.

“Ini Tante Rike Maria?” tanyaku hampir tak percaya pada penglihatanku sendiri.

“Iya… Sam udah lupa ya? Dahulu waktu aku masih di kota ini, Sam baru dua - tiga tahunan. Gak taunya sekarang udah dewasa… ganteng pula.”

“Kupikir Tante Maria itu sudah tua. Ternyata masih sangat muda… cantik pula,” sahutku disusul dengan mencium tangannya. Lalu kami cipika - cipiki. Tapi Tante Maria melanjutkannya lagi dengan ciuman hangat di bibirku…!

Aku terperangah awalnya. Tapi kemudian membalasnya dengan rangkulan di lehernya, sekaligus melumat bibirnya yang berbentuk erotis itu…!

Aku siap untuk dimarahi olehnya. Tapi ternyata tidak. Ketika kupersilakan duduk, Tante Rike Maria mengangguk dan berkata, “Papamu udah ngomong keperluanku datang ke sini kan?”

“Iya, “aku mengangguk, “Papa bilang Tante ingin sekali berjumpa denganku dan mau minta dibeliin tiket buat pulang ke Manado. Begitu kan?”

Bibir sensual wanita kebule - bulean itu ternganga heran, “Masa papamu bilang gitu?”

“Hehehehee… iya… iya… mau minta job buat anak Tante kan?”

“Iiiih… kamu nyandain orang tua… !” Tante Maria mengepit leherku seperti pegulat yang mau membanting lawannya. Mungkin kesal karena tadi aku tidak serius menjawab pertanyaannya.

Lalu ia menarikku ke atas sofa sambil melingkarkan lengannya di pinggangku. Mungkin ia terbiasa bersikap familiar begitu kepada siapa pun yang ada pertalian darah denganku. Atau mungkin dia sedang bersikap sedekat mungkin padaku, agar anaknya bisa bekerja di perusahaanku.

“Jadi bagaimana? Sam bisa menempatkan Ine untuk bekerja di perusahaan Sam?” tanyanya langsung to the point.”

“Nama anak Tante Ine?”

“Iya. Nama lengkapnya sih Ine Caroline.”

“Iya Tante Maria.”

“Nama kecilku Rike…”

“Iya. Tapi adik almarhumah Ibu ada yang bernama Reki. Jadi biar gak ketuker - tuker, aku mau manggil Tante Maria aja ya.”

“Iya deh. Gak apa - apa. Yang penting Ine diterima bekerja di perusahaanmu ya Sam Sayang.”

“Enak dipanggil sayang sama tanteku yang sangat cantik gini,” sahutku sambil mengendus - endus leher Tante Maria. Lalu kusebutkan merk parfum yang dikenakannya.

“Betul. Penciumanmu tajam sekali ya,” sahutnya, “kirain mau ngapain kok ngendus - ngendus leherku yang peka ini.”

“Leher tante peka ya?”

“Iya,” sahutnya sambil mendekatkan lehernya ke wajahku, “Coba sekarang endus -endus lagi seperti tadi.”

Kuikuti permintaannya. Kugores - goreskan hidungku ke leher Tante Maria. Tapi lalu lidahku pun ikut beraksi. Menjulur dan menjilati leher adik Papa yang kebule - bulean itu.

“Iiiih… Saaam… kamu udah trampil sekali ya. Bisa tau titik - titik peka seorang wanita… terus jilatin Sam…”

“Nanti deh, mau mandi kucing juga bisa,” sahutku sambil menjauhkan wajahku dari leher Tante Maria.

“Mandi kucing? Apa itu mandi kucing?” tanyanya heran.

“Dijilatin dari ujung kaki sampai kepala,” sahutku.

“Berarti semuanya dong dijilatin.”

“Iya.”

“Ininya juga?” tanyanya sambil menunjuk ke bawah perutnya.

“Iya.”

“Iiiih… aku merinding nih. Ayah Ine kan meninggal setahun yang lalu. Berarti aku sudah setahun jadi janda.”

“Gak renyem setahun gak digarukin?”

“Hihihiii… emangnya kamu mau garukin?”

“Mauuuu… tapi nanti ya. Ada yang ingin kutanyakan. Tante kok beda dengan Tante Rae, Tante Salma dan Papa juga. Tante kok seperti indo.”

“Papamu gak pernah cerita kalau kakekmu bercerai dengan nenekmu, kemudian pada kawin lagi?”

“Setahuku sih Tante Rae memang adik Papa yang seayah tapi beda ibu.”

“Nah… kalau aku ini adik papamu yang berlainan ayah. Jadi ibuku juga kawin lagi sama orang Belanda asli. Makanya aku ini memang Indo - Belanda.”

“Ooo… begitu ya. Baru dengar sekarang. Papa cuma cerita soal Tante Rae yang berlainan ibu. Ternyata ada juga adik yang berlainan ayah ya.”

“Iya. Mungkin papamu lupa aja neranginnya kale.”

“Pantesan Tante mirip indo dan ternyata memang Indo Belanda ya?”

“Iya. Kalau aku darah Indonesianya limapuluh persen, sedangkan Ine itu darah Indonesianya cuma duapuluhlima persen.”

“Maksudnya gimana nih?”

“Kan almarhum suamiku orang Belanda. Jadi darah Belanda di tubuh Ine itu tujuhpuluhlima persen, sedangkan aku hanya limapuluh persen. Karena ibuku asli Indonesia.”

“Owh… almarhum suami Tante orang Belanda asli?”

“Iya. Tapi beda usianya sampai tigapuluh tahun. Waktu kawin sama dia, umurku baru enambelas tahun. Sedangkan dia sudah empatpuluhenam tahun.”

“Bisa begitu ya?”

“Papaku sih yang jodoh - jodohin sama familinya yang saat itu duda ditinggal mati istrinya. Tapi gak apa - apa sih… almarhum suamiku sangat menyayangi dan menghargaiku.”

“Orang bule sih sama istri yang jelek juga kelihatan sayang sekali. Apalagi punya istri secantik Tante.”

“Memangnya aku ini cantik Sam?”.

“Bukan cuma cantik, tapi sangat cantik dan kelihatan masih muda sekali.”

“Muda sih nggak lah. Anakku aja sekarang sudah berumur duapuluhtiga tahun.”

“Berarti Tante baru empatpuluh tahun kan?”

“Betul. Kok bisa tau?”

“Kawin umur enambelas, lalu punya anak waktu Tante sudah tujuhbelas tahunan kan?”

“Iya. Hihihiiii… kamu memang cerdas Sam. Pantesan istrimu empat orang. Ada bulenya segala dua orang kan?”

“Betul. Papa cerita soal itu ya?”

“Iya. Eh Sam… ajak aku main ke pemandian air panas mineral dong. Waktu masih kecil aku pernah diajak ke sana. Tapi cuma satu kali itu aja. Sampai sekarang belum pernah ke sana lagi.”

“Memangnya Tante gak capek sekarang?”

“Nggak. Kan aku datang ke rumah papamu kemaren. Terus istirahat di rumah papamu. Jadi sekarang udah fits lagi badanku. Bisa sekarang kita ke sana?”

“Boleh. Ini tasnya taruh di kamarku aja ya Tante.”

“Iya. Memangnya Sam punya kamar segala di sini?”

“Ada. Ruang makan, ruang keluarga, dapur dan lain - lain juga ada,” sahutku sambil menjinjing tas pakaian Tante Maria menuju kamar pribadiku.

Tante Maria pun mengikuti langkahku. Ikut masuk ke dalam kamarku dan memekik perlahan, “O my God! Kamarmu ini malah lebih mewah daripada kamar hotel - hotel bintang lima Sam… !”

“Kan biar nyaman dijadikan tempat istrirahatku Tante. Belakangan ini aku malah lebih sering nginap di sini daripada di rumah istri - istriku.”

“Sendirian?”

“Iya. Aku kan sibuk ngatur bisnisku dari sini.”

“Nanti malam sih gak sendirian. Kan harus nemenin aku bobo di sini ya,” ucap Tante Maria sambil merebahkan diri di atas bedku.

“Iya… nemenin bobo, aku mau.”

Tiba - tiba Tante Maria memegang lenganku sambil merapatkan pipinya ke pipiku. Lalu setengah berbisik ia berkata, “Aku pengen nyobain mandi kucing juga. Hihihihiiii…”

“Boleh,” sahutku, “tapi itu sih biasanya dilakukan pada malam hari. Supaya lebih romantis.”

“Iya… iyaaaa… tapi jangan ngomong sama papamu ya.”

“Ya nggak dong. Itu kan sangat pribadi sifatnya.”

Beberapa saat kemudian, Tante Maria sudah duduk di sebelah kiriku, di dalam jeep long chasis yang sedang kukemudikan.

“Kita kok langsung akrab gini ya,” ucapku di belakang setir.

“Memang juga harus langsung akrab. Kita kan saudara dekat. Ibu kandungku adalah nenekmu kan?”

“Iya. Dan Tante Rike Maria calon kekasihku.”

Tante Maria mengecup pipiku, “Setuju. Sediakan aja rumah untukku, maka aku siap untuk dijadikan kekasih gelapmu Sam. Asalkan Sam bisa menutup rahasia kita serapat mungkin.”

“Tentu saja harus dirahasiakan. Dan rumahnya sudah ada Tante,” kataku sambil mengurangi kecepatan jeepku, “Sudah lengkap dengan perabotannya. Apa kita mau nengok rumah itu dulu atau mau ke pemandian air panas dulu?”

“Haaa?! Serius sudah ada rumah untuk tempat tinggalku?”

“Kebetulan sudah ada. Tante tidak berniat pulang ke Manado kan?”

Tante Maria memegang dan meremas tangan kiriku, sambil berkata, “Demi Sam, aku mau tinggal di rumah itu saja. Ayo putar arah, aku ingin lihat rumahnya sekarang juga. Ke pemandian air panas sih bisa besok lagi.”

Aku pun spontan memutar arah, menuju rumah yang tadinya akan kujual lagi itu.

Duit dari Merry dan Alana memang banyak yang kugunakan untuk membeli rumah - rumah tua, bahkan ada juga yang sudah hampir roboh saking tuanya. Lalu rumah - rumah itu kusulap menjadi rumah baru dengan potongan masa kini. Dan siap untuk dijual kembali.

Rumah yang akan kuberikan kepada Tante Maria pun tadinya cuma sebuah rumah yang tidak layak huni lagi. Kebetulan rumah tua itu mau dijual dengan harga yang murah menurutku. Kubeli rumah itu dan kusulap menjadi rumah bergaya minimalis yang 100% baru, lalu kulengkapi furniture dan perabotan lainnya. Karena banyak juga orang mau beli rumah yang sudah lengkap perabotannya.

Rumah itu terdiri dari 3 kamar tidur, 1 ruang makan, 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga dan 1 ruang kitchen dengan perlengkapan sudah serba mutakhir. Di lantai 2 pun ada ruang cengkrama atau bisa juga dijadikan ruang kerja. Mungkin nanti kalau Ine Caroline sudah datang dan mulai bekerja di perusahaanku, bisa memanfaatkan ruangan di lantai 2 itu untuk dijadikan ruang kerjanya (menggambar bangunan dan sebagainya).

Setelah diajak melihat - lihat keadaan rumah baru yang sudah lengkap perabotannya itu, Tante Maria langsung memelukku sambil berkata setengah berbisik. “Mimpi pun tidak kalau aku bakal dikasih rumah di kota kelahiranku ini Sam. Ooooh… kamu memang pantas jadi lelaki impian kaumku… emwuah… emwuaaah…

Di rumah yang sudah kuikrarkan menjadi milik Tante Maria ini, suasananya berubah jadi hangat dan romantis. Bahkan ketika Tante Maria sedang duduk di sofa ruang keluarga, aku pun duduk di sampingnya. Dengan batin yang sudah pede. Dan berani merayapkan tangan ke belahan gaun kuning lemon yang sedang memamerkan paha putih mulusnya.

Begitu cepat tanganku mencapai celana dalam di balik gaun kuning lemon itu. “Nanti kalau Ine sudah di sini bagaimana?” tanyaku sambil menyelinapkan tanganku ke balik celana dalam Tante Maria.

“Kalau Sam bisa memperistrikan Ine, silakan aja. Yang penting hubungan rahasia kita tetap berjalan. Hanya saja kita harus menjaga agar Ine jangan sampai tau,” sahutnya ketika jemariku sudah mulai menggerayangi kemaluannya.

“Memangnya Ine secantik Tante?”

“Lihat dan nilai aja sendiri nanti setelah dia berada di sini.”

“Nikah lagi sih gak bisa Tante,” ucapku, “Jumlah istriku sudah maksimal. Tidak boleh lebih dari empat orang.”

“Wawasanku ini cukup maju Sam. Makanya untuk saling mencintai itu tidak selalu harus duduk di pelaminan. Bahkan banyak pasangan yang tidak menikah, tapi mereka hidup rukun sekali. Mesra sekali. Oooo… oooooh… Saaam… kalau kemaluanku sudah dicolek dan dicolok - colok liangnya begini… aku gak bisa nahan nafsu Sam…

“Mau dilanjutkan di kamar?” tanyaku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam Tante Maria.

“Aku ingin… yang pertama ini jangan dilakukan di tempat yang sudah terlalu biasa,” sahut Tante Maria, “Supaya kelak kita akan mengenangnya sebagai sesuatu yang sangat mengesankan.”

“Terus mau di mana? Mau outdoor? Di tengah hutan atau di tepi pantai?” tanyaku.

“Hush… gak usah jauh - jauh… di sana aja tuh… di meja yang di sudut itu,” sahut Tante maria sambil menunjuk ke meja makan yang diletakkan di sudut itu.

“Oke… !” sambutku sambil berdiri dan menuntun tangan Tante Maria menuju meja yang ditunjuknya itu.

Di dekat meja itu Tante Maria melepaskan gaun kuning lemonnya, sehingga tinggal beha dan celana dalam serba merahnya yang masih melekat di tubuh putih mulusnya. Lalu ia naik ke atas meja itu sambil berkata, “Celana dalamnya sih lepasin aja sama Sam yang sudah jadi pemilik yang di balik celana dalam ini.

“Iya, iya Non,” sahutku sambil menarik celana dalam merah itu sampai terlepas dari kedua kaki Tante Maria yang sudah tergantung ke lantai di pinggir meja makan itu.

Membuatku terpana lagi menyaksikan bentuk kemaluan adik seibu Papa berlainan ayah itu. Di kemaluannya hanya ada jembut selebar jari dari atas kelentit ke arah pusar perutnya. Kelihatannya memang jadi indah. Tidak tampak “gersang”, tapi jembutnya sama sekali takkan menggangguku seandainya mau menjilati memeknya.

Dan aku tidak sabaran lagi setelah melihat indahnya bentjuk memek Tante Maria itu. Maka kutarik kursi, untuk duduk di depan kemaluan Tante Maria yang kedua kakinya terjuntai ke lantai itu.

Sambil mengusap - usap permukaan memek Tante maria, aku berkata dengan nada formal (sekadar sambil bercanda), “Memek Tante ini luar biasa menggiurkannya. Mohon ijin untuk menjilatinya ya Non.”

“Apa pun yang kekasihku ingin lakukan… lakukanlah Cinta…” sahut Tante Maria sambil tersenyum manis. Maaak… betapa manisnya senyum wanita indo setengah baya yang masih tampak muda itu…!

Lalu kulepaskan segala yang melekat di tubuhku, kecuali celana dalam yang masih melekat pada tempatnya. Sementara Tante Maria pun sudah menurunkan beha merah itu. Tapi tidak dilepaskannya… beha itu dibiarkan melingkari perutnya tanpa dilepaskan kaitan kancingnya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu