3 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

**Bab 13

S

**ang waktu berputar dengan cepatnya…

Tanpa terasa 6 bulan sudah berlalu. Dalam tempo setengah tahun itu banyak yang sudah terjadi.

Mama Hermin tidak mengedarkan pakaian ke pasar dan toko - toko lagi. Karena sudah punya toko sendiri. Toko yang tak kalah bagus daripada FO - FO di kota besar. Pakaian yang dijual pun bukan pakaian kodian lagi, melainkan pakaian yang mengikuti trend masa kini.

Mama Hermin pun tak lagi harus belanja secara rutin ke Jogja, karena ada supplier dari Bandung yang datang sendiri untuk menyimpan pakaian model terbaru. Memang dalam soal mode, Bandung selalu ngetop. Setiap hari selalu muncul model baru, yang belum ada di kota lain.

Dengan sendirinya Mama Hermin pun berubah penampilannya. Menyesuaikan diri dengan pakaian yang dijualnya. Hal itu membuatku bangga. Karena Mama Hermin jadi tampak semakin cantik di balik pakaian yang sesuai dengannya.

Tentu saja aku ikut berperan untuk memajukan usaha Mama Hermin itu. Karena aku selalu mentransfer dana untuk mengembangkan usahanya.

Namun hubunganku dengan Mama Hermin tetap dirahasiakan. Karena kami berusaha agar Charlita jangan sampai tahu. Maka semua kemasjuan yang telah dicapai oleh Mama hermin itu seolah berasal dari perjuangannya sendiri. Padahal aku berada di belakangnya.

Sementara itu insinyur pertanian untuk memimpin di lahan Mamie di Jatim dan Jateng sudah ada. Di Jatim dipegang oleh Yuniar, teman seangkatanku yang kebetulan lahir dan dibesarkan di Jatim, meski aslinya orang Sumatra. Lahan yang di Jateng, dipegang oleh teman seangkatanku yang biasa kupanggil Joko.

Kantor untuk urusan agro bisnis tetap di tempat yang tak jauh dari rumah Mamie. Tapi di Jogja aku buka kantor baru, untuk mengurus bisnis yang berasal dari dana Tante Tari. Kantor pusat urusan lahan - lahan Mamie baik yang di Jawa mau pun di luar Jawa, disatukan di kantor ini. Agar aku mudah mengurusnya kalau ada yang harus diselesaikan.

Kantor ini dibeli dengan dana Tante Tari 90% dan dana Mamie 10%. Karena urusan lahan - lahan Mamie hanya menggunakan satu ruangan. Itu pun ruangan kerjaku, karena aku tak membutuhkan asisten lagi untuk urusan lahan - lahan Mamie itu.

Sedangkan untuk urusan bisnis yang Tante Tari serahkan sepenuhnya padaku, membutuhkan sembilan ruangan, karena bisnisnya bermacam - macam (yang tak perlu dibuka satu persatu). Tentu saja aku yang memimpin semuanya itu.

Lalu bagaimana dengan ibu angkatku yang sejak kecil kupanggil Mama itu?

Nasib kandungannya ternyata malang sekali. Karena ketika kandungannya baru berusia 7 bulan, bayi di dalam perut Mama itu dinyatakan sudah meninggal, kata dokter yang merawatnya. Sehingga bayi yang sudah meninggal itu harus dikeluarkan. Untungnya Mama hanya diberi suntikan agar mulas - mulas. Kemudian bayi laki - laki yang tidak bernyawa lagi itu lahir, tanpa harus dioperasi dan sebagainya.

Aku bisa memaklumi hal itu, karena usia Mama memang sudah di atas 40 tahun. Tentu tidak mudah untuk hamil dan melahirkan di usia yang sudah tidak muda lagi itu.

Sementara itu, Mbak Rina dan Mbak Lidya sudah pada menikah. Dengan sendirinya mereka dibawa oleh suaminya masing - masing. Sehingga Mama tinggal sendirian di rumahnya yang di Subang itu.

Hal itu kusampaikan kepada Mamie. Bahwa Mama di Subang tinggal sendirian, karena anak - anaknya sudah pada kawin dan dibawa oleh suaminya masing - masing. Tentu saja masalah kehamilan Mama itu tidak kuceritakan kepada Mamie.

Maka Mamie berkata, “Kasihan juga ya. Biar bagaimana dia sangat berjasa pada kita. Kalau tidak ada dia, mamie takkan bisa terbang ke Hongkong saat itu, takkan berjumpa dengan pengusaha besar yang lalu menjadi suami mamie itu. Mama angkatmu yang membiayai kelahiranmu. Lalu merawatmu sejak bayi merah sampai dewasa.

Aku setuju kepada saran Mamie. Soal rumah, aku sudah membeli rumah di kompleks perumahan kelas menengah. Bukan di kompleks perumahan yang sudah dijadikan tempat tinggal Tante Tari dan Tante Artini itu. Aku membeli rumah itu untuk diriku sendiri. Karena terkadang aku merasa letih kalau harus pulang ke rumah Mamie.

Setelah mendengar saran Mamie, aku merencanakan rumah itu untuk tempat tinggal Mama.

Keesokan harinya aku menelepon Mama dari kantorku. Lalu :

“Hallo Sayang? Apa kabar? Sehat - sehat saja kan?”

“Sehat Mam. Mama sendiri gimana? Aku ingat terus nih sama Mama.”

“Mama juga sehat Sayang.”

“Mbak Rina dan Mbak Lidya suka nengok Mama nggak?”

“Rina kan dibawa pindah ke Palembang. Sedangkan Lidya pindah ke Jakarta. Sampai saat ini mereka belum ada yang nengokin mama, Sayang.”

“Kalau gitu Mama pindah ke Jogja aja ya. Rumah untuk Mama sudah kusediakan. Lumayan bagus kok rumahnya.”

“Mama kan punya usaha di Subang ini Sayang. Usaha mama justru sedang berkembang pesat sekarang ini. Bagaimana bisa mama tinggal di Jogja? Kalau mama kangen sama kamu, biarlah mama yang pergi ke Jogja. Tapi mama gak bisa menetap di Jogja, Bona Sayang…”

“Yaaahhh… Mama sih gitu. Padahal aku sudah berunding sama Mamie. Bahkan Mamie juga yang nyuruh aku beli rumah untuk Mama.”

“Iya. Terima kasih atas perhatian kamu dan mamiemu itu. Tapi mama bener - bener gak bisa ninggalin Subang Sayang.”

Aku pun memutar kata - kata yang intinya ingin agar Mama menetap di Jogja, tapi hasilnya nihil. Mama tetap tak mau pindah ke Jogja. Meski Mama merasakan kesepian di Subang, Mama akan memaksakan diri untuk terbiasa dengan suasana sepi itu.

Sehingga akhirnya aku menyerah. Kalau ingin memperlihatkan rasa sayangku padanya, mungkin harus transfer duit aja sebulan sekali. Tak ada jalan lain, karena kalau aku diminta pindah ke Subang pun takkan bisa.

Karena itu rumah yang akan direlakan untuk tempat tinggal Mama, akhirnya kupakai sendiri. Karena menurut seorang pakar bisnis, tiap pelaku bisnis harus menyediakan waktu sedikitnya 1 atau 2 jam untuk menyendiri dan merenungkan segala langkah bisnisnya, tanpa gangguan apa pun.

Sementara itu baik Tante Tari mau pun Tante Artini belum ada yang hamil. Padahal aku sudah “serajin mungkin” menggauli mereka. Bahkan aku dan Tante Tari pernah memeriksakan diri ke dokter. Jawaban dari dokter itu, “Dua - duanya normal. Sabar aja ya.”

Begitulah secara singkat tentang segala yang telah terjadi pada diriku dan orang - orang yang dekat denganku selama 6 bulan itu.

Sampai pada suatu hari…

Siang itu aku mau meninggalkan kantor, karena ada sesuatu yang harus kuurus di tempat lain. Namun ketika aku baru tiba di ambang pintu ruang kerjaku, tampak seorang gadis berkulit putih bersih dan berperawakan tinggi langsing tapi padat dan berisi, mengenakan celana dan baju yang sama - sama terbuat dari bahan blue jeans.

Ternyata dia Yuniar, teman seangkatanku yang kutugaskan untuk mengelola lahan Mamie yang di Jatim itu.

“Selamat pagi Boss,” ucap Yuniar sambil menjabat tanganku dengan sikap agak formal.

“Wow… kirain siapa, “sambutku sambil memeluk pinggang Yuniar, lalu cipika - cipiki dengannya. “Setelah tinggal di Jatim lagi, kamu jadi tambah cantik Yun.”

“Masa sih?! “Yuniar tersipu, “Tapi aku sedang ada masalah Boss.”

“Mmm… ayo duduk dululah,” kataku sambil menuntun Yuniar ke ruang tamu.

“Ada masalah apa?” tanyaku setelah Yuniar duduk di sofa ruang tamu kantor.

“Aku melarikan diri nih dari rumah ortu.”

“Ohya? Emangnya ada apa?”

“Mau dijodohin sama lelaki yang sudah tua. Cuma mau dijadiin bini muda pula. Gila kan?”

“Hahahahaa… kalau kaya raya kan nggak apa - apa.”

“Aaah… cuma punya mobil satu. Di zaman sekarang tukang bikin tempe juga bisa beli mobil lebih dari satu.”

“Terus… kamu tinggalkan tugasmu di lahan yang kupercayakan padamu?”

“Sudah ditanami bibit semua secara teratur sekali. Sekarang tinggal bersihkan rumput liarnya doang Boss. Pekerjaan itu kan bisa diberikan kepada buruh. Sekarang aku membutuhkan perlindunganmu Bon,” ucap Yuniar yang tiba - tiba menangis terisak - isak sambil memeluk dan merapatkan wajahnya ke dadaku.

Aku pun mengusap - usap punggungnya sambil berkata lembut, “Tiada masalah yang bisa diselesaikan dengan menangis. Coba katakan apa yang bisa kubantu agar kamu bisa merasa tenang dan nyaman?”

“Tolong sembunyikan aku Bon. Aku takut dipaksa pulang lalu dikawinkan dengan lelaki yang lebih pantas jadi ayahku itu… hikssss… hiksss…”

Aku berpikir sejenak. Dan langsung memutuskan untuk menyembunyikan Yuniar di rumah yang tadinya untuk tempat tinggal Mama itu. Tapi aku lalu teringat sesuatu. Maka kataku, “Kalau aku menyembunyikan kamu, aku bisa dituduh menculik anak orang. Itu bisa dipidana, Yun.”

“Aku bilang kantor pusatku di Jakarta. Bukan di Jogja. Jadi seandainya orang tuaku melapor kepada polisi pun, pasti aku akan dilacak di Jakarta. Bukan di Jogja. Lagian, seandainya pun aku ketahuan, aku akan membelamu habis - habisan nanti. Yang penting aku sembunyikan Bona yang baik… hiks…”

Tanpa berpikir panjang lagi, Yuniar kubawa ke rumah itu. Rumah yang di sana sini sedang diperbaiki oleh pemilik lamanya, tapi banyak yang belum selesai renovasinya. Sementara aku pun belum sempat memanggil tukang bangunan untuk melanjutkan renovasi yang belum selesai itu.

Tapi di bagian dalamnya, rumah itu bagus dan bersih. Furniture dan perabotan rumahnya pun sudah lengkap. Sehingga Yuniar langsung merasa nyaman setelah berada di dalam rumah itu.

“Di rumah ini Bona tinggal sendirian?” tanyanya sambil mengamati keadaan di dalam rumah ini.

“Iya,” sahutku, “Tapi seringnya aku tidur di rumah mamieku, agak jauh dari Solo, di pedesaan.”

“Aaah… kalau tinggal sendirian di rumah segede ini, aku takut Bon. Terutama pada waktu malam. Kalau siang - siang sih gak apa - apa,” ucap Yuniar sambil memegang kedua pergelangan tanganku, sambil menatapku dengan sorot memohon.

“Nanti kupertimbangkan dulu ya. Sekarang mandi dulu gih sana. Perjalanan dari Jatim ke sini kan jauh. Pasti banyak debu yang menempel di tubuhmu.”

“Mumpung Bona sedang ada di sini, temenin aku mandi sekalian yuk.”

“Mmmm?! Memang aku juga belum mandi sore nih.”

“Ya ayolah temenin aku mandi.”

“Nanti kalau aku tergiur melihatmu telanjang gimana?”

“Apa pun yang Bona inginkan dariku, akan kuberikan. Asalkan aku disembunyikan dan dilindungi di sini.”

“Serius nih?”

“Sangat serius,” sahutnya sambil mengangguk dan tersenyum manis sekali.

Sebenarnya Yuniar jarang sekali tersenyum. Sikapnya sering kelihatan formal. Tapi justru itulah yang kusukai, sehingga aku menempatkannya di Jawa Timur.

Ya, Yuniar tidak pernah sembarangan tersenyum, apalagi tertawa. Dengan kata lain, dia sosok berwibawa di mataku, sehingga kuanggap cocok untuk menjadi pemimpin di lahan Mamie yang di Jatim itu.

Dan kini Yuniar sudah mengikuti langkahku, masuk ke dalam kamar mandi ysng sudah ditata secara modern, namun tidak semewah kamar mandi rumah Mamie atau rumah Tante Tari.

Di dalam kamar mandi, Yuniar melepaskan busananya sehelai demi sehelai. Sehingga tinggal beha dan celana dalam saja yang masih melekat di badannya. Sementara aku sendiri sudah tinggal mengenakan celana dalam saja, karena sudah mau mandi juga. Dan setelah melepaskan behanya, Yuniar menutupi sepasang toketnya dengan kedua telapak tangannya sambil tersipu - sipu malu.

Namun aku menepiskan kedua tangannya itu, sehingga sepasang toketnya pun tampak di mataku. Dan… aduh maaaak… toket Yuniar ternyata gede… tak kalah indah dengan toket Charlita…!

Hasratku mendadak bangkit. Ketika Yuniar sedang melepaskan celana dalamnya, aku melangkah ke belakangnya. Lalu menggenggam kedua toketnya dengan kedua tanganku sambil berkata, “Gak nyangka toketmu luar biasa indahnya…”

Yuniar tidak menyahut. Sementara celana dalamnya sudah dilepaskan dari kakinya. Sehingga aku memindahkan tanganku ke bawah perutnya, ingin memegang sesuatu yang belum kelihatan karena aku masih berdiri di belakangnya.

Kusentuh rambut pendek - pendek sekali di bawah perut Yuniar. Kompak dengan Charlita, sama - sama berjembut tapi digunting rapi dengan model “cepak”.

“Katanya mau mandi…” ucap Yuniar tanpa menoleh padaku.

Tak kujawab. Bahkan bertanya, “Ini jembutnya dicukur di mana? Di salon?”

“Aaaah… guntingin sendiri aja. Masa ke salon cuma buat nyukur jembut.”

“Zaman sekarang kan musim di-waxing.”

“Iya sering denger. Malah sekarang ada yang baru lagi, pakai laser. Gak ada kerjaan, jembut - jembut aja diurusin.”

“Sepertinya kamu masih perawan Yun.”

“Ya iyalah. Bona lihat sendiri waktu masih kuliah, kapan aku suka dekat dengan cowok?”

“Kebayang enaknya… “gumamku.

“Apanya yang enak?”

“Memekmu ini… pasti enak sekali… masih perawan pula.”

“Iiih… kirain apaan…”

Aku ketawa kecil sambil melepaskan celana dalamku. Kemudian memutar keran shower air hangat.

Shower di atas kepala kami pun memancarkan air hangat ke kepala dan tubuh kami.

Yuniar berkali - kali memandang serius ke arah kontolku yang sudah ngaceng ini. Bahkan lalu seperti penasaran, digenggamnya kontol ngacengku sambil bertanya, “Nanti malam mau nemenin aku di sini kan?”

“Upahin sama memekmu ya,” sahutku bercanda.

“Sekujur tubuhku akan kupasrahkan padamu, asalkan kehadiranku di sini dirahasiakan dan dilindungi. Daripada dijadikan mangsa lelaki tua itu, mendingan kukasihkan pada teman lamaku yang sekarang sudah jadi bossku ini,” kata Yuniar sambil mendekap pinggangku, sehingga kontolku terasa bertempelan dengan memeknya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu