2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

**Part 05

G

**airahku menggebu - gebu, dalam rasa percaya diri yang kuat.

Perasaanku pun seolah dihembus angin surga, karena menyaksikan sebentuk tubuh yang begitu mulus dan erotisnya. Tubuh putih mulus dan wajah cantik jelita yang siap untuk kunikmati.

Lebih dari itu semua, dia memang sudah lama kuidam - idamkan. Tapi awalnya aku hanya bisa memendam perasaanku di dalam hati. Dan kini dia seolah dikirim malaikat untuk hadir di dalam kehidupanku.

Maka dengan penuh gairah kujilati memeknya yang berjembut tapi seperti belum lama diguntingi dan dirapikan. Dan aku malah senang, karena hidupku seolah variatif. Memek Mama dan Mamie bersih dari jembut. Bahkan Bi Caca saja rajin mencukur bersih kemaluannya. Sementara kemaluan Bu Shanti berjembut begini.

Ketika kurasakan sudah cukup banyak air liurku yang teralirkan ke dalam celah memek Bu Shanti, kurentangkan sepasang paha mulus dosenku. Lalu kuletakkan moncong kontolku di mulut vaginanya yang sudah ternganga pink itu.

Kemudian kudesakkan batang kejantananku sekuat tenaga… uuuuggghhhh… meleset. Kubetulkan lagi posisi moncong kontolku pada arah yang kuanggap tepat. Lalu kudorong lagi sekuatnya.

Meleset lagi…!

Lebih dari tiga kali meleset. Sehingga akhirnya aku bertanya, “Punya lotion gak?”

“Buat apa?” Bu Shanti balik bertanya.

“Untuk melicinkan… biar gak susah penetrasinya.”

Bu Shanti menunjuk ke meja riasnya sambil berkata, “Ada tuh… yang paling kanan.”

Aku pun turun dari bed. Untuk mengambil botol lotion di atas meja rias dosenku.

Kubuka tutup botol lotion itu dan kudekatkan ke hidungku. Hanya ingin menyelidik apakah harum atau tidak. Kalau harum, biasanya sudah mengandung pewangi. Dan itu bisa terasa panas oleh memek Bu Shanti nanti.

Setelah yakin bahwa lotion itu takkan membuat memek Bu Shanti panas, kubawa botol lotion itu ke atas bed. Kuoles - oleskan dulu isinya sedikit ke permukaan memek Bu Shanti. Dan kutunggu sesaat.

“Panas nggak?” tanyaku.

“Nggak, “Bu Shanti menggeleng, “kan nggak mengandung fragrance.”

“Baguslah. Terkadang ada lotion yang menimbulkan rasa panas kalau dioleskan ke vagina,” ucapku sambil menuangkan isi botol itu ke bagian dalam memek Bu Shanti.

Cukup banyak kutuangkan lotion itu ke celah memek Bu Shanti, sehingga sampai meluap ke luar, membuat jembutnya ikutan mengkilap.

Kuratakan penyebaran lotion itu dengan jemariku. Terutama bagian dalamnya yang kurasa perlu banyak lotionnya, agar meresap ke lubang sanggamanya.

Kemudian kulumuri juga penisku dengan lotion sampai mengkilap.

Setelah menutup lagi botol lotion dan meletakkannya di pinggiran bed, kucolek - colekkan moncong kontolku ke dalam celah mewmek Bu Shanti yang sudah dingangakan olehnya sendiri. Kemudian kuletakkan kembali moncong kontolku di ambang mulut vagina Bu Shanti. Dan kudorong sedikit sampai moncongnya agak nyungsep ke dalam celah memek Bu Shanti.

Setelah kepala penisku terasa sudah “terbidik dan terkunci”, aku pun mendorongnya sekuat tenaga. Uggggh… masuk sedikit… dorong lagi uuuuggghhh… masuk lagi sampai lehernya. Lalu kudorong lagi sekuat tenaga… uuuuuggggghhhh… membenam separohnya…!

“Ooooohhh… udah masuk ya?” tanya Bu Shanti sambil mendekap pinggangku.

“Iya. Sakit?” tanyaku.

“Nggak. Tadi ada sedikit… gak sakit cuma kayak digigit semut.”

“Sekarang akan mulai kuientot yaaaa…”

“Iya…”

Permainan surgawi ini pun dimulai. Dengan maju mundurnya batang kemaluanku di dalam liang yang sangat sempit ini. Awalnya terasa seret sekali. Tapi lama kelamaan mulai lancar, sehingga aku pun bisa mempercepat entotanku sampai kecepatan normal.

Setelah gerakan kontolku lancar, aku mulai memainkan peran mulut dan tanganku, untuk mengiringi ayunan batang kemaluanku. Di satu saat mulutku mulai mengemut dan menjilati pentil toket kiri Bu Shanti, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya dengan selembut mungkin. Agar jangan sampai dia complain karena kesakitan.

Dan… ia mulai merintih - rintih perlahan, “Sayaang… oooohhhh… ternyata enak sekali ya em-el ini… oooooh… aku sampai merasa seperti melayang - layang gini Yang… ooooohhhhh… enaaaaak Sayaaaaang… luar biasa enaknyaaaaa… oooohhhh… aaaah… aaaaah… ooooohhhhh… aaaaah …

Meski sedang gencar mengentotnya, aku menyempatkan diri untuk menjawabnya secara jujur, “Sebenarnya… hatiku sudah lama menjadi milikmu Mam…”

Sepasang mata indah itu menatapku dengan sorot cemerlang. Lalu ia merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Dan melumat bibirku dengan lengketnya. Sementara aku tetap stabil mengentotnya dengan gencar.

Bahkan ketika lumatannya terlepas, aku mulai menjilati leher jenjangnya yang sudah keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Semakin menggeliat - geliat jugalah tubuh indah yang tengah kusetubuhi ini.

Terawanganku pun semakin jauh melayang - layang di langit biru. Dan seolah ada tanya di dalam batin, adakah detik - detik yang lebih indah daripada yang tengah kurasakan ini?

Gejala - gejala ia mau orgasme pun mulai terasa olehku. Maka kugencarkan entotanku lebih cepat lagi. Dan baru kuhentikan ketika sekujur tubuh indahnya mulai mengejang tegang. Batang kemaluanku memang berhenti karena terpaksa. Karena ketika likang memek Bu Shanti sedang mengedut - ngedut kencang di puncak orgasmenya, moncong kontolku pun sedang menembak - nembakkan lendir kenikmatanku.

Mungkin aku terlalu dikuasai perasaanku yang memang sudah lama mengidolakan dosen cantik berdarah campuran indo-belanda itu. Sehingga aku tidak bisa mengulur durasi persetubuhanku. Selain darfipada itu, aku ingin melihat “saksi mati” bahwa dia memang masih perawan.

Dan ketika aku sudah mencabut kontolku dari dalam liang memek dosen cantikku, memang ada genangan darah kira - kira sebanyak 1 sendok kecil di bawah pantatnya. Itulah saksi yang kumaksudkan. Yang membuatku merasa sangat menghormati Bu Shanti yang jelita ini.

Maka ketika aku terlentang di sampingnya, aku memegang tangannya sambil berkata, “Terima kasih Sayang. Aku telah membuktikan bahwa sebelum kusetubuhi tadi, dirimu masih benar - benar virgin. Memang sulit dipercaya bahwa seorang gadis yang sudah berusia duapuluhenam tahun masih bisa mempertahankan keperawanannya.

Dedngan suara lirih Bu Shanti menyahut, “Kalau gak bertemu denganmu tadi, sampai kapan pun aku akan tetap perawan. Karena aku sudah berjanji hanya akan menyerahkannya kepada cowok yang benar - benar kucintai dan mencintaiku.”

Aku sangat menghormati Bu Shanti di dalam hati, karena di usia 26 tahun dia masih mampu mempertahankan keperawanannya, sampai akhirnya diberikan padaku. Padahal dia itu indo-belanda. Dan pernah kuliah di Inggris segala, di mana nilai - nilai moral sudah ditinggalkan jauh - jauh.

Di negaraku sendiri sudah lama juga banyak yang kebablasan. Termasuk apa yang sudah kualami sebelum aku mendapatkan “hadiah” dari Bu Shanti, yakni keperawanannya itu.

Ya… saat itu aku dan dua orang sahabatku harus berangkat ke Jakarta, untuk mengurus acara kesenian dan kompetisi persahabatan di antara kampusku dengan sebuah universitas di Jakarta. Universitas itu beda namanya dengan universitasku, tapi yayasan yang memilikinya adalah yayasan pemilik kampusku juga.

Kebetulan yang terpilih menjadi ketua panitia adalah aku sendiri. Bendaharanya Yama, sekretarisnya Gita. Dua - duanya sahabatku.

Sejak aku mulai kuliah, kedua orang cewek itu adalah teman terdekatku. Sehingga ke mana - mana kami selalu bertiga. Maka setelah aku terpilih menjadi ketua panitia, aku punya hak untuk menunjuk bendahara dan sekretarisku. Maka kupilihlah Yama sebagai bendahara dan Gita sebagai sekretaris.

Tentu saja panitianya cukup banyak, untuk urusan logistik, akomodasi, konsumsi, humas dan sebagainya. Tapi panitia intinya adalah kami bertiga.

Itulah sebabnya kami bertiga yang akan mengadakan meeting pendahuluan dengan pihak universitas yang di Jakarta.

Gita itu gokil orangnya. Kalau ngomong, terkadang mengejutkanku. Karena tak menduga kalau cewek bisa ngomong tak kalah gokil dari cowok. Sementara Yama perilakunya anggun di mataku.

Tapi biar bagaimana mereka adalah teman - teman baikku, yang selalu kompak denganku dalam beberapa masalah.

Pagi itu aku mendahulukan menjemput Yama, karena rumahnya mudah dijangkau oleh mobilku. Sementara rumah Gita ada di dalam gang kecil yang tidak masuk mobil. Jadi aku bisa menyuruh Yama turun dari mobil dan berjalan kaki ke dalam gang sempit menuju rumah Gita itu.

Agak lama aku menunggu di dalam mobil yang kuparkir di dekat mulut gang kecil itu. Namun akhirnya mereka muncul juga.

Yama mendekati samping kanan mobilku. Lalu berkata, “Chepi… lu jadi boss aja deh, duduk di belakang. Biar gue yang nyetir.”

Aku tahu Yama punya mobil yang selalu dipakai kuliah. Bahkan sebelum aku punya sedan hadiah dari Mama ini, Yama sudah duluan punya mobil.

“Emang bisa lu nyetir ke luar kota?” tanyaku masih di belakang setir.

“Ziaaaah… ke Jakarta sih cetek brow… nyetir ke Surabaya aja sering. Malah sampai Madura segala.”

“Ya udah. Lu sendirian di depan ya. Si Gita di belakang sama gue. Biar bisa dengerin kicauannya.”

Yama mengangguk sambil tersenyum. Lalu aku turun dari mobil dan pindah ke belakang. Sementara Yama masuk ke depan kanan sambil berkata, “Mobil ini sih pasti lebih enak bawanya dibanding mobil gue.”

“Gak usah ngebut Yam,” ucapku sambil menepuk bahu Yama dari belakang.

“Santai aja boss. Bersama gue, kalian aman.”

Aku cuma tersenyum. Sementara Gita yang duduk di sebelah kiriku, malah sedang menggoyang - goyang kepala yang dipasangi earphone hapenya.

“Udah dong jangan dengerin musik mulu,” kataku sambil menepuk lutut Gita.

“Eh iya, “Gita melepaskan earphonenya, “setelin musik Yam. Biar nyaman. Mobil sebagus gini sih pasti punya koleksi lagu yang keren - keren.”

Kemudian terdengar suara musik dari audio mobilku. Belakangan aku lebih suka mendownload lagu - lagu compilation. Sehingga satu judul bisa 2 atau 3 jam durasinya. Bahkan ada yang sampai 24 jam satu judul.

Gita pun langsung bergoyang - goyang centik, mengikuti irama musik yang tengah berkumandang.

Tapi sesaat kemudian Gita mendekatkan mulutnya ke telingaku, lalu berbisik, “Daripada jadi teman baik seperti sekarang, mendingan kita jadi TTM yuk.”

Aku agak kaget mendengar bisikan Gita itu. Lalu membisikinya juga, “Teman tapi ML?”

“Iya, “Gita mengangguk sambil tersenyum. Lalu membisiki telingaku lagi, “Harusnya TTN. Teman tapi ngewe.”

Aku tercengang sambil menahan tawaku. Lalu membikinya, “Lu serius?”

“Serius lah,” sahutnya perlahan, yang hampir tak terdewngar karena musik yang berkumandang agak keras.

“Lu udah gak perawan lagi kan?” bisikku.

“Iya. Makanya mumpung sama - sama belum punya pasangan, kita nikmati aja dulu masa kebebasan ini. Biar pertemanan kita semakin solid,” bisik Gita lagi.

Sebenarnya aku agak shock mendengar ajakan dan pengakuan sahabatku itu. Lalu memperhatikan cara mengemudi Yama, yang ternyata halus sekali rasanya. Malah aku kalah halus kalau dibandingkan dengan cara Yama nyetir itu.

Lalu aku berbisik lagi ke telinga Gita, “Si Yama juga udah gak perawan lagi ya?”

Gita menjawab dengan bisikan juga, “Iya. Justru dia yang usulin acaranya juga.”

“Turunin celanamu, gue pengen tau memekmu kayak apa?” bisikku.

Gita menjawab dengan bisikan juga, “Celana lu juga. Justru gue yang pengen tau kontol lu kayak apa.”

Aku tersenyum sambil mengikuti keinginan Gita. Kuturunkan ritsleting, kemudian kupelorotkan celana jeans sekaligus dengan celana dalamnya.

“Anjriiiitttt…! Kontol lu gede banget…” ucap Gita sambil memegangi kontolku yang sudah rada ngaceng. Dipegang - pegang oleh Gita, tambah ngacenglah kontolku.

“Yama…! “Gita menepuk bahu kiri Yama, “Liat nih kontol si Chepi?”

Yama mengurangi kecepatan mobil yang sudah berada di jalan tol, lalu membelokkannya ke bahu jalan dan menghentikannya. Lalu Yama menolah ke belakang, untuk melihat apa yang sedang Gita lakukan padaku.

“Liat tuh… sepanjang dan segede gini kontol si Chepi… !” seru Gita agak keras, untuk mengatasi bisingnya bunyi musik mobilku.

“Aaaaauuuu…! Itu kontol manusia apa kontol kuda?” seru Yama.

“Gue mau usul nih. Acara meeting di Jakarta kan besok pagi. Gak lama lagi kita kan masuk daerah Purwakarta. Gimana kalau kita nyari hotel di Purwakarta aja? Besok subuh kita lanjut ke Jakarta.”

“Jangan ah. Mumpung jalan gak macet, mendingan cek in di Jakarta aja,” sahut Yama sambil menghadap ke depan lagi. Lalu menjalankan mobilku kembali.

“Gue udah horny nih! “seru Gita, “Gak apa - apa kalau gue wikwik sama Chepi sekarang?”

“Lakuin aja. Asal jangan keliatan dari luar. Eeeeh… ada tirainya ya.”

“Ada tirai, kacanya pun kaca gelap. Lu konsen nyetir aja Yam. Nanti giliran lu nanti di Jakarta, sekenyangnya,” sahutku sambil menepuk bahu kanan Yama.

Sementara itu Gita sudah menanggalkan celana jeans dan celana dalamnya.

Kini aku dan Gita sudah sama - sama tinggal mengenakan t-shirt, karena Gita sudah menanggalkan behanya. Warna t-shirt kami pun sama - sama hitam. Bedanya, t-shirtku ada tulisan putih “Ireland” di bagian dada, sementara t-shirt Gita ada gambar bunga mawar pink di bagian antara sepasang bukit kembarnya.

Gita ternyata bukan hanya gokil waktu ngomong. Kini pun ia gokil dalam tindakan. Ketika mobilku yang dikemudikan oleh Yama dalam kecepatan sedang, Gita pun menduduki kontolku, sambil menghadap padaku. Lalu diarahkannya moncong kontolku ke memeknya. Dicolek - colekkan, kemudian ia menurunkan badannya.

Mungkin inilah pengalaman tergila di dalam hidupku. Bahwa ketika Yama mengemudikan mobilku dengan kecepatan nyaman, Gita duduk di atas pangkuanku, sambil menaik turunkan bokongnya dan merapatkan bibirnya ke bibirku. Dengan sendirinya kontolku dibesot - besot oleh liang mmemeknya yang hangat dan licin ini.

Maka aku pun balas mendekapnya, sambil melumat bibirnya.

Yama yang jarang bicara itu pun berseru di belakang setir mobilku, “Asyiiik… mulai ena - ena nih?”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu