2 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

Bab 04

Tiga hari setelah Mbak Artini diperawani olehku, datang WA darinya pas aku sedang di kampus. Isinya :

-Sekarang udah sembuh Bon. Kapan mau “ditengok” lagi?-

Aku mengerti apa yang dimaksud “ditengok” itu. Memang sejak kuambil keperawanannya, Mbak Artini belum pernah kusetubuhi lagi. Dan kini dia sudah kangen pada kejantananku. Ingin “ditengok” lagi. Hahahaaaa…!

Lalu kubalas WA itu dengan :-Iya Mbak. Sekarang aku masih di kampus. Pulangnya sekitar jam 8 malam. Nanti aku langsung aja ke rumah Mbak ya. Pintu untuk jalan rahasia itu jangan dikunci ya-

Lalu datang lagi balasan darinya: -Iya Sayang. Aku tunggu ya. Emwuaaaah …! -

Jam setengah delapan malam aku baru bisa meninggalkan kampus. Dan seperti yang sudah kujanjikan, setibanya di depan rumah Mbak Artini yang berdampingan dengan rumah kos, aku langsung menyelinap ke gang kecil di samping rumah Mbak Artini. Di situ ada pintu besi yang menghadap ke gang.

Pintu itu tidak dikunci seperti yang kuminta. Namun setelah berada di dalam, kukuncikan pintu besi itu. Kemudian masuk ke ruangan tengah, di mana Mbak Artini sudah menungguku dengan senyum manis di bibirnya.

Aku pun memenuhi janjiku. Untuk menyetubuhi Mbak Artini habis - habisan malam itu.

Dan aku semakin yakin betapa mendalamnya cinta Mbak Artini padaku

Sehari menjelang hari wisudaku, Mbak Rina dan Mbak Lidya sudah tiba di Jogja. Bahkan mereka sudah cek in di sebuah hotel bintang lima. Setelah mereka berada di hotel itu, barulah Mbak Rina call ke ponselku.

”Kenapa Mbak gak ngasih tau dulu sebelumnya, supaya aku bisa jemput ke stasiun?” tanyaku di dekat hapeku.

Mbak Rina menjawab, “Jogja kan gak asing lagi bagi kita. Semua anak Papa dan Mama lahir dan dibesarkan di Jogja kan? Lagian kami gak mau ganggu kesibukan.. mu yang sedang mempersiapkan wisuda-an. “

“Aaaah… cuma mau diwisuda kan gak perlu nyiapin apa - apa Mbak. Jubah toga dan topi wisuda kan sudah siap. Kalau mau jadi pengantin, baru sibuk urus sana - sini. Ya udah nanti malam aku akan datang ke hotel. “

“Bukan cuma datang ke hotel. Kamu harus tidur nemenin kami di hotel. Kami kan takut juga tidur berdua sama - sama cewek. Sekalian ingin ngobrol banyak sama kamu Bon. “

“Iya Mbak iyaaa. Jadi besok pergi ke tempat wisuda, start dari hotel aja ya. “

“Iya, begitu lebih bagus Bon. “

Setelah hubungan seluler ditutup, aku bergegas menuju kamar mandi. Dan mandi sebersih mungkin.

Kemudian aku berdandan dengan agak tergesa - gesa.

Sambil menjinjing dua kantong plastik berisi pakaian wisuda dan pakaian resmiku, dengan stelan jas, kemeja putih dan dasi. Juga ada sepatu baru yang akan kupakai di hari wisuda besok.

Sebelum berangkat ke hotel, aku pamitan dulu kepada Mbak Artini. Kujelaskan bahwa aku akan nginap di hotel, tempat kedua kakakku menginap. Dan besok pagi akan langsung menuju gedung tempat diselenggarakannya wisuda angkatanku.

Mbak Artini tampak bersemangat, meski dia tak bisa hadir dalam wisudaku. Karena menurut peraturan, hanya dua orang keluarga yang dibolehkan menghadiri wisudaku. Jadi Mbak Artini harus mengalah, untuk tidak menghadiri wisudaku.

Yang membuatnya bersemangat, adalah bahwa sekitar tiga hari lagi dia akan mengantarkanku ke tempat kakaknya yang suka dipanggil Mbak Lies itu.

Setelah cipika cipiki dengan Mbak Artini, aku pun meninggalkan rumahnya dan berangkat menuju hotel dengan menggunakan taksi. Tidak menggunakan motor gede kesayanganku.

Tak lama kemudian aku pun sudah berada di lantai lima dalam hotel bintang lima itu. Langsung kau mengetuk pintu yang nomornya sesuai dengan keterangan Mbak Rina. Pintu itu pun dibuka. Mbak Lidya yang membukanya, dengan senyum ceria di bibirnya. Lalu kami berpelukan dan cipika - cipiki.

Tapi berbeda dengan biasanya. Kali ini Mbak Lidya tak sekadar mencium sepasang pipiku, tapi juga… bibirku.

Mbak Rina juga sama. Dia menyambutku dengan pelukan hangat, lalu mencium sepasang pipiku dan juga bibirku…!

Tentu saja perasaanku jadi lain. Tapi aku berusaha melupakannya. Dan menganggap bahwa hal itu hanya karena ingin menyatakan kegembiraan mereka atas akan diwisudanya aku besok.

Lalu kami ngobrol ke barat ke timur sebagaimana biasanya kalau kumpul dengan saudara - saudara seperti ini. Termasuk masalah Papa yang tak pulang - pulang ke rumah, juga kami bicarakan.

Aku prihatin juga mendengar cerita tentang Papa itu. Terutama merasa prihatin kepada Mama.

Kedua kakakku itu memang sama bentuknya. Tinggi langsing tapi tidak kurus. Perawakan mereka memang mirip. Tapi ada perbedaan yang menyolok di antara mereka berdua. Kulit Mbak Rina agak gelap, sementara Mbak Lidya putih bersih. Mbak Rina berambut panjang dan hitam warnanya. Sedangkan rambut Mbak Lidya hanya sebatas bahu, diwarnai kecoklatan pula.

Memang Mbak Rina biasa tampil seadanya. Sementara Mbak Lidya agak pesolek.

Tapi setelah makan malam bersama di luar hotel, Mbak Rina dan Mbak Lidya jadi kompak untuk mengutarakan sesuatu padaku, ketika kami sudah berada di dalam hotel lagi. Kami duduk di atas sofa. Aku duduk di tengah, Mbak Rina di sebelah kiriku, Mbak Lidya di sebelah kananku.

Pada saat itulah Mbak Rina tampak serius dan berkata, “Bon… terus terang aja ada sesuatu yang ingin kami minta bantuanmu saat ini. “

“Bantuan masalah apa Mbak?” tanyaku.

“Aku dan Mbak Rina ini masih sama - sama perawan Bon, “Mbak Lidya yang menyahut.

“Lalu?” aku memandang Mbak Lidya, lalu memandang Mbak Rina. Dengan benak penuh tanda tanya.

“Kita kan sesama saudara,” kata Mbak Rina, “Jadi kita ngomong to the point aja ya Bon. “

“Iya… iya…” sahutku.

Mbak Lidya memegang pergelangan tangan kananku sambil berkata, “Kami ingin merasakan seperti apa nikmatnya bersetubuh itu Bon. “

“Haaa?! “aku tersentak. Memandang wajah Mbak Lidya, lalu memandang wajah Mbak Rina di sebelah kiriku.

“Betul Bon,” ucap Mbak Rina, “Kamu pasti mau memberikan apa yang kami inginkan. “

“Iya Bon,” kata Mbak Lidya, “kami akan memasrahkan keperawanan kami kepadamu. “

“Ta… tapi kita kan saudara Mbak,” sahutku rikuh.

“Alaaaa… jangan munafik lah Bon. Kami tau kok apa yang sering kamu lakukan dengan Mbak Weni dahulu. Kalau Mbak Weni sering kamu setubuhi, kenapa kami gak bisa diperlakukan secara adil? “

“Mbak Weni ngomong begitu?” tanyaku dengan perasaan serba salah.

“Kami sering ngintip kamu bersetubuh dengan Mbak Weni dahulu. Mbak Weni sih gak pernah ngomong apa - apa. “

Aku tertunduk dan berkata, “Sebelum bersetubuh denganku, Mbak Weni sudah gak perawan lagi. “

“Nah… apalagi kalau begitu. Mbak Weni yang sudah gak perawan lagi, kamu setubuhi terus - terusan. Sedangkan kami… dijamin masih perawan Bon. “

“Tapi kenapa justru aku yang harus mengambil keperawanan Mbak - Mbak?” tanyaku dengan perasaan yang mulai terpengaruh.

Mbak Lidya yang menyahut, “Kami bukan cewek jelek kan? Dengan gampang kami bisa mengajak cowok mana pun untuk begituan. Tapi kami pikirkan akibatnya kelak. Cowok itu pasti membocorkan rahasia kami kepada teman - temannya. “

“Betul,” kata Mbak Rina, “Kalau dengan saudara, rahasia kami pasti terjamin. Kami yakin kamu takkan mau menceritakannya kepada orang lain. “

“Besok aku kan mau diwisuda,” sahutku mengambang. Karena sebenarnya aku semakin terpengaruh oleh keinginan mereka.

“Diwisuda kan cuma duduk di antrian. Lalu naik ke atas podium setelah tiba giliranmu. Jangan bodoh Bon. Mau dikasih dua perawan malam ini kok malah seperti ogah - ogahan gitu. “

Aku terdiam. Lalu membulatkan tekadku dan berkata tegar, “Oke deh… mau siapa dulu? Mbak Rina dulu atau Mbak Lidya dulu?”

“Siapa pun duluan sama aja. Jadi terserah kamu aja,” sahut Mbak Rina sambil melepaskan gaunnya.

Mbak Lidya pun kompak. Melepaskan celana corduroy coklat tua dan baju kaus coklat mudanya. Sehingga kedua kakakku itu sudah sama - sama tinggal mengenakan celana dalam dan beha.

Beha mereka pun dilepaskan. Sehingga sepasang toket mereka yangberimbang mulai kelihatan. Sama - sama berukuran sedang. Tidak gede, tapi juga tidak kecil.

Dalam keadaan tinggal bercelana dalam begitu, perbedaan Mbak Rina dengan Mbak Lidya mulai kelihatan. Bahwa kulit Mbak Rina lebih gelap daripada kulit Mbak Lidya yang putih bersih. Tapi ukuran badan mereka kelihatannya sama. Tinggi langsing dan serba proporsional ukurannya.

Namun setelah celana dalam mereka dilepaskan, tampak perbedaan yang mencolok. Kemaluan Mbak Rina ada jembutnya, tapi digunting dengan rapi, sehingga bentuk kemaluannya tetap kelihatan jelas. Sedangkan kemaluan Mbak Lidya tercukur bersih.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu