3 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

**Bab 14

Ketika malam semakin larut, Yuniar merengek ingin disetubuhi sekali lagi. Aku pun mengabulkannya. Karena nafsuku memang sudah bangkit lagi.

Tapi dalam ronde kedua ini durasiku lumayan panjang. Sehingga Yuniar lebih dari dua kali orgasme. setelah dia tampak kepayahan, barulah aku berejakulasi.

Setelah bersih - bersih di kamar mandi, kami pun tertidur nyenyak sambil berpelukan.

Esoknya aku bangun kesiangan.

Ketika aku terbangun, aku tertegun melihat Yuniar sudah berubah 180 derajat. Memang dia masih mengenakan baju kaus dan celana pendek yang serba biru muda. Baju dan celana pendek yang dikenakannya waktu tidur semalam. Tapi wajahnya sudah bermake-up, meski cuma make-up tipis. Bibir sensualnya pun sudah dipolesi lipstick, juga cuma polesan tipis.

“Nah… kalau sedang tersenyum begitu, kamu cantik sekali Yun, “pujiku sambil membiarkan bibir sensualnya mencium sepasang pipiku.

“Sebenarnya aku ini anak broken home sejak ibuku meninggal dunia, pada waktu usiaku baru sepuluh tahun. Kemudian ayahku menikah lagi dengan seorang gadis yang usianya hanya lebih tua enam tahun dariku. Mungkin sejak saat itulah aku sangat jarang tersenyum,” kata Yuniar sambil menunduk.

“Berarti sekarang ibu tirimu baru berusia tigapuluh tahun?” tanggapku.

“Iya.”

“Apakah ibu tirimu galak seperti anjing boxer?” tanyaku.

“Galak sih nggak. Mmm… dia baik kok. Bahkan terkadang dia lebih baik daripada Papa. Tapi sebaik - baiknya ibu tiri, tentu takkan sebaik ibu kandung. Yah, minimal aku tidak bisa merasakan lagi pelukan hangat seorang ibu…”

Lalu Yuniar menceritakan pengalaman masa kecilnya. Bahwa ketika pulang dari sekolah, ia ikut ke rumah temannya. Begitu temannya tiba di rumah, temannya disambut dengan pelukan dan ciuman ibunya. Sering Yuniar melihat temannya diperlakukan sepoerti itu oleh ibunya. Sementara Yuniar sendiri?

Yuniar tidak pernah dimarahi apalagi dipukul oleh ibu tirinya. Tapi Yuniar tidak pernah dipeluk dan diciumi seperti perlakuan ibu kandung terhadap teman Yuniar itu. Padahal waktu ibu kandungnya masih hidup, Yuniar selalu disambut dengan pelukan dan ciuman sayang juga, seperti temannya itu.

Itulah sebabnya Yuniar menganggap sebaik - baiknya ibu tiri, takkan sebaik ibu kandung.

Selain daripada itu, ada hal yang tidak disukai oleh Yuniar. Pada waktu ibunya masih hidup, ayah Yuniar selalu dominan sebagai pemimpin di rumahnya. Tapi setelah ibunya meninggal dan ayahnya kawin lagi, keadaan menjadi sebaliknya. Ibu tirinya yang kelihatan berkuasa di rumahnya. Dalam hal apa pun ayahnya selalu mengalah.

Semua itu diamati oleh Yuniar sejak kecil sampai dewasa.

“Mungkin hal itulah yang membuatku jarang tersenyum, apalagi ketawa,” ucap Yuniar di akhir penuturannya. “Tapi sejak saat ini aku akan berusaha berubah, karena aku sudah jadi milikmu… cowok yang kudambakan sejak semester pertama waktu masih kuliah dahulu.”

“Apakah kamu merasa bahagia setelah menjadi milikku sekarang.” tanyaku sambil mendekap pinggang Yuniar.

“Sangat bahagia. Nih lihat… apa yang Bona inginkan sudah kulakukan,” kata Yuniar sambil melepaskan celana pendeknya. Lalu berlutut di lantai sambil melepaskan celana dalamnya.

‘Sudah bersih sekarang kan?” Yuniar menatapku dengan senyum manis. Sementara aku terlongong setelah memperhatikan memeknya yang sudah bersih dari jembut. Bersih sekali.

“Hahahaaaa… “aku tergelak - gelak ketawa, sambil mendekap pinggangnya. Lalu mengangkatnya ke atas bed.

“Kalau sudah bersih begini, enak jilatinnya,” kataku sambil mengusap - usap memek Yuniar yang sudah bersih plontos itu. “Tapi aku mau mandi dulu ya. Kamu sudah mandi?”

“Sudah dari tadi, begitu bangun langsung mandi. Ohya… itu ada toaster dan rotinya juga. Mau dibikinin roti bakar buat sarapan?”

“Boleh,” sahutku, “tapi yang terpenting harus ada kopi. Kopi hitam aja, jangan pakai apa - apa lagi.”

“Gula sih pakai kali ya?”

“Jangan. Aku senang kopi pahit Sayang.”

“Mmmm… bahagianya hatiku kalau sudah dipanggil sayang sama kamu Bon… “Yuniar memejamkan matanya sambil mengelus - elus telapak tanganku.

“Ya udah aku mau mandi dulu ya,” ucapku sambil turun dari bed.

“Iya, aku mau nyiapkan sarapan buat pangeranku,” sahut Yuniar sambil turun dari bed juga.

Sementara aku langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Pada waktu sedang mandi, aku memikirkan masalah Yuniar itu. Sebenarnya dia sudah memenuhi kriteriaku untuk menjadi calon istriku. Terlebih lagi kalau aku mengingat pepatah, “Carilah pasangan yang mencintaimu, jangan hanya sekadar yang kamu cintai…”

Dan aku percaya bahwa Yuniar sangat mencintaiku. Tapi aku tak mau terburu - buru. Aku belum tahu karakter dia yang sebenarnya. Latar belakang keluarganya pun harus kuselidik dahulu lebih jauh. Karena sekalinya aku melangkah maju, pantang untuk surut lagi ke balakang.

Selesai mandi dan berpakaian casual, aku duduk di atas sofa ruang keluarga. Karena roti bakar keju dan secangkir kopi panas sudah dihidangkan di situ.

Tak lama kemudian Yuniar pun muncul dan duduk merapat ke samping kiriku, dengan senyum manis di bibir sensualnya lagi. Mungkin dia sedang melatih untuk tersenyum terus manakala berdekatan denganku.

Lalu ia merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku, sambil berkata setengah berbisik, “Abis sarapan, main lagi ya.”

“Main apa? Pengen dientot lagi?” tanyaku sambil menggelitik pinggangnya.

“Iya. Kan jembutku sudah dicukur abis. Harus dicobain apa bedanya berjembut dengan tidak.”

“Buatku sih yang berjembut dan yang botak punya kelebihan masing - masing. Jadi… sama aja enaknya.”

“Pasti ada bedanya lah.”

“Mmm… kalau digundulin, memang enak ngejilatinnya. Kalau gondrong kan bisa ada jembut bisa nyangkut di gigi.”

“Hihihiiii… pengen nyobain kayak apa sih memek dijilatin…”

“Dahulu orang bule banyak yang pelihara anjing, lalu dilatih untuk menjilati memek majikannya. Tapi sekarang manusia yang jilatin memek,” kataku sambil menarik pinggang Yuniar, agar dia duduk di atas kedua pahaku.

Setelah Yun duduk di atas pangkuan, tanganku langsung menyelinap ke balik celana pendeknya yang longgar dan… langsung menyentuh memeknya yang baru habis dicukur itu.

“Bekas kemaren sore, sakit nggak?” tanyaku.

“Nggak, “Yuniar menggeleng.

“Hebat. Kamu memang bukan cewek cengeng.”

Lalu aku bangkit sambil membopong tubuh Yuniar, menuju ke dalam kamar.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu