3 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

Setelah Mbak Lidya selesai mandi, kami sepakat untuk melanjutkan semuanya ini di luar kamar mandi. Tepatnya di atas sebuah sofa putih.

Di situlah kami habis - habisan melakukannya. Melakukan persetubuhan threesome FFM, yang membuat keringat kami bercucuran kembali.

Namun kami sangat bergairah melakukannya, terutama diriku.

Ya, aku tak usah munafik, bahwa semuanya ini indah sekali. Sebagai pengalaman pertamaku berthreesome.

Nikmat sekali. Karena dengan seenaknya aku bisa mengentot Mbak Rina, lalu kupindahkan kontolku ke dalam liang memek Mbak Lidya. Benamkan lagi ke dalam liang memek Mbak Rina dan begitu seterusnya.

Lewat tengah malam barulah kami tertidur nyenyak.

Dan keesokan harinya aku bisa menghadiri wisudaku secara normal, meski badanku terasa lunglai.

Yang paling menyenangkan adalah, aku lulus dengan cumlaude. Membuat kedua kakakku ikut bangga.

Sepulangnya dari gedung yang digunakan untuk upacara wisuda itu, kutraktir kedua kakakku makan di sebuah restoran yang paling kusukai di Tugu Kidul.

Pada saat sedang makan itulah handphoneku berdering. Ketika kulihat di layar ponselku, ternyata Mbak Artini yang nelepon.

Agar leluasa, aku menerima call dari Mbak Artini itu di tempat yang sepi, agak jauh dari kedua kakakku. Lalu :

“Ya Mbak…”

“Maaf kalau mengganggu ya. Acara wisudanya udah selesai belum?”

“Sudah selesai Mbak. Ini lagi makan siang bersama kedua kakakku.”

“Aduh gimana ya… jadi kurang enak nyampaikannya.”

“Ada apa Mbak?”

“Barusan ada telepon dari Mbak Lies. Dia ingin Bona datang hari ini juga ke tempatnya. Karena dia sudah cukup lama menunggu. Jadi kalau serius, dia minta hari ini juga Bona datang ke rumahnya.”

“Diantar sama Mbak kan?”

“Tentu aja.”

“Pakai motor aja ya Mbak.”

“Memang sebaiknya pakai motor. Kalau pakai mobil, jalannya jadi mutar jauh.”

“Oke Mbak. Selesai makan siang, aku akan secepatnya pulang.”

“Terus kedua kakakmu gimana tuh?”

“Biarin aja. Mudah - mudahan mereka mengerti. Karena ini kan masalah pekerjaan yang menentukan masa depanku.”

“Ya syukurlah kalau gitu. Aku mau dandan dulu sambil menunggu Bona pulang.”

“Iya Mbak, silakan.”

Kemudian aku menghampiri kedua kakakku yang sudah selesai makan.

“Aku harus ke luar kota sekarang juga, “laporku.

“Lho ada urusan apa?” tanya Mbak Lidya.

“Urusan pekerjaan. Calon bossku minta ketemu hari ini juga.”

“Apa gak bisa besok lagi? Kamu kan masih capek gitu Bon,” kata Mbak Rina.

“Kalau hari ini aku tidak datang, aku bakal dicoret dari daftar pelamar. Calon bossku sudah menunggu sejak berbulan - bulan yang lalu. Dia akan menempatkanku di perusahaannya setelah diwisuda. Rupanya beliau gak sabar lagi, karena sudah lama menunggu, sejak aku belum bikin skripsi.”

“Ya udah,” kata Mbak Rina, “Karena menyangkut masa depanmu, dahulukan aja urusan kerjamu.”

“Terus kamu mau langsung tinggal di luar kota?” tanya Mbak Lidya.

“Belum tau Mbak. Siapa tau aku bakal ditempatkan di Jabar, bisa dekat nanti sama Mbak Rina dan Mbak Lidya.”

“Ya udah kalau gitu. Makanan ini biar aku yang bayar,” kata Mbak Rina.

“Sudah dibayar sama aku tadi Mbak. Mmm… Mbak Rina dan Mbak Lidya bisa pulang sendiri ke hotel kan?”

“Bisa dong. Kita kan lahir besar di Jogja. Masa gak hafal jalan di sini?”

Begitulah. Akhirnya aku berpisah dengan Mbak Rina dan Mbak Lidya.

Aku pulang ke rumah kos dengan taksi, sementara Mbak Rina dan Mbak Lidya entah mau terus ke mana. Mungkin juga mereka pulang ke hotel, untuk beristirahat setelah kugauli habis - habisan tadi malam.

Mbak Artini menyambutku dengan pelukan dan ciuman mesranya. “Selamat ya atas sudah diwisudanya kekasihku tersayang…” bisiknya.

“Terima kasih Mbak. Ternyata Mbak sudah dandan secantik ini…” sahutku sambil menepuk bokong Mbak Artini yang gede itu, yang selalu mengundang gairahku belakangan ini.

“Aku berdandan untukmu Sayang. Bukan untuk orang lain.”

“Tapi kalau aku ditempatkan di daerah yang jauh dari Jogja gimana? Kita bisa sulit berjumpa dong.”

“Tapi kan ada hari - hari liburnya. Biarin aku yang datang nanti, setelah ditentukan di mana tempat untuk ketemuannya. Ayo kita langsung berangkat aja. Biar hati Mbak Lies tenang.”

“Tanah kakak Mbak itu luas?”

“Bukan luas lagi. Di Jateng, Jabar dan Jatim juga ada. Almarhum suaminya kan tuan tanah.”

“Owh… jadi dia itu janda?”

“Iya. Sama seperti aku. Tapi nasibnya sangat baik. Menikah dengan duda tajir melintir yang sangat mencintainya, meski usianya sudah tua. Setelah suaminya meninggal, tanahnya yang di sana - sini itu jadi milik Mbak Lies.”

“Umur berapa Bu Lies itu?”

“Sepuluh tahun lebih tua dariku.”

“Kok jauh gitu ya beda kakak sama adik?”

“Dia kan kakak sulungku. Dari dia ke aku ada dua orang kakakku.”

“Dari Mbak ke bawah, ada adik?”

“Ada, cuma seorang. Sekarang tinggal di Kalimantan, dengan suaminya. Saudara - saudaraku perempuan semua Bon. Ohya… bawa sekalian pakaianmu Sayang. Siapa tau Mbak Lies nyuruh kamu langsung tinggal di tempatnya.”

“Iya Mbak. Kebetulan aku sjudah menyimpan beberapa stel pakaian dalam ranselku.”

Beberapa saat kemudian Mbak Artini yang mengenakan celana jeans dan baju kaus ditutupi oleh mantel tebal, sudah duduk di belakangku, di atas motor gede kesayanganku yang sudah kupacu menuju ke luar kota. Di atas boncengan motor gedeku ini, Mbak Artini selalu mendekap pinggangku erat - erat, seolah takut jatuh, seolah tak mau berpisah lagi denganku.

Dengan petunjuk dari Mbak Artini, kukemudikan motorku melewati jalan alternatif yang belum diaspal. Tapi menurut Mbak Artini, lewat jalan tikus itulah kami akan cepat sampai. Karena kalau melewati jalan aspal, memutarnya jauh sekali.

Lewat jalan alternatif itu pun, setelah melewati hutan belantara dan pesawahan, tiga jam kami baru tiba di depan rumah calon bossku itu.

Di depan rumah calon bossku itu aku tertegun. Gila, rumah ini di daerah pedesaan. Tapi megahnya luar biasa. Terdiri dari tiga lantai, dengan gaya minimalis.

Memang di zaman sekarang segala hal bisa menyebar sampai ke daerah terpencil sekali pun. Baik budaya, mode, mau pun segala hal yang sedang ngetrend di kota, bisa dengan cepat mengalir ke daerah pinggiran. Terbukti dengan gadis - gadis yang tinggal di kampung ini, kelihatan sudah mengikuti mode zaman now.

Dan rumah calon bossku itu, bukan sekadar besar dan megah, tapi modelnya pun sudah mengikuti perkembangan zaman now. Model minimalis yang tampak sangat kokoh. Dijaga oleh beberapa orang satpam pula.

Pada saat itu kebetulan pintu garasi sedang terbuka, sehingga aku bisa melihat beberapa mobil mahal tersimpan di dalam garasi itu. Bukan hanya satu mobil.

Mbak Artini langsung membawaku ke dalam rumah yang luar biasa megahnya itu.

Lalu memintaku untuk duduk menunggu di ruang tamu dengan furniture serba kekinian ini.

Tak lama kemudian, Mbak Artini muncul, bersama seorang wanita yang usianya kira - kira sebaya dengan Mama. Dan… maaaak… wanita itu tinggi montok… lebih montok daripada Mbak Artini…!

Tapi kuakui bahwa wanita itu berparas cantik, berkulit putih bersih pula. Sementara rambutnya… inilah salah satu tanda bahwa segala jenis model sudah merambah ke pelosok tanah air. Ya, rambut Bu Lies itu dicat jadi kecoklatan (brunette). Tapi beliau tampak pantas saja kelihatannya. Mungkin pada suatu saat aku pun akan menyuruh Mama agar mengecat rambutnya seperti Bu Lies ini.

Wanita itu menatapku dengan sorot tajam, seperti sedang menilai diriku. Tapi aku bersikap biasa - biasa saja. Aku berdiri sambil mengangguk sopan.

“Ini Mbak Lies yang sering kuceritakan itu Bon.”

Dengan agak gugup aku berkata, “Iya… perkenankan saya memperkenalkan diri… nama…”

Belum selesai aku bicara, calon bossku itu memotong, “Namamu Bona kan?”

“Hehe… betul Bu,” sahutku sambil menjabat tangan wanita montok semok itu.

“Jadi gimana wisudanya tadi? Tinggi nilainya?” tanya wanita bernama Lies itu sambil duduk di sofa.

“Alhamdulillah, saya lulus dengan cumlaude Bu,” sahutku.

“Syukurlah. Aku memang butuh insinyur pertanian yang cerdas. Bukan sekadar asal lulus,” ucap Bu Lies.

“Iya Bu.”

Lalu Bu Lies menjelaskan tentang arah agro bisnisnya secara panjang lebar. Dia bukan sekadar tuan tanah biasa, tapi juga bergerak di bidang agro bisnis. Dia menampung sayur - sayuran dan buah - buahan untuk dikirim ke Jakarta.

Tapi tugas utamaku adalah mengelola lahan yang tidak produktif, agar jadi lahan yang menghasilkan.

“Besok pagi deh kita survey lahan - lahan yang tidak produktif itu. Sekarang sudah hampir malam. Ohya… kamar paling depan itu bisa dijadikan kamarmu Bon,” kata Bu Lies.

“Tapi aku mau langsung pulang ke Jogja lagi sekarang Mbak,” ucap Mbak Artini menyela.

Bu Lies menoleh ke arah adiknya, “Minta anter aja sama Pak Karto tuh. Bona takkan bisa ngantger kamu pulang kan?”

“Iya, gakpapa. Minta anter sama Pak Karto aja,” sahut Mbak Artini.

“Kemaren aku transfer ke rekening tabunganmu. Udah diterima kan?”

“Sudah Mbak. Terima kasih ya mbakyuku yang cantik,” sahut Mbak Artini sambil mengecup pipi Bu Lies.

Kemudian Mbak Artini berdiri dan melangkah ke pintu depan. Kulihat di luar ia berbicara dengan seorang lelaki tua. Mungkin itu sopirnya Bu Lies yang bernama Karto itu.

Sesaat berikutnya Mbak Artini kembali ke ruang tamu dan berkata padaku, “Gak apa - apa kan ditinggal sendirian di sini? Aku mau pulang ke Jogja.”

“Iya Mbak. Silakan.”

Mbak Artini menghampiri Bu Lies sambil berkata, “Aku pulang dulu ya Mbak.”

“Iya. Terima kasih sudahnganterin Bona ke sini Ar.”

“Sama - sama Mbak,” sahut Mbak Artini yang lalu cipika - cipiki dengan Bu Lies.

“Jaga diri baik - baik ya Ar,” ucap Bu Lies sambil mengusap - usap rambut Mbak Artini.

Kemudian Mbak Artini melambaikan tangannya ke arahku, “Kalau lagi libur, main ke Jogja ya Bon.”

“Iya Mbak.”

Setelah Mbak Artini berlalu, diantarkan oleh mobil dan sopir Bu Lies, aku masih duduk di ruang tamu sambil menunggu Bu Lies yang masih berdiri di teras depan. Sebenarnya aku ingin mengantarkan Mbak Artini sampai di teras depan. Tapi aku takut kalau hubungan rahasiaku dengan Mbak Artini tercium oleh Bu Lies.

Tak lama kemudian Bu Lies masuk lagi ke ruang tamu sambil berkata, “Ini kamar yang bisa dijadikan kamarmu Bon. Coba ikut sini.”

Spontan aku berdiri sambil menjinjing ranselku, mengikuti Bu Lies yang sudah membuka pintu yang paling depan di rumah megah ini.

Ternyata kamar yang disediakan untukku besar sekali. Ada ruang kerja yang dibatasi oleh partisi kaca blur, ada kamar mandi tersendiri pula.

Yang membuatku agak heran, ada pintu lift segala. Untuk apa lift menuju kamar ini?

Sebelum aku bertanya, Bu Lies menjelaskan: “Nah inilah kamarmu Bon. Ada ruang kerjanya yang dilengkapi oleh komputer dan jaringan internet. Karena kita harus memantau kegiatan di lapangan, baik yang di Jateng, Jabar, Jatim dan juga kegiatan di Jakarta.”

“Iya Bu.”

“Ohya, itu ada pintu lift, langsung menuju kamarku di lantai tiga. Jadi kalau aku mau turun atau naik dan sedang malas pakai tangga, aku pakai lift itu. Nanti kalau kegiatanmu sudah banyak, kalau sekali - sekali ada sesuatu yang emergency, kamu boleh pakai lift itu dan langsung menuju kamarku. Kamu juga jangan kaget kalau tiba - tiba aku muncul di kamar ini.

“Siap Bu.”

“Masalah tugas - tugas dan gajimu, nanti aja kita bahas sambil makan malam ya.”

“Siap Bu.”

“Sekarang mandilah dulu. Peralatan mandi tersedia lengkap di kamar mandi itu. Nanti kalau sudah mandi, kutunggu di ruang makan ya Bon.”

“Iya Bu. Memang badan saya penuh debu bekas di perjalanan menuju ke sini tadi. Jadi perlu mandi dulu. Hehehee…”

“Mandilah. Selesai mandi ditunggu di ruang makan ya Bon.”

“Siap Bu.”

Bu Lies keluar dari kamar yang sudah menjadi kamarku ini. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

Aku memang lupa membawa peralatan mandi, handuk pun tidak bawa. Tapi untunglah semua peralatan mandi tersedia di kamar mandi, semuanya masih baru. Handuk, sabun cair, shampoo, odol dan sikat gigi masih baru semua.

Aku pun buru - buru mandi sebersih mungkin.

Setelah mandi dan mengganti pakaianku dengan pakaian bersih yang kubekal dari rumah kos, aku pun keluar dari kamar. Agak celingukan, karena banyak lorong, sehingga aku tidak tahu harus ke mana untuk menuju ruang makan.

Untung ada pembantu menghampiriku. Langsung kutanya, “Ruang makan di sebelah mana Mbak?”

“Oh… ke sebelah sana Den,” sahutnya sambikl menunjuk ke arah lorong yang di paling kanan.

Aku pun melangkah ke lorong yang ditunjukkan itu.

Sampai mentok di ruang makan yang besar ruangannya, serba modern pula furniture dan peralatannya.

Rupanya Bu Lies sengaja ingin ditemani makan malam di ruang makan yang super mewah itu.

Pada saat makan itu pula Bu Lies membahas tugas - tugasku dan juga besarnya gaji yang akan kuterima. Nominal gaji yang akan kuterima sangat mengejutkan. Karena menurutku besar sekali. Tapi dengan tenang Bu Lies berkata, “Pokoknya nanti jangan terlalu hitungan dengan tenaga dan pikiran. Karena aku pun tak menghitung - hitung gaji dan penghasilan tambahan untukmu nanti Bon.

“Siap Bu.”

“Pokoknya kalau prestasi kerjamu bagus, aku akan mengangkatmu sebagai tangan kananku.”

“Siap Bu.”

“Jangan terlalu kaku lah. Gak usah manggil boss padaku, jangan pula bilang siap - siap. Karena kita bukan militer, polisi juga bukan. Kamu juga gak usah membahasakan diri saya - sayaan. Larena kata saya itu berasal dari sahaya alias budak. Hamba sahaya itu kan budak. Kamu bukan budak. Pakai kata aku saja, biar lebih akrab kedengarannya ya.

“Siap… eh… iya Bu.”

“Nah sekarang istirahatlah sepuasnya. Karena besok pagi kita akan berjalan menaiki beberapa bukit kepunyaanku.”

“Iya Bu. Terima kasih,” sahutku sambil berdiri, “Selamat malam.”

“Malam,” sahut Bu Lies.

Keesokan paginya, ketika matahari baru saja terbit, Bu Lies sudah menungguku di luar kamarku. Sengaja aku mengenakan sweater biru tuaku, karena kuperkirakan udara di puncak bukit itu bakal dingin. Yang membuatku heran, Bu Lies menutupi seluruh badannya dengan selimut yang tidak tebal.

“Nah bagus kamu pakai sweater begitu. Di puncak bukit itu dingin hawanya.”

“Ibu pakai selimut begitu supaya gak kedinginan?”

“Iya. Kalau udaranya gak dingin, selimutnya bisa dipakai buat duduk - duduk di puncak bukit nanti.”

“Kita mau jalan kaki ke bukit itu Bu?”

“Iya. Itu bukitnya, dari sini juga kelihatan jelas,” kata Bu Lies sambil menunjuk ke bukit yang menjulang tinggi di belakang rumahnya.

“Oh, iya… iyaaa… kirain jauh,” sahutku sambil mengikuti Bu Lies yang sudah melangkah ke belakang rumah megahnya.

“Ini sekalian olahraga Bon,” kata Bu Lies di depanku, “Apalagi badanku montok begini. Kalau malas olahraga bisa gendut dan obesitas nanti.”

“Iya Bu.”

Lewat jalan setapak kami mulai menuju bukit itu. Tampaknya luas dan tinggi sekali bukit itu. Tapi dengan senang hati aku mengikuti langkah Bu Lies dari belakangnya.

Setelah tiba di lereng bukit itu, jalan yang harus kami tempuh makin lama makin menanjak. Tapi Bu Lies tidak kelihatan capek. Bahkan pada suatu saat ia melemparkan selimutnya padaku sambil berkata, “Tolong pegangin aja selimutnya Bon. Kayaknya udara sedang tidak terlalu dingin.”

Kutangkap selimut itu. Kulipat dan lalu kugantungkan di bahuku, seperti sedang memakai selendang.

Tapi ketika perhatianku tertuju ke arah Bu Lies… wow… Bu Lies memang memakai sweater juga seperti aku. Tapi bawahannya itu… rok mini yang benar - benar mini… sementara aku berjalan di belakangnya di jalan setapak yang mendaki pula. Ini membuat pemandangan yang luar biasa. Karena terkadang rok mininya itu ditiup angin, sehingga bokong gedenya terbuka penuh, celana dalamnya pun kelihatan jelas.

“Bon… kamu tau Artini pernah dijodohkan dengan seorang cowok, tapi ternyata cowok itu gay?”

“Iiii… iya Bu. Beliau pernah menceritakan soal itu.”

“Kasian adikku itu. STatusnya janda. Padahal masih perawan.”

“Begitu ya Bu?”

“Kamu normal Bon?”

“Maksud Ibu normal apanya?”

“Suka sama cewek, bukan sama sejenis?”

“Owh… iya Bu. Saya… eh… aku normal seratus persen Bu.”

Tiba - tiba Bu Lies mengangkat rok mininya, sehingga bokong dan celana dalamnya terbuka sepenuhnya. “Ayo jawab yang jujur. Kalau melihat pantat begini, kamu nafsu gak?”

“Iii… Ibu sangat seksi… tentu saja aku tergiur Bu… tapi maaf, aku takut disebut lancang dan kurang ajar nanti.”

“Kamu punya pacar nggak?”

“Nggak punya Bu.”

“Masa cowok seganteng kamu gak punya pacar? Jangan - jangan kamu gay juga ya?”

“Amit - amit, aku normal Bu. Hanya saja aku ingin menyelesaikan kuliah dulu, baru kemudian mikirin soal cewek.”

“Masa sih? Terus kamu bisa tergiur melihat pantatku… kok bisa? Aku kan sudah tua. Sedangkan kamu baru duapuluhtiga menuju duapuluhempat tahun kan?”

“Anu Bu… boleh jujur gak?”

“Iya. Harus jujur ngomongnya.”

“Aku ini pengagum wanita setengah baya.”

“Terus… sekarang kontolmu ngaceng nggak?” tanya Bu Lies sambil menghentikan langkahnya.

“Iiii… iya Bu… nga… ngaceng.”

“Coba lihat… sengaceng apa kontolmu.”

Meski ragu - ragu, kulaksanakan juga perintah Bu Lies itu. Kuturunkan ritsleting celana jeansku, lalu kupelorotkan celana jeans berikut celana dalamku, sehingga kontol ngacengku tersembul seperti sedang menunjuk ke arah Bu Lies.

“Woooow! Kontolmu segede dan sepanjang ini Bon?! “seru Bu Lies sambil memegang kontolku yang memang sudah ngaceng ini.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu