3 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

Ketika keluar dari kamar mandi, kulihat Tante Tari sedang rebah miring sambil memeluk bantal guling, dalam keadaan masih telanjang bulat.

Kutepuk - tepuk bokongnya yang proporsional, gede tidak tepos pun tidak.

Tante Tari membalikkan badannya. Membuka kelopak matanya. Menatapku dengan senyum manis di bibir mungilnya. “Udah pakai baju lagi? Belanja di Jogja sih besok lagi aja Bon. Aku masih ingin berlama - lama bersamamu di sini.”

“Iya Tan. Mau nginep juga bisa. Besok atau lusa aja pulangnya.”

“Harus ngomong dulu sama mamiemu. Biar dia nggak merasa cemas.”

“Sudah nelepon barusan. Minta izin mau nginep di sini.”

“Terus mamiemu bilang apa?”

“Ngasih izin. Mau nginep seminggu juga di sini boleh.”

“Hihihiii… asyik dong. Kita bisa memadu cinta sepuasnya di sini. Tapi kalau sudah pulang ke rumah… mati kutu nanti.”

“Kenapa mati kutu? Kamar kita kan berdampingan. Di antara kamar Tante dengan kamarku kan ada pintu. Kunci pintu itu ada padaku. Jadi kapan saja kita bisa melakukannya setelah pulang nanti.”

“Owh… iya ya. Aku pasti ketagihan nanti. Karena baru sekali ini merasakan nikmatnya disetubuhi cowok… yang lebih muda dariku pula cowoknya,” ucap Tante Tari sambil meremas tanganku dengan lembut.

Ketika aku duduk di samping Tante Tari yang maish telanjang, dia bangkit sambil berkata, “Sebentar… mau bersih - bersih dulu Sayang.”

Lalu ia bergegas menuju kamar mandi.

Aku menunggunya sambil duduk bersila di atas bed.

Tak lama kemudian Tante Tari muncul lagi, dengan tubuh dibalut handuk putih yang tersedia di kamar mandi. “Tanah mamiemu di sini cukup luas Bon. Mau sekalian survey?”

“Boleh, “aku mengangguk sambil turun dari bed, “Kita kan mau nginep di sini. Tapi pada gak bawa baju ganti ya?”

“Iya sih. Gak usah nginepo segala deh. Kalau nanti mau ngentot aku lagi kan tinggal buka pintu yang menghubungkan kamarmu dengan kamarku aja.”

“Terus kita mau pulang aja gitu?”

“Ke Jogja dulu. Mau nyari gaun batik yang bagus.”

“Hehehee… percuma aja aku nelepon Mamie tadi, minta izin untuk tidur di sini.”

“Gak percuma lah. Kan nanti malam kita masih bisa main di kamarku,” ucap Tante Tari disusul dengan kecupan hangat di pipiku.

Akhirnya aku setuju untuk pulang dan mampir dulu di Jogja. Sambil berjalan menuju tempat parkir mobilku, Tante Tari menunjukkan dari mana ke mana batas tanah punya Mamie. Semuanya ditanami pohon sawo. Semuanya tampak subur. Jadi kurasa tiada yang perlu direkayasa lagi.

Dalam perjalanan menuju Jogja, Tante Tari berkata, “Bon… meski kita saling mencintai, kita takkan bisa menikah. Tapi aku tidak rela kehilangan kamu. Meski pada suatu saat kamu sudah menikah, hubungan kita harus jalan terus.”

“Aaaah… jangan mikir sejauh itu Tante. Aku sih belum mikir nikah segala. Apalagi sekarang sudah punya Tante Tari, yang cantik dan sulit dicari tandingannya. Mendingan konsen sama Tante aja… tapi itu pun kalau Tante menginginkannya juga.”

“Mungkin aku takkan menikah lagi. Aku akan menganggap kamu aja sebagai suamiku, walau pun kita tidak bisa menikah secara sah.”

“Siap Tante.”

“Siap apa?”

“Siap untuk menjalin hubungan rahasia dengan Tante. Tapi Mamie juga takkan menghalangi hubungan kita Tan.”

“Aku memang paling disayangi di antara adik - adik mamiemu. Tapi dalam masalah hubungan kita, entahlah. Mungkin beliau akan melarang…”

“Nggak mungkin, “sergahku, “Mamie malah menyuruh aku menghibur Tante… biar jangan murung terus katanya.”

“Menghibur kan gak sama dengan mencintai Bon.”

“Lihat aja nanti. Aku akan memperlakukan Tante semesra mungkin di depan Mamie. Kujamin Mamie takkan merintangi.”

“Ohya?! Mudah - mudahan aja seperti itu. Tapi aku butuh rumah pribadi juga Bon.”

“Bisa kucarikan rumah sih. Maju di Solo apa di Jogja?”

“Di mana aja. Yang penting suasananya aman, nyaman dan bebas. Dan yang terpenting, bisa hidup bersama denganmu Bonaku Sayaaang,” ucap Tante Tari yang lagi - lagi disusul dengan kecupan mesranya di pipi kiriku.

“Iya Tan, “cuma itu yang bisa kuucapkan sebagai tanggapan untuk ucapannya.

“Jujur Bon… sebenarnya simpananku di bank lebih besar daripada simpanan mamiemu. Karena aku punya rekening di lima bank. Karena itu aku ingin punya cowok yang kucintai dan bisa dipercaya untuk mengembangkan dana simpananku. Supaya kalau aku punya anak kelak, masa depan anaknya akan terjamin. Dan cowok itu adalah kamu Sayang.

“Iya Tan,” sahutku singkat lagi, karena sedang konsen nyetir.

“Entah kamu itu punya daya pikat yang segitu hebatnya. Sehingga dalam hitungan jam - jaman, aku sudah mencintaimu begini dalamnya.”

“Aku akan merawat cinta Tante itu dengan segala daya dan upaya.”

“Kamu siap untuk punya anak dariku?”

“Siap Tante. Lahirnya seorang anak, bisa memperkuat tali cinta kita.”

“Makanya nanti di rumah, kamu harus rajin menyetubuhi aku selama masa suburku ini. Biar jadi anak… anak kita.”

“Tapi pada waktu hamil, mungkin Tante harus bersembunyi dulu. Jangan ketemu saudara dan siapa pun.”

“Makanya aku minta dicarikan rumah, tujuannya kan untuk itu. Kalau aku hamil di rumahmu kan nggak enak sama mamiemu. Karena dia akan terbebani oleh rahasia pribadiku.”

“Tinggal di kompleks perumahan elit, yang tetangganya pada cuek - cuek mau nggak?”

“Mau. Justru suasana cuek - cuekan gitu yang aku mau. Di mana perumahannya?”

“Di Jogja. Dekat bandara. Tapi harga rumah di sana hitungannya sudah milyar Tan. Enam milyar ke atas.”

“Gakpapa. Justru rumah seperti itu yang kuinginkan. Duapuluh milyar juga gakpapa, asalkan sesuai antara harga dengan kondisinya.”

“Sekarang sih keburu sore. Besok aja lihat - lihat rumah yang mau dijual di kompleks perumahan elit itu ya.”

“Kamu aja sendiri yang surveynya Bon. Kan rumah itu nantinya untuk kita berdua. Kalau kata kamu bagus, ya aku pun pasti menganggap bagus.”

“Tapi lebih enak lagi kalau Tante ikut melihatnya besok.”

“Gak usah Sayang. Aku ingin kamu mengurus semua keperluanku. Pokoknya semua dana simpananku itu akan kuserahkan padamu untuk mengelolanya.”

Ternyata Tante Tari sudah sangat percaya padaku. Sehingga dana sebesar itu pun mau diserahkan padaku untuk mengelolanya.

Pantaslah Mamie berkeras agar bisa merebut hati Tante Tari. Kalau ketemu lelaki yang gak bener, bisa dikuras habis nanti duitnya.

“Ya sudah, kalau Tante akan mempercayakannya semua padaku, nanti smeuanya aku yang ngurus. Tante duduk manis aja.”

“Naaah… itu yang aku mau Sayaaang… “Tante Tari mengusap - usap rambutku dengan lembut, “Pokoknya segala urusan pribadiku akan kuserahkan padamu semua.”

“Tapi kalau harga rumah itu sudah cocok, Tante kan harus menandatangani akte jual belinya di notaris nanti.”

“Kamu aja yang tandatangani. Rumah itu memang untukmu kok.”

“Haaa?!”

“Kenapa seperti kaget? Rumah itu atas namamu nanti. Jadi kalau aku tinggal di sana, aku seolah - olah tinggal di rumah suamiku sendiri.”

Aku cuma nyengir kuda. Tak tahu apa yang harus kukatakan.

“Itu sebagai tanda keseriusan cintaku aja Bon. Kalau aku tidak serius menincintaimu, mana mungkin kuserahkan puki eeeh… memekku padamu?”

“Iya Tante. Mudah - mudahan aja hubungan kita baik terus ya.”

“Nanti aku akan melakukan RTGS, untuk memindahkan dana dari bank - bank aku ke bank kamu.”

“Sekarang sih udah gak zaman RTGS Tante. Ada yang jauh lebih praktis. Tanpa disulitkan oleh PPATK dan sebagainya.”

“Ya udah. Pakai aja caramu. Yang penting dana dari rekeningku pindahkan ke rekeningmu. Aku sih gak kuatoir - kuatir amat. Mantan suamiku tiap bulan juga transfer nanti. Begitu perjanjiannya sebelum kami bercerai.”

“Kata Mamie, Tante diteror terus oleh istri pertamanya ya?”

“Iya. Soalnya modal awal yang dipakai oleh mantan suamiku adalah duit istri pertamanya. Tapi sebenarnya perusahaan tambangnya itu maju pesat setelah aku dijadikan istri mudanya. Aaaah… sudahlah. Gak perlu ngomongin dia lagi. Suka jengkel jadinya.”

Mendengar hal itu aku pun mengalihkan topik pembicaraan,” Kata Mamie, ibu Tante masih ada ya?”

“Masih ada. Masih seger kok. Usianya kan lebih muda daripada mamiemu.”

“Ohya? Mmm… berarti beliau itu ibu tiri mamie ya?”

“Iya. Tapi ibuku sih gak beda - bredain anak tiri dengan anak kandung.”

“Tinggal di mana dia sekarang?”

“Di Semarang.”

“Setelah kakek meninggal, ibu Tante nikah lagi nggak? Kan masih muda.”

“Nggak mau nikah lagi. Soalnya waktu kakekmu masih ada, dia sangat dimanjakan sama Kakek. Makanya setelah kakekmu meninggal, dia gak mau nikah lagi. Takut gak disayang seperti sama Kakek lagi katanya.”

“Tante juga dimanjakan oleh mantan suami waktu masih di Kalimantan ya.”

“Sangat sangat dimanjakan. Tapi aku merasa hidup dalam kepalsuan. Karena sebenarnya aku tidak mencintainya. Cuma merasa kasihan aja, karena dia sudah habis - habisan untuk memanjakanku. Tapi sudah ah… jangan bahas dia lagi.”

Setibanya di Jogja, kuantar Tante Tari belanja gaun - gaun batik yang katanya sih bagus - bagus. Sementara aku belum bisa membedakan mana batik yang kualitasnya bagus atau tidak. Di mataku batik itu sama saja bagusnya.

Setelah mendapatkan gaun - ghaun batik yang diinginkannya, Tante Tari mengajakku makan malam dulu, karena hari memang sudah jam delapan malam.

Pada saat makan malam itulah aku membuka sesuatu yang ingin kukatakan sejak di villa kayu tadi.

“Tante… aku mau menceritakan suatu rahasia, tapi aku minta Tante janji dulu… janji takkan marah,” kataku.

Tante Tari menatapku dengan sorot menyelidik. Lalu bertanya, “Rahasia soal apa? Sudah punya cewek ya? Nggak… aku takkan marah. Yang penting kamu harus selalu mendampingiku setelah beli rumah nanti.”

“Begini… sebelum berjumpa dengan Mamie, aku kos di rumah Tante Artini.”

“Ohya? Terus di situ kamu punya cewek?”

“Jangan potong dulu dong Tanteku Sayang,” ucapku sambil meremas tangan Tante Tari yang tergeletak di atas meja. “Tante pasti sudah tau bahwa Tante Artini itu pernah menikah dengan lelaki yang dijodohkan oleh almarhum Kakek. Tapi ternyata lelaki itu seorang gay. Kemudian Tante Artini minta cerai. Dan dia menjadi seorang janda dalam keadaan masih perawan.

“Sampai sekarang kamu maih punya hubungan dengan Mbak Ar?”

“Masih Tante. Nah… aku sudah bicara jujur pada Tante. Karena aku tak mau menyembunyikan masalah pribadiku sedikit pun.”

Tante Tari tercenung sejenak. Lalu wajahnya mendadak jadi ceria, seolah menemukan ilham bagus di benaknya. Lalu berkata, “Nggak apa. Aku malah jadi punya teman senasib dan serahasia. Nanti Mbak Ar akan kuajak pindah ke rumah yang akan dibeli itu. Jadi kalau aku hamil, aku punya teman. Hihihiii… biar cepat selesai, sekarang kita ke rumah dia aja yuk.

Aku senang sekali melihat keceriaan Tante Tari itu. Tapi entah bagaimana sikap Tante Artini kalau sudah buka - bukaan dengannya nanti. Mudah - mudahan Tante Artini menerima kenyataan itu dengan “berbesar hati” seperti Tante Tari.

Maka setelah keluar dari rumah makan itu aku arahkan mobilku menuju rumah Tante Artini.

“Tante Ar nasibnya tidak sebaik Tante Tari,” ucapku di belakang setir, “Tante Tari kan jadi janda juga punya dana sedemikian gedenya di bank - bank. Sedangkan Tante Ar, punya rumah kos juga dimodali oleh Mamie.”

“Iya… kasian juga sih Mbak Ar itu. Jadi setelah menjadi janda dia masih tetap perawan?”

“Iya. Kan mantan suaminya gak suka perempuan.”

“Beruntung dong kamu bisa dapetin keperawanan Mbak Ar… hihihiii… kebayang…”

“Iya… jadi janda di usia tigapuluh tahun, masih perawan pula.”

Tante Artini terkejut melihat kedatanganku bersama adik bungsunya. Sementara untuk membuka masalah itu kuserahkan kepada Tante Tari. Karena lidahku terasa kelu untuk menyampaikannya.

Tapi aku merasa beruntung… karena setelah Tante Tari membuka semuanya, Tante Artini tidak kelihatan marah sedikit pun. Dia malah menciumi pipi Tante Tari lalu berkata, “Berarti kita bakal punya teman kalau salah seorang di antara kita hamil nanti ya.”

“Kalau dua - duanya hamil bareng gimana?” tanyaku sambil mencium pipi Tante Artini, lalu mencium pipi Tante Tari juga.

“Biarin aja,” sahut Tante Tari, “kan ada Bona tercinta. Iiiih… aku jadi horny lagi nih…”

“Ya udah… di sini aja mainnya. Kan istanamu baru mau dibeli,” sahut Tante Artini sambil mencium pipi Tante Tari lagi.

Lalu kami bertiga ketawa cekikikan sambil melangkah ke dalam kamar tante Artini…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu