3 November 2020
Penulis —  Neena

Birahi Liar - Di Dalam Keluarga Kami

**Bab 07

Secara gamblang Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu menceritakan asal - usulku yang sebenarnya. Bahwa ayahku bukan lelaki yang bertanggung jawab. Ketika Bu Lies hamil tua, malah minggat dengan seorang cewek muda belia. Dahulu Bu Lies dan Mama tetangga dekat dan masih sama - sama tinggal di Jogja.

Karena itu Bu Lies menyandarkan hidup kepada Mama. Saat itu Mama memang bukan orang tajir, tapi kehidupannya jauh lebih baik daripada Bu Lies. Maka terjadilah perjanjian, bahwa kalau bayinya sudah lahir akan diberikan kepada Mama. Tapi biaya melahirkan dan makan sehari - hari Bu Lies ditanggung oleh Mama.

Lalu lahirlah bayi itu yang lalu diberi nama Fajar oleh Bu Lies. Mama senang sekali karena belum punya anak laki - laki, Mama meminta agar Fajar tetap disusui oleh Bu Lies. Sementara diam - diam Bu Lies mendaftarkan diri untuk menjadi TKW di Hongkong, yang kata orang - orang gede gajinya itu. Bu Lies pun terbang ke Hongkong yang dibiayai oleh yayasan yang biasa merekrut para TKW untuk bekerja di luar negeri.

Setelah setahun tinggal di Hongkong, Bu Lies berjumpa dengan seorang pengusaha asal Indonesia yang sudah sukses di Hongkong. Kebetulan pengusaha asal Indonesia itu baru ditinggal mati oleh istrinya.

Kebetulan pula Bu Lies di masa mudanya memang cantik. Pengusaha tajir melilit itu pun jatuh cinta kepada Bu Lies.

Tanpa memandang usia yang berbeda jauh, Bu Lies pun menerima lamaran pengusaha itu. Lalu mereka menikah di Hongkong. Dan tetap tinggal di sana dengan status yang berbeda. Bu Lies bukan TKW lagi, melainkan sudah jadi istri seorang pengusaha besar.

Sepuluh tahun kemudian, suami Bu Lies mengajak pulang ke Indonesia, karena usianya sudah tua sekali dan tidak sanggup mengembangkan usahanya lagi di Hongkong. Katakanlah dia sudah ingin pensiun dari dunia bisnis. Namun simpanannya di bank sangat banyak. Tanahnya pun di pulau Jawa banyak. Ada yang di Jabar, Jateng dan Jatim.

Setelah berada di tanah air, suami Bu Lies yang sudah tua renta itu pun jadi sering sakit. Dan akhirnya meninggal dunia lima tahun yang lalu. Atas dasar surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum suami Bu Lies, semua harta dan simpanannya di bank diwariskan kepada Bu Lies semua.

“Begitulah ceritanya,” kata Bu Lies di akhir penuturannya, “Memang setelah berada di tanah air, aku sering ingat pada anakku. Tapi aku ingin jadi orang yang teguh pada perjanjian. Karena pada saat aku memberikan dirimu kepada wanita baik yang jadi Mama angkatmu ini aku sudah menandatangani perjanjian.

Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu menbghela nafas panjang. Lalu melanjutkan, “Untungnya wanita yang kamu panggil Mama ini bijaksana orangnya. Kalau tadi dia tutup mulut, aku takkan menyangka kalau Fajar itu kamu Bon. Aku sangat menghargai kebijaksanaan mamamu ini. Sehingga aku bisa ditertemukan dengan satu - satunya anak kandungku, yakni kamu Bona.

Mama menjawab lirih, “Aku sangat menyayangi Bona laksana sayangnya ibu kepada anak kandungnya. Tapi hubungan darah di antara kalian berdua tak boleh diputuskan begitu saja. Jadi begini saja… Bona tetap manggil Mama padaku, lalu kepada Lies mungkin bagusnya manggil Mamie, supaya tidak tertukar - tukar ya.

“Iya… iyaaa… aku setuju itu,” sahut Bu Lies yang mulai saat ini harus kupanggil Mamie itu.

“Jadi Bona tetap boleh menganggapku mamanya, tapi dia juga haruis menerima bahwa Lies itu mamie kandungnya. Tentang di mana Bona mau tinggal, bebas sajalah. Mau ke rumahku di Subang… pintu rumahku tetap terbuka sampai kapan pun buat Bona. Mau tinggal di sini apalagi, karena dia punya pekerjaan pula di sini kan?

Mamie memegang bahuku sambil bertanya lembut, “Keinginan Bona sendiri bagaimana?”

Spontan kujawab, “Pokoknya aku sayang keduanya, baik kepada Mama mau pun kepada Mamie. Malah semakin menyenangkan karena mulai saat ini aku jadi punya ibu dua orang. Heheheee…”

“Iya… kami berdua sayang kamu Bon,” kata Mamie alias Bu Lies, “Ohya… sekarang Yani mau nginep di sini kan?” Mamie menatap ke arah Mama.

“Sayang sekali… sekarang sih aku gak bisa nginap Lies. Kapan - kapan deh aku sengaja nginap di sini, biar kita bisa ngobrol panjang lebar.”

“Memangnya ke Subang mau naek apa?” tanya Mamie.

“Dari Solo ada bus yang lewat Subang Lies.”

“Mmmm… begini aja,” kata Mamie, “Sekarang anterin Mama ke Subang, ya Bon.”

“Iya Bu, eh Mamie,” sahutku.

“Waduh… dari sini ke Subang itu jauh sekali Lies.”

“Nggak apa - apa. Yang penting Bonanya sanggup kan?” Mamie menoleh padaku.

“Sanggup Mamie.”

“Sebentar… aku mau ngomong dulu sama Bona ya Yan,” kata Mamie.

“Silakan,” sahut Mama.

Lalu Mamie memijat tombol lift sambil memegang pergelangan tanganku. Pintu lift terbuka, aku dan Mamie masuk ke dalamnya. Kemudian lift itu bergerak ke lantai tiga.

Di kamarnya Mamie memegang kedua tanganku sambil berkata, “Ternyata kita ini ibu dan anak kandung Sayang.”

“Iya Mam. Aku kaget sekali mendengar semuanya ini. Sedangkan kita sudah melangkah begitu jauh. Bagaimana ke depannya nanti?”

Mamie ma;lah mencium bibirku. Lalu berkata setengah berbisik, “Takdir juga yang membuat kita harus seperti ini. Biarin aja. Kita lanjutkan aja hubungan rahasia kita. Kamu masih mau melanjutkannya nggak?”

“Mau Mam. Sudah telanjur jauh sih.”

“Bagus. Mamie juga udah telanjur jatuh cinta padamu Sayang. Biarlah kita lanjutkan aja. Tapi awas… Mama jangan sampai tau ya.”

“Iya Mamie.”

“Sekarang antarkan dulu Mama pulang gih. Mumpung masih siang. Pilihlah mobil mana yang mau kamu pakai. Ingat… sekarang semua yang kumiliki adalah milikmu juga, karena kamu satu - satunya anak kandungku.”

“Iya Mam. Tapi Mamie masih bisa hamil kan?”

“Bisalah. Selama belum menopause, berarti perewmpuan itu masih bisa hamil.”

“Lalu kalau Mamie hamil olehku nanti gimana?”

“Justru itu yang mau kubicarakan denganmu. Tapi besok aja setelah kamu pulang dari Subang, kita bicarakan lagi semuanya secara matang yaaa. Mmm… Bona… Bona… ternyata kamu ini anak kandungku… tapi aku telanjur jatuh cinta padamu mmmmmwuaaaaah… “Mamie mencium bibirku. Lalu mengeluarkan dua gepok uang seratusribuan dari brankas.

Diserahkannya uang itu padaku sambil berkata, “Yang seikat kasihkan sama Mama, yang seikat lagi untuk membeli pertamax dan makan di jalan.”

“Iya Mam. Terima kasih. Tapi Mam… masih ada yang kuinginkan,” kataku sambil menyingkapkan daster Mamie, “Pengen megang tempik Mamie dulu ah…”

Mamie melotot, tapi lalu menahan tawanya. Dan dibiarkannya saja kurayapkan tanganku kebvalik celana dalamnya, lalu mengelus - elus tempiknya sebentar.

Kemudian kukeluarkan lagi tanganku dari balik celana dalam Mamie. “Aku pamit dulu ya Mam,” ucapku setelah mencium bibir Mamie dengan kehangatanku.

“Iya… ati - ati di jalan ya Sayang. Gak usah ngebut.”

“Iya Mamie Sayang.”

Kemudian aku dan Mamie masuk ke dalam lift dan turun ke kamarku lagi, di mana Mama masih duduk di sofa kamarku.

“Ayo Mam… sekarang aja pulangnya mumpung masih siang?“tanyaku sambil menyerahkan seikat uang pemberian Mamie, “Ini dari Mamie,” kataku.

“Iiih banyak banget Lies?!”

“Ah ala kadarnya aja Yan. Mohon maaf gak disuguhin makan. Tapi Bona udah dikasih duit tuh buat makan di jalan.”

“Iya, terima kasih ya Lies. Kapan mau maen ke Subang? Aku udah bubar sama suamiku lho.”

“Ohya?! Kenapa?”

“Biasa penyakit laki - laki. Maen gila mulu sama cewek yang jauh lebih muda daripada aku.”

“Begitu ya?! Gak ada mendingnya. Aku pilih yang jauh lebih tua, biar udah kenyang maen perempuan. Tapi ya gitu… gak ditinggal maen gila sama cewek, tapi ditinggal mati Yan.”

“Gak apa - apa. Kita jalanin aja suratan takdir kita masing - masing.”

“Iya, iyaaaa… semoga perjalanannya lancar ya Yan.”

“Iya Lies. Aku pamit ya,” kata Mama sambil cipika - cipiki dengan Mamie.

Beberapa saat kemudian Mama sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan Mamie yang sudah kujalankan menuju Solo, kemudian memutar menuju Jogja.

“Bagaimana perasaanmu sekarangf? Bingung atau gimana?” tanya Mama.

“Malah jadi plong. Karena Mama bukan ibu kandungku. Jadi aku bebas melakukan apa pun dengan Mama sekarang kan?”

“Iya. Hihihiiii… pikiranmu kok malah sama dengan pikiran mama.”

“Berarti Mama juga kangen entotanku lagi kan?”

“Iyaaa… lagi hamil gini mama malah pengen begituan mulu.”

“Kalau gitu kita cek in aja di Jogja… di hotel yang kita pakai dahulu itu Mam. Hitung - hitung nostalgia.”

“Iya. Hotel itu sangat bersejarah bagi kita ya.”

“Mmm… Mbak Weni, Mbak Rina dan Mbak Lidya pada tau gak kalau aku ini bukan anak kandung Mama?”

“Nggak ada yang tau. Kan waktu kamu mama terima dari Mamie, mereka masih kecil - kecil. Weni juga baru berumur tiga tahun. Belum ngerti apa - apa.”

“Kalau sudah terbuka gini, apakah mereka bakal dikasihtau atau nggak?”

“Kasihtau aja. Gak apa - apa. Toh hubunganmu dengan mereka bakal tetap baik.”

“Iya. Aku akan tetap menganggap mereka saudara - saudaraku,” sahutku dengan pikiran melayang - layang. Teringat apa yang sudah kulakukan dengan Mbak Weni, dengan Mbak Rina dan Mbak Lidya.

Sedan built up Jerman yang kukemudikan ini pun meluncur terus ke arah Jogjakarta.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu