1 November 2020
Penulis —  Neena

Paha Mulus Itu pun Merenggang

Aku masih enak - enaknya menggencarkan ayunan penisku di saat Tante Rose sudah tergolek lemas.

Namun beberapa detik kemudian Tante Rose tampak sudah berdarah lagi, tidak pucat pasi lagi.

Dan berkata lirih, “Bisa - bisa nanti aku yang butuh Sam… awas aja kalau kelak Sam cuek - cuek aja padaku.”

“Ya nggak lah Tante. Kan Tante sudah menjadi bagian dari hidupku sejak malam ini,” sahutku sambil mengecup sepasang pipinya dengan segenap kehangatanku.

“Sam… cabut dulu kontolmu sebentar,” kata Tante Rose tiba - tiba.

“Emangnya kenapa?” tanyaku sambil menghentikan dulu entotanku.

“Pengen pipis dulu. Udah kebelet neh.”

Kuikuti saja permintaan Tante Rose itu. Lalu kucabut batang kemaluanku sampai terlepas dari liang memek tanteku.

Buru - buru Tante Rose turun dari bed, lalu dalam keadaan telanjang, setengah berlari menuju kamar mandi.

Tak lama kemudian Tante Rose muncul lagi dari dalam kamar mandi.

“Kok malah jadi beser?” tanyaku sengaja mengisenginya.

“ACnya terlalu dingin sih. Jadi aja pengen pipis. Mungkin juga gara - gara ini nih,” sahut Tante Rose sambil memegang penisku yang masih ngaceng berat.

Dan… tiba - tiba saja ia mendorong dadaku sampai membuatkiu celentang. Disusul dengan aksi berikutnya… mengulum puncak penisku sambil mengalirkan air liurnya ke badan penisku. Jemarinya pun mulai mengocok batang kemaluanku yang tidak terkulum, sementara lidahnya terasa menggeluti kepala dan leher penisku di dalam mulutnya.

Kubiarkan saja ia menyelomoti dan mengurut penisku dengan binalnya. Sampai pada suatu saat ia meletakkan puncak penisku di mulut memeknya… lalu ia menurunkan bokongnya, sehingga penisku tenggelam ke dalam liang kewanitaannya yang terasa jadi sempit lagi. Mungkin tadi sehabis pipis ia membersihkan memeknya sekaligus mengeringkannya dengan handuk atau kertas tissue di kamar mandi.

Tapi batang kemaluanku yang sudah berlepotan air liur Tante Reki, melicinkan jalan untuk tenggelam ke dalam liang memeknya yang sudah mekar akibat orgasmenya tadi.

Lalu Tante Reki menjatuhkan dadanya ke atas dadaku, disusul dengan gerakan pinggulnya yang naik turun dan maju mundur, membuat penisku dibesot - besot dan diremas - remas lagi oleh liang memeknya yang aduhai… enak sekali. Membuatku terpejam - pejam sambil memeluk lehernya, sambil mencium bibirnya disertai lumatan dan sedotan penuh gairah kembali.

Namun hanya belasan menit Tante Reki bermain di atas. Lalu mengajakku berguling, ganti posisi tanpa melepaskan batang kemaluanku dari cengkraman liang memeknya.

Kini aku lagi yang berperan untuk mengentot memek tanteku. Aku lagi yang membuatnya merintih - rintih erotis lagi, sambil menggoyang pinggulnya kembali, dalam arus birahi yang makin lama makin hangat.

“Saaaaam… iyaaaaa… entot terus Saaam… ooooohhhh… ini mulai enak lagi Saaam… kayaknya bakal orgasme lagi ni Saaaam… ayo entot teruuuuusssssssss… pentil tetekku emut lagi Saaaam… iyaaaa… iyaaaaa… iyaaaa…”

Aku pun tak mau menyiksanya lebih lama lagi, sementara diriku sendiri memang sudah letih sekali, dengan keringat yang semakin membanjir di sekujur tubuhku.

Maka aku pun berkonsentrasi untuk menghayati nikmatnya menyetubuhi Tante Reki ini… lalu ketika ia mulai berkelojotan, aku pun menggencarkan entotanku dengan target ingin secepatnya ejakulasi.

Lalu targetku tercapai. Ketika liang memek Tante Rose gardina berkedut - kedut erotis lagi, penisku pun mengejut - ngejut reflex, sambil memuntahkan lendirku di dasar liang memek adik Papa itu.

Crot… crooootttt… croot… croooottttt… crot… croooooottttt… crooootttttt…!

Aku pun terkulai lemas di atas perut Tante Rose. Sementara Tante Rose sudah tampak tepar.

Apakah aku puas karena telah menyetubuhi Tante Rose yang adik kandung Papa itu?

Ya… aku sangat puas telah berhasil memiliki tubuh wanita setengah baya itu. Dan aku pun puas dengan keberhasilanku mendapatkan wanita - wanita setengah baya mau pun gadis - gadis belia yang ada hubungan darah denganku, baik dari pihak Papa mau pun pihak ibuku almarhumah.

Aku tidak mengejar mereka. Tapi justru mereka sendiri yang berdatangan padaku seorang demi seorang. Mungkin semuanya sudah harus seperti itu jalannya.

Seperti kejadian yang kualami berikutnya ini…

Siang itu Wulan memasuki ruang kerjaku dengan senyumnya yang seperti mengharapkan sesuatu.

“Ada apa kamu Lan? Kok senyam - senyum seperti menginginkan sesuatu?” tanyaku heran.

“Nggak… cuma mau laporan, nanti malam mau terbang ke Solo,” sahutnya masih dengan senyum yang seperti menggodaku itu.

“Oh… iya ya. Kamu kan harus mewakiliku di Solo. Mungkin bisa tiga atau empat hari kamu harus berada di sana.”

“Siap Bang. Cuma aku merasa kasihan sama Mama yang baru datang tadi malam. Sedangkan nanti malam aku harus ke Solo.”

“Heee?! Mamamu datang?”

“Iya Bang. Dia ingin ketemu sama Abang juga. Tapi gak berani datang ke sini, takut mengganggu kegiatan Abang, katanya.”

“Ya udah, nanti malam aku akan datang ke rumahmu. Ohya, mamamu seneng makan apa?”

“Ah, Mama sih segala suka. Gak ada makanan favorit. Maklum sudah terbiasa hidup di pelosok dahulu.”

“Gitu ya. Terus… jam berapa kamu take off nanti?”

“Jam lima sore. Berarti dua jam lagi harus sudah cek in di bandara.”

“Ya udah. Jaga diri baik - baik ya Lan.”

“Gak mau bekalin sesuatu sama aku Bang?”

“Apaan? Duit? Kan baru kemaren ditransfer.”

“Ih… duit sih gak pernah kekurangan,” sahut Wulan sambil melangkah ke belakang kursiku. Lalu berbisik ke telingaku, “Udah lama gak dientot sama Abang… aku udah kangen berat.”

“Nanti aja pulangnya. Kalau perlu kubawa lima orang temanku yang baru datang dari luar negeri. Kamu mau nyobain digangbang?” tanyakiu.

“Nggak ah,” sahutnya, “Dulu juga dithreesome, difoursome… gak terkesan sedikit pun. Cuma ngotor - ngotorin memek doang. Pokoknya di dunia ini hanya Bang Sam yang bisa memuasiku. Gak ada lelaki lain.”

“Ya udah, nanti pulang dari Solo kita ngewe sepuasnya. Aku juga udah kangen sama memekmu, tapi sekarang badanku letih banget.”

“Janji ya Bang. Sepulangnya aku dari Solo Abang bakal ngentot aku sepuasku.”

“Iya… iya bawel. Ohya, bilangin sama mamamu nanti malam aku datang. Sejak reunian itu aku belum pernah ketemu lagi sama beliau.”

“Iya Bang. Terima kasih ya. Aku mau siap - siap berangkat ke bandara Bang.”

“Oke. Take care Lan.”

“You too, take care honey,” sahut Wulan sambil mencium pipiku, lalu meninggalkan ruang kerjaku.

Setelah Wulan berlalu, aku pun meninggalkan kantor, menuju rumah Gina yang baru seminggu habis melahirkan bayi cewek cantik dan sudah kuberi nama Shania Mantiliani.

Saat itu Suster Maria yang kebagian menjaga Gina. Karena Maria dan Ranti bergiliran masuknya.

Gina tampak senang sekali melihat kedatanganku. Terlebih ketika melihat aku membawa beberapa macam perlengkapan untuk bayi.

Aku memang mementingkan untuk menengok Gina setiap pulang dari kantor perusahaanku. Tapi biasanya tidak lama - lama. Hanya sekitar sejam aku berada di rumah Gina, lalu pulang lagi. Soalnya Gina pun baru seminggu habis melahirkan. Jadi belum bisa “diapa - apain”.

Merry pun tampak bahagia sekali melihat kakaknya sudah melahirkan. Merry memang sangat menyayangi kakak kandungnya itu. Sementara adik kandungnya masih dirawat di Balai Besar Rehabilitasi Narkotika (BBRN) Lido, Kabupaten Bogor. Aku bersama Merry pun pernah menengok Suzan (nama adik kandung Merry itu).

Aku memang ikut prihatin dengan keadaan saudara - saudara kandung Merry yang bermasalah seperti Suzan itu. Padahal baru saja Merry merasa bahagia setelah Gina sembuh dari kelumpuhannya, datang lagi masalah baru, tentang adiknya yang bernama Suzan itu.

Bahkan pada waktu pulang dari tempat rehabilitasi narkotika itu, Merry berkata, “Mungkin setelah Suzan sembuh dari ketergantungannya terhadap narkotik, aku akan meminta bantuanmu lagi Sayang. Aku yakin Sam bisa menjaga agar Suzan tidak jadi pemakai narkotik lagi.”

Aku cuma mengangguk - angguk, meski aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan untuk benar - benar memulihkan mental Suzan agar kapok dan segera sadar bahwa ketergantungannya itu cepat atau pun lambat bisa membunuhnya.

Sepulangnya dari rumah Gina, aku langsung menuju hotelku, untuk mandi sebersih mungkin. Sehingga tubuhku terasa segar lagi.

Jam tujuh malam, aku keluar lagi dari hotelku, menuju rumah dinas Wulan, untuk menjumpai Tante Reki Rumiati yang baru satu kali berjumpa denganku di dalam reuni keluarga besar ibuku almarhumah itu. Berarti kali ini aku akan berjumpa untuk yang kedua kalinya.

Waktu Tante Reki hadir di dalam reunian keluarga besar dari pihak ibuku almarhumah, begitu banyaknya tamu yang hadir, sehingga aku tidak sempat memperhatikan saudara - saudara dekatku satu persatu.

Mungkin malam ini aku akan bisa memperhatikan seperti apa bentuk Tante Reki yang ibu kandung Pia dan Wulan itu.

Sebelum menuju rumah dinas Wulan, aku menyempatkan diri membeli kue di toko kue paling terkenal di kotaku. Bermacam - macam kue mahal kubelikan, untuk oleh - oleh bagi Tante Reki.

Ketika aku sudah tiba di teras depan rumah dinas Wulan, jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

Seorang wanita setengah baya berperawakan tinggi montok membuka pintu depan, dalam kimono sutera berwarna ungu dengan corak burung kecil - kecil berwarna biru muda. Itulah Tante Reki Rumiati, ibu kandung Pia dan Wulan.

“Sam?!” sapa Tante Reki dengan sorot ceria di wajah cantiknya.

“Iya Tante, “aku membungkuk sambil mencium tangannya. Lalu kucium pipi kanan dan pipi kirinya.

“Tadi Wulan bilang Sam mau datang. Kusangka gak jadi… ayo masuk Sam… “ajak Tante Reki sambil menuntun tanganku masuk ke dalam rumah dinas Wulan.

Di ruang tamu kuserahkan dua kantong plastik besar berisi kue - kue yang kubeli tadi.

“Apa ini Sam? Waaaah… kue enak semua ini sih. Pasti mahal - mahal harganya juga. Ini sih bener - bener makanan orang tua.. Sudah lama tante gak makan kue - kue kelas elit begini Sam,” kata Tante Reki sambil mengeluarkan kue - kue itu dan menyusunnya di atas meja makan.

“Tante kan masih muda, makan yang manis - manis takkan apa - apa. Kalau oleh - oleh untuk orang tua, harus yang asin - asin,” ucapku sambil memeluk pinggang Tante Reki.

“Muda apa? Umur tante udah kepala empat Sam.”

“Umur segitu masih tergolong muda Tante. Aku malah sering tergiur sama perempuan setengah baya seperti Tante gini.”

“Masa?! Memang anak muda zaman sekarang banyak yang menggilai wanita setengah baya ya,” ucap Tante Reki sambil memegang tanganku yang sedang mendekap pinggangnya dari belakang.

“Iya Tante. Eh… Wulan sudah dapat pembantu belum?”

“Belum. Makanya serem juga ditinggal sendirian begini. Untung Sam benar - benar datang. Nginap aja di sini ya.”

“Boleh. Tapi aku ingin ditemenin sama Tante bobonya ya.”

“Hihihiiii… iya deh. Kok kayak anak kecil, bobonya pengen ditemenin segala. Ohya, Sam mau dibikinin kopi?”

“Boleh Tante. Tapi jangan dikasih gula.”

“Gak dikasih gula pahit dong nanti.”

“Gak apa - apa. Kata para ahli, kopi itu bermanfaat buat kesehatan, tapi jangan pakai gula.”

“Ogitu ya. Ntar tante bikinin dulu kopinya ya,” kata Tante Reki sambil melangkah ke dapur.

Aku pun mengikutinya dari belakang. Bahkan ketika Tante sedang menuangkan serbuk kopi ke dalam cangkir, aku memeluknya lagi dari belakang. “Tante bisa tetap cantik gini apa sih resepnya?”

“Masa sih masih kelihatan cantik?”

“Sangat… sangat cantik Tante. Apa sih resepnya?”

“Apa ya? Tante gak suka minum jamu, gak suka main make up. Cuma suka senam dan olah raga aja tiap hari. Makanya badan tante sih kencang semua. Coba aja Sam cubit paha tante… gak bakalan bisa dicubit deh.”

“Masa sih?! Ta cubit ya pahanya… Tante yang nyuruh sih…” ucapku sambil menyingkapkan kimono ungunya dari belakang. Lalu kurayapi dulu paha Tante Reki yang memang padat kencang, putih mulus pula.

“Cubit! Kok malah dielus - elus gitu,” kata Tante Reki.

“Gak tega nyubitnya Tante. Masa paha seputih dan semulus begini mau dicubit segala. Hmmm… Tante Reki memang wanita yang istimewa di mataku…”

“Masa sih?! Mmm… Sam… terima kasih ya sudah menempatkan Wulan pada posisi yang bagus begitu. Wulan dikasih rumah dinas, dikasih mobil inventaris segala. Kata Wulan, sekarang kedudukannya seolah jadi orang kedua di perusahaanmu. Betul begitu?”

“Iya Tante.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu