2 November 2020
Penulis —  qsanta

Keluarga Maemunah

Hari - hari berlalu hingga kini Munah pun bisa duduk lagi dengan santai. Tiba - tiba Munah mendapat telepon dari ibunya.

“Anter mama yuk.”

“Ke mana?”

“Bawa meja peninggalan kakekmu. Kata nenek buat mama.”

“Terus mau ditaruh di mana mejanya?”

“Itulah. Mama juga bingung memikirkannya.”

“Daripada bingung, mending buat di kamar Beni aja. Sekalian mengganti meja komputer.”

“Iya deh.”

***

Ibu dan anak itu lantas mengambil meja dari sang nenek. Ditaruhlah meja tersebut di kamar Beni, menggantikan meja komputer yang lama. Beni tampak puas melihat meja antik dengan sedikit hiasan hingga terkesan kuno tersebut. Namun saat Beni melihat suatu sudut, terdapat keanehan. Beni mencoba membukanya namun susah.

Dengan antusias, Beni meraih dan membuka amplop itu. Ternyata eh ternyata isinya adalah surat - surat antara neneknya dan orang lain yang namanya sama dengan salahsatu pejabat penting di provinsi. Berdasar tanggal, korespondensi tersebut terjadi kira - kira dua tahun setelah pernikahan nenek.

Bagi Beni, neneknya adalah ningrat sejati generasi terakhir di keluarganya. Sikapnya yang dingin, melebihi dinginnya es, menghasilkan anggota keluarga yang tak dekat dengannya. Bahkan mamanya pun terkesan seolah takut. Namun meski begitu, Beni mengacungi jempol atas prestasi neneknya di bidang perhiasan yang telah mengasilkan satu perusaahan yang memiliki banyak anak perusahaan.

Tak ada kesan ramah yang Beni rasakan, saat berada di dekat neneknya. Namun kini, Beni merasa mendapat berkah saat mendapati surat cinta dan bahkan foto neneknya dalam pose yang, pada zamannya, bisa disebut seksi dan menggoda.

Jantung Beni berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang mendapat rezeki ini. Apa yang harus Beni lakukan? Apakah Beni harus memberitahu mamanya dulu?”

Beni baca dan nikmat foto hitam putih yang ada di tangannya. Tanpa terasa, kontol Beni mulai bangun. Kini Beni mulai membayangkan neneknya, yang masih berusia lima puluh lima tahun. Dengan rambut yang hampir setengahnya beruban dan tubuh gemuk agak berisi, neneknya termasuk orang yang tak mau mendapat pertolongan orang lain.

Beni bingung memikirkan langkah selanjutnya. Andai Beni pamit akan mengunjungi nenek, tentu mamanya bakalan curiga.

***

Rezeki rupanya belum kemana - mana. Esoknya Munah menyuruh anaknya untuk pergi ke rumah neneknya membantu beres - beres. Tentu Beni girang tertahankan, namun Beni coba menyembunyikan perasaannya.

“Apa gak ada orang lain lagi mah? Mama kayak gak tahu nenek gimana aja.”

“Iya mama tahu. Tapi kan baru kemarin kita dikasih meja. Lagian, daripada kamu gak ada kerjaan.”

“Iya deh mah Beni pergi.”

Sebelum pergi ke rumah nenek, Beni berbelanja beberapa hal. Saat Beni tiba di rumah nenek, Beni langsung mengetuk pintunya.

“Oh, kamu Ben. Masuk aja langsung. Nih pindahin barang yang ada di ruang ini ke kamar yang di sana?”

“Sendiri nek?”

“Iya. Apa kamu mau nenek membantu? Buat apa panggil kamu kalau nenek bisa?”

***

Dua jam kemudian pekerjaan Beni selesai lantas Beni menemui neneknya.

“Beres nek.”

“Terimakasih.”

“Apa gak ada minuman nek?”

“Kamu mau minum?”

Nenek lantas bangkit dan ke dapur mengambil minuman. Sementara itu Beni duduk di sofa. Saat nenek kembali sambil membawa minuman, Beni meraihnya.

“Beni senang kita akhirnya ada waktu untuk ngobrol nek.”

“Gitu? Emang ada yang perlu kita obrolin?”

“Tentu ada. Misalnya tentang hubungan antara nenek dengan Pak Jono, yang pejabat itu, dan seberapa banyak yang kakek tahu.”

“Dasar anak jahanam. Lancang benar mulutmu itu. Keluar kau sekarang juga!”

“Baiklah, tapi sebelu pergi, barangkali nenek tertarik akan surat dan foto ini.”

Beni lantas melemparkan kopian surat dan foto yang dia temukan ke depan neneknya. Neneknya mengambil dan memperlajarinya.

“Darimana kamu mendapatkan ini?”

“Mungkin nenek lupa. Tapi ada di amplop di dalam meja yang nenek kasih kemarin.”

“Gak mungkin. Telah kubakar semuanya bertahun - tahun lalu. Jangan - jangan kakek menemukannya dan menyimpannya. Baiklah, berapa yang kamu mau?”

“Kira - kira, menurut nenek, berapakah harga yang pantas?”

“Sepuluh juta sudah cukup banyak buat kamu.”

Beni tertawa mendengar kata - kata neneknya.

“Hahahaha… Biar nenek tawakan berkali - kali pun Beni tak tertarik. Bahkan, Beni tak tertarik sama uang nenek.”

“Terus, apa yang kau mau?”

“Beni ingin apa yang pak Jono dapatkan. Tubuh nenek. Kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa pun.”

“Apa katamu?”

“Sudah nenek dengar apa kata Beni.”

“Kamu memang gila. Nenek takkan pernah melakukan keinginanmu. Sekarang pergi dari sini sebelum nenek panggil polisi!”

“Rupanya nenek tak memahami situasi yang nenek alami. Surat - surat yang Beni miliki bisa sangat berharga apabila diperlihatkan pada orang - orang tertentu. Pada istri dan atau keluarga pak Jono misalnya. Atau pada orang - orang yang nenek kenal. Apa nenek siap disebut wanita penggoda suami orang?

“Kau takkan berani melakukan itu!”

“Jadi nenek menantang Beni? Beni selalu ingin punya peliharaan yang penurut. Sekarang buka pakaian nenek!”

“Jangan Ben. Hentikan. Apa yang kamu minta ini sungguh - sungguh terlarang, tak bermoral. Juga dosa.”

“Beni tak peduli soal moral. Moralitas tak pernah ada, yang ada hanyalah semangat juang.”

“Dasar anak setan. Lakukan saja apa yang kamu mau, nenek tak peduli.”

“Baiklah. Beni akan mampir dulu ke kantor pos, terus Beni kirim kopian surat - surat ini ke beberapa orang. Sekalian ke koran lokal dan interlokal. Beni sebarkan juga di internet. Baiklah nek, Beni pamit.”

“Tunggu. Kamu gak boleh melakukan itu!”

“Boleh atau tidak, akan tetap Beni lakukan. Tapi kalau nenek memang ingin Beni tidak melakukannya, lakukanlah apa kata Beni. Lepas busana nenek!”

“Dasar anak haram jadah!”

Karena tak sabar, Beni bangkit dan menarik lengan neneknya. Beni tarik terus hingga Beni duduk lagi. Otomatis kini neneknya seperti berbaring di pangkuan Beni. Tangan Beni terus memengang lengan neneknya agar tak lepas, sedang tangannya yang lain Beni gunakan untuk menampar pantat neneknya terus menerus.

Nenek terus berontak hingga akhirnya berhenti. Kini nenek hanya terisak di pangkuan Beni. Menyadari tak ada lagi pemberontakan, Beni mendorong neneknya hingga terjatuh ke lantai.

“Bagaimana mungkin kamu memukul seorang perempuan. Nenekmu sendiri? Binatang macam apa kamu?”

“Beni adalah binatang turunan nenek. Sekarang, buka pakaian nenek. Atau Beni gunting.”

Nenek menyadari keseriusan pada tatapan dan tindak tanduk cucunya itu. Akhirnya nenek putuskan untuk melepas kancing bajunya satu persatu lantas melepas bajunya. Terpampanglah susu nenek yang berbalut cd bermotif bunga.

“Bagus nek. Sekarang roknya!”

Nenek lantas melepas rok. Setelah itu nenek memposisikan kaki sedemikian rupa agar tak terlalu terbuka.

“Jangan pernah pake cd yang kayak gitu lagi. Nanti mungkin lebih - baik gak usah pake cd dan bh lagi.”

“Nanti? Apa maksudmu? Tak ada lagi nanti! Setelah nenek selesai dipermalukan, nenek tak ingin melihat dan bahkan mendengar tentangmu lagi!”

“Mungkin otak nenek belum begitu jelas. Mulai sekarang nenek akan jadi peliharaan Beni yang selalu siap kapan saja dan di mana saja. Panggil Beni dengan sebutan Tuan! Kalau nenek siap dipermalukan oleh orang - orang yang nenek kenal dan keluarga pak jono, tinggal nenek bilang saja, nanti Beni sebarkan ini.

“Jangan. Pasti ada cara lain.”

“Tak ada cara lain. Yang pasti, Beni takkan pernah melukai, membuat cacat dan atau bahkan meninggal. Catat!”

“Sepertinya nenek tak punya pilihan.”

“Tentu nenek punya. Dan kalau nenek memilih apa yang seperti aku pikirkan, maka lepaskanlah bh nenek!”

Nenek melihat Beni dengan tatapan benci. Lantas Beni mulai memikirkan cara agar neneknya takluk sepenuhnya. Saat nenek akhirnya melepas cd, terlihatlah susunya yang sudah mulai kendor, namun dengan puting panjang yang tegak menantang. Aneh, pikir Beni. Karena suasana di rumah neneknya tidaklah dingin.

“Susu seindah ini, sayang kalau didiamkan,” kata Beni sambil mendekati sang nenek, lantas mulai memainkan susu dengan tangannya. Tak lupa putingnya ditarik dan dipelintir dengan agak keras. Nenek mulai berteriak menahan sakit, namun teriakannya malah membuat Beni makin terangsang.

“Udah! Sakit!”

Tangan nenek mencoba menghentikan tangan Beni dari memelintir putingnya, namun tidak berhasil. Kini tangan Beni lepas, namun diganti dengan mulutnya. Dengan rakus Beni menjilati dan menyusu neneknya. Puas menyusu, susu neneknya ditampar oleh Beni.

“Sekarang lepas cdnya. Atau mau Beni gunting?”

Pasrah akan keadaannya membuat nenek melepas cdnya. Terlihatlah belahan memek nenek yang menutup dihiasi jembutnya yang kebanyakan beruban. Beni menyentuh memek nenek, rupanya kering.

“Ke kamar nenek yuk.”

“Tidak. Nenek tak sudi ke kamar nenek.”

“Baiklah kalau gitu.”

Beni lantas melepas ikat pinggangnya dan menggunakannya untuk memecut pantat neneknya hingga merah dan membuat neneknya berteriak. Rupanya perlakuan Beni efektif hingga membuat neneknya melangkah ke kamarnya.

Beni lantas duduk di pinggir kasurnya.

“Sekarang merangkak kesini, buka celana Beni terus isep dan jilat kontol Beni!”

“Nenek gak pernah dan gak akan melakukan itu, dasar jahanam. Kalau kamu paksa, akan nenek gigit!”

“Dasar pelacur, mesti dihajar dulu biar nurut.”

Beni lantas mendekati dan menarik tangan nenek. Tentu nenek berontak lagi namun kalah tenaga. Kembali, nenek seperti berbaring di pangkuan cucunya itu. Beni kembali menampar pantatnya, dengan pelbagai tempo dan variasi kekuatan. Nenek mencoba berontak, namun gagal. Malah tamparan cucunya terasa makin mengeras.

Pantat nenek kini terlihat merah. Saat Beni menyentuhnya, terasa hangat. Beni balikan tubuh nenek hingga berhadapan, memek nenek dielus dan diraba, ternyata basah.

“Wah… wah… ternayata ada yang terangsang nih.”

“Tidak, itu bukan keinginan nenek.”

“Nah, ini buktinya? Udah gak usah munafik! Dasar pelacur. Kalau gak mau ditampar lagi, nenek tahu apa yang mesti dilakukan!”

“Tolonglah Ben, berbelaskasihlah. Nenek belum pernah ngelakuin itu sebelumnya!”

“Bagus dong kalau gitu. Biar Beni jadi yang pertama!”

Sambil menangis pasrah, nenek melepas celana jins cucunya, lantas melepas celana pendeknya hingga nampaklah kontol cucunya yang berdiri hormat pada orang tua.

“Punyamu terlalu besar, gakkan muat di mulut nenek.”

“Bukan ‘punyamu,’ namanya kontol. Dan nenek bakal memujanya. Mulai dengan lidah, jilati semuanya!”

Nenek mulai menjilati kontol Beni. Beni terkejut karena jilatannya begitu lembut hingga membuat Beni mengerang nikmat.

“Jilat juga pelirnya.”

Jilatan dari nenek membuat Beni tak tahan lagi.

“Udah, masukan ke mulut. Minum semua pejunya! Awas, jangan ada yang tumpah! Pokoknya kena gigi uang kembali.”

Helm kontol Beni kini tertanam di mulut nenek dan nenek memainkan lidah di lubang kontolnya.

“Nah gitu. Ternyata nenek cepet belajar. Memang bener - bener pelacur sih. Awas, jangan sampai ada yang tumpah.”

“Jangan …”

Kata - kata nenek terpotong karena kepalanya ditekan oleh Beni hingga Beni pun memuncratkan peju di mulut nenek. Keduanya bersuara. Beni mengerang kenikmatan. Sedang nenek mengerang mencoba berontak. Ternyata nenek menelannya, meski tidak semua. Setelah tangan Beni lepas dari rambutnya, nenek terbatuk - batuk lantas muntah membuat peju yang di mulutnya berceceran ke lantai.

“Sayang tuh peju. Kayaknya nenek memang mesti banyak latihan, biar bisa nelen semuanya. Sekarang bersihin kontol Beni pake mulut dan atau lidah nenek. Abis itu nenek boleh ke kamar mandi.”

Kali ini nenek menurut tanpa perlawanan. Setelah selesai, nenek pun beranjak ke kamar mandi. Saat kembali, wajahnya terlihat bersih, namun tetap memancarkan kebencian.

“Sekarang nenek duduk di kasur, lebarkan kaki terus mainin memek nenek hingga nenek keluar!”

Nenek tampak akan bersuara, namun sebelum suaranya keluar, aku kembali berkata.

“Cepet nurut! Kalau tidak tamparan berikut bakal lebih keras lagi.”

Dengan suara yang agak tinggi dan tatapan yang mengancam, akhirnya nenek menuruti kata - kata Beni. Nenek duduk di kasur, mengangkangkan kaki lantas membasahi telunjuknya. Telunjuk itu lantas digerakan di memeknya, dengan raut wajah datar dan seolah kosong.

“Pinter. Percepat temponya. O ya, jangan keluar sebelum Beni izinkan. Juga buka matanya dan tatap Beni! Paham?”

Nenek diam tak merespon.

“Paham gak pelacur tuaku!”

Kali ini nenek menganggukkan kepala, lantas melakukan apa yang Beni suruh. Bahkan kini dengan dua jari. Mungkin nafsunya sudah bertambah karena dua jari tersebut kini mulai keluar masuk di memeknya serta diiringi memainkan itil. Mulut nenek kini mengerang. Tubuhnya mulai bergerak tak beraturan.

Kesempatan ini tak Beni sia - siakan. Beni foto nenek dengan ponsel. Namun sepertinya nenek tak mempedulikannya. Erangan Nenek makin keras.

“Awas, jangan keluar tanpa izin Beni kalau gak mau ditampar lagi.”

Tubuh nenek makin beringas menahan orgasme yang coba ditahannya. Susunya bergerak liar.

“Oh tuan, nenek mau keluar. Nenek mohon!”

“Nenek jangan melawan, tubuh nenek milik Beni. Nenek pelacur milik Beni. Nenek lakukan apa yang Beni mau, bukan apa yang nenek mau.”

Erangan nenek kini mirip erangan anjing.

“Nenek mohon tuan. Biar nanti nenek lakuin apa saja, asalkan nenek dibiarkan keluar… oh… oh…”

Beni merasa bisa - bisa jadi gawat kalau orgasme nenek ditahan terus.

“Baiklah, nenek boleh keluar pada hitungan ketiga.

“Satu…”

Suara nenek makin kencang.

“Dua…”

Tubuh nenek kini berbaring.

“Tiga…”

“Aaaaaaaa…” nenek mengejang, pinggulnya terangkat di udara, “oh… tuan… oh…”

“Puas hah? Sekarang nungging, Beni mau ngentot anjing Beni.”

Layaknya robot, nenek langsung menuruti setelah kejangnya reda. Beni langsung berlutut di belakang nenek. Tangannya meraba memeknya yang ternyata basah oleh cairan mirip urin. Tanpa pemanasan, Beni langsung tusukan kontol ke memek nenek.

Nenek menjerit begitu memeknya dimasuki kontol cucunya. Bagi wanita seusianya, memeknya sangat sempit. Mungkin akibat jarang dipakai. Baru beberapa tusukan, pantat nenek kini bergerak berirama seolah menyambut kontol cucunya itu.

Melihat pergerakan pantat nenek, Beni lantas menampar pantatnya. Namun tamparan Beni tak menghentikan nenek menggerakan pinggulnya. Jepitan memek nenek makin mencengkram kontol Beni hingga akhirnya kedua insan sedarah itu pun orgasme bersamaan.

Nenek menjerit, tubuhnya kembali kejang dan dari memeknya mengeluarkan cairan seolah kencing. Nenek lantas berbaring lemas membuat kontol beni lepas namun Beni tetap berlutut.

“Bagus, nenek memang pinter. Sekarang cepet bersihin kontol Beni!”

Nenek bergerak perlahan. Nafasnya terdengar berat namun tetap menuruti perintah cucunya hingga kontol cucunya bersih bersinar.

“Nenek capek. Rasanya ingin langsung tidur.”

“Oh tidak. Jangan nenek lupa kalau nenek pelacurku. Peliharaanku tidur di lantas. Beralas selimut. Ntar beni siapin semangkuk air kalau haus juga baskom kalau ingin kencing.”

“Dasar gila. Jangan samakan nenek dengan binatang!”

“Jangan membantah. Nenek udah nurut sama Beni, jangan sampai Beni tampar lagi pantat nenek hingga terasa panas semalaman.”

Lantas beni taruh selimut, semangkuk air dan baskom kosong di lantai dekat ranjang. Beni borgol tangan nenek hingga tak bisa kabur. Setelah itu Beni pun tidur.

***

Esoknya Beni bangun. Saat melihat ke bawah ranjang, rupanya nenek masih tidur. Dengan kaki, Beni bangunkan neneknya itu.

“Bangun, cepet. Bikinin sarapan buat tuanmu!”

Beni melepas borgol di tangan nenek. Wajah nenek datar tanpa emosi. Beni dan nenek lantas ke dapur. Di dapur, Beni putuskan duduk menunggu. Melihat cucunya lengah, nenek mengambil pisau lantas maju menerjang cucunya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu