1 November 2020
Penulis —  Neena

Paha Mulus Itu pun Merenggang

Bagian 09

Suzan adalah sesuatu bagiku. Sesuatu yang senantiasa berusaha menyenangkan hatiku. Sesuatu yang layak dicintai. Sesuatu yang selalu mematuhi apa pun yang kujejalkan ke dalam benak dan hatinya. Dia bahkan berkali - kali berjanji takkan menyentuh narkotik lagi. Dia pun berulang - ulang menyatakan cintanya padaku.

Karena itu Suzan layak untuk menempati villa megah dan mewah yang letaknya hanya 5 kilometer dari batas kotaku. Di villa itu Suzan dilayani oleh dua orang pembantu. Mela dan Yanti. Sementara untuk keamanannya, villa itu senantiasa dijaga oleh beberapa orang satpam yang dipimpin oleh seorang pensiunan aparat.

Merry sangat bahagia mendengar kabar bahwa Suzan sudah kutempatkan di villa megah itu.

Aku pun membuka “sesuatu” yang telah terjadi di antara aku dan Suzan. Bahwa Suzan sudah kuambil keperawanannya. Dan Suzan bahkan ingin secepatnya hamil olehku. Dengan itu Suzan takkan menyentuh narkotik lagi, karena tentu harus merawat dan mendidik anaknya dengan benar. Dengan otak dan hati yang di luar pengaruh narkotik.

Merry senang sekali mendengar penuturanku itu. “Syukurlah… daripada Suzan terjderumus ke dalam pergaulan yang gak jelas, mendingan dijadikan simpananmu aja Sayang. Syukur - syukur dia bisa cepatg hamil seperti yang diinginkannya,” kata Merry.

Dan pada hari itu juga Merry minta diantar olehku untuk menjenguk adiknya di villa itu.

Di dalam jeep yang sedang kutujukan ke arah villa itu, Merry berkata, “Sayang aku lagi mens. Kalau lagi bersih sih aku ingin threesome bersama Suzan dan dirimu Sayang. Supaya Suzan yakin bahwa aku ikhlas pangeranku dimiliki olehnya juga.”

“Masih banyak waktu lain. Nanti malah bisa foursome sekalian, dengan Gina dan Suzan,” sahutku sambil tersenyum -senyum di belakang setir jeepku.

“Boleh. Nanti kita atur waktunya. Mmm… enak ya dikasih perawan lagi sama aku?! Sudah Anabella, sekarang Suzan pula… “” cetus Merry sambil mencubit lenganku.

“Heheheee… aku kan gak minta,” sahutku, “Kalau dikasih ya kuterima saja. Lagian semuanya itu kan ada misinya, bukan sekadar melampiaskan nafsu.”

“Iyaaa… iyaaaa… aku cuma becanda kok. Terima kasih ya, sudah menjalankan misiku secara sempurna… emwuaaaaah…” ucap Merry yang diakhiri dengan ciuman mesranya di pipi kiriku.

Akhirnya jeepku tiba di pekarangan villaku.

Begitu turun dari jeepku, Merry tercengang melihat bentuk villa itu. “Wow… villa ini luar biasa megahnya. Dilapisi oleh batu pualam asli pula. Pasti duit pangeranku habis banyak untuk membangun villa semegah dan semewah ini. Tapi gak apa - apa, nanti akan kuganti uangnya semua, Sayang.”

“Gak usah mikirin uang pengganti terus lah. Aku juga kan ingin berbuat kebaikan.”

Merry tersenyum. Lalu melangkah masuk ke dalam villa yang sudah dijadikan tempat tinggal permanen itu.

Suzan girang sekali melihat kedatangan kakaknya. Lalu Suzan menghambur ke dalam pelukan Merry, sambil cium - ciuman pipi.

Aku pun ikut merasa bahagia melihat kedua kakak beradik itu tampak rukun begitu. Semoga selanjutnya pun tetap rukun dan hangat seperti itu. Jangan terganjal olehku yang berada di antara mereka berdua.

Dan aku bertekad untuk tetap menyayangi Suzan sampai kapan pun. Karena Suzan sudah menjadi sesuatu yang istimewa buatku.

Tapi bukan hanya Suzan sendiri yang sesuatu bagiku. Anabella juga kuanggap sebagai sesuatu yang istimewa. Seandainya Bella tidak dibutuhkan oleh Merry, mungkin aku akan menempatkannya di villa itu juga, supaya Suzan ada temannya.

Hari demi hari pun berputar terus tanpa terasa.

Pada suatu saat…

Saat itu aku sedang merenung sendiri di café langgananku, setelah sibuk seharian mengurus bisnisku. Tiba - tiba bahuku ditepuk dan terdengar sauara wanita di belakangku, “Waduh, si Boss lagi nyantai kok sendirian aja nih?”

Aku terkejut dan menoleh. Seorang wanita tinggi montok tampak bertolak pinggang sambil tersenyum padaku.

“Tan… Tante Dini?” cetusku sambil mencium tangannya dengan sikap sopan.

“Iya… di keluarga kita siapa lagi yang segendut aku selain Dini?”

“Hehehee… gendut tapi seksi habis Tante,” sahutku sambil menarik tangannya agar duduk di sampingku di atas sofa café.

“Masa sih aku kelihatan seksi? Ndut gini kok dibilang seksi,” sahut Tante Dini sambil menepuk lututku.

“Kalau kurus kering kan keliatan tulang belulang mulu Tante. Hehehee,” ucapku sambil balas menepuk lutut Tante Dini, tapi tanganku lalu dibiarkan menempel di lututnya yang terbuka di bawah belahan spanroknya.

Tante Dini tersenyum, lalu berkata, “Sebenarnya aku mau ada perlu ke kantor Sam. Tapi kebetulan ketemu di sini. Jadi gak usah jauh - jauh ke kantor Sam.”

“Ada perlu apa Tante?” tanyaku sambil memijat - mijat lutut tanteku… satu - satunya adik almarhumah ibu yang belum pernah kuapa - apain.

“Begini… setelah bercerai sama suami, aku bikin usaha sendiri. Aku beli sapi perah dua ekor. Tapi begitulah… punya sapinya pun cuma dua ekor. Sulit berkembangnya. Makanya aku mau nawarin, bagaimana kalau Sam tanam investasi di peternakan sapi perahku, supaya jerih payahku kelihatan ada hasilnya.

“Aku tau… daerah peternakan sapi perah di selatan kan?” ucapku sambil menyebutkan nama kota kecil yang banyak peternakan sapinya.

“Iya Sam,” sahut Tante Dini. “Kapan - kapan Sam main dong ke sana. Lihat prospeknya nanti. Yang modalnya besar sih sapinya sampai puluhan bahkan ada yang ratusan. Hatiku sering perih kalau melihat peternakan mereka dan membandingkan dengan kandang sapiku yang hanya diisi oleh dua ekor sapi.”

Aku yang selama ini hanya bergelut di dalam bisnis berbasis di kota - kota besar, ingin juga membuka usaha berbasis di daerah pinggiran. Karena itu aku langsung berjanji kepada Tante Dini, untuk datang ke rumahnya besok.

“Tapi jangan diketawain ya, rumahku cuma rumah kayu,” kata Tanrte Dini.

“Terus di rumah ada siapa aja?”

“Sendirian aja.”

“Memangnya Tante gak punya anak?”

“Punya seorang. Tapi tinggal di Bekasi, karena kerjanya jadi buruh pabrik di sana.”

“Ya udah. Besok jam sepuluh pagi mungkin aku sudah tiba di rumah Tante.”

“Oke. Kutunggu besok ya.”

“Mau nyuguhin apa?”

“Apa pun yang Sam inginkan, pasti disuguhkan besok.”

“Ah… nyuguhin aku sih gak usah repot - repot…” ucapku yang kulanjutkan dengan bisikan di dekat telinganya, “Sttt… suguhin hangatnya keseksian Tante aja yaaa…”

Tante Dini melotot. Lalu berkata perlahan di dekat telingaku juga, “Sam ada - ada aja. Tapi asalkan Sam mau tanam investasi, apa juga aku kasih deh. Asal tutup mulut aja… jangan sampai keluarga kita pada tau…”

“Siiip… !” cetusku sambil angkat jempol, “Tapi Tante… aku lupa… besok pagi aku harus meeting di Jakarta. Bagaimana kalau sekarang aja kita ke rumah Tante?”

“Hayooo… lebih cepat lebih baik.”

Beberapa saat berikutnya, Tante Dini sudah duduk di dalam jeep yang kukemudikan sendiri, menuju kota kecilnya di selatan kotaku.

“Yang dibilang tadi serius?” tanya Tante Dini setelah mobilku dilarikan menuju luar kota.

“Soal investasi?”

“Bukan. Masalah yang anget - anget itu…”

“Owh… tentu aja serius Tante. Tadi konsentrasi bisnisku di café jadi buyar setelah melihat Tante. Malah terus - terusan bayangin seperti apa kalau Tante sudah telanjang.”

“Hihihihi… otakmu ngeres. Memangnya belum pernah lihat perempuan ndut telanjang?”

“Belum.”

“Ya udah. Asalkan Sam mau modalin aku nanti, apa juga yang Sam mau pasti kukasih.”

“Waaaah… kebayang hangetnya melukin badan Tante yang montok dan seksi gitu.”

“Aku jadi mulai horny nih Sam, “Tante Dini menyandarkan kepalanya di bahu kiriku, “Sudah bertahun - tahun aku tidak merasakan sentuhan lelaki.”

“Nanti aku akan menyentuh Tante dari ujung kaki sampai ke ujung rambut,” kataku sambil mengelus pipi Tante Dini dengan tangan kiriku.

“Iya. Tapi masalah bisnisnya jangan sampai terlupakan.”

“Soal peternakan sapi jangan takut Tante. Aku bukan manusia yang suka ingkar janji. Kalau perlu, aku akan beli tanah di daerah itu. Lalu bikin kandang sapi yang profesional dan kita datangkan sapi dari Australia atau New Zealand.”

“Wow… kalau seperti itu lebih bagus lagi.”

“Aku memang sudah lama ingin membuka bisnis dengan basis di pedesaan. Jangan di kota melulu.”

“Lalu aku nanti mau diposisikan sebagai apa?”

“Kan Tante yang memimpinnya nanti. Dengan system bagi hasil aja.”

“Mmmm… kalau gede - gedean sih Vina harus dipanggil. Dia sudah banyak pengalaman juga ngurus sapi. Karena sejak masih kecil suka ikut ngurus sapi, memerah susu dan sebagainya.”

“Siapa Vina?”

“Anak semata wayangku yang di Bekasi itu. Ketimbang jadi buruh pabrik, mendingan nemenin aku ngurus peternakan besar itu kan? Ohya… aku baru ingat. Ada peternakan besar yang akan dijual, karena pemiliknya sudah meninggal. Anaknya punya bisnis lain di luar Jawa. Makanya peternakan itu mau dijual.

“Nah boleh tuh. Jangan tanggung - tanggung, kita rekrut dokter hewan untuk aktif di peternakan kita nanti Tante.”

“Iya, peternakan besar selalu ada dokter hewannya.”

Ketika jeepku tiba di depan sebuah rumah kayu, hari sudah mulai malam.

Prihatin juga aku menyaksikan keadaan rumah Tante Dini ini. Hanya rumah yang terbuat dari kayu. Hanya terdiri dari kamar, dapur dan kamar mandi saja. Berantakan pula keadaannya. Ada singkup, garpu tanah, golok, cangkul dan banyak lagi peralatan yang biasanya digunakan petani. Peralatan itu ada yang menempel di dinding, ada pula yang berserakan di lantai.

“Kekayaan bisa disembunyikan, tapi kemiskinan tidak bisa diumpetin. Beginilah keadaanku… tantemu yang miskin ini Sam.”

Karena tidak ada sofa atau pun kursi makan, aku pun duduk di tempat tidur yang kecil, takkan muat untuk dipakai berdua.

“Tante sih gak mau datang ke hotelku. Aku juga ikut prihatin melihat keadaan Tante seperti ini.”

“Kan silaturahmi itu sebaiknya yang lebih muda datang ke yang lebih tua.”

“Tapi dalam masalah ini, masa jembatan harus datengin orang yang mau nyebrang? Heheheee… tapi tenang aja Tante. Semuanya akan kuupgrade nanti.”

“Di tempat seperti ini, nafsu birahimu juga spontan hilang kan?”

“Nggak,” sahutku sambil menarik pergelangan tangan Tante Dini, sehingga bokongnya terhempas ke atas sepasang pahaku.

“Sebentar… mau ganti baju dulu,” kata Tante Dini sambil turun dari pangkuanku. Lalu melangkah ke kamar mandi.

Dan muncul lagi dalam pakaian yang sudah berubah. Mengenakan kemeja kotak - kotak dengan kancing - kancing atasnya yang terbuka terbuka. Sehingga belahan buah dadanya yang sangat gede itu terbuka lebar sekali.

Mungkin Tante Dini sengaja memamerkan sebagian dari payudaranya, sebagai “tantangan” buatku yang masih “adem ayem” saja. Padahal sebenarnya aku sedang berpikir dari mana “mulai”nya di tempat seberantakan ini.

Tapi denganmelupakan segalanya dan hanya mengingat betapa menggiurkannya tubuh montok di depan mataku itu, kedua tanganku pun segera beraksi. Untuk memegang sepasang toket gede tanteku dari belakang tubuh tinggi gedenya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu