1 November 2020
Penulis —  Neena

Paha Mulus Itu pun Merenggang

Bagian 08

Aku bukan seorang ksatria seperti dalam legenda atau mitologi yang senantiasa berjuang tanpa pamrih. Karena aku hidup di abad milenium. Abad yang membiasakan manusia berjuang dengan pamrih.

Aku memang ingin membimbing Suzan ke jalan yang bersih dari narkoba. Tapi keinginan Suzan agar dia menjadi milikku seperti dua orang kakaknya (Merry dan Gina), seolah “membangunkan harimau tidur”. Karena aku diam - diam mengagumi kecantikan dan bentuk badannya yang tinggi langsing itu. Koleksiku banyak yang chubby, namun sedikit sekali yang berperawakan tinggi semampai seperti Suzan ini.

Ketika kepala Suzan berada di atas pahaku, memang aku punya perasaan kasihan padanya. Karena menurut pengakuannya sendiri, dia hanya membutuhkan kasih sayang, agar tidak jadi pemakai narkotik lagi.

Oke. Kalau cuma itu yang diinginkannya, aku akan mengalirkan kasih sayangku padanya. Tapi kenapa keinginannya untuk menjadi milikku, membuatku seolah “pucuk dicinta ulam tiba”?

Dan kini aku mengalaminya secara jelas. Bahwa Suzan sangat mencintaiku. Terbukti dengan tak pedulinya Suzan pada sopir yang tengah mengemudikan mobilku, berkali - kali ia mencium bibirku dengan mesranya. Berkali - kali pula ia membisiki telingaku, “Aku sudah semakin dalam mencintai Abang… aku ingin menjadi milik Abang…

Lalu ia merebahkan kepalanya di atas kedua pahaku kembali. Sambil meremas - remas tanganku. Dan ketika tanganku menyelinap ke balik baju kaus tanpa lengannya, lalu memegang payudaranya yang tak berbeha… ia menciumi lenganku. Pertanda ia suka sekali payudaranya kupegang dengan lembut. Sementara payudaranya yang berukuran sedang itu pun mulai menghangat.

Di tengah perjalanan pulang ke kotaku, kami beristirahat sambil mengisi perut di sebuah restoran yang berkaliber internasional. Di lantai dua restoran itu pun Suzan semakin memperlihatkan perasaannya padaku. Bahwa dia benar - benar mencintaiku dan bertekad untuk menjadi milikku. Dengan atau pun tanpa pernikahan yang sah.

Jujur, aku terhanyut dibuatnya. Aku merasa kejam sekali kalau mengabaikan cinta adik Merry itu.

Ketika hari mulai senja, kami pun tiba di hotelku. Suzan langsung kubawa ke kamar pribadi yang berdampingan dengan ruang kerjaku.

Begitu berada di dalam kamar pribadiku, Suzan tidak berkomentar sepatah kata pun. Maklum dia adik seorang konglomerat. Yang mungkin sudah terbiasa melihat keadaan semewah apa pun. Ia hanya berkata, “Bang… aku mau mandi ya.”

“Iya. Di kamar mandi banyak handuk kimono baru. Nanti pakai kimono yang baru aja,” sahutku.

“Iya. Abang gak mau nemenin aku mandi?” tanyanya dengan sikap manja yang menggemaskan.

“Mau ditemenin? Ayo deh… aku juga ingin melihat sekujur tubuhmu yang sudah menjadi milikku,” sahutku sambil melepaskan sepatu dan kaus kaki, kemudian menggandeng pinggang Suzan menuju kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, tanpa canggung - canggung Suzan melepaskan celana jeans dan baju kaus tanpa lengannya. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Bersamaan dengan itu aku pun melepaskan segala yang melekat di tubuhku, sehingga aku sudah telanjang duluan. Lalu Suzan pun melepaskan celana dalamnya.

Sebentuk tubuh tinggi semampai berkulit putih kekuningan telah berdiri di depanku. Tubuh yang sempurna menurut ukuran manusia biasa. Tapi aku tidak terlalu memperhatikannya, agar Suzan tidak canggung.

Aku menggerakkan keran shower air hangat. Lalu shower di atas kepala kami memancarkan air hangatnya. Setelah kepala dan badan kami basah, kumatikan dulu shower itu, lalu kuambil botol sabun shower. Dan aku pun menyabuni sekujur tubuh Suzan dengan telaten, seperti sedang memandikan anakku sendiri.

“Seumur hidup, baru sekali ini aku dimandikan oleh cowok Bang,” ucap Suzan ketika aku sedang menyabuni paha padat dan putih mulusnya, sampai ke pangkal pahanya.

“Tubuhmu mulus dan indah sekali Sayang. Mmm… jembutnya mau dicukur?” kataku sambil menunjuk ke arah kemaluannya yang berjembut lebat sekali.

“Terserah Abang,” sahutnya sambil memegang batang kemaluanku yang masih “tagak tali” (belum ereksi total), “Jembut Abang juga lebat gini. Gak dicukur juga?”

“Kalau cowok sih jarang yang suka nyukur jembutnya. Kalau cewek memang perlu dibersihkan… biar enak jilatinnya.”

“Iiih… memangnya Abang mau jilatin memekku?” tanyanya sambil meremas - remas batang kemaluanku perlahan. Lalu melepaskannya

“Iya. Memekmu pernah merasakan dimasuki yang seperti ini?” tanyaku sambil memegang batang kemaluanku yang mulai ngaceng ini.

“Belum pernah, “Suzan menggeleng, “aku jadi pemakai narkotik juga hanya dengan teman - teman cewek Bang. Lagian aku pakai narkotik juga bukan untuk obral memek.”

“Tapi nanti kontolku ini akan dimasukin ke dalam memekmu. Gimana?”

“Kalau sama kontol Abang sih silakan aja. Abang kan cinta pertama sekaligus cinta terakhirku.”

“Umurmu sekarang sudah duapuluhdua tahun kan?”

“Iya.”

“Memangnya belum pernah pacaran?”

“Belum. Kehidupanku dikekang sekali Bang. Gak boleh sembarangan bergaul. Apalagi waktu suami Mbak Merry masih hidup. Ke mana - mana dikawal bodyguard, sejak kecil sampai dewasa. Bagaimana aku bisa bergaul sama cowok?”

“Ya sudah… bersamaku kamu aman dan nyaman Sayang,” ucapku sambil mencium pipi Suzan.

“Iya… aku memilih Abang karena ada dasarnya yang kuat. Bahwa Abang ini bukan hanya ganteng dan penuh kharisma, tapi juga baik hati dan bertanggungjawab. Aku akan selalu nyaman jika berdekatan dengan Abang.”

Lalu tubuh kami dibilas dengan air hangat shower, sampai bersih dari air dan busa sabun. Kemudian kuambil silet dari lemari kecil di dinding kamar mandi. Dan dengan cermat kucukur jembut Suzan sampai benar - benar bersih dari rambut keriting itu.

Setelah bersih, kemaluan Suzan kusemptor dengan air hangat, agar jangan ada potongan rambut yang nyelip ke sana - sini.

Aku pun berdiri sambil memegang sepasang bahu Suzan. “Sekarang kamu semakin cantik, karena memekmu sudah bersih sekali. Memangnya gak pernah dicukur ya?”

“Nggak. Aku takut terkesan sering mainin memeki,” sahutnya sambil mendekap pinggangku.

Setelah mengeringkan tubuh dengahn handuk, kupersilakan Suzan memilih sendiri kimono di lemari kaca.

“Gak usah pake celana dalam?” tanyanya.

“Gak usah. Kan nanti juga mau telanjang lagi.”

“Abang mau buktikan keperawanan aku ya?”

Sambil mengepit sepasang pipi Suzan dengan kedua telapak tangan, kujawab: “Aku hanya ingin melepaskan perasaan kangenku padamu selama ini.”

“Iya Bang. Aku juga ingin ngerasain bagaimana sih rasanya hubungan seks itu,” sahut Suzan sambil memegang batang kemaluanku yang sudah lemas lagi ini. Tapi setelah dipegang oleh tangan Suzan, penisku mengembang lagi sedikit.

Setelah sama - sama mengenakan kimono, kuajak Suzan duduk di sofa bedroomku. Kuhidupkan mesin coffee makerku sambil bertanya, “Mau minum kopi?”

“Boleh. Espresso aja, biar nggak ngantuk.”

Aku memang penggemar kopi, terutama kopi arabica. Karena itu di kantor perusahaan baruku, di private room ini dan bahkan di villa pun ada coffee maker. Supaya kalau ingin minum kopi tinggal nyalakan mesinnya, tanpa harus masak air di teko elektronik dulu.

Tak lama kemudian kuletakkan secangkir kopi untukku dan secangkir mini berisi kopi espresso buat Suzan, di atas meja kecil depan sofa yang sudah Suzan duduki.

Lalu aku pun duduk di samping kanan Suzan sambil bertanya blak - blakan. “Sudah siap untuk melakukan hubungan seks?”

“Siap Bang. Tapi aku sama sekali belum pernah merasakannya. Jadi nanti kalau aku berbuat kesalahan, tolong betulkan aja ya.”

“Iya Sayang. Santai aja. Di sini duduknya,” ucapku sambil menepuk pahaku sendiri.

Suzan tampak senang mendengar instruksiku untuk duduk di atas pangkuanku.

Lalu dia duduk di atas kedua pahaku. Yang kusambut dengan dekapan lengan kiriku, sementara tangan kananku langsung menyelinap ke balik kimononya. Langsung merayapi paha mulusnya sampai pangkal pahanya.

Lalu mulailah jemariku beraksi. Menggerayhangi kemaluannya yang baru dibersihkan jembutnya, membuat Suzan seperti terlena. Lalu menciumi pipi kiriku dengan hangatnya.

Terlebih setelah jemari tangan kananku mencari - cari dan menemukannya. Menemukan kelentitnya yang mulai kuelus - elus dengan ujung jariku.

Suzan pun mulai merintih erotis, “Baaang… aaaaaah… Baaaang… geli Bang… tapi enaaak Bang… itilku ini geli banget, tapi enaaak… aaaah… Bang Saaam… aku udah pengen nyobain vaginaku dimasukin penismu Baaang…”

Mendengar keinginan Suzan itu spontan aku mengangkat badan Suzan sambil bangkit berdiri. Lalu membopongnya ke arah bed. Dan meletakkannya dengan hati - hati di situ.

“Lepasin dulu kimononya Sayang,” ucapku lembut. Memang aku harus bersikap dan berperilaku lembut pada Suzan. Karena yang terpenting aku harus bisa membangun mentalnya menjadi prima. Hal itu penting untuk dirinya. Agar tidak mau lagi memakai narkotik untuk sekadar menenangkan hati dan pikirannya.

Sambil tersenyum manis Suzan melepaskan kimononya. Begitu pula kimonoku, cepat kutanggalkan sebelum naik ke atas bed.

Dalam keadaan seperti Adam dan Hawa waktu baru diturunkan ke permukaan bumi, adalah sesuatu yang indah tersemai di dalam hati nuraniku. Tentang menggiurkannya tubuh tinggi semampai yang sudah pasrah ini. Tentang cinta yang entah keberapa kalinya kurasakan meski tak mesti kuucapkan secara lisan. Karena belaian tanganku di rambutnya, pasti dirasakan olehnya.

Dan manakala mulutku terbenam di puting payudaranya yang sudah menegang, terdengar bisikan untuk kesekian kalinya di pendengaranku, “Bang… aku cinta kamu Bang…”

Lalu kujawab pernyataan itu dengan ciuman mesra di bibirnya. Dan tubuhku melorot jauh, sehingga wajahku mulai berhadapan dengan sesuatu yang paling indah di muka bumi ini. Sesuatu yang disebut kemaluan.

Feelingku tak mungkin menipuku. Bahwa gadis ini masih perawan. Meski keperawanan bukan syarat utama bagiku. Karena istri keempatku pun bukan perawan lagi ketika aku bersanding dengannya. Bahkan banyak nama perempuan yang kucatat di dalam hatiku, nama - nama yang tidak perawan lagi sebelum kugauli, namun mereka tetap kusayangi.

Kenikmatan dan kepuasan bukan terletak di hymen. Buktinya aku tetap menggauli Mamie dan Merry dan Gina dan banyak lagi, meski jelas mereka bukan perawan lagi.

Maka ketika ujung lidahku mulai menari - nari di permukaan memek Suzan, hatiku tetap tidak menuntut bahwa Suzan harus masih perawan sebelum alat kejantatanku menerobos liang kewanitaannya.

Yang jelas Suzan sedang sangat membutuhkan kelembutan dan kasih sayang dari manusia yang disayangi dan dicintainya. Merry pun mengharapkan agar aku bisa membangun mental Suzan jadi kokoh dan tahan dari godaan narkotik terkutuk itu.

Dan aku senantiasa mengikuti keinginan Merry. Kenapa? Karena aku bukan kacang yang lupa kulitnya. Kehidupanku mulai menanjak sejak Mamie mencurahkan segala kebaikannya agar aku menjadi orang sukses di kemudian hari. Lalu Merry hadir untuk membuatku bisa tancap gas. Bahkan lalu aku seperti pesawat terbang yang melesat dari bandara yang satu menuju bandara lainnya.

Maka di dalam hati aku tetap teguh memegang janjiku sendiri. Bahwa apa pun yang bisa kulakukan untuk membahagiakan Mamie atau pun Merry, akan kulaksanakan. Meski sesuatu yang sangat berat sekali pun, aku akan tetap melaksanakannya.

Lalu apa pula sulitnya untuk melindungi dan menyayangi Suzan, cewek yang cantik namun masih tampak polos ini?

Tadi jelas benar apa yang diinginkan oleh Suzan ini. Dia bilang Bang Saaam… aku udah pengen nyobain vaginaku dimasukin penismu Baaang…

Karena itu aku menjilati kemaluannya habis - habisan. Agar liang kemaluannya benar - benar basah dan siap dipenetrasi oleh alat kejantananku tanpa kesakitan.

Maka ketika lubang sempit yang akan kuterobos itu sudah benar benar basah, kurenggangkan sepasang paha putih mulus itu selebar mungkin. Kemudian kuletakkan moncong penisku di mulut vagina yang sudah kemerahan akibat gasakan lidah dan bibirku tadi itu.

Lalu dengan sekuat tenaga aku mendorong tongkat kejantananku. Dan… berkat jam terbangku yang sudah tinggi, puncak penisku mulai melesak masuk ke dalam liang kewanitaan Suzan, meski baru masuk kepalanya saja. Maka alat kejantananku didorong lagi dengan sekuat tenaga. Makin jauh membenam ke dalam liang memek Suzan.

“Ooooh… sudah masuk ya Bang…” ucap Suzan perlahan, nyaris tak terdengar.

“Iya Sayang… baru sepertiganya… sakit kah?” tanyaku.

“Nggak…” sahutnya perlahan.

“Untuk yang pertama biasanya agak sakit. Tapi sakit sedikit sih tahan aja ya Sayang.”

“Iya Cinta… lanjutkan aja… gak sakit kok.”

Aku pun mendorong penisku lagi sampai masuk setengahnya. Dari situlah aku mulai start, untuk mengayun penisku perlahan - lahan dulu. Dalam jarak pendek - pendek pula, agar jangan sampai terlepas.

“Oooo… oooooh Baaaang… mu… mulai enak Baaaang… “rintih Suzan sambil memeluk leherku, sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

Penisku masih diayun terus, sementara liang kewanitaan Suzan pun mulai beradaptasi dengan ukuran penisku sedikit demi sedikit. Sehingga ayunan penisku pun mulai jauh jaraknya. Bahkan akhirnya, ketika kudorong penisku, moncongnya mentok di dasar liang memek Suzan. Berarti penisku sudah masuk semuanya.

Ketika aku mulai benar - benar mengentotnya, Suzan pun mulai berdesah - desah dengan mata kadang terpejam kadang terbuka.

“Aaaaa… aaaaah… Baaaang… aaaaaah… Baaaang… aaaaaaah… Baaaang… aaaah… aaa… aaaaah…”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu