3 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

Atas desakan Tante Tari, akhirnya Tante Artini mau juga diajak ke rumah Mamie.

Tengah malam kami baru tiba di rumah.

Tante Artini masuk ke kamar di sebelah kamarku, sementara aku mauk ke dalam kamarku sendiri.

Mungkin Mamie sudah tidur. Tapi aku ingin bertemu dengan beliau, untuk melaporkan segala yang telah terjadi di antara aku dan Tante Tari, bahkan juga aku mau melaporkan masalah hubunganku dengan Tante Artini.

Aku memang tak mau menyimpan rahasia apa pun terhadap Mamie.

Lalu aku memijat tombol lift. Setelah pintunya terbuka, aku masik ke dalam lift, menuju lantai tiga.

Setelah berada di lantai tiga, kulihat Mamie sedang tidur celentang dengan daster putih yang tersingkap sampai ke perutnya.

Aaaah… aneh memang. Melihat bagian - bagian terlarang Mamie, selalu saja darahku berdesir. Apakah aku belum kenyang main dengan Tante Tari dan Tante Artini tadi?

Lalu kenapa diam - diam kontolku langsung ngaceng melihat memek Mamie yang tidak bercelana dalam itu?

Ohya, aku ingat bahwa setiap kali mau tidur, Mamie tak pernah mengenakan celana dalam dan beha. Kalau sudah malam, biasanya Mamie hanya mengenakan kimono atau daster saja, tanpa pakaian dalam lagi di baliknya.

Tanpa berpikir pabnjang lagi kulepaskan segala yang melekat di tubuhku. Lalu dalam keadaan telanjang aku naik ke atas bed Mamie.

Dengan hati - hati kurenggangkan sepasang paha Mamie yang putih mulus dan gempal itu. Tadinya aku ingin menjilati memek Mamie dulu. Tapi setelah dingangakan, ternyata memeknya dalam keadaan basah.

Mungkin benar kata orang - orang. Bahwa memek perempuan montok selalu basah.

Lalu dengan hati - hati kuletakkan moncong kontolku di mulut memek Mami. Dan kudorong sekuat tenaga… bleeessss… kontolku mulai menyelundup ke dalam liang kewanitaan Mamie…

“Aaaaaau…! ‘ pekik Mamie sambil melotot, “Ya Tuhan… kamu Sayang? Kirain siapa… !”

Sebagai jawaban kuayun kontolku perlahan - lahan di dalam liang memek Mamie yang memang basah dan licin ini.

Mamie pun mendekap pinggangku sambil berkata setengah berbisik, “Katanya sudah sama Tari tadi.”

“Aaaah… Mamie tetap akan bersemayam di dalam batinku, sebagai wanita yang paling spesial di dunia ini. Meski pun aku sudah kawin dengan cewek secantik bidadari sekali pun, hubungan rahasia dengan Mamie tak boleh putus.”

Mamie mencium sepasang pipi dan bibirku. Lalu berkata, “Iya Sayang… mamie juga akan selalu menyayangi dan mencintaimu di seumur hidup mamie. Aaaa… aaaaaah… pelan dulu ngentotnya Sayaaang… jangan langsung cepat begini…”

Lalu kupelankan kecepatan entotanku.

Mamie pun merapatkan pipinya ke pipiku sambil berkata, “Setelah tau bahwa kamu ini anak kandung Mamie… anehnya… tiap kali bersetubuh sama kamu malah jadi tambah nikmat Sayang…”

“Iya Mam… aku juga begitu. Bahkan ada perasaan takut kalau semua ini dihentikan… pasti aku akan sedih sekali mamieku Sayang… biarkan aja dosanya kita tanggung berdua… karena kita sudah telanjur menikmati hubungan rahasia ini.”

“Tuh tuh tuuuuh… sekarang nikmatnya ini terasa mengalir dari ujung kaki sampai ke ubun - ubun kepala mamie sayang… ooo… oooo… oooooh… sambil emut lagi pentil tetek mamie Bon…”

Kuikuti saja keinginan mamie itu, mengemut pentil toket gedenya sambil mengentot liang memeknya secara berirama. Kontolku bermaju mundur terus di dalam lubang licin dan hangat Mamie… sretttt… bleessss… srttttt… blessss… srtttt… blesssss… srttttt… blessssssss… srettttt …

Sementara dekapan Mamie di pinggangku makin erat saja rasanya.

lalu rintihan - rintihan tertahan pun mulai terdengar di telingaku. Lebih mirip bisikan yang hanya aku bisa dengar. “Mamie sayang Bonaaa… ooooh… ternyata kepuasan itu hanya kudapatkan dari anakku sendiri… Booonaaaa… Mamie sangat sayang sama kamu Booon… ayoooo… entot terus Sayaaang…

entooootttt… entoooootttttttt… aaah… aaaaaaaa… aaaaaaah… makin lama makin enaaaaak… entoooot terusss sayaaang… entoooot memek mamie sepuasmu… entooooootttt… entoooottttttt… kontolmu luar biasa enaknyaaaa… kontol enaaak… entoooooottttttttt… entttooootttttttt teruuuuuuuussss…

Keringat pun mulai membasahi tubuhku dan tubuh montok Mamie. Karena sudah lama kami melakukan semuanya ini.

Sehingga pada suatu saat Mamie membisiki telingaku dengan suara tersendat, “Sayaang… mamie udah mau lepas… ayo barengin kalau bisa… biar nikmaaaaat…”

Aku berusaha untuk mengikuti keinginan Mamie. Dengan segenap gairah kugencarkan entotanku. Maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya di dalam liang memek Mamie tersayang dan tercinta…!

Mamie pun mulai menggelepar - gelepar. Lalu sekujur tubuhnya mengejang tegang, dengan kedua tangan meremas dan menjambak rambutku, dengan nafas tertahan dan mata terpejam erat - erat.

Dan… wow… aku berhasil melakukan keinginan Mamie. Bahwa ketika liang memek Mamie mengejut - ngejut, kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crooottttt… croooottttcroootttt… croooottttttt… crooootttttt… crottttt… crooootttt…!

Lalu kami sama - sama terkulai lunglai di pantai teramat indah bernama kepuasan.

Mamie pun mencium bibirku dengan hangatnya. Lalu berkata lirih, “Terima kasih Sayang. Kamu adalah satu - satunya lelaki yang paling memuaskan buat mamie. Dan mamie makin sayang padamu. Sayang sekali… emwuaaaah… “Mamie menutup ucapannya dengan kecupan hangat lagi di bibirku.

Setelah kucabut kontolku dari liang memek Mamie yang sudah sangat becek itu, Mamie pun bangkit. Duduk sambil menyeka memeknya dengan kertas tissue basah. “Katanya mau tidur di villa kayu. Kenapa gak jadi?” tanya Mamie.

“Tante Tari ngajak ke rumah Tante Artini,” sahutku, “Lalu Tante Artini dibawa ke sini sekalian.”

“Ohya?! Di bawah ada Artini segala?”

“Iya Mam. Sekalian aku juga mau ngomong soal Tante Artini.”

“Mau ngomong bahwa kamu pernah menggauli dia juga ya?”

“Iiiih… Mamie kok tau aja.”

“Dari awal kamu datang ke sini, mamie liat sikap Artini padamu. Begitu penuh perhatian kelihatannya. Makanya mamie sudah menduga kalau di antara dia dengan kamu pernah terjadi sesuatu.”

“Iya Mam. Awalnya Tante Artini mengaku masih perawan, padahal statusnya janda. Karena itu dia ingin tau seperti apa rasanya bersetubuh itu. Lalu… dia memberikan keperawanannya padaku, Mam.”

“”Berarti dia benar - benar masih perawan saat itu?”

“Iya Mam. Makanya sebelum berjumpa dengan Mamie, aku sudah ada hubungan rahasia dengan Tante Artini. Masalah ini tak mau kurahasiakan kepada Tante Tari.”

“Tari cemburu dan marah?”

“Tidak Mam. Dia malah berniat untuk serumah dengan Tante Artini, supaya kalau Tante Tari hamil, ada yang nemenin ya Tante Artini itu. Aku bahkan disuruh beli rumah untuk Tante Tari, yang nantinya akan dihuni oleh Tante Artini juga. Ohya Mam… seluruh dana kepunyaan Tante Tari akan diserahkan semuanya padaku, supaya aku bisa mengembangkannya.

“Berarti Tari sangat mencintaimu Bon. Tapi ingat… kamu harus tetap jadi manusia jujur. Duit Tari itu jangan dipakai untuk foya - foya. Kasihanilah Tari yang sekarang hidup menjanda.”

“Iya Mam. Aku bahkan berniat untuk mengembangkan dana Tante Tari sebisa mungkin. Ohya Mam… mengenai tugas dari Mamie, aku hanya mau mengurus bisnisnya saja. Tentang masalah pengelolaan tanah - tanah Mamie, nanti aku akan merekrut sarjana pertanian yang seangkatan denganku. Biar dia yang mengurus masalah pertaniannya, sementara aku hanya akan mengurus bisnisnya saja.

Mamie mengangguk dengan senyum. Dan berkata, “Sebenarnya mamie juga merasakan hal seperti itu. Tadinya ingin mengurus tanah - tanah warisan dari almarhum suamiku. Tapi setelah terjun ke dunia agro bisnis, ternyata hasilnya jauh lebih gede daripada bertani. Hihihiii… syukurlah kalau kamu pun sudah sepandangan dengan Mamie.

“Iya Mam. Mungkin nanti aku akan merekrut beberapa teman seangkatanku. Lalu mereka akan dipecah ke masing - masing lokasi tanah punya Mamie. Misalnya yang di Jabar seorang, yang di Jateng seorang dan yang di Jatim seorang.”

“Tanah mamie bukan cuma di pulau Jawa, Sayang. Di Sumatra ada, di Kalimantan ada. Malahan di Papua juga ada… bahkan tanah mamie yang paling luas ya di Papua itu. Berarti kamu harus merekrut paling sedikit enam orang sarjana pertanian. Atau gimana ya kalau tanah - tanah yang di luar Jawa itu dijualin aja?

“Nanti dulu Mam. Harus dipikirkan dulu baik - buruknya. Soalnya tanah itu walau pun dibom takkan habis. Dan harga tanah di negara kita masa depannya sangat baik. Makanya daripada mengoleksi mobil mendingan ngoleksi tanah. Karena harga tanah naik terus, sementara kalau kitabeli mobil, tahun depan pasti akan turun nilainya…

“Iya… kamu betul Bon. Mama seneng mendengar wawasan kamu yang ternyata sudah luas begitu.”

“Iya Mam. Kalau Mamie punya duit yang nganggur, belikan tanah atau rumah aja. Aku punya teman tiga tahun yang lalu beli rumah harganya dua milyar. Sekarang sudah ditawar tujuh milyar gak dilepas Mam. Dalam masa tiga tahun aja perkembangannya sedemikian bagus kalau investasi di bidang properti kan?”

“Oke… dalam soal bisnis, mamie setuju pada pendirian dan wawasanmu. Makanya nanti terserah kamu, harta dan dana mamie itu mau dijadikan apa. Yang penting hasilnya poisitif,” kata Mamkie, “Sekarang mengenai Tari dan Artini itu mau dibagaimanakan? Mamie sih gak mau berpandangan kolot. Pasti kamu membutuhkan perempuan untuk membangkitkan gairah hidup dan bisnismu.

“Iya Mam. Tapi kalau ditinggalkan kasihan Tante tari dan Tante Artini itu. Mereka sudah sangat mencintaiku. Dan bagusnya, mereka bisa kompak. Tidak saling cemburu. Makanya aku akan memperlakukan mereka sebagai istri - istriku, tapi takkan melaksanakan akad nikah secara sah. Ohya… memangnya Mamie gak cemburu kalau mereka kujadikan sebagai wanita simpananku?

“Aku ini kan ibumu Sayang. Kalau kamu punya pacar lalu menikah, misalnya, mamie malah bangga karena anakku sudah ada jodohnya. Tapi hubungan rahasia kita harus berjalan terus… itu saja syaratnya.”

Lalu aku dan Mamie merundingkan banyak hal. Baik tentang bisnis mau pun tentang masalah pribadi kami.

Sampai akhirnya aku tertidur di dalam belaian dan pelukan Mamie.

Keesokan paginya, setelah makan sarapan pagi bersama Mamie, Tante Artini dan Tante Tari, mamie mengajak Tante Artini dan Tante Tari ke lantai tiga, lewat tangga biasa. Karena lift itu seolah jadi rahasiaku dengan Mamie. Aku pun diajak naik ke lantai tiga. Ke ruang keluarga yang sangat jarang dipakai oleh Mamie.

Di situlah Mamie membahas masalah hubunganku dengan kedua tanteku itu.

Mamie berkata, “Aku sudah tahu bahwa di Artini dan Tari sudah menjalin hubungan seperti suami istri dengan Bona. Gak apa - apa. Aku malah merasa jadi ada teman dua orang sekaligus adik - adik kandungku.”

Tante Artini dan Tante Tari saling pandang sambil tersenyum.

“Kalian mengerti apa yang kumaksud teman barusan?” tanya Mamie pada kedua adiknya.

Kedua tanteku saling pandang lagi.

“Begini, “lanjut Mamie, “pada waktu Bona baru datang diantar oleh Artini itu, aku belum tau kalau Bona itu anak kandungku. Artini juga belum tau kan?”

“Njeh Mbak,” sahut Tante Artini.

“Nah pada saat itu, jujur aja… aku melihat kegantengan Bona, sementara aku sendiri sudah lama sekali tidak mendapatkan sentuhan lelaki. Sampai akhirnya kuminta Bona menggauliku. Begitu sering kami melakukannya. Sampai datang ibu angkat Bona sekaligus menjelaskan siapa Bona sebenarnya. Bahwa Bona itu Fajar yang waktu masih bayi merah kuberikan kepada Bu Maryani, ibu angkat Bona itu.

Kedua tanteku saling pandang lagi, dengan sorot wajah semakin serius.

Mamie melanjutkan, “Gilanya, aku sudah telanjur ketagihan. Sehingga setelah aku tau bahwa Bona itu anak kandungku, aku tak bisa menghentikan kegilaan itu. Bona pun sepakat, untuk tetap melanjutkan kebiasaan gila tapi nikmat itu.”

“Nah…” ucap Mamie di ujung pengakuan singkatnya, “sekarang ternyata kalian juga ingin memiliki Bona kan? Gak apa - apa. Kita anggap aja Bona itu sebagai milik kita bertiga. Tapi ingat, masalah ini jangan sampai bocor ke luar. Kita harus pandai - pandai merahasiakannya. Surtini dan Haryati juga jangan sampai tau.

Kemudian Mamie dan kedua adiknya berunding, tentang langkah - langkah selanjutnya, disertai dengan canda tawa.

Aku pun senang mendengarkannya. Tapi aku harus ke Jogja, untuk melihat - lihat rumah yang akan dijual. Untuk Tante Tari itu. Sekalian ingin menjumpai teman seangkatanku yang bernama Charlita, tapi biasa dipanggil Tata itu. Karena aku akan merekrut dia, kalau dia belum mendapatkan lapangan kerja.

Maka aku pamitan kepada Mamie dan kedua adiknya.

“Maju ke mana Bon? “tanya Tante Artini.

“Mau membeli rumah untuk boss muda ini,” kataku sambil menunjuk Tante Tari.

Tante tari pun serasa diingatkan. Lalu ia mengeluarkan sebuah buku cek dari tas kecilnya dan menyerahkannya padaku sambil berkata, “Semua cek yang sebuku ini sudah ditandatangani semua. Nanti tinggal menulis nominal dan tanggal ceknya aja Bon.”

“Iya Tante.”

Sebelum berangkat, aku mencium bibir Mamie, bibir Tante Artini dan bibir Tante Tari.

Tiada rahasia lagi di antara kami berempat. Karena itu aku tidak melakukan cipika - cipiki lagi, melainkan cium bibir mereka satu persatu.

Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam sedan hitam yang sudah menjadi milikku itu, menuju Jogjakarta.

Tadinya aku ingin menuju perumahan elit di dekat bandara itu. Tapi aku ingin mendapatkan kepastian dulu dari Charlita, apakah dia bersedia kurekrut atau tidak. Sayang aku belum punya nomor hapenya. Sehingga aku tidak bisa call dan mengajaknya ketemuan di suatu tempat yang nyaman. Tapi aku masih ingat rumahnya, di daerah Ngadiwinatan, masuk ke dalam gang kecil.

Setibanya di Jogja aku langsung menuju ke arah rumah Tata Charlita.

Setelah memarkir mobil, aku melangkah ke dalam gang kecil yang hanya bisa dilewati motor atau sepeda itu.

Dan… maaaak… kebetulan sekali Tata sedang berdiri di depan rumahnya. Sehingga aku bisa menyapanya langsung, “Tata cantik… lagi ngapain?”

Tata tampak kaget. Memandang ke arahku dan menyahut, “Hai Bona! Tumben maen ke sini. Mau ke rumah siapa?”

“Mau ke rumah kamu. Kok seperti mau pergi?”

“Mmm… iya sih tadinya mau pergi, tapi gak penting - penting amat. Ayo masuk, “Tata membuka pintu pagarnya. Aku pun masuk ke dalam pekarangan yang lebarnya cuma semeter lebih sedikit, mungkin. Kemudian masuk juga ke dalam rumahnya. Ke ruang tamu yang kira - kira hanya berukuran 2 X 2 meter.

“Untung kamu datang hari ini. Kalau besok, aku sudah pulang ke kampung,” kata Tata setelah mempersilakanku duduk di kursi rotan.

“Terus rumah ini mau ditinggalkan kosong?”

“Iya. Rumah ini kembalikan aja kuncinya kepada pemiliknya.”

“Owh… ini bukan rumah kamu?”

“Bukan. Aku cuma ngontrak di sini. Ntar dulu… kayaknya kamu serius Bon. Ada hal yang bisa kubantu?” tanyanya.

“Kamu sudah dapat kerjaan belum?” aku balik bertanya.

“Belum, “Tata menggeleng, “Memangnya kamu mau ngasih kerjaan sama aku?”

“Iya,” sahutku. Kemudian kututurkan maksudku datang ke rumahnya, untuk menempatkannya di salah satu lokasi tanah milik Mamie.

Tata pun mendengarkannya dengan serius.

“Tanahnya di mana saja Bon?”

“Di Jatim ada, di Jateng dan Jabar juga ada. Bahkan di Sumatra, Kalimantan dan Papua juga ada. Terserah kamu, mau pilih yang mana lokasinya.”

“Di Jabarnya sebelah mana?”

“Dekat perbatasan antara Jabar dengan Jateng.”

“Waaah… aku pilih di Jabar aja, biar dekat kampungku.”

“Kampungmu di mana sih?”

“Di Ciamis. “ “Mmmm… pantesan kamu manis. Amis dalam bahasa Sunda berarti manis kan?”

“Iya… hihihiiii… selama kenal denganku, baru sekali ini kamu muji aku manis. Biasanya sih cuek mulu. Sampai aku mikir, jangan - jangan kamu ini LGBT.”

“Hush… aku ini normal Ta. Apa perlu kubuktikan?”

“Hihihiii… gak usah, gak usah… aku percaya deh. Percayaaa… “Tata mengibas - ngibaskan tangannya sambil geleng - geleng kepala.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu