3 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

**Bab 11

SLalu aku pamitan, karena mau melihat rumah yang akan dijual di kompleks perumahan elit itu.

Tata mengantarkanku sampai ke mulut gang. Dan tertegun melihat mobilku yang memang bukan mobil murahan ini.

“Pengen ngerasain duduk di mobil mewah gini, “katanya sambil mengusap - usap sedan hitamku.

“Ya ayo kalau mau nyobain sih,” sahutku, “nanti kuanterin ke sini lagi.”

“Mmm.. kalau kamu gak keberatan sih besok pagi kita ke lokasi bareng aja. Tapi aku mau sekalian pulang kampung.”

“Boleh. Besok sekitar jam delapan pagi kita ketemuan di sini. Lalu barengan berangkat ke lokasi. Oke?”

Tata menatapku dengan sorot yang ceria, “Iya deh. Besok aku nongkrong di sini sebelum jam delapan.”

“Iya. Kamu kan bisa sekalian jadi penunjuk jalan. Karena aku sendiri belum pernah menginjak tanah yang harus dibenahi itu.”

“Lho… katanya tanah itu punya ibumu. Kok belum pernah ke sana?” Tata kelihatan bingung.

“Panjang deh ceritanya. Besok aja kuceritain ya. Jam delapan siap ya.”

Kemudian aku meninggalkan Tata, menuju perumahan elit itu.

Tak sulit untuk menjumpai petugas managemen developer perumahan itu. Ada beberapa rumah yang akan dijual, karena angsurannya macet. Setelah memilih - milih, akhirnya aku menentukan rumah yang ada kolam renangnya. Supaya Tante Tari dan Tante Artini bisa berolahraga juga. Selain daripada itu, rumahnya paling besar dan bagus di antara rumah - rumah yang akan dijual ulang oleh pihak managemen.

Kalau membeli rumah baru, sudah sold out semua. Maka terpaksa aku memilih rumah - rumah second tapi kelihatannya masih 100 % baru itu. Harganya pun jauh lebih murah daripada harga baru. Tapi harus dibayar cash, tidak bisa dicicil lagi.

Rumah yang kupilih itu terdiri dari 2 lantai. Di lantai 2 ada 1 kamar. Di lantai dasar ada 3 kamar, ruang tmu, ruang makan, ruang keluarga, kitchen, kamar pembantu dan sebagainya. Kolam renang itu terletak di belakang dan tertutup oleh benteng tembok tinggi, Sehingga dari luar tidak bisa melihat ke kolam renang itu.

Setelah tawar menawar yang cukup alot, akhirnya aku sepakat di harga matinya. Dan langsung kubayar di depan notaris yang langsung hadir di kantor managemen perumahan elit itu. Di zaman sekarang semuanya bisa dimudahkan oleh system. Untuk menandatangani AJB (akte jual beli) pun tak usah pergi ke kantor notaris.

Aku membayarnya dengan selembar cek yang sudah ditandatangani oleh Tante Tari itu. Aku tinggal menulis nominal harga rumah itu dan tanggal dikeluarkannya cek itu. Selesai sudah.

Kemudian aku pulang ke rumah Mamie. Dan melaporkan masalah rumah itu kepada Tante Tari.

Tante Tari dan Tante Artini tampak ceria. Terutama setelah mendengar bahwa rumah itu ada kolam renangnya segala.

“Tapi besok aku belum bisa mengantarkan Tante ke rumah itu. Karena aku mau ke Banjar dulu, ke lokasi tanah milik Mamie. Mungkin sekitar tiga hari lagi kita bisa ke sana, sekalian membeli furniture dan perabotan rumah lainnya. Karena sekarang masih kosong melompong,” kataku kepada Tante Tari.

“Iya, santai aja Bon. Kan kita gak dikejar - kejar waktu. Urus aja dulu tanah mamiemu itu,” sahut Tante Tari.

Mamie memberi petunjuk kepada siapa aku harus menghubungi setelah tiba di lokasi tanah miliknya besok. “Mamie akan nelepon dia besok pagi. Supaya dia mengantarkan kamu ke lokasi dan menunjukkan batas - batas tanah itu,” kata Mamie.

Hari itu kami hanya ngobrol dan istirahat. Tidak ada acara sex. Karena besok pagi aku harus nyetir sendiri ke Banjar, yang jaraknya cukup jauh itu. Kalau ada acara sex, bisa ngantuk waktu nyetir besok.

Keesokan harinya pagi - pagi sekali aku sudah berada di belakang setir sedan hitamku yang sudah kujalankan menuju Solo, kemudian menuju ke arah barat. Menuju Jogja.

Ternyata Charlita sudah menunggu di mulut gang menuju rumah kontrakannya itu.

Dan yang membuatku terlongong adalah pakaiannya itu. Ia mengenakan celana pendek jeans yang sudah compang - camping ujungnya, ada bolong - bolongnya pula, sehingga aku bisa menyaksikan keindahan kaki Charlita yang putih mulus itu. Tapi ke atasnya, entah apa yang dikenakannya, karena ia mengenakan jaket kulit hitam.

Kubuka pintu depan kiri dari dalam, tanpa turun dulu dari mobilku. Charlita pun masuk dengan senyum manis di bibirnya.

“Seksi bener pakaianmu pagi ini,” ucapku setelah Charlita mengenak seatbelt.

“Seksi apa, cuma celana pendek ini yang kamu anggap seksi?”

“Secara keseluruhan kamu tampak seksi Tata.”

“Mmm… thank you…”

“Sudah lama barusan nunggu?”

“Seperempat jam kurang lebih.”

“Katanya mau nyeritain masalah tanah itu. Kenapa kamu yang anak kandung pemilik tanah itu belum pernah datang ke sana?”

“Singkatnya aja, aku baru sebulanan tau bahwa beliau itu ibu kandungku.”

“Wow… gimana ceritanya?”

“Sejak bayi aku dibesarkan sampai dewasa oleh orang tua angkatku. Tadinya kupikir mereka papa dan mama kandungku. Dan kira - kira sebulan yang lalu aku baru dikasih tau bahwa ibu kandungku adalah pemilik tanah yang akan kita tinjau itu.”

“Terus sekarang kamu tinggal bersama ibu kandungmu?”

“Iya.”

“Dari ibu kandungmu punya saudara?”

“Nggak. Aku anak tunggal. makjanya semua harta ibuku diserahkan padaku untuk mengelolanya.”

“Terus kenapa bukan kamu sendiri yang mengelolanya?”

“Aku mau fokus ke agro bisnisnya aja. Sementara tanah - tanah yang bertebaran di sana - sini akan kupercayakan pada orang lain. Seperti sekarang ini, tanah yang di Jabar akan kupercayakan padamu untuk mengelolanya.”

“Bisa lihat denah tanahnya?”

“Ambil aja di laci dashboard tuh.”

Charlita membuka laci dashboard, lelu mengeluarkan gulungan kertas dan memperlihatkannya padaku.”Yang ini?” tanyanya.

“Iya,” sahutku.

Charlita membuka gulungan kertas itu, lalu memperhatikan denah tanah milik Mamie yang di Jabar itu. “Wow… luas sekali tanahmu ini Bon. Tujuhpuluhdua hektar…!”

“Iya, makanya aku hanya bisa mempercayakan kepada insinyur pertanian untuk mengelolanya.”

Sekarang istilah “insinyur pertanian” sedang diperdebatkan, bahkan ada fakultas yang tidak memakai istilah “insinyur” lagi. Tapi pada masa kisah nyata ini terjadi, gelar insinyur pertanian masih digunakan secara sah.

“Mmmm… aku tau letak lokasi ini. Kalau dari sini sebelum Banjar ke sebelah kanan,” kata Charlita.

“Iya,” sahutku, “makanya nanti kamu sekalian jadi penunjuk jalan. Karena aku sama sekali blank di daerah lokasi tanah itu.”

“Ohya, kata kamu kemaren, gajiku dihitung per hektar ya?”

“Iya.”

“Wuiiih… berarti gajiku bakal gede dong…”

“Tapi dengan syarat, pengelolaanmu harus bagus semua.”

“Soal itu sih jangan takut. Aku jamin semuanya akan berubah drastis. Mwuaaaah… “Charlita mengakhiri ucapannya dengan kecupan di pipi kiriku. Membuatku kaget. Karena tak menyangka kalau ia akan seagresif itu.

Tapi lalu kataku, “Kamu cium pipiku… harus tanggung jawab nanti ya.”

“Tanggungjawabnya dengan cara apa?”

“Dengan melanjutkan ke acara yang lebih jauh. Ayooo…”

“Kalau kamu sudah tau siapa aku, pasti kamu takkan bilang gitu.”

“Emangnya kenapa?”

“Di kampus gak ada yang tau kalau aku ini seorang janda Bon.”

“Wah… asyik dong.”

“Kenapa asyik?”

“Kita bisa berbagi rasa, supaya hubungan kita lebih dekat. Jangan cuma antara manager dengan owner.”

“Mmm… gak tau juga. SOalnya selama hidup menjanda, aku tak pernah dekat dengan cowok mana pun.”

“Tapi kalau denganku harus dekat dong. Supaya kamu lebih profesional lagi bekerjanya nanti.”

“Iyalah. Aku mau dekat denganmu, agar masa depanku lebih diperhatikan oleh Boss. Emwuaaaaah… “lagi - lagi Charlita mengakhiri ucapannya dengan kecupan hangat di pipi kiriku.

“Sip deh, “cetusku di belakang setir, “Soal masa depanmu, jangan takut. Pasti akan kuperhatikan. Pokoknya semua orang yang dekat denganku, pasti mandapat jaminan masa depan yang takkan mengecewakan. Yang penting jujur dan ulet.”

“Dan rajin mendekati boss ya… mwuaaaah… mwuaaaah… mwuaaaah… “Charlita mengecup pipi kiriku lagi… tiga kali…!

Charlita telah membuka jalan. Membuatku takkan ragu untuk melangkah lebih jauh lagi.

Maka tangan kiriku pun mulai menangkap lutut kanan Charlita yang terbuka di bawah celana pendek jeansnya.

“Seperti apa ya kamu kalau sudah telanjang?” tanyaku sambil menahan tawa.

“Kan nanti juga bakal kelihatan semua,” sahutnya.

Triiiiing…! Kontolku mendadak ngaceng di balik celana jeans dan celana dalamku.

“Itunya dicukur nggak?”

“Apanya yang dicukur?”

“Memeknya.”

“Hihihiiii… cuma digunting dan dirapikan. Nggak pernah dibotakin. Takut kelihatan gersang… malah seperti tahu pecah kebanting. Hihihihiiii…”

“Mmmm… kebayang…”

“Kebayang apa?”

“Kebayang waktu kujilatin.”

“Apanya yang dijilatin?”

“Memekmu.”

“Iiiiihhh… aku langsung horny nih, “cetus Charlita sambil mencubit lengan kiriku.

Pada saat itu mobilku sudah memasuki Gombong.

“Kita makan dulu ya. Aku lapar.”

“Iya Boss. Aku juga lapar. Padahal tadi sudah sarapan pagi.”

Lalu aku mencari rumah makan, entah rtumah makan mana yang enak makanannya. Akhirnya asal - asalan milih saja. Yang penting perut lapar diisi dulu.

Pada waktu sedang makan, sikap Charlita jauh berubah. Jadi begitu jinak dan seolah mau merapat terus padaku.

Sehingga akhirnya aku berkata setengah berbisik, “Bagaimana kalau kita cek in aja di hotel yang ada di sini?”

“Terus meninjau lokasinya kapan?”

Kujawab dengan bisikan, “Sekarang ini dirimu lebih penting daripada penggarapan tanah itu. Meninjau lokasi kan bisa sore atau besok pagi sekalian.”

“Terus mau nginep di hotel nanti malam?”

“Iya… bagaimana?”

“Terserah kamu,” sahut Charlita yang disambung dengan bisikan, “Aku juga lagi horny berat. Tadi ngomongnya menjurus ke sana terus sih.”

“Ya udah. Kalau gak salah di kota kecil ini ada hotel bagus kok.”

“Iya, “Charlita mengangguk sambil tersenyum. Membuatku semakin bergairah untuk merasakan kehangatannya.

Setelah membayar makanan yang kami santap, kujalankan mobilku perlahan - lahan. Menyelidik hotel demi hotel yang kami lewati. Sampai akhirnya kubelokkan mobilku ke pelataran parkir sebuah hotel berbintang, entah bintang tiga entah bintang empat.

Kali ini yang terpenting bagiku adalah menikmati kehangatan Charlita…!

Tampaknya Charlita pun tidak berbasa - basi waktu menyatakan horny tadi. Karena begitu berada di dalam kamar yang sudah kubooking, dia langsung melingkarkan lengannya di leherku, lalu mencium bibirku dengan lahapnya.

“Kamu ini manis sekali Ta,” ucapku setelah melepaskan ciuman dan lumatan Charlita.

“Kamu juga ganteng sekali. Bahkan waktu masih sama - sama kuliah, kamu terkenal sebagai mahasiswa terganteng di kampus.,” sahut Charlita sambil memegang kedua tanganku dengan senyum manisnya yang membuatku terlongong.

Charlita itu bertubuh tinggi langsing. Namun meski belum melihatnya secara terbuka, aku yakin toketnya gede. Sementara bokongnya proporsional, tidak terlalu gede tapi tidak juga kecil tepos. Pasti bentuknya indah sekali setelah telanjang bulat nanti.

“Beneran pengen melihatku telanjang?” tanya Charlita dengan mata bergoyang perlahan.

“Iya,” sahutku, “Makanya aku ngajak cek in ke sini juga karena ingin melihatmu telanjang.”

“Tapi jangan bocorin ke teman - teman nanti. Sejak menjanda, baru sekali ini aku merasa siap untuk diapain juga oleh seorang cowok. Ini karena ingin dekat saja denganmu, karena kamu itu selain bakal jadi bossku… juga ganteng sekali,” ucapnya sambil melepaskan jaket kulitnya. Lalu tampak pakaian di balik jaket kulit itu, bukan blouse tapi sesuatu yang mirip kaus singlet tapi terbuat dari jeans.

“Wooow… toketmu ini indah sekali bentuknya… “cetusku sambil memegang toket gede itu dengan hati - hati, karena tak mau disebut cowok kasar.

“Bona sendiri mau pakaian lengkap terus?” tanyanya sambil mencubit lenganku.

“Pengen liat memekmu dulu. Hehehee…” sahutku sambil melepaskan jaket dan baju kausku. Pada saat aku melepaskan sepatu dan celana jeansku, Charlita sedang melepaskan celana dalamnya, sehingga telanjang bulatlah teman kuliahku yang sudah sama - sama insinyur pertanian itu.

Ooo… betapa indahnya tubuh Charlita itu… membuatku terbengong - bengong.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu