1 November 2020
Penulis —  Neena

Paha Mulus Itu pun Merenggang

Meski pun aku merasa harga itu sangat murah, tapi aku masih berusaha untuk mempersulit keputusan untuk menyetujui harga yang sudah dikasih discount 10% itu. Di kantor peternakan itu aku malah bertanya, “Kalau aku setuju dengan harga itu, apa bonusnya?”

“Hihihiii… memangnya kamu mau bonus apa Sam?” Hanum balik bertanya, “kan harganya sudah didiscount. Masa masih minta bonus lagi?”

“Aku tidak minta harganya diturunkan lagi kok. Tapi aku ingin agar hubungan kita jangan berhenti sampai di sini.”

“Tapi aku kan tinggal di Kalimantan.”

“Gak masalah. Kita bisa LDR kan?”

“LDR? Maksudmu… kita jadi sepasang kekasih gelap?”

“Itu kan bahasa ekstrimnya. Kita pakai istilah backstreet relation aja. Gimana?”

“Memang apa yang menarik pada diriku Sam?”

“Tentu ada. Malah banyak yang menarik pada dirimu Num. Tapi tak usah kuuraikan satu persatu.”

“Jadi rencanamu gimana? Aku mau jadi a good listener dulu.”

“Jam segini kantor notaris masih buka kan?”

“Masih. Meski kota ini kota kecil, notarisnya banyak.”

“Nah… kita transaksi hari ini juga di kantor notaris. Setelah selesai transaksi, kamu ikut aku.”

“Aku mau dibawa ke mana?”

“Ke tempart yang nyaman untuk pacaran orang dewasa.”

“Gila… cash and carry gitu?!”

“Ya itu pun kalau kamu mau. Kalau berkeberatan aku gak maksa kok. Mungkinkah ada calon buyer yang bisa lebih cepat melaksanakan transaksi seperti aku?”

Hanum tampak panik. Lalu bertanya, “Memangnya Sam sudah deal dengan harga yang sudah didiscount itu?”

“Loh… aku makanya ngajak ke kantor notaris juga karena sudah deal, tapi syaratnya yang tadi itu,” sahutku sambil memegang kedua tangan Hanum yang terletak di atas meja tulis kantornya.

Hanum menghela napas panjang. Lalu terdengar suaranya lirih, “Aku sudah sebatang kara di dunia ini Sam. Sudah tidak punya orang tua dan saudara kandung. Jadi aku cuma memohon… jangan sakiti hatiku nanti ya.”

Terharu juga aku mendengar ucapan kepiluannya itu. Lalu jawabku, “Aku bukan manusia kejam Num. Percayalah. Meski hanya kujadikan kekasih backstreet, aku takkan pernah menyakiti hatimu.”

“Mmmm… kalau mau pacaran, di rumahku juga kan bisa. Takkan ada yang mengganggu kok.”

“Pacarannya kan pacaran orang dewasa. Kamu ngerti maksudku kan?”

“Nggak tau juga. Dahulu aku pacaran cuma sebatas pegang - pegangan tangan dan cipika - cipiki. Gak pernah lebih dari itu.”

“Begitu melihat kamu lagi tadi, aku langsung tertarik padamu Num. Kulitmu begitu putih bersih. Wajahmu juga manis sekali. Makanya tadi spontan aku merasa ingin memilikimu.”

“Aku juga punya perasaan seperti itu. Tapi… yaaaah… kita ke notaris aja sekarang. Tapi sertifikat - sertifikatnya harus diambil dulu dari rumah. Oke?”

“Jadi keinginan khususku sudah kamu terima kan?”

“Iya Sam. Jangan bawel dong,” sahut Hanum dengan senyum manis. Maaaak… memang manis sekali Hanum waktu sedang tersenyum seperti itu…!

Lalu kukeluarkan tiga helai kartu namaku. Kartu nama sebagai owner hotel di kotaku dan di Surabaya, juga kartu nama sebagai komisaris PT baru kitu. “Suatu saat mungkin kamu butuh investasi, ini kartu - kartu namaku,” kataku.

Hanum memperhatikan ketiga kartu nama itu satu persatu. Lalu berkomentar, “Gilaaa…! Kamu punya hotel di Surabaya segala. Terus… PT ini kan PT besar Sam. Dan kamu sebagai komisarisnya, berarti sahammu terbesar di sana kan?”

“Sebenarnya sahamku seratus persen di sana. Tapi untuk mengikuti aturan main PT, kucantumkan saja saham kehormatan, tidak lebih dari lima persen.”

“Wah… kamu memang sudah sukses Sam. Pantesan mobilmu juga mobil langka gitu.”

“Kalau soal mobil… itu cuma hadiah dari salah seorang istriku. Aku belum pernah beli mobil pribadi. Semuanya hadiah dari orang - orang yang menyayangiku.”

“Walau pun sudah sangat menyayangimu, aku sih gak bakalan bisa ngasih hadiah apa - apa sama kamu Sam.”

“Loh… aku tidak mengharapkan apa - apa kok darimu. Aku hanya mengharapkan dirimu seutuhnya. Itu saja.”

Hanum menatapku. Lalu tersenyum manis lagi. Senyum yang menggetarkan batinku juga.

Transaksi yang dilakukan di kantor notaris itu pun berjalan lancar. Kebetulan aku punya rekening di salah satu bank plat merah, yang di kota kecil itu pun ada cabangnya. Jadi hanya dibutuhkan waktu sejam, transaksi pun selesai.

Waktu meninggalkan kantor notaris itu, Hanum berkata, “Terima kasih ya Sam. Gak nyangka semuanya akan berjalan secepat ini. Terus sekarang aku mau dibawa ke mana?”

“Ke hotelku aja ya.”

“Padahal di rumahku mau ngapa - ngapain juga bisa.”

“Tenang Num. Aku ingin membuka lembaran baru di dalam kehidupanku. Yang penting, kamu harus ikhlas pada apa pun yang terjadi nanti. Makin jauh kita melangkah, makin jauh juga perhatianku padamu kelak.”

“Lalu kenapa gak di rumahku aja?”

“Karena aku ingin membawamu ke tempat yang tiada gangguan sekecil apa pun.”

“Hihihiii… kayak mau meditasi aja.”

“Mau tau kenapa aku ingin membawamu ke tempat yang bebas leluasa?”

“Gak tuh. Kenapa coba?”

“Karena aku akan menelanjangimu Num.”

“Idiiiihhh… belum apa - apa udah mau maen telanjangin aja.”

“Tapi aku takkan memaksamu. Catat itu. Aku mau segalanya berjalan atas dasar suka sama suka. Kalau kamu masih ragu, sekarang juga aku akan memutar balik mobil ini menuju rumahmu kembali.”

“Rumahku kan sudah menjadi rumahmu Sam. Aku tidak punya rumah lagi di pulau Jawa ini.”

Aku tidak menyahut. Mulai konsentrasi ke setir, karena mulai ngebut di jalan tol.

“Apakah kamu tidak punya minat sama sekali untuk kembali ke daerah kelahiran kita ini?”

“Mau,” sahut Hanum spontan, “Asalkan Sam memberiku lahan bisnis di sini.”

Aku membelokkan jeepku ke bahu jalan. Lalu menghantikannya, tapi mesinnya tetap hidup.

“Kenapa berhenti di sini Sam? Mau pipis dulu ya?”

Kulepaskan seatbelt-ku, lalu kurengkuh leher Hanum ke dalam pelukanku, “Aku ingin mencium bibirmu, Num…”

Hanum menyambutku dengan mendahului memagut bibirku. Lalu kubalas dengan lumatan hangat, membuat Hanum terpejam.

Setelah ciumanku terlepas, terdengar suara Hanum, “Ini detik - detik yang takkan kulupakan. Bahwa untuk pertama kalinya bibirku dicium oleh seorang cowok… kejadiannya di bahu jalan tol. Kebetulan cowok itu yang aku sukai sejak masih kuliah dahulu.”

Kupasang seatbeltku kembali sambil berkata, “Kamu seolah dikirim oleh malaikat untuk menjadi milikku Num.”

“Rasanya seperti dalam mimpi saja. Dalam hitungan jam dan jari, hatiku langsung menjadi milikmu Sam. Semoga saja kita bisa saling membahagiakan ya.”

“Amiiin…” sahutku sambil menjalankan kembali jeep long chasisku.

“Aku pun merasa seperti perasaanmu. Bahwa kamu seolah dikirim oleh malaikat untuk mengalirkan kebahagiaan bagi diriku Sam.”

Tak lama kemudian jeepku sudah berada di ambang pintu keluar jalan tol. Dan beberapa saat berikutnya, kami sudah berada di basement parkiran pribadiku.

Lalu bergegas aku turun untuk membantu Hanum turun dari jeepku.

“Terima kasih,” kata Hanum setelah turun dari mobilku, “Mobilmu tinggi banget kalau gak dibantu agak susah juga turun, karena pakai sepatu high heels gini.”

“Besok kita pakai mobil yang itu,” kataku sambil menunjuk ke arah sedanku yang diparkir di samping kanan jeepku.

“Iya tuh… kalau pakai sedan itu, pasti jauh lebih nyaman,” sahut Hanum, “Sebentar dulu… kamu bilang besok? Berarti aku harus nginap di hotelmu ini?”

“Iya. Memangnya kenapa? Keberatan?” tanyaku sambil menggandeng pinggang hanum menaiki tangga menuju ruang kerja dan suiteroom pribadiku.

“Kamu tentu tau jawabannya. Aku takkan menolak apa pun yang kamu inginkan, karena hatiku sudah menjadi milikmu,” sahut Hanum yang disusul dengan kecupan hangatnya di pipiku.

Semua ini memang cepat sekali dan tak terduga - duga sebelumnya.

Namun aku bangga jika benar - benar memiliki Hanum kelak. Ia tidak cantik, tapi manis. Bahkan kata orang, yang manis itu bakal lebih awet daripada yang cantik. Hanum juga berkulit pjutih bersih… putih sekali.

Dan salah satu kelebihannya adalah… bokongnya itu. Kalau dilihat lurus dari depan, dia itu berperawakan tinggi langsing, dengan toket yang tidak gede pula. Tapi kalau dilihat dari belakang, maaaak… pantatnya itu… gede banget!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu