3 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

Keesokan paginya, setelah mandi bersama Mamie di kamar mandinya, tentu saja sambil saling menyabuni dan bercanda yang mengandung birahi, kami berpakaian lengkap lagi. Aku mengenakan pakaian casual, celana dan baju katun berwarna coklat muda. Mamie mengenakan gaun shanghai dress yang katanya beli di Hongkong waktu suaminya masih hidup, berwarna kuning muda yang tampak serasi sekali dengan kulitnya yang putih bersih.

Kemudian kami turun ke kamarku dan langsung menuju ruang makan untuk menyantap sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh pembantu bagian dapur. Cuma makan bubur ayam dengan taburan emping di atasnya, tapi terasa lancar di mulut.

Setelah selesai makan sarapan pagi, Mamie menyuruhku menunggu sebentar di ruang makan, sementara Mamie membuka pintu kamar yang berdampingan dengan kamarku.

Tak lama kemudian Mamie keluar lagi bersama seorang wanita muda bergaun putih bersih yang… aduh maaaak… wanita muda itu luar biasa cantiknya…! Tak kalah cantik dnegan artis - artis yang sering tampil di televisi…!

Sambil memegang pinggang wanita muda berperawakan tinggi langsing itu, Mamie berkata padaku, “Bona… ini adik bungsu mamie yang namanya Tari… meski usianya hanya beda setahun denganmu, kamu harus memanggilnya Tante… ayo kenalan sama tantemu ini…”

Dengan suara setengah berbisik aku langsung menanggapi, “Tante juga cantik sekali, masih sangat muda pula…”

Tante Tari menatapku dengan senyum manis yang aduhai.. dan.. mencium bibirku di depan Mamie…!

Membuatku gelagapan. Tapi kulihat Mamie cuma tersenyum - senyum sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Entah isyarat apa yang Mamie maksud dengan kedipan sebelah matanya itu.

Lalu kami melangkah ke ruang keluarga. Kami duduk berdampingan di sofa panjang berbentuk L yang sudutnya menempel di sudut ruang keluarga itu. Aku duduk diapit oleh Mamie dan Tante Tari yang ternyata ramah sekali itu.

Mamie di sebelah kiriku, Tante Tari di sebelah kananku.

“Biar tantemu ini jangan murung terus, ajak dia main ke tempat yang bisa menghibur hatinya Bon,” kata Mamie.

“Ajak main ke mana Mam?” tanyaku bersemangat.

“Ke mana aja,” sahut Mamie, “Ohya… mamie kan punya tanah di perbatasan Jabar dengan Jateng. Tantemu sudah dua kali diajak ke sana waktu masih gadis dulu. Sedangkan Bona kan belum pernah diajak ke sana. Tanah di perbatasan itu termasuk tugasmu juga untuk mengelolanya nanti kan? Nah… kapan - kapan ajak tantemu ini ke sana.

“Sekarang sih jangan jauh - jauh dulu Mbak. Kalau ke Jogja, aku mau. Pengen beli gaun batik yang bagus kualitasnya, “tanggap Tante Tari.

“Mau ke Jogja sekarang? Boleh,” kataku.

Mamie juga tampak setuju, “Iya… anterin dia ke mana pun yang dia mau. Pokoknya setelah tinggal di rumah ini, dia gak boleh murung lagi. Harus kembali ceria seperti dahulu. Dandan aja dulu sana Tari.”

“Nggak usah,” sahut Tante Tari, “Pakai gaun ini aja gak apa - apa kan?”

“Iya, “Mamie mengangguk, “Pakai gaun itu juga gak apa - apa. Nanti di Jogja beli gaun yang bagus - bagus.”

“Aku juga pakai ini aja,” kataku sambil memegang lengan baju katun coklat mudaku.

Kemudian Mamie bangkit sambil mengedipkan matanya padaku. Isyarat yang satu ini kumengerti. Bahwa aku harus mengikuti langkah Mamie, sementara Tante Tari juga berdiri dan masuk ke dalam kamarnya.

Mamie mengajakku bicara di dalam kamarku, “Dia itu bawa duit banyak sekali. Mantan suaminya kan petambang batubara yang duitnya berlimpah ruah. Kelihatannya dia suka padamu Bon. Kamu rayu aja dia sampai jatuh hati padamu.”

“Lho… Mamie kok ngomong gitu?” tanyaku heran dan bingung.

“Biar dia kerasan di sini Sayang. Supaya sakit hatinya terobati olehmu. Selain daripada itu… nanti deh mamie bicara panjang lebar denganmu. Tapi masalah rahasia kita jangan sampai dia tau. Kecuali…”

“Kecuali apa?” tanyaku karena Mamie tidak melanjutkan kata - katanya.

“Kecuali kalau kamu sudah mendapatkan dia dan sudah menggaulinya, kita boleh buka kartu.”

“Kok Mamie seperti ngotot begitu, ingin agar dia tetap tinggal di sini?”

“Tari itu punya faktor keberuntungan yang bagus sekali Bon. Mantan suaminya sering bilang gitu dahulu. Bahwa sejak Tari jadi istrinya, usaha mantan suaminya itu langsung meledak - ledak. Lagian Tari takkan menyusahkan kita kok. Duit pemberian mantan suaminya sangat buanyaaak… Kalau dia jatuh ke tangan lelaki yang pemorotan kan bahaya.

“Memangnya Mamie rela kalau dia benar - benar jatuh hati padaku nanti?” tanyaku memancing. Padahal aku sudah setuju dengan keinginan Mamie itu.

“Rela… sangat rela. Asalkan mamie tetap dapat jatah darimu Sayang. Ya udah pergi sana. Mau pakai mobil yang mana terserah kamu.”

“Pakai sedan yang kemaren kupakai nganterin Mama aja.”

“Iya, terserah kamu. Semua mobil di garasi itu kan sudah jadi punyamu juga sekarang.”

Kemudian kami keluar menuju ruang tamu, di mana Tante Tari sudah menunggu sambil menjinjing tas kecilnya.

“Mbak Lies… villa kayu yang berada di dekat Parangtritis itu masih punya Mbak?” tanya Tante Tari pada Mamie.

“Masih, “Mamie mengangguk. Mau ke sana? Silakan aja. Sebentar… kuncinya tak ambil dulu.”

Lalu Mamie bergegas menuju ruang kerjanya. Tak lama kemudian mamie sudah kembali lagi sambil membawa seuntai kunci. Lalu diserahkannya kunci - kunci itu kepada Tante Tari sambil berkata, “Villa itu biasa dibersihkan dan ditata oleh seorang lelaki bernama Sapto. Nanti kalau dia nyamperin, kasihkan duit ini padanya.

Beberapa saat kemudian aku sudah menjalankan sedan hitam built up Germany ini menuju Jogja, tentu harus lewat Solo dulu.

“Sudah punya pacar belum?” tanya Tante Tari sambil memegang tangan kiriku yang nganggur, karena sedannya bisa matic bisa manual juga. Kali ini kuaktifkan maticnya.

“Belum,” sahutku, “Diwisuda juga baru sebulan. Langsung sibuk ngurusin perusahaan Mamie. Jadi… belum sempat nyari calon pacar… apalagi calon istri.”

“Masa sih cowok seganteng kamu gini belum punya pacar?! “tanyanya sambil meremas tangan kiriku dnegan lembut.

“Waktu masih kuliah, aku kan belum dipertemukan dengan Mamie. Pada saat itu aku hanya konsen kuliah aja. Gak mau mikirin cewek.”

“Sayangnya kamu anak kakakku.”

“Memangnya kalau anak kakak kenapa?”

“Gak bisa kawin.”

“Kawin apa nikah?”

“Nikah… hihihihiii… kalau kawin sih boleh - boleh aja.”

“Mau dong kawin sama tante yang cantik begini sih…”

“Kawin apa nikah?”

“Kawin.”

“Kalau gitu sekarang langsung ke jalan menuju Parangtritis aja. Setelah lewat ISI, belok ke kiri. Menuju villa punya mamiemu. Belanja pakaian sih gampang, kapan - kapan juga bisa.”

“Mau ngapain ke villa?”

“Katanya mau kawin. Ya udah kita lakukan di villa aja. Mumpung darahku lagi hangat nih.”

“Serius nih?”

“Tiga rius bukan serius lagi. Aku suka kok punya keponakan ganteng gini,” ucap Tante Tari yang disusul dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku.

Sebagai jawaban, kecepatan mobil kukurangi, lalu kubelokkan ke samping kiri, ke bahu jalan. Lalu kuhentikan tanpa mematikan mesinnya.

“Kenapa berhenti?” tanya Tante Tari.

“Tadi waktu kita kenalan, Tante nyium bibir segala kan? Sekarang giliranku untuk mencium bibir Tante.”

Tante Tari celingukan, “Nanti ada orang liat gak?”

“Kacanya gelap Tante. Dari luar gak bisa melihat ke dalam mobil ini,” sahutku sambil melingkarkan lengan kiriku di leher Tante Tari.

Tante Tari tersenyum. Lalu mendekatkan bibirnya ke bibirku.

Maka kupagut bibir sensual itu. Dan kulumat dengan lahap, membuat sepasang mata bening dan indah itu terpejam.

Lama juga kulumat bibir tanteku yang sangat cantik ini, karena ia pun balas melumat bibirku.

Setelah ciuman dan lumatan itu terlepas, terdengar suara Tante Tari yang belum pantas kupanggil tante itu saking masih mudanya, “Bona…”

“Ya?” sahutku sambil melajukan lagi mobil Mamie yang katanya sudah jadi mobilku juga ini.

“Kayaknya aku jatuh hati dalam pandangan pertama di rumah mamiemu tadi.”

“Nggak ada yang salah kan?”

“Tapi… mungkin kita hanya bisa saling mencintai, tanpa bisa melangkah ke arah yang sah.”

“Kita jalani aja apa yang mungkin terjadi kelak Tante. Jujur, begitu melihat Tante tadi, aku juga seperti Tante. Langsung jatuh hati. Makanya aku kaget ketika Tante mencium bibirku di rumah tadi.”

“Iya… tadi aku sudah gak nahan melihat bagusnya keponakanku. Makanya gak sungkan - sungkan lagi mencium bibirmu di depan mamiemu.”

“Tapi sejak Tante mencium bibirku tadi, aku langsung merasa ingin memiliki Tante.”

“Kamu boleh memiliki aku lahir batin. Tapi kita takkan bisa menikah secara sah Bon. Gak apa - apa kan?”

“Gak apa - apa. Anggap aja kita sedang berada di Eropa, yang bebas melakukan apa saja.”

Tante Tari mengecup p;ipi kiriku lagi, Emwuuuuaaaah… !” disusul dengan ucapan, “Aku gak mau munafik Bon. Detik ini aku merasakan getaran cinta ini. Aku langsung jatuh cinta padamu Bon.”

“Hmmm… si dede langsung bangun nih Tante.”

“Masa?! Pengen lihat yang baru bangun dong,” kata Tante Tari sambil memegang ritsleting celana katunku.

Kubantu dengan menurunkan ritsleting celana katunku. Lalu kupelorotkan celana katunku berikut celana dalamnya sekalian.

“Waaaaw! “pekik Tante Tari sambil menggenggam kontolku yang sudah ngaceng ini, “Gagah bener dedemu ini Booon… ya gede banget ya panjang banget… wahwaaah… bisa klepek - klepek aku kalau dikasih yang segede dan sepanjang ini sih.“

“Memangnya punya mantan suami Tante segede apa?”

“Aaaah, punya dia sih jauh lebih kecil daripada kontolmu ini Bon. Lagian usianya juga sudah hampir enampuluh tahun. Banguninnya susah. Harus dioral dulu.”

“Tapi tentu ada kelebihan dia yang membuat Tante bersedia dijadikan istrinya kan?”

“Kelebihan dia hanya duitnya aja Bon. Dia tak segan - segan menghamburkan duitnya padaku. Itu saja. Yang lainnya sih nol besar.”

“Tapi Tante gak punya anak ya dari dia?”

“Ya itu… dia kan sudah tua. Mungkin spermanya sudah lemah. Makanya gak mampu membuahi telurku.”

“Nanti kubuahi, mudah - mudahan bisa.”

“Mau kok aku dihamili olehmu. Biar kalau lahir anak cowok, pasti ganteng seperti ayahnya,” sahut Tante Tari sambil menciumi puncak kontolku.

“Jangan dioral Tante… !” cegahku.

“Kenapa?”

“Aku kan lagi nyetir. Bisa nabrak mobil orang nanti kalau dioral sekarang.”

“Ooooh iya, iyaaa… aku lupa Bon. Ya udah… sekarang konsen ke setir aja dulu. Nanti kuemut kontolmu di villa.”

“Aku juga mau jilatin puki Tante.”

“Heh… kok kamju bisa bahasa Banjar?”

“Yang jorok - jorok sih bisa. Di Kalimantan kontol itu disebut butuh, kalau memek disebut puki kan?”

“Iyaaaaaa…”

“Kalau bersetubuh disebut basakian. Cewek cantik disebut galuh bungas, benar kada?”

“Cailaaaa… ternyata kamu bisa ngomong bahasa Banjar juga ya.”

“Ulun masih belajar Tante.”

“Duh… tau ulun segala. Itu bahasa halus. Kan bahasa Banjar juga punya bahasa halus dan kasarnya.”

“Bujurrrrrr…”

“Nah bujur itu kalau dalam bahasa Sunda berarti pantat. Tapi buat bahasa Banjar berarti betul.”

Sedan hitam ini berlari terus di jalan menuju Parangtritis. Seperti petunjuk Tante tari, pada suatu saat sedan ini kubelokkan ke kiri.

Dendang birahi pun mulai berkumandang di dalam batinku.

Lalu terngiang lagi kata- kata mamie di rumah tadi. Berarti kalau terjadi sesuatu di antara aku dengan Tante Tari, adalah atas restu Mamie juga.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu