1 November 2020
Penulis —  Neena

Paha Mulus Itu pun Merenggang

Dengan cermat kuamati kemaluan adik Papa yang Indo Belanda ini. Bentuknya begitu indah dan menggiurkan sekali. Sehingga sambil duduk di kursi makan di antara kedua kaki Tante Maria yang tergantung ke lantai. Jarak lutut kiri dan lutut kanannya pun direnggangkan. Di antara kedua lututnya itulah aku berada, duduk di kursi sambil menciumi memek tanteku.

“Langsung jilatin memekku aja. Mandi kucing sih nanti aja. Mungkin enaknya mandi kucing sih sambil berendam di bak air panas mineral itu,” sahut Tante Maria sambil mengusap - usap memeknya.

Kusingkirkan tangan tanteku, kemudian aku mulai menjilati memeknya yang sangat menggiurkan ini. Sementara ujung jari tanganku pun ikut campur, mengelus dan menggesek kelentit Tante Maria yang tampak menonjol di atas vaginanya.

Tante Maria pun mulai menggeliat - geliat sambil menahan - nahan nafasnya.

Hanya belasan menit aku menjilati memek Tante Maria sambil menge;us - elus kelentitnya dengan ujung jariku. Karena ketika jari tengahku diselundupkan kedalam liang memeknya, ternyata sudah basah sekali.

Maka tanpa buang - buang waktu lagi celana dalamku pun dilepaskan. Kemudian sambil berdiri kuletakkan moncong penisku di ambang mulut vagina Tante Maria. Lalu kudorong penis ngacengku sekuat tenaga.

Blessssss… penisku masuk sedikit demi sedikit ke dalam liang memek Tante Maria.

“Saaaam… aaaaa… aaaaah… kon… kontolmu gede banget Saaam… sa… sampai seret gini masuknyaaaa… “rintih Tante Maria terengah - engah.

Bersetubuh dalam posisi seperti ini, Tante maria celentang di meja makan dengan kaki kanan terjuntai di lantai, kaki kiri menopang di bahuku, sementara aku mengentotnya sambil berdiri dan memeluk betis kirinya… membuatku jadi leluasa menggunakan jari tangan kiriku untuk menggesek - gesek kelentitnya…

“Saaaam… adudududuuuuuuh… Saaaam… iiii… iniii langsung enaaaak… kontolmu panjang gede gini… jari tanganmu mainin itilku pulaaaa… oooo… ooooooh Saaaaam… ini luar biasa enaknyaaaa… Saaaam… oooooohhhh… Saaaaam… oooooohhhh… Saaaaaaam.. ayo entot terusa Saaaaam…

entoooootttt… entoooootttttttt… enak sekali Saaaam… enaaaaaak… entooot teruuuuuussssssss… entooootttt… entoooooottttttt… enaaaaaak… enaaaak… entooootttt… enaaaaaaaaakkk… entooooooootttt… itilnya elus teruuuussss… itiiiillllll…

Bukan hanya Tante Maria yang keenakan dientot olehku. Aku pun merasa nikmat sekali, karena bisa mengentot wanita secantik Tante Maria. Baru melihat wajah cantiknya saja sudah punya kenikmatan tersendiri di hatiku. Terlebih punya kesempatan untuk mengentotnya begini.

Tante Maria tidak bisa menggoyang pinggulnya, karena kaki yang satu terjuntai ke lantai, sementara kaki satunya lagi tertumpang di atas bahu kananku. Tapi aku tidak merasa perlu goyangan pinggul. Dengan mengentot memeknya sambil mengelus - elus kelentitnya pun sudah terasa nikmat sekali.

Namun tante Maria tidak bisa bertahan lama. Baru belasan menit kuentot, dia sudah mengejut - ngejut… lalu mengejang sambil menahan nafasnya. Dan… terasa liang memeknya berkejut - kejut erotis, lalu lendir birahinya pun mengalir dan merendam penisku yang sedang kudiamkan dulu.

Aku menunggu Tante Maria pulih kembali gairahnya, sambil meremas - remas toket kanannya yang lumayan gede dan belum gembyor itu.

Namun aku tak mau menyiksanya terlalu lama. Setelah dia orgasme dua kali, aku pun buru - buru mencabut penisku dari dalam liang memeknya. Lalu bergerak sedemikian lupa untuk mengocok p-enisku di atas dada Tante Maria.

Dan… air maniku menembak - nembak ke sepasang toket gede tanteku. Croooootttt… crooooooootttttt… crotcrotttttt… croooooooootttt… crooootttt…!

Tante Maria malah memegang sepasang toketnya yang “kena tembak” spermaku. Lalu diusap - usapnya air maniku sehingga membasahi permukaan toketnya. Semuanya itu dilakukannya sambil tersenyum. Bahkan pada akhirnya dia berkata, “Kenapa dilepasin di luar? Lain kali ejakulasinya di dalam memekku aja.”

“Takut Tante hamil,” sahutku, “Sedangkan aku gak siap pil kontrasepsi.”

“Biarin aja hamil. Mengandung anak orang tajir melintir yang ganteng kayak Sam sih malah menyenangkan. Karena masa depan anak Sam pasti terjamin kan?”

“Iya, soal itu sih pasti.”

Persetubuhan dengan Tante Maria bukan hanya satu kali. Ketika hari mulai malam, kusetubuhi lagi tubuh putih mulus dan menggiurkan itu di atas bed di dalam kamar depan.

Bahkan pada waktu disetubuhi olehku itu, Tante Maria masih sempat menerima call dari anaknya yang bernama Ine Caroline itu. Aku pun menghentikan entotanku dulu, karena ingin ikut mendengar percakapan Tante Maria dengan putrinya yang masih berada di Manado itu.

“Hallo Sayang.”

“Hallo Mam… lagi di mana sekarang?”

“Lagi di rumah yang dihadiahkan oleh Bang Sam untuk tempat tinggal kita.”

“Ohya?! Ngasih rumah segala. Baik benar bang Sam itu ya. Terus mengenai pekerjaan itu gimana?”

“Udah. Diterima. Tapi tentang bagian apa - apanya nanti aja bahasnya setelah kamu ada di sini. Kapan bisa terbang ke sini?”

“Sebulan lagi Mam. Soalnya aku kan masih nunggu ijazah asli. Ohya, bilangin terima kasih sama Bang Sam ya Mam. Nanti aku akan bekerja sebaik mungkin deh di perusahaannya.”

“Iya, iya, nanti mama sampaikan pada Bang Sam,” kata Tante Maria sambil mengedipkan matanya padaku. Dia bicara seolah tidak sedang bersamaku. Padahal penisku sedang nancap di dalam liang memeknya…!

Keesokan paginya, aku menerima call dari… Suzan…!

Sambil melangkah ke luar rumah, kuterima call itu.(Mungkin para ahli bahasa harus mencari istilah baru untuk hubungan seluler lewat handphone. Karena istilah telepon adalah untuk telepon rumah, yang menggunakan kabel untuk menyambungkannya. Kalau call diterjemahkan jadi panggilan, rasanya kurang enak, seolah - olah panggilan di darat).

“Hallo Suzan Sayang? Ada yang bisa kubantu?”

“Bang… aku diijinkan pulang hari ini.”

“Ohya?! Berarti dipercepat dua minggu ya?”

“Iya Bang.”

“Sudah laporan sama Mbak Merry?”

“Belum. Aku merasa harus mendahulukan Bang Sam dalam segala hal.”

“Ohya?! Ya udah. Aku akan segera meluncur ke Lido, buat jemput kamu.”

“Iya Bang. Terima kasih. Aku tunggu ya.”

“Mmm… mungkin sekitar tiga jam aku baru tiba di Lido, Zan.”

“Iya gak apa - apa.”

Setelah hubungan seluler ditutup, aku masuk lagi ke dalam rumah yang sudah kuberikan kepada Tante Maria. “Tante, aku mau ke luar kota dulu ya,” kataku.

“Ada urusan bisnis?”

“Nggak. Mau jemput adik ipar yang baru boleh pulang dari rumah sakit.”

“Owh… ada adik ipar yang sakit?”

“Iya. Tapi sekarang sudah sembuh. Ini buat kebutuhan sehari - hari Tante di sini. Nanti kucarikan pembantu, biar Tante ada yang melayani di sini,” kataku sambil menyerahkan uang dalam jumlah yang cukup banyak.

“Wah… duitnya banyak bener Sam… !”

“Kebutuhan Tante juga cukup banyak nanti.”

Tante Maria mendekapku sambil berkata, “Panggil namaku langsung lebih bagus. Karena aku kan sudah menjadi kekasihmu, Sayang.”

“Takut kebiasaan sampai Ine datang nanti. Dia pasti heran kalau aku manggil nama Tante langsung.”

“Iya juga ya,” ucapnya disusul dengan kecupan hangatnya di bibirku, “Hati - hati di jalan ya Sayang.”

“Iya Mariaku sayang…”

“Nah… sebutan itu lebih nyaman bagiku.”

“Iya, kalau gak ada orang lain, aku akan menyebut namamu langsung Beib.”

Lalu aku menujukan jeepku ke hotelku dulu. Untuk menjemput Dirga, sopir baruku yang hanya nyetir kalau aku terdesak saja. Mobil pun kutukar dengan sedan pemberian Mamie, agar suspensinya halus dan bisa tidur di belakang.

Beberapa saat kemudian sedan pemberian Mamide itu mulai meluncur ke luar kota, dikemudikan oleh Dirga yang sudah kukasih tahu ke mana tujuannya.

Aku sendiri yang duduk di seat belakang, lalu menghubungi Merry lewat hapeku. Lalu :

“Iya Pangeranku…”

“Aku lagi di jalan, mau menjemput Suzan.”

“Ohya?! Emangnya dia sudah boleh pulang?”

“Bisa katanya. Dipercepat dua minggu.”

“Kok malah ngerepotin Sam sih?”

“Gak apa - apa. Dia malah ingin agar jadi milikku seperti Gina. Aku sudah ngomong masalah itu kan?”

“Iya. Makanya soal Suzan aku pasrahkan aja kepada Sam. Bisa kan Sam menyayangi dia seperti kepada Mbak Gina?”

“Iya, aku akan berusaha untuk melindungi dia, supaya jangan sampai terjerumus ke jurang narkotika lagi.”

“Aku senang mendengarnya. Soalnya aku sendiri kan sibuk terus. Gak bisa memperlihatkan perasaan sayangku pada Suzan.”

“Santai aja. Aku sendiri juga sibuk terus. Tapi aku akan tetap memperhatikan segala kebutuhan Suzan, baik jasmani mau pun rohaninya.”

“Terima kasih Pangeranku. Masalah biaya untuk kebutuhan - kebutuhan Suzan, nanti aku transfer secara rutin ke rekening Sam. Karena kalau transfer ke rekening tabungan Suzan, aku takut duitnya dipakai beli narkotik lagi.”

“Iya. Soal itu sih atur - atur aja sama Merry.”

“Ini nyetir sendiri?”

“Driver yang nyetir.”

“Owh… syukurlah. Aku harus nyusul ke Lido?”

“Gak usahlah. Buat apa buang - buang bensin. Biar aku aja yang ngatur semuanya nanti.”

“Tapi maaf ya… jadinya ngerepotin Sam.”

“Gak apa… kayak sama orang lain aja. Nanti Suzan takkan langsung kubawa ke rumahmu Beib. Aku ingin ngajak dia bicara dari hati ke hati. Supaya aku tau benar apa yang diinginkannya. Yang penting, dia jangan terjerumus lagi ke dunia narkotik.”

“Iya silakan aja. Pokoknya masalah Suzan, aku percaya sepenuhnya padamu Sayang.”

Sedanku meluncur terus di jalan yang sudah di luar kota. Aku pun merebahkan diri di belakang, setelah memperingatkan Dirga agar jangan ngebut. Memang orang lain pun seperti aku. Kalau nyetir sendiri bisa seenaknya ngebut. Tapi kalau dikemudikan oleh orang lain, selalu takut dibawa ngebut.

Lalu aku ketiduran di seat belakang. Begitu nyenyaknya aku tertidur. Sehingga sampai tiba di depan BBRN pun aku belum terbangun.

Dan baru terbangun setelah mendengar suara Dirga, “Maaf Boss. Ini sudah tiba di depan BBRN.”

“Masa?!” aku kaget dan langsung duduk. Kemudian kuseka wajahku dengan kertas tissue basah. Lalu turun dari mobilku menuju ruang tunggu penjenguk.

Ternyata Suzan sudah duduk menunggu di situ, dengan sebuah koper di sisinya.

“Bang Sam… !” Suzan yang saat itu mengenakan celana jeans dan baju kaus tanpa lengan, memburuku dengan wajah ceria.

“Sudah lama nunggu?”

“Mmm… nggak sih. Baru seperempat jaman aku pamitan sama pengurus tadi. Sekarang langsung pulang?”

“Iya.”

“Abang kok matanya merah gitu? Abis minum?”

“Aku sangat jarang minum. Ini tadi ketiduran di jalan.”

“Oooh… bawa sopir?”

“Bawa.”

“Tumben bawa sopir.”

Kujawab dengan bisikan, “Kan biar bisa duduk di belakang sambil melukin kamu.”

“Iya iya iyaaa…”

Sesaat kemudian aku dan Suzan sudah duduk di seat belakang sedanku. Dirga pun menjalankan mobilku, menuju jalan aspal lagi.

“Maaf Boss… sekarang mau menuju ke mana?”

“Langsung pulang ke hotel aja.”

“Siap Boss.”

Sedanku pun mulai menginjak jalan raya dan lari dalam kecepatan sedang menuju kotaku kembali.

“Boleh merebahkan kepala di sini?” tanya Suzan sambil menepuk pahaku.

“Tentu aja boleh,” sahutku.

Lalu Suzan merebahkan kepalanya di atas pangkuanku.

Sedanku berlari terus dalam kecepatan sedang.

Pikiranku pun melayang - layang di sepanjang jalan menuju kotaku.

Banyak sekali yang terlintas di dalam pikiranku. Namun aku senantiasa menindasnya dengan prinsip lamaku: Apa yang akan terjadi, terjadilah… “.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu