2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

Mamie terheran - heran melihatku pulang dengan sedan hitam yang sama persis dengan sedan miliknya, hanya warnanya saja yang berbeda. Punya Mamie berwarna merah, sementara mobilku berwarna hitam.

Untungnya garasi kami cukup luas, sehingga meski ada mobil papa dan mobil Mamie, mobilku tetap bisa masuk dengan leluasa. Bahkan mungkin ditambah satu mobil lagi pun masih bisa muat di garasi kami.

“Ini mobil siapa Chep?” tanya Mamie sambil memegang pergelangan tanganku.

“Mobilku Mam. Hadiah dari Mama,” sahutku.

“Mmm… mau dikasih mobil sama mamie, kamu gak mau. Dikasih mobil sama mama kandung tercinta sih mau ya,” ucap Mamie sambil mencubit perutku.

“Ini mobil tau - tau udah ada di depan rumah. Mama gak pernah bilang - bilang sebelumnya, Mamie Sayang,” kataku sambil mendekap pinggang Mamie, “Ehhh… Papa ada ya?”

“Ada… lagi tidur,” sahut Mamie sambil menuntunku ke dalam kamarku, “Ada yang mau mamie bicarakan…”

Begitu berada di dalam kamarku, Mamie menutup dan menguncikan pintu kamarku, lalu mengajak duduk berdampingan di sofa.

“Ada apa Mam? Kok kelihatannya ceria sekali?” tanyaku.

“Tadinya kita takujt ketahuan Papa kan? Tapi sekarang justru Papa yang nyuruh mamie agar minta dihamili sama kamu Sayang.”

“Mamie serius?”

“Sangat serius.”

“Kok bisa begitu?”

“Begini… awalnya Papa yang nanya, apa cita - cita mamie yang belum kesampaian? Mamie jujur aja menjawab, bahwa mamie ingin punya anak.”

“Terus?”

“Awalnya Papa kelihatan bingung. Tapi akhirnya dia bilang, bahwa spermanya sudah lemah. Dokter bilang Papa sulit untuk mendapatkan anak lagi. Karena itu Papa nyuruh mamie merayu kamu supaya bersedia menghamili mamie.”

“Tanpa dirayu pun aku sudah sering menyetubuhi Mamie, “tanggapku.

“Iya. Tapi Papa kan belum tau kalau kita sudah mendahului sarannya itu.”

“Kira - kira saran Papa itu diucapkan dengan hati yang ikhlas gak ya?”

“Sangat bersemangat, bukan ikhlas lagi. Malah dia udah gak sabaran, nyuruh mamie telepon kamu supaya cepat pulang. Tapi mamie kan kasihan karena kamu sedang menjumpai ibu kandungmu yang sudah sembilan tahun tidak berjumpa. Makanya mamie minta Papa bersabar menunggu sampai kamu pulang tanpa diburu - buru.

Aku cuma mengangguk - angguk dengan perasaan masih bingung.

“Nah… kedengarannya Papa udah bangun tuh. Nanti kalau ditanya, bilang aja kita belum pernah ngapa - ngapain ya. Tapi setelah ada restu dari Papa, kita bisa main sesuka hati. Pada waktu Papa ada di rumah pun kita masih bisa main. Gimana? Kamu seneng?”

“Seneng sekali Mam. Baiklah… aku mau mandi dulu ya.”

“Iya. Cepetan mandinya. Karena papa nanti sore akan terbang ke Medan. Jadi kita bebas mau melakukan apa pun.”

“Iya Mam.”

“Nanti Papa pasti manggil kamu Chep.”

“Iya Mam,” sahutku sambil melangkah masuk ke dalam kamar mandi.

Sambil mandi terawanganku melayang - layang tak menentu. Tentang Mama yang begitu menyayangiku, sehingga apa pun yang kuinginkan selalu dikabulkannya, termasuk pemasrahan memeknya. Juga tentang berita yang barusan kudengar dari Mamie, tentang keinginan Papa yang terasa aneh bagiku.

Setelah mandi, aku keluar dari kamar mandi. Ternyata Papa sudah berada di dalam kamarku. Sedang duduk di sofa.

“Bagaimana keadaan mamamu Chep? Sehat?” tanya Papa.

“Sehat Pap. Malah jadi lebih gemuk daripada dahulu.”

“Syukurlah kalau sehat sih. Sini sebentar Chep. Papa mau ngomong sebentar.”

“Iya Pap, sebentar… ganti baju dulu,” sahutku sambil buru - buru mengenakan baju dan celana piyamaku. Kemudian menyisir sebentar. Dan melangkah ke arah sofa yang sedang diduduki oleh Papa.

Setelah mencium tangan Papa, aku pun duduk di sampingnya.

“Kamu dibeliin mobil mahal sama mamamu?” tanya Papa.

“Iya. Mobil itu tau - tau udah nongkrong aja di depan rumah Mama. Katanya sih Mama punya nazar untuk menghadiahkan mobil kalau aku datang menjumpainya.”

“Ya syukurlah. Kalau bisa membelikan mobil mahal begitu, berarti mamamu tidak kekurangan setelah hidup sendiri.”

Papa terdiam sejenak. Lalu berkata sambil memegang bahuku, “Ohya… papa mau minta tolong sama kamu Chep.”

“Minta tolong apa Pap?”

“Kamu kan sudah delapanbelas tahun. Papa mau bicara secara dewasa aja ya. Mamiemu itu pengen punya keturunan. Sedangkan papa sudah diperiksa ke dokter, hasilnya sangat mengecewakan. Kata dokter, sperma papa sudah lemah. Jadi takkan bisa membuahi lagi. Kalau dipaksakan pun nanti bayinya bisa bermasalah, bahkan bisa cacat dan sebagaInya.

Papa terdiam lagi sesaat. Lalu melanjutkan dengan suara setengah berbisik, “Papa takut kalau keinginan Mamie tidak tercapai, lama - lama bisa minta cerai nanti sama papa.”

“Iya Pap. Seorang wanita yang sudah bersuami, tentu saja punya keinginan menjadi seorang ibu, “tanggapku.

“Nah… kamu kan sudah jadi mahasiswa, tentu kamu bisa menganalisa keadaan ini. Jadi… setelah papa pikirkan matang - matang, papa hanya punya satu tumpuan harapan, yakni dirimu Chep.”

“Apa yang bisa kulakukan untuk membantu Papa?”

“Papa ingin agar kamu mewakili papa untuk menghamili Mamie.”

“Wow… itu kan berarti aku harus…”

“Harus menggauli Mamie serajin mungkin. Agar dia bisa hamil.”

Aku tertunduk sejenak. Lalu bertanya, “Memangnya Papa gak cemburu kalau aku melakukan tugas dari Papa itu?”

“Tidak, “Papa menggeleng sambil tersenyum, “Kamu kan anak papa. DNAmu pasti identik dengan DNA papa. Karena kamu adalah darah daging papa.”

Aku tidak langsung setuju, karena ada perasaan kurang nyaman juga di dalam hatiku.

“Bisa kan? “Papa menepuk bahuku, “Bisa kamu membantu papa dalam masalah yang satu itu?”

Aku menatap mata Papa. Lalu mengangguk perlahan, “Demi Papa aku mau mencoba untuk melakukannya. Tapi… Papa udah yakin kalau Mamienya mau begituan sama aku?“

“Sudah mau. Masa dikasih anak muda setampan kamu gak mau?! Hhhh… hhhh… hhhh… “Papa malah ketawa ditahan - tahan.

“Iya deh… hitung - hitung sekalian belajar aja sama Mamie ya Pap.”

“Naaaah… dada papa langsung plong Chep. Lakukanlah dengan tenang ya. Jangan punya perasaan ini - itu. Konsentrasi saja pada Mamie yang ingin hamil. Kamu pasti bisa. Tapi ingat… semua itu rahasia kita dengan Mamie saja. Kedua kakakmu juga jangan sampai tau.”

“Siap Pap.”

Papa tersenyum sambil menepuk - nepuk bahuku. “Ya udah papa mau terbang ke Medan nanti sore, sekarang mau siap - siap dulu.”

“Iya Pap. Pulangnya bawain sirop markisa ya.”

“Iya. Lakukanlah tugas rahasiamu dengan baik, bahagiakan hati Mamie sebisamu.”

“Siap Pap.”

Papa keluar dari kamarku. Aku pun keluar menuju dapur, minta dibikinin kopi pahit sama Bi Caca, pembantu yang sudah bertahun - tahun bekerja di rumah ini.

Jam 13.00 sebuah mobil perusahaan datang untuk menjemput dan akan mengantarkan Papa ke bandara.

Aku dan Mama mengantarkan kepergian Papa sampai pintu pagar besi.

Setelah mobil perusahaan yang akan mengantarkan Papa ke bandara menghilang dari pandangan, Mamie mengajakku ke dalam kamarnya.

Setelah berada di dalam kamar, Mamie memegang pergelangan tanganku sambil berkata, “Mamie ingin nyobain dibawa olehmu dengan mobil baru itu. Tapi nanti malam aja jalannya. Sekarang sih pengen kangen - kangenan dulu sama kamu.”

“Iya Mam. Aku juga udah kangen berat, dua minggu gak lihat Mamie rasanya rindu banget,” sahutku sambil memeluk dan mencium bibir ibu tiriku yang jelita itu.

Mamie pun mendekap pinggangku sambil menciumi sepasang pipiku. “Mamie apa lagi. Kangen sekali padamu.”

“Sekarang kita bisa melakukannya dengan tenang ya Mam. Tanpa rasa takut ketahuan Papa lagi.”

“Iya. Tapi jangan sampai ketahuan sama Caca juga. Nanti dia bisa bocorin rahasia ke luar.”

“Tentu aja Mam. Tadi Papa juga udah mewanti - wanti bahwa kita harus merahasiakan. Teh Susie dan Teh Nindie juga jangan sampai tau.”

Tapi diam - diam aku teringat sesuatu yang pernah terjadi, tanpa sepengetahuan Mamie. Sesuatu yang memalukan, mungkin. Tapi biar bagaimana hal itu sudah tergores di dalam history of my life. Sejarah kehidupanku. Takkan bisa dihapus lagi. Dan aku masih ingat semuanya.

Sebelum aku mendapat libur panjang, Papa dan Mamie sedang berada di kampung Mamie. Katanya sih mau menikahkan adik Mamie di kampungnya.

Pada saat itulah, sepulang kuliah aku memanggil Bi Caca. “Bi bisa mijitin gak?”

“Mijit? Sedikit - sedikit sih bisa Den,” sahut Bi Caca, “Memang Den Chepi mau dipijit?”

“Iya Bi… duuuh pegel - pegel kaki dan pinggangku Bi.”

“Iya. Entar saya pijitin. Mau cuci tangan dulu ya Den.”

“Iya, kutunggu di kamar ya Bi.”

“Iya Den…”

Kemudian aku masuk lagi ke dalam kamarku. Kutanggalkan baju dan celana yang kupakai kuliah tadi. Dan dalam keadaan cuma bercelana dalam, aku menelungkup di atas bedku.

Tak lama kemudian Bi Caca masuk ke dalam kamarku. “Mau pakai minyak gosok Den?” tanyanya.

“Jangan ah,” sahutku, “Nanti badanku berminyak - minyak dan panas. Pakai tangan aja,” kataku sambil tetap menelungkup.

“Mau diurut biasa Den?”

“Iya. Diurut biasa aja, sambil pijit - pijit. Biar pegel - pegelnya berkurang.”

Lalu Bi Caca mulai memijati telapak kaki dan jari -jarinya. Dilanjutkan dengan memijat dan mengurut - urut betisku.

“Nahhh… ini enak Bi… pinter juga Bibi mijit ya…”

“Kalau ada Ibu mah mungkin saya gak disuruh mijit ya Den. Hihihiii…” kata Bi Caca sambil menahan tawanya.

Aku kaget mendengar ucapan Bi Caca itu. Apa maksudnya? Apakah dia menyindirku atau asal nyeplos ngomong aja.

“Aku gak pernah dipijitin sama Mamie Bi.”

“Iii… iya Den. Tapi Ibu memang sangat baik ya sama Den Chepi. Gak seperti ibu tiri.”

“Sangat baik gimana?”

“Ngg… nggak pernah marahin… hihihihiii… “Bi Caca menahan tawanya lagi.

Wah… jangan - jangan dia sudah tahu kalau aku suka menggauli Mamie.

Lalu aku harus bilang apa? Aku malah tak berani menanggapinya, karena takut masalahnya jadi melebar ke mana - mana.

Tapi bagaimana kalau dia menyebar gossip ke pembantu tetangga yang suka pada ngerumpi di pinggir jalan?

Aku harus berusaha meredam nsegala kemungkinan buruk di kemudian hari…!

Lalu aku langsung memindahkan topik pembicaraan. “Bi Caca ini statusnya janda apa punya suami?” tanyaku.

“Punya suami Den. Tapi ketemunya juga cuma dua tahun sekali.”

“Lho kok bisa?!”

“Suami saya bekerja di Arab Den. Pulang setahun sekali aja gak bisa, karena gajinya sedikit. Tapi belakangan ini saya dengar kabar bahwa dia sudah nikah lagi, dengan TKW yang kerja di Arab juga. Gak taulah… saya pusing kalau mikirin suami. Makanya saya bekerja di sini juga, karena butuh duit untuk anak saya.

“Punya anak berapa?” tanyaku sambil membalikkan badan jadi celentang, “Bagian depannya juga pijitin Bi.”

“Iya Den.”

“Eeeh, tadi aku nanya punya anak berapa?”

“Cuma seorang Den baru usia empat tahun.”

“Terus sama siapa anak itu sekarang?” tanyaku samb il mengamati Bi Caca yang sedang mwembungkuk memijati betis dan pahaku, sementara aku melihat sesuatu yang luar biasa lewat belahan daster bagian dadanya. Tampak pertemuan sepasang bukit kembar itu dengan jelas. Dan aku yakin toket Bi Caca itu gede…

Dan… diam - diam batang kemaluanku mulai menegang di balik celana dalamku yang terbuat dari bahan kaus putih ini. Sambil membayangkan seperti apa bentuknya kalau Bi Caca telanjang di depan mataku? Dan seperti apa bentuk memeknya? Seperti apa pula rasanya kalau aku ewean sama dia?

Ini jelas. Bahwa nafsuku sudah mulai menggoda. Dan dengan pesatnya menjadi hasrat yang tak terkendalikan lagi. Sehingga akhirnya kusembulkan batang kemaluanku dari sela celana dalamku. Sambil memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, aku berkata, “Ini kalau sudah bangun begini harus diapain Bi?

Bi Caca menoleh ke arah kontol ngacengku yang seolah menunjuk ke langit - langit kamarku. “Waaaauuuu… Deeeen… itunya kok panjang gede gitu Deeen…”

“Iyaaa… terus sekarang ngaceng begini musti diapain biar lemas lagi? Harus diemut kali ya sama Bibi?!”

“Waaah… saya belum pandai emut - emutan. Punya suami saya juga belum pernah saya emut Den.”

“Terus harus diapain? Harus dientotin ke memek Bibi kali ya?”

Bi Caca mendadak tampak bersemangat. Dia memegang batang kontolku dengan tangan gemetaran. “Memangnya Den Chepi berkenan ngentot saya gitu?”

“Mau Bi. Mau banget. Yang penting kontolku bisa lemas lagi. Kalau ngaceng begini suka pegel.”

“Sekarang Den?” tanyanya seperti belum yhakin pada ucapanku.

“Tahun depan!” sahutku, “Ya sekarang lah. Kan ngacengnya juga sekarang.”

“Berarti saya harus telanjang ya Den?”

“Ya iyalah. Biar jelas semuanya. Bi Caca seksi kok malam ini.”

Bi Caca memang pembersih dan pesolek. Pembantu zaman sekarang beda dengan babu di zaman dahulu. Pembokat zaman sekarang seperti Bi Caca itu, rambut pun dicat dengan warna kecoklatan. Bibirnya yang lebar tak pernah lolos dari lipstick.

Bi Caca memang tidak cantik, tapi manis. Sesuai dengan warna kulitnya yang hitam manis. Tubuhnya tinggi montok, terutama montok di toket dan bokongnya itu. Tapi jujur, baru sekali ini aku memperhatikan beberapa kelebihannya itu.

“Ayo telanjang. Aku juga udah telanjang nih,” kataku sambil melemparkan celana dalamku ke lantai, karena nanti akan diganti oleh celana dalam yang sudah dicuci dan disetrika.

Bi Caca tak kelihatan ragu menanggalkan dasternya. Sehingga tubuhnya tinggal mengenakan beha dan celana dalam yang sama - sama berwarna merah. Lalu kulihat ia sudah menanggalken behanya, sehingga sepasang toketnya yang memang gede itu tak tertutup apa - apa lagi.

Sambilk membungkuk, Bi Caca melepaskan celana dalam merahnya. Sehingga memekjnya yang berwarna coklat muda itu tak terhalang seutas benang pun lagi. Setelah melihat bentuk memeknya yang tercukur bersih itu, hatiku berkata, “Dia benar - benar mengikuti trend masa kini. Memeknya pun dibersihkan dari jembut, sehingga seolah menantangku untuk menjilatinya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu