3 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

Bab 12

Sebenarnya aku merasa letih juga. Habis nyetir dari pinggiran Solo ke Banjar. Lalu bersetubuh di hotel dan di lokasi tanah Mamie sekali lagi. Tapi aku merasa kasihan juga kalau melepaskan Charlita begitu saja tanpa diantarkan ke rumahnya. Terlebih menurut keterangan Charlita, rumahnya hanya sekitar tigapuluh kilometer dari lokasi lahan yang akan digarap dan dipimpin olehnya itu.

Maka kuantarkan juga Charlita ke rumahnya yang memang tidak jauh dari lokasi lahan yang akan dipimpinnya itu.

Dengan kecepatan nyantai, tidak sampai sejam mobilku sudah tiba di depan sebuah rumah mungil, ketika hari sudah mulai gelap.

“Itulah rumahku,” kata Charlita sebelum turun dari mobilku, “Ayo masuk dulu Bon… sekalian kukenalkan pada mamaku. Mau nginep di rumahku juga boleh. Tapi beginilah keadaannya… rumah kecil yang sudah tua pula.”

Aku pun turun dari mobil, mengikuti langkah Charlita menuju teras depan rumahnya, lalu masuk ke dalam.

Seorang wanita setengah baya muncul di ruang tamu.

“Boss… ini Mama,” kata Charlita sambil memegang pinggang ibunya.

“Ini yang Tata bilang teman kuliah yang sekarang jadi boss Tata?” tanya wanita itu sebelum berjabatan tangan denganku.

“Hehehe… nama saya Bona Bu,” ucapku pada waktu berjabatan tangan dengan wanita yang tampak lebih muda daripada Mamie itu, tapi masih kelihatan cantik sekali. Kenapa kecantikannya tidak menurun kepada Charlita ya? Charlita bisa disebut manis, tapi tidak secantik ibunya.

“Hermin…” kata wanita itu waktu berjabatan tangan denganku, “Silakan duduk Nak Bona.”

Aku pun duduk di sofa ruang tamu.

Bu Hermin menoleh kepada Charlita dan berkata, “Tata… tadi ada Yeni ke sini. Dia bilang kalau kamu sudah datang, ditunggu di rumahnya. Penting sekali, katanya.”

“Ohya?! Kalau begitu aku mau ke rumahnya sebentar. Bisa nunggu sebentar di sini?” tanya Charlita padaku.

“Oke, “aku mengangguk.

Charlita masuk ke dalam. Dan keluar lagi sudah mengenakan daster batik. Lalu melangkah keluar dari pintu depan.

“Yeni itu sahabat karib Tata. Dia mau menikah minggu depan. Mungkin ingin dibantu oleh Tata untuk mengurus pernikahannya,” kata Bu Hermin setelah Charlita berlalu.

“Ogitu ya…”

“Tinggalnya di Jogja?”

“Saya tinggal di daerah Solo. Tapi dari Solo juga masih jauh lagi ke utara Bu. Di pedesaan sih.”

“Di pedesaan kalau sudah tajir sih gakpapa. Mmm… sebenarnya lusa mama juga mau ke Jogja,” kata Bu Hermin membahasakan dirinya “mama”.

Dan entah kenapa… diam - diam aku mengagumi ibunya Charlita itu yang begitu cantik, meski usianya tidak muda lagi.

“Ada urusan apa ke Jogja Bu?” tanyaku, tetap memanggil “Bu” padanya.

“Mau belanja. Kan mama suka masukkan pakaian ke pasar dan toko - toko di sini. Belanjanya dari Jogja.”

“O begitu. Di Jogja belanja di mana?”

“Ah, di pasar Beringharjo aja.”

“Padahal saya tau pabrik yang memproduksi pakaian di Jogja. Di situ juga bisa beli secara kodian. Saya yakin harganya lebih murah daripada di pasar.”

“Tapi mama gak tau alamatnya. Lagian mama kalau ke Jogja cuma tau Malioboro dan pasar Beringharjo aja.”

“Kalau gitu biar saya antar aja nanti. Ibu bisa telepon saya kalau sudah tiba di Jogja. Nanti saya jemput Ibu di terminal atau di stasiun kereta api. Gimana?”

“Ngerepotin nggak?”

“Nggak Bu. Saya nyantai kok orangnya. Kita tukaran nomor hape aja sekarang.”

“Boleh… kini nomor mama,” kata Bu Hermin sambil menyebutkan nomor hapenya.

Lalu nomor itu ku-misscall dari hapeku sambil berkata, “Itu nomor saya Bu.”

“Terima kasih sebelumnya ya. Tap;I jangan ngomong - ngomong sama Tata. Takut dia marah karena mama mau ngerepotin bossnya.”

“Iya Bu. Tenang aja Bu. Ohya… nanti di Jogja mau nginep?”

“Tergantung kebutuhannya.. mama kadang suka nginep di Jogja, kadang pulang hari.”

“Kalau nginep di mana?”

“Di losmen yang murah aja, asalkan nggak jauh dari Malioboro.”

“Lusa kalau mau nginep, Ibu akan saya tempatkan di hotel yang bagus dan dekat Malioboro juga.”

“Tuh jadi tambah ngerepotin lagi. Mama gak enak hati jadinya.”

“Nggak ngerepotin Bu. Saya punya jatah hotel gratis. Daripada jatahnya nggak dipakai, kan mendingan digunakan untuk menyamankan hati Ibu,” kataku berbohong. Mana ada hotel mau ngasih gratis padaku yang bukan pejabat ini?

“Panggil mama aja deh. Jangan ibu - ibuan. Nak Bona kan teman Charlita, jadi wajar kalau manggil mama.”

Lalu kami ngbrol. Tentang ayah Charlita yang sudah meninggal lima tahun yang lalu. Tentang kehidupan Mama Hermin yang terpaksa harus nyari duit sendiri semenjak suaminya meninggal.

Banyak lagi yang kami obrolkan. Kami pun bersepakat, bahwa lusa akan berjumpa di Jogja dan akan merahasiakannya kepada Charlita.

Tak lama kemudian Charlita pulang. Laporan kepada ibunya bahwa pada hari Minggu mendatang dia harus jadi penerima tamu di nikahan teman karibnya.

Aku pun pamitan pulang, karena hari sudah semakin malam.

Anehnya, di sepanjang jalan menuju rumah Mamie, terawanganku digelayuti oleh bayang - bayang Mama Hermin terus.

Di mataku, Mama Hermin itu luar biasa cantiknya. Bahkan dibandingkan dengan Charlita pun Mama Hermin jauh lebih cantik. Padahal Charlita jauh lebih muda. Tapi kenapa sosok Mama Hermin jauh lebih menarik bagiku?

Apakah aku ini penggila wanita STW?

Tapi tidak semua wanita STW kugilai. Dan khusus tentang mama Hermin yang tinggi langsing dan berkulit putih mulus itu… memang mengugahkan birahiku.

Lalu bisakah aku memilikinya?

Entahlah.

Yang jelas di belakang setir aku membayangkan Mama Hermin terus. Begitu cantik dan seksinya Mama Hermin di mataku. Tapi mungkinkah aku bisa mendapatkannya?

Entahlah. tadi aku merasa masih gelap. Karena tidak melihat gejala - gejala “khusus” selain keramahan dan murah senyumnya. Dan sikap itu mungkin karena ingin supel saja di mataku sebagai teman anaknya.

Setibanya di rumah, hari sudah lewat tengah malam. Karena itu aku masuk ke dalam kamarku dan langsung tidur nyenyak. Namun gilanya… di dalam tidurku datang mimpi gila itu. Mimpi menyetubuhi Mama Hermin… sehingga waktu bangun paginya, kudapati celanaku basah…!

Usiaku sudah hampir 24 tahun, masih mimpi begituan?!

Selesai sarapan pagi, aku langsung on the road lagi, menuju Jogja. Untuk membeli segala jenis furniture dan perabotan rumah selengkap mungkin. Untuk mengisi rumah baru yang sudah kubayar di perumahan elit itu. Semuanya akan dikirim pagi itu juga ke alamat rumah yang akan dihuni oleh Tante Tari dan Tante Artini itu.

Setelah semuanya dikirim dan dipasang oleh tukangnya masing - masing, aku memikirkannya beberapa saat. Mengingat - ingat apakah masih ada yang kurang?

Setelah merasa sudah lengkap, aku pulang ke rumah Mamie ketika hari sudah jam enam sore. Dan tiba di rumah Mamie jam sembilan malam, karena mampir dulu ke toko peralatan komputer.

Langsung aku laporan kepada Tante Tari. Bahwa rumah itu sudah lengkap perabotannya, termasuk perabotan kitchennya.

“Kalau mau dilihat sekarang aja, karena kalau besok aku akan sibuk seharian mengurus lahan Mamie yang di dekat perbatasan Jabar - Jateng itu.”

“Biar menyenangkan semuanya, tunggu sampai kesibuikanmu reda aja Sayang,” sahut Tante Tari sambil mencium pipiku, “aku gak keburu - buru kok. Di sini malah terasa nyaman bisa kumpul sama saudara - saudara.”

Maka malam itu aku istirahat lagi sepuasnya. Tanpa sex sama sekali. Karena besok pagi aku harus berangkat ke Jogja lagi, untuk menjemput Mama Hermin… kalau dia jadi berangkat ke Jogja.

Agar tidak kesal menunggu call dari Mama Hermin, aku stand by di rumah Tante Tari itu. Rumah yang Tante Tari sendiri belum melihatnya. Dan dibeli atas namaku, seperti yang Tante Tari inginkan.

Dalam masalah duit, mungkin aku kini tergolong sangat jujur. Tak pernah mengganggu hak orang lain. Tapi dalam masalah perempuan, mungkin aku ini termasuk kurang jujur.

Kenapa kuakui bahwa dalam masalah perempuan aku ini kurang jujur?

Karena ketika stand by di rumah Tante Tari itu, terlintas di dalam pikiranku untuk membawa Mama Hermin ke sini. Tanpa harus cek in di hotel segala.

Tapi setelah dipikir - pikir, nantinya malah merepotkanku sendiri. Karena aku harus melenyapkan segala “jejak” Mama Hermin sebelum Tante Tari dibawa ke rumah ini.

Tiba - tiba handphoneku berdering. Ternyata call dari Mama Hermin…!

“Yaaa… selamat pagi Mama…”

“Selamat pagi juga. Sekadar mau laporan, ini mama sudah dekat ke Jogja. Nanti kalau mama nunggu di depan kantor pos aja gimana? Apa gak merepotkan Nak Bona?”

“Iya Mam. Aku akan langsung menuju ke situ sekarang,” sahutku sambil bergegas menghidupkan mesin mobilku dan kupaksakan meluncur menuju kantor pos seperti yang disebut oleh Mama Hermin tadi. Di jalan aku pun menyempatkan diri untuk menghubungi hotel… hotel yang pernah kupakai untuk mengambil keperawanan Mbak Rina dan Mbak Lidya itu.

Tak lama kemudian aku tiba di depan kantor pos.

Ternyata Mama Hermin sudah menungguku dalam pakaian yang aduhai. Celana legging hitam yang ketat dan fullover putih yang ketat ketat juga. Sehingga membuatku terpana sesaat, karena begitu seksinya Mama Hermin di mataku.

Bergegas aku turun dari mobil, untuk membukakan pintu depan kiri. Setelah Mama Hermin duduk di depan kiri, bergegas aku masuk ke belakang setir.

“Agak lama ya nunggu barusan? Maklum jalanan lagi macet,” kataku sambil menjalankan mobilku kembali.

“Gak lama, paling juga sepuluh menitan Nak,” sahut Mama Hermin.

“Panggil namaku langsung aja Ma. Biar lebih akrab.”

“Masa boss anak mama dipanggil nama langsung?”

“Heheheee… jangan mengingat ke sana deh. Sekarang aku mau habiskan waktu khusus untuk Mama. Kalau perlu, sampai besok malam juga boleh.”

“Wah… ngapain lama - lama banget? Rumah nggak ada yang nungguin Nak, eh Bon.”

“Tata sudah berangkat ke Banjar?”

“Sudah, kemaren. Dia kelihatan sangat bersemangat mendapatkan pekerjaan dari Bona itu.”

“Mmm… barusan aku sampai bengong melihat Mama berdiri di depan kantor pos.”

“Kenapa?”

“Mama kelihatan cantik sekali. Kenapa kecantikan Mama tidak menurun ke Charlita ya?”

“Ah… Bona bisa aja. Masa sudah tua dibilang cantik.”

“Aku bicara sejujurnya lho. Kalau dibandingkan dengan Mama, Charlita itu kalah jauh.”

“Tata kan menuruni tampang ayahnya.”

“O, pantesan. Makanya waktu aku sedang berada di rumah Mama, aku mikir… kenapa kecantikan Mama gak nurun pada Charlita ya?”

“Mmm… Bona juga ganteng sekali kok.”

“Berarti nyambung dong. Yang ganteng harus sama yang cantik.”

“Masa sih?! Mama kan udah tua Bon.”

“Boleh aku terus terang?”

“Soal apa?”

“Aku ini pengagum wanita setengah baya seperti Mama ini.”

Tiba - tiba Mama Hermin memegang tangan kiriku sambil berkata, “Yang bener nih. Jangan bikin mama ge - er dong…”

“Aku serius Mama. Nanti di pusat penjualan pakaian itu, silakan Mama ambil semua pakaian yang diperkirakan laku. Aku yang akan bayar semuanya. Hitung - hitung ngasih modal aja sama Mama.”

“Duh duh duuuh… kalau modal sih memang mama kekurangan Bon. Terima kasih sebelumnya ya. Terus setelah belanja di pusatnya itu ke mana mama mau dibawa?”

“Ke hotel bintang lima seperti yang kukatakan di rumah Mama.”

“Terus sekarang mau ke mana?”

“Ke pusat penjualan pakaian yang biasa disebut factory outlet itu Mama.”

Tiba - tiba Mama Hermin mendekatkan mulutnya ke telingaku. Dan berbisik, “Ke hotel aja dulu. Biar mama tenang belanjanya nanti. Kalau perlu, besok pagi aja belanjanya. Supaya mama bisa mikir dulu, jenis apa saja yang sekira laku dijual di kampung mama nanti.”

“Itu lebih baik Mam,” ucapku sambil membelokkan arah mobil menuju hotel bintang lima itu.

“Tapi jangan ngomong apa - apa sama Tata nanti ya Bon.”

“Iya Mam. Soal itu sih dijamin bakal ditutup rapat - rapat kepada siapa pun.”

Tak lama kemudian, aku dan Mama Hermin sudah berada di dalam lift yang mengantarkan kami ke lantai lima. Mama Hermin terus - terusan menatapku dengan senyum manisnya.

Senyum manis itu pun tersungging lagi di bibir sensual Mama Hermin ketika kami sudah berada di dalam kamar yang sudah kubooking.

Lalu kami duduk berdampingan di sofa yang tak jauh dari bed.

“Mama tau gak? Sepulangnya dari rumah Mama… aku sampai mimpiin Mama lho,” kataku sambil memegang tangan Mama.

“Mimpiin apa?”

“Mimpiin begituan sama Mama. Besoknya… celanaku basah. Hihihihiii…”

“Mama akan wujudkan mimpi itu. Karena mama juga kagum berat sama Bona sejak pertama kali melihat boss Tata ini. Tapi mama kan tau diri, usia mama gak muda lagi. Makanya disimpan aja perasaan itu di dalam hati.”

“Jadi Mama sudah membayangkan kalau kita bakal sedekat ini?”

“Ada sih bayangan itu… tapi samar - samar. Karena mama pikir cuma khayalan yang gak tau diri. Masa cowok seganteng dan semuda ini mau sama mama…”

“Yang samar - samar itu sekarang sudah jadi jelas ya Mam,” ucapku sambil melingkarkan lengan di leher Mama Hermin.

Seperti tahu apa yang kuinginkan, Mama Hermin mendekatkan bibirnya ke bibirku, dengan tatapan sepasang mata bening yang indah dari jarak sangat dekat sekali pun. Aku menanggapinya cuma dengan senyum, karena ingin tahu apakah dia seagresif anaknya atau tidak. Ternyata dia memagut bibirku sambil memeluk leherku.

Maka aku pun ingin lebih agresif lagi, karena semuanya ini sudah terbayangkan sejak dua malam yang lalu. Dengan menyelundupkan tanganku ke balik celana legging ketatnya. Mama Hermin reaktif juga. Menyadari aku sulit memasukkan tangan ke balik celana leggingnya, maka celana legging itu pu dipelorotkan sampai ke lututnya, sehingga dengan mudah aku menyelundupkan tanganku ke balik celana dalam putih bersihnya.

Maka dengan penuh gairah kucolek - colek belahan memek yang masih bersembunyi di balik celana dalamnya itu.

Mama Hermin pun memagut dan melumat bibirku lagi, lebih lahap dari sebelumnya. Bahkan pada suatu saat ia berbisik, “Pindah ke atas tempat tidur aja yuk…”

Aku mengangguk dan mengeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. Lalu membantu Mama Hermin melepaskan celana leggingnya. Bahkan aku pula yang melepaskan celana dalam putihnya. Sehingga tampaklah memeknya yang bersih dari jembut itu, seolah menantangku untuk menjilatinya. Tapi aku hanya menciuminya sebentar, karena Mama hermin mau melangkah ke bed.

Di pinggiran bed ia melepaskan fullover dan beha serba putihnya. Sehingga tampaklah sepasang toketnya yang tak kalah gede daripada toket Charlita…!

Apakah semuanya ini terlalu cepat bagiku? Tidak. Aku bahkan pernah punya pengalaman yang lebih cepat lagi dahulu, ketika aku masih tinggal bersama Papa dan Mama angkatku di Jogja. Dengan seorang wanita yang mengantarkan seorang pembantu untuk bekerja di rumah kami. Setelah kuperhatikan, wanita itu memang manis sekali.

Maka kutawarkan jasaku untuk mengantarkannya pulang ke kampungnya di sekitar Jatingaleh Semarang. Wanita itu tampak senang. Lalu nemplok di boncengan motorku. Dan kuantarkan ke arah Semarang. Namun di Ungaran aku mengajaknya untuk mandi air panas mineral. Ia pun setuju. Dan di dalam kamar mandi air panas itu aku langsung bisa mengentotnya…

Jadi aku tidak menganggap Mama Hermin ini terlalu cepat untuk melangkah sejauh ini. Aku malah butuh waktu dua malam untuk mencapai semuanya ini.

Tidak terlalu cepat untuk menanggalkan pakaianku sehelai demi sehelai, tinggal celana dalam saja yang kubiarkan tetap melekat di tubuhku. Lalu merayap ke atas tubuh Mama Hermin yang sudah celentang dalam keadaan sudah telanjang bulat itu.

Mama Hermin pun menyambutku dengan senyum manisnya. Lalu membiarkanku memegang sepasang toket gedenya yang ternyata belum kendor. Masih kenyal dan padat. Tak kalah dengan toket putrinya.

Namun tujuan utamaku dalam foreplay ini adalah ingin menjilati memeknya yang gundul bersih itu. Maka aku pun langsung melorot turun, sampai wajahku berhadapan dengan memek Mama Hermin. Pada saat yang sama Mama Hermin pun merenggangkan sepasang paha putih mulusnya, seolah mengandung ucapan “silakan jilatin memekku sepuasmu”.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu