2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

**Part 09

Tante Aini memang sangat berbeda dengan Mama. Tubuhnya proporsional segalanya. Toketnya berukuran sedang - sedang saja, gede tidak kecil pun tidak. Bokongnya pun tidak gede - gede amat, tapi indah sekali bentuknya.

Dan yang paling menonjol pada dirinya, adalah rasa liang memeknya itu. Legit sekali, lebih legit daripada dodol Garut.

Pada waktu kontolku menggedor - gedor liang vagina legitnya, Tante Aini tiada hentinya merintih dan berdesah, dengan mata merem melek pula. “Cheeepiiii… aaaaaaah… Cheeeepiiii… ini luar biasa rasanya… baru sekali ini aku merasakan digauli yang senikmat ini Cheeeep… aku semakin sayang padamu Cheeeepppiii…

Tadi sebelum meninggalkan rumah Mama, aku yakin bahwa semuanya ini takkan terjadi. Mengingat tadi malam aku sudah habis - habisan menggauli Mama. Sampai empat ronde! Karena itu aku kurang pede pada awalnya. Tapi setelah berdekatan dengan Tante Aini, senjata pusakaku ngaceng terus, karena mnenemukan “pemandangan” baru.

Bahkan kini, ketika aku sedang asyik mengentot Tante Aini ini, aku laksana kebalikan plesetan lagu Jawa… suwe ora ngono, ngono ora suwe… lama tidak begituan, begituan tidak lama. Sementara aku baru saja tadi malam bertarung dengan Mama sampai empat ronde. Maka kini durasi ngentotku jadi lama…

Tante Aini klepek - klepek terus. Orgasme dan orgasme lagi entah sudah berapa kali.

Steleh lebih dari sejam aku menyetubuhi tanteku, akhirnya aku pun tiba di detik - detik krusialku, dengan keringat yang sudah membanjir, bercampur aduk dengan keringat Tante Aini.

“Lepasin di dalam Tante?”

“Iyalah. Aku kan pengen hamil olehmu,” sahut Tante Aini sambil mendekap pinggangku dengan eratnya.

Maka kupacu ayunan kontolku secepat mungkin, agar jangan mundur lagi ejakulasinya. Karena aku sudah merasa letih sekali…

Akhirnya kutancapokan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai menabrak dasar liang memek Tante Aini. Tidak kugerakkan lagi. Dan… kontolku mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crooootttt… croottt… croooottttt… crooottt… croooooooottttttt… crotttt… crooootttttttt…!

Tante Aini menciumi bibirku disusul dengan bisikan, “Terimakasih ya Chepi sayaaang… gak nyangka kamu akan segagah ini menggauliku.”

“Memek Tante luar biasa legitnya,” sahutku setelah mencabut kontolku dari memek Tante Aini, “Aku bakal ketagihan nanti.”

“Sama, aku juga bakal ketagihan. Tapi kamu kelihatannya udah banyak pengalaman dengan perempuan ya?”

Pengalaman sih ada, tapi hanya dengan satu orang wanita yang usianya jauh lebih tua daripada Tante,” jawabku berbohong. Kalau dia mendesakku, akan kusebut saja seorang pembantu sambil membayangkan Bi Caca.

“Seneng sama tante - tante ya, “Tante Aini mencubit perutku.

“Hehehee… sekarang kan sedang bersama seorang tante.”

“Itu kan sebutan menurut sirsilah keluarga kita. Padahal aku belum pantes disebut tante kan?”

“Memang belum. Tante masih sangat muda, cantik dan… heheheee…”

“Dan apa?”

“Enak sekali itunya,” sahutku sambil menunjuk memek Tante Aini yang sedang diseka dengan kertas tissue basah.

“Syukurlah kalau kamu merasa enak sih. Dan yang penting, aku ingin dihamili oleh ini,” ucap Tante Aini sambil menggenggam kontolku yang sudah lemah lunglai, “Kalau aku sampai hamil… aku akan sangat memanjakanku nanti.”

“Siap Tante.”

Kemudian Tante Aini bersih - bersih di dalam kamar mandi dan mengenakan pakaian lengkap kembali. Aku pun mencuci batang kemaluanku di kamar mandi dan mengenakan pakaian lengkap lagi.

Lalu kami keluar dari kamar. Dan duduk di pinggir taman lagi.

Di situlah Tante Aini membahas masalah bisnis secara keseluruhan. Antara lain juga membahas masalah pavilyun rumah itu yang akan dijadikan kantor dan memang sudah ditata secara layak untuk dijadikan kantor.

Sebelum berpisah, Tante Aini mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat. Diserahkannya amplop sebesar map itu padaku sambil berkata, “Ini uang untuk biaya operasionalmu setelah aktif nanti. Carilah sekretaris dan tangan kananmu. Pilihlah orang - orang yang kamu anggap tepat dan bisa dipercaya.

“Siap Tante,” ucapku sambil membuka amplop sebesar map itu.

Wow… ternyata isinya 10 ikat uang dollar pecahan US $100. Berarti jumlah uang itu US $ 100.000. Dan kalau dirupiahkan lebih dari 1 milyar…!

Tapi aku tak mau kelihatan kaget. Takut dianggap katro oleh Tante Aini.

“Cari juga pembokat untuk bersih - bersih rumah dan masak untukmu. Kalau bisa nyari pembantu harus nyari sendiri ke pedesaan. Kalau asal - asalan ngambil dari yayasan, sering mengecewakan, karena baru dua - tiga hariu ada yang minta pulang dan sebagainya. Rekrut juga empat atau lima orang satgpam untuk bergiliran menjaga rumah ini.

“Siap Tante.”

“Ohya, kalau ada kekurangan uang, WA aja ke nomor hapeku. Nanti langsung kutransfer ke rekening tabunganmu.”

“Iya Tante.”

Sebelum berpisah Tante Aini mencium bibirku dengan mesranya. Lalu mengusap - usap rambutku sambil berkata, “Aku sayang sekali padamu Chep.”

“Sama Tante. Aku juga begitu.”

“Ohya… sebelum ada pembantu, kalau mau ninggalkan rumah ini kunci - kunci dulu semua pintunya ya Sayang.”

“Siap Tante,” sahutku dengan sikap hormat. Karena Tante Aini bukan sekadar tanteku, melainkan juga sudah terasa sebagai bossku.

Sebelum masuk ke dalam sedan sportnya, Tante Aini sempat berkata, “Nanti kalau aku sudah hamil dan melahirkan anak kita, aku akan memberikan sesuatu untukmu.”

Terawanganku buyar ketika lututku ditepuk oleh Mama Aleta, “Hai… kok malah ngelamun? Ingat sama Shanti ya?”

“Nggak Mam. Aku cuma agak kaget setelah ingat bahwa siang ini aku ada janji dengan temanku.”

“Lho… janji itu harus ditepati. Kalau tidak bisa memenuhi janji itu, sedikitnya harus memberi kabar,” kata Mama Aleta.

“Mama gak apa - apa kan kalau kutinggalkan sekarang ini?”

“Gak apa - apa. Asalkan pulangnya jangan terlalu malam,” sahut Mama Aleta.

Sebenarnya ada sesuatu yang memaksaku untuk meninggalkan rumah Bu Shanti siang ini. Tadi pagi ada telepon dari Papa, menyuruhku menyelidiki Mbak Nindie, kakak seayah beda ibu itu. Kata Papa, “Dia pulang sendiri ke rumah peninggalan ibunya, tanpa suaminya. Tadi dia nelepon papa, dengan suara seperti sedang menangis.

Itulah sebabnya aku meninggalkan rumah Bu Shanti, menuju rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie.. Di antara ketiga anak Papa, hanya aku yang masih punya ibu kandung. Ibu kandung Mbak Susie dan Mbak Nindie sudah meninggal.

Ya, Mbak Susie dan Mbak Nindie itu lahir dari satu ibu. Hanya aku yang lahir dari ibu lain. Dengan kata lain, Mbak Susie dan Mbak Nindie itu dahulunya anak tiri Mama.

Berbeda dengan darah yang mengalir di tubuhku, ibunya Mbak Susie dan Mbak Nindie itu asli Jawa. Sehingga aku memanggil mereka dengan sebutan “mbak”. Sementara dari keluarga Mama sama sekali tidak ada yang menggunakan sebutan mbak.

Rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie kecil, tapi tanahnya lumayan luas. Terletak di pinggir jalan besar pula. Sehingga aku bisa memasukkan mobilku ke pekarangan rumahnya. Ketika aku turun dari mobil, kulihat Mbak Nindie muncul dan menghampiriku. Kakakku yang berperawakan chubby itu tampak kelopak matanya bengkak.

“Chepi?! Kirain Papa…” ucap Mbak Nindie sambil memelukku. Lalu kami cipika - cipiki.

“Papa kan lagi di Medan Mbak. Nanti kalau sudah pulang pasti ke sini.”

“Kata Papa, Mamie lagi hamil ya?”

“Iya,” jawabku agak kaget. Karena menanyakan sesuatu yang merupakan buah dari perbuatanku dengan Mamie.

“Kita bakal punya adek dong ya,” ucap Mbak Nindie sambil menuntunku ke dalam rumahnya.

“Iya,” sahutku mengambang. Masalahnya, batinku berkata bahwa yang di dalam perut Mamie itu calon anakku. Bukan calon adikku.

Di dalam rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie itu kelihatan serba sederhana. Di ruang tamu hanya ada sebuah dipan jati ditutup dengan sehelai tikar. Tidak ada sofa, tidak ada apa - apa. Di atas dipan bertilamkan tikar itulah kami duduk.

“Mas Purwo gak ikut pulang Mbak?” tanyaku menanyakan suami Mbak Nindie.

“Aku sudah cerai dengan dia Chep,” sahut Mbak Nindie sambil memegang pergelangan tanganku.

“Cerai? Kenapa? Apa dia main gila dengan perempuan di Ternate?”

“Selentingan yang kudengar sih memang begitu. Tapi yang bikin aku gak tahan, dia sering KDRT. Sedikit - sedikit nempeleng, nonjok dan sebagainya. Makanya aku minta cerai aja.”

“O, begitu ya. Terus anak Mbak dikemanain?”

“Tinggalin aja sama dia. Biar dia urus. Aku kan gak punya penghasilan.”

“Anak Mbak kan baru satu yang namanya Pipit itu kan?”

“Iya. Aku gak mau nambah lagi. Soalnya Mas Purwo itu, aku sedang hamil aja bisa nempeleng dan nendang segala.”

“Wah, lelaki semacam itu sih memang harus ditinggalin Mbak.”

“Iya… hiks… cuma aku inget sama Pipit terus… hiks… “Mbak Nindie memelukku sambil menangis terisak - isak.

Dan… inilah watakku. Ketika Mbak Nindie memelukku ini, pikiranku malah melayang ke satu arah… arah jahanam.

Bahkan aku masih ingat benar, dahulu waktu aku m asih kecil, aku sering ngintip Mbak Nindie mandi…! Dan aku selalu saja merasa terangsang melihat toket gedenya… juga bokong gedenya…!

Tapi aku berusaha menahan diri. Dan bertanya, “Terus, untuk kebutuhan hidup sehari - hari Mbak dari mana?”

“Belum tau. Mungkin mau nyari kerja aja.”

“Kerja jadi sekretarisku mau?”

“Sekretarismu? Memangnya kedudukanmu sebagai apa sekarang ini?”

“Begini aja. Supaya Mbak jangan nganggap maen - maen, sekarang ganti baju deh. Ikut sama aku ke tempat Mbak akan kukerjakan dengan gaji pantas nanti.”

“Serius Chep?”

“Seriuslah. Masa aku mempermainkan Mbak yang sedang dalam suasana murung gitu.”

“Sekarang perginya?”

“Tahun depan!” sahutku, “Ya sekaranglah. Mumpung aku gak lagi sibuk.”

Mbak Nindie ketawa cekikikan. Lalu masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkanku sendirian di atas dipan keras ini.

Dan… aku mengikuti langkah Mbak Nindie dengan mengendap - endap.

Kebetulan pintu kamar Mbak Nindie hanya ditarik sedikit, tidak sampai tertutup rapat.

Pasti aku akan menyaksikan kakakku yang akan ganti pakaian.

Di dekat pintu kamar Mbak Nindie, kucopot sepatuku, supaya bisa melangkah tanpa bunyi. Lalu aku melongok ke dalam kamar yang pintunya terbuka setengahnya. Maaak… Mbak Nindie sudah melepaskan dasternya dan tinggal mengenakan celana dalam, sementara toket gedenya (yang sejak dahulu mengalirkan air liurku) terbuka penuh.

Kebetulan Mbak Nindie sedang membelakangi pintu, sehingga aku bisa mnelangkah masuk tanpa menimbulkan bunyi.

Aku melangkah mengendap - endap ketika Mbak Nindie sedang memilih pakaian dari dalam lemarinya. Dan setelah aku berada tepat di belakangnya, langsung kujulurkan tanganku untuk menangkap sepasang toketrnya, “Ini dia yang kukhayalkan sejak kecil dahulu …” ucapku sambil mengcakup sepasang toket gewdenya dengan kedua tanganku.

“Chepi…! “seru Mbak Nindie, “Kamu bikin kaget aja iiih…”

Tapi Mbak Nindie tidak meronta sedikit pun. “Mas Purwo memang bodoh. Masa wanita seseksi Mbak ini disia - siakan…”

Mbak Nindie menyahut, “Kamu kan adikku. Jelas aja harus ngebelain kakak. Tapi Mas Purwo yang sedang gila cewek lain, malah semakin garang sikapnya padaku.”

Aku mulai memainkan kedua pentil toket Mbak Nindie meski masih berdiri di belakangnya. Sehingga Mbak Nindie menepiskan kedua tanganku, “Udah ah… nanti kebablasan… kalau aku jadi horny gimana?”

“Sejak kecil aku suka sama toket Mbak. Tapi baru sekarang aku bisa memegangnya,” kataku.

“Tapi kalau kelamaan megangnya, lama - lama kamu bisa nafsu lho.”

“Sekarang juga aku sudah nafsu Mbak.”

“Nah tuh kan? Gak boleh begitu. Aku kan kakakmu.”

Aku malah mendekap pinggang kakakku dari belakang, “Mbak kan sedang kesepian. Apa salahnya kalau kita saling berbagi rasa, mumpung Mbak belum kawin lagi.”

“Tuh kan makin ngaco kamu. Udah tungguin di depan gih. Biar aku bisa dandan dengan tenang,” kata Mbak Nindie.

Kutepuk dulu pantat Mbak Nindie yang gede, lalu poergi ke depan. Duduk di atas dipan lagi sambil mengenakan kembali sepatuku.

Agak lama aku menunggu di atas dipan ruang depan itu.

Namun akhirnya Mbak Nindie muncul juga sambil bertanya, “Mau langsung berangkat sekarang?”

“Iya…” sahutku sambil memandang kakak berbeda ibu yang sudah mengenakan celana jeans dan jaket hitam itu. Entah apa yang dikenakannya di balik jaket itu. Namun yang jelas, dalam pakaian sesimple itu pun Mbak Nindie tetap kelihatan sexy di mataku. Terlebih lagi melihat bibirnya yang sudah dipolesi lipstick tipis itu…

“Kok malah bengong gitu?” tanya Mbak Nindie sambil menepuk bahuku.

“Mbak memang sangat menarik di mataku…” sahutku yang kususul dengan kecupan hangat di pipinya, “emwuaaaah… !”

Mbak Nindie menatapku sambil tersenyum manis dan berkata setengah berbisik, “Kita ini bersaudara Sayang…”

Sesaat kemudian Mbak Nindie sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan hitam yang sudah kuluncurkan di atas jalan aspal.

“Mobil ini sebenarnya punya siapa Chep?” tanyanya.

“Punyaku.”

“Haaa?! Kirain punya Mamie… kan Mamie yang punya mobil seperti ini… tapi warnanya berbeda ya?”

“Kebetulan aja typenya sama cuma beda warna dan tahun dikeluarkannya. Mobil ini lebih muda setahun daripada mobil Mamie.”

“Owh… dikasih sama Papa?”

“Hadiah dari Mama. Kan aku sudah diijinkan mengunjungi rumah Mama.”

“Wah… kamu sih enak, punya mama kaya. Nggak seperti aku… serba kekurangan.”

“Kalau rumahnya dijual kan bisa dibelikan mobil.”

“Terus aku tidur di kolong jembatan?”

“Hahahaaa… kalau Mbak mengikuti semua jalan yang kuberikan, aku akan menggantikan peran Mas Purwo untuk membiayai kebutuhan Mbak… bahkan mungkin kehidupan Mbak akan jauh lebih baik daripada waktu menjadi istri Mas Purwo.”

“Asalkan jangan jalan sesat, pasti kuikuti.”

“Jalan sesat gimana maksudnya?”

“Jalan yang tidak melanggar hukum. Seperti perdagangan narkoba, misalnya.”

“Amit - amit. Aku sih gak pernah menyentuh narkoba Mbak. Merokok juga hanya sekali - sekali. Mana mungkin aku menempuh jalan itu. Semua yang kutempuh, jalan legal Mbak.”

“Syukurlah kalau gitu. Soalnya di zaman sekarang ini banyak yang kaya mendadak. Gak taunya jalan sesat yang ditempuh.”

“Aku lapar. Kita makan dulu ya,” kataku sambil membelokkan mobilku ke pekarangan sebuah rumah makan.

Setelah makan, barulah kulanjutkan lagi perjalanan menuju rumah yang Tante Aini hadiahkan padaku itu.

Tak lama kemudian mobilku sudah memasuki garasi rumah megah itu.

Setelah turun dari mobil, Mbak Nindie tercengang dan bertanya, “Ini rumah siapa Chep?”

“Rumahku. Pemberian adik Mama. Pavilyun itu akan dijadikan kantor yang baru akan dibuka tanggal satu bulan depan. Nanti Mbak bekerja di sana.”

“Pasti adik mamamu itu orang tajir ya. Rumah semegah ini diberikan begitu saja padamu.”

“Dia punya suami pengusaha minyak dari salah satu negara Arab di timur tengah.”

“Oooo… pantesan. Terus aku mau dijadikan apa di kantormu nanti?”

“Mbak akan kujadikan sekretarisku.”

Kemudian kami masuk ke dalam rumah. Mbak Nindie memeluk pinggangku terus pada waktu melihat - lihat keadaan di dalam rumah yang kamarnya banyak ini.

Ketika berada di dalam kitchen yang ditata secara modern dan peralatannya serba mahal ini, Mbak Nindie mendadak berkata, “Aku tugaskan ngurus kitchen aja Chep. Jangan dijadikan sekretaris.”

“Maksud Mbak, ingin jadi juru masak gitu?”

“Iya. Aku kan punya hobby masak. Waktu di Ternate juga pernah jadi asisten chef di sebuah restoran.”

“Kalau mau jadi juru masak, kamar Mbak di situ tuh,” kataku sambil menunjuk ke pintu kamar yang berdampingan dengan kitchen.

Lalu kubuka pintu itu. Keadaan di dalamnya memang sama saja dengan kamar - kamar lainnya. Ada kamar mandi tersendiri, yang fasilitasnya serba trend masa kini.

“Waaaah… kamarnya bagus sekali. Aku mau deh pindah ke sini…” ucap Mbak Nindie sambil melepaskan sepatunya, lalu melompat ke atas bed bertilamkan seprai biru muda itu.

“Boleh, sahutku sambil duduk di pinggiran bed. Tapi selama seminggu Mbak harus tinggal sendirian di sini. Karena aku masih banyak urusan yang belum selesai. Berani tinggal sendirian di sini?”

“Berani. Suasananya romantis begini. Pasti kerasan aku tinggal di sini, “Mbak Nindie duduk bersila sambil melepaskan jaket hitamnya.

Oi maaak…! Ternyata di balik jaket hitam itu tidak ada blouse. Tidak ada beha pula. Yang ada cuma penutup dada yang terbuat dari bahan seperti jaring. Sehingga toket Mbak Nindie tampak jelas di mataku.

“Mbak… ooooh… Mbak ini seksi sekali di mataku.”

“Kamu seneng toketku kan?”

“Semuanya seneng. Tadi waktu Mbak sedang ganti pakaian, aku sampai sulit bernafas.”

Mbak Nindie tersenyum. Lalu penutup dada yang terbuat dari kain jaring itu ditanggalkan. Celana jeansnya pun ditanggalkan. Sehingga tubuh gempalnya tinggal dilekati celana dalam hitam.

“Ayo deh… sekarang apa yang kamu inginkan akan kuikuti, “Mbak Nindie turun dari bed, lalu berbaring miring di atas sofa kulit berwarna coklat tua. Di situlah ia melepaskan celana dalamnya. Sehingga tubuh chubby-nya tak tertutup sehelai benang pun lagi.

Tanpa banyak basa - basi lagi kutanggalkan seluruh benda yang melekat di tubuhku, sehingga tubuhku jadi telanjang bulat seperti kakakku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu