2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

Ayunan batang kemaluanku di dalam liang memek Mamie seolah sudah sama - sama hafal. Mamie sudah hafal tentang “rasa” kontolku, sementara aku pun sudah hafal pada rasa memek ibu tiriku cantik dan baik hati padaku itu.

Aku pun sudah hafal pada apa yang selalu Mamie inginkan pada waktu sedang kusetubuhi begini. Dia paling sukla kalau dijilati leher dan telinganya. Itu biasa kulakukan sambil meremas dan memainkan pentil toket kanannya.

Maka berkumandanglah desahan - desahan erotis Mamie yang berbaur dengan rintihan dan rengekan histerisnya.

“Oooo… ooooh Chepi… Chepiiii… kontolmu memang luar biasa Cheeeep… mamie sudah tergila - gila oleh entotanmu… enak sekali Cheeepiii…”

Semuanya terjadi dengan penuh nikmat. Karena biar bagaimana pun Mamie adalah sosok yang penuh surprise bagiku. Sosok yang kugilai sejak aku masih di SMP dan akhirnya kudapatkan setelah aku menjadi mahasiswa.

Diam - diam aku mulai menghitung sosok - sosok yang pernah kugauli selama ini. Sudah ada 6 orang. Mamie, Mama, Bi Caca, Bu Shanti, Gita dan Yama.

Cukup banyak. Tapi kalau dibandingkan dengan pengakuan teman karibku yang bernama Hendra itu, aku masih kalah jauh. Hendra hanya lebih tua 2 tahun dariku. Tapi pengalamannya sudah segudang. Dia mengaku sudah menggauli 23 orang perempuan. Tentu saja semuanya perempuan baik - baik, maksudnya bukan PSK, amatir dan sebangsanya, karena kami sama - sama tak mau menyentuh perempuan nakal.

Setelah aku dan Mamie sama - sama terkapar, aku masih sempat bertanya poadanya, “Bagaimana sikap Papa setelah tau Mamie mulai hamil?”

“Senang sekali,” sahut Mamie, “terutama karena mamie dihamili oleh anak kandungnya sendiri. Darah dagingnya sendiri.”

“Nggak keliatan cemburu sedikit pun?” tanyaku.

“Kalau orang luar yang menghamili mamie, tentu Papa bakal cemburu. Tapi karena yang menghamili mamie anak kesayangannya, Papa malah tampak bahagia.”

Tiba - tiba handphoneku berdenting. Itu adalah WA dari Bu Shanti, karena bunyi notificationnya kubedakan dengan notification dari yang lain. Tapi aku tak mau langsung membukanya, takut Mamie menanyakan WA dari siapa dan aku susah membohonginya.

Setelah bersih - bersih dan berada di dalam kamarku, barulah kubuka WA dari Bu Shanti itu. Isinya :

-Sayang, ternyata mamaku sudah setuju kalau dirimu dijadikan calon suamiku. Tapi dia ingin bertemu dulu denganmu. Besok kan hari Minggu. Bisa kan datang ke rumahku pagi - pagi? Tapi ingat, jangan ngomong kalau kita pernah berhubungan sex ya -

Kujawab singkat : -Siap Mam -

Setelah meletakkan handphoneku di atas meja tulis, aku merebahkan diri sambil menerawang jauh ke depan. Aku memang sudah menyiapkan mentalku, jika pada suatu saat aku harus menikah juga dengan Bu Shanti, aku akan menyetujuinya. Tapi setahuku, Bu Shanti akan mengambil program S3 dulu, baru mau menikah.

Yah… pokoknya aku akan mengikuti arus air saja, mengalir dari hulu ke muara. Gak rugi juga aku menikah dengan perempuan yang 8 tahun lebih tua dariku. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa Bu Shanti takkan menyusahkanku, karena dia sudah punya pekerjaan terhormat, sebagai dosen di kampusku. Sudah punya rumah yang mentereng pula.

Esok paginya, setelah sarapan pagi aku pun mengeluarkan mobilku, menuju rumah Bu Shanti yang terletak di luar kota itu.

Ketika mobilku sudah memasuki pekarangan rumah Bu Shanti, dosenku yang cantik itu sudah berdiri di ambang pintu depan, dengan senyum manis menghiasi bibir sensualnya.

“Suasananya sudah benar - benar clear?” tanyaku setengah berbisik.

“Yang jelas Mama sudah menyerahkan kep;utusannya padaku sendiri. Gak maksa harus menikah dengan lelaki tua itu lagi,” sahut Bu Shanti, “Ayo masuk.”

Aku pun melangkah masuk ke dalam rumah dosenku, lalu duduk di sofa ruang tamu.

Bu Shanti masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia muncul lagi, lalu duduk di sampingku sambil menyerahkan sepucuk surat dengan amplop berlogo kampusku.

“Apa ini?” tanyaku heran.

“Surat tugas dari rektor,” sahutnya, “Besok aku harus terbang ke Singapore, untuk mengikuti seminar. Coba baca aja sendiri, biar jelas.”

Lalu kukeluarkan surat dari dalam amplop berlogo kampus itu. Dan kubaca isinya.

“Cuma berdua dengan Bu Nia?”

“Iya. Seperti yang tertera di surfat itu, aku akan berada di Singapore selama seminggu. Mau ngawal aku ke sana?”

“Aku belum punya paspor. Lagian kalau kuliahku ditinggalkan gimana?”

“Ohya… begini aja. Supaya hati Mama benar - benar tenang dan nyhaman, selama aku di Singapore, Papie tidur di sini aja ya.”

“Tidur di sini?”

“Iya. Yang penting malam aja. Supaya ada cowok yang memberikan rasa aman kepada mamaku. Siang dan sorenya sih mau seharian di luar juga gak apa - apa. Jadik kuliahnya berangkat dari rumah ini. Bisa kan Sayang?”

“Bisa,” sahutku, “tapi aku harus ngomong dulu sama orang tua.”

“Tentu aja. Semingguan di sini tentu bikin cemas ortu kalau gak minta ijin dulu. Besok pagi saja datangnya ke sini. Aku mau berangkat siang kok. Terbangnya dari Jakarta jam enam sore.”

“Mau dianterin ke Jakarta?”

“Gak usah. Kan pakai mobil kampus. Yang penting jagain Mama dan bikin dia kerasan di sini. Kalau gak kerasan entar pergi begitu saja. Lalu laporan sama Papa yang nggak enak.”

Belum sempat aku menanggapi ucapan Bu Shanti, muncul seorang wanita bule berperawakan tinggi tegap. Hmm… itu pasti mamanya Bu Shanti. Benar p- benar bule ibunya itu. Dan seperti kata Bu Shanti kemaren, ibunya itu tampak seperti wanita tigapuluh tahunan, padahal usianya sudah kepala empat.

“Mama… ini kenalin sama pacarku yang kuceritakan itu,” kata Bu Shanti sambil berdiri. Aku pun ikut berdiri. Membungkuk dan menjabat tangan wanita yang tak kalah cantik dari anaknya itu, dengan sikap sopan: “Chepi…” ucapku mengenalkan namaku.

“Aleta, “mamanya Bu Shanti mengenalkan namanya juga dengan senyum di bibir, tapi dengan mata seperti sedang menyelidik, “Pacarmu masih sangat muda Shanti, “ia menoleh ke arah Bu Shanti.

“Yang penting jiwanya sudah dewasa Mam,” sahut Bu Shanti.

“Tapi dia kan masih kuliah.”

“Gak masalah Mam. Orang sudah punya cucu juga ada yang baru masuk kuliah.”

“Terus rencana kalian mau menikah kapan?”

“Kalau Chepi sih siap menikah kapan aja. Masalahnya justru ada di aku,” kata Bu Shanti, “aku mau mengambil es-tiga dulu. Setelah dapet es-tiga, aku siap kawin Mam.”

“Iya, iya, iyaaa… mama sih setuju saja. Mudah - mudahan papamu juga bisa menyetujuinya. Terus rencanamu besok mau berangkat jam berapa?” tanya mamanya Bu Shanti yang aku belum tau harus menyebut apa. Nyebut tante atau ibu atau apa?

“Dari sini berangkatnya siang. Terbangnya dari Jakarta jam setengah tujuh malam.”

“Lalu mama di sini sama siapa selama kamu di Singapore? Masa cuma sama bediende? “(bediende = pembokat/pelayan)

“Ohya… selama aku berada di Singapore, Chepi mau tidur di sini Mam.”

“Betul begitu Chep?” mamanya Bu Shanti menoleh padaku.

“Betul Tante,” sahutku.

“Panggil mama aja deh. Kamu kan calon menantuku,” kata mamanya Bu Shanti. Maka untuk selanjutnya aku akan memanggilnya Mama atau lengkapnya Mama Aleta (supaya tidak tertukar dengan mama kandungku).

Lalu kami ngobrol ke barat ke timur. Tapi pembicaraan diborong oleh Bu Shanti dan mamanya, sementara aku leb ih banyak jadi pendengar yang baik saja.

Esok paginya aku membekal pakaian agak banyak di dalam tasku. Dan pamitan pada Mamie. Bahwa aku disuruh nungguin rumah dosen yang mau seminar di Singapore. Aku juga bilang bahwa dosen yang satu itu sangat menentukan bagiku di kampus. Karena itu aku ingin berbaik - baik dengannya.

Mamie cuma mengangguk - angguk dan mengiyakan. Tanpa bertanya apakah dosen itu lelaki atau perempuan.

Lalu aku berangkat ke rumah Bu Shanti.

Setibanya di rumah Bu Shanti, aku ikut membantunya untuk packing barang - barang yang mau dibawa ke Singapore. Dan secara bisik - bisik Bu Shanti bilang harus begini harus begitu dalam menghadapi wanita bule yang ibu kandungnya itu.

“Kalau dia minta diantar ke mall, antarin aja ya, please,” kata Bu Shanti.

“Iya, santai aja Mam. Kalau minta diantar ke daerah wisata gimana?”

“Ya kalau Papie gak keberatan, silakan anterin aja. Yang penting hatinya merasa nyaman dan kerasan tinggal di sini. Tapi ini tidak berarti kalau aku mendikte dan main perintah sama kamu Sayang.”

“Ya nggaklah. Beliau kan calon mertuaku Beib.”

Bu Shanti tersenyum. Mengecup bibirku lalu berkata, “Sebenarnya aku ingin bercinta lagi denganmu. Tapi suasana belum mengijinkan. Nanti aja sepulang dari Singapore kita habis - habisan ya.”

“Siap Bu Dosen cantik rupawan…”

Bu Shanti tersenyum manis lagi.

Siangnya, sebuah minibus datang menjemput Bu Shanti. Aku hanya bisa mengantarkannya ke pintu pagar bersama Mama Aleta, sambil melambaikan tangan.

Kebetulan hari itu tidak ada kuliah. Sehingga aku bisa berkata kepada Mama Aleta, “Kalau Mama mau ke mall atau ke mana aja, aku siap mengantarkan Mama.”

Mama Aleta malah mengusap - usap rambutku di ruang tamu sambil berkata, “Kamu baik dan sopan. Tampan pula. Pantaslah Shanti jatuh cinta padamu. Ohya, kamuj kuliah jam berapa? Ini sudah jam satu siang Chep.”

“Kebetulan hari ini gak ada kuliah Mam. Besok juga kuliahnya sore,” sahutku.

“Mama sih udah kangen sama pemandian air panas mineral,” kata Mama Aleta sambil menyhebutkan nama pemandian air panas itu.

“Mama mau ke sana? Ayo kuantarkan sekarang. Mumpung aku gak ada kuliah.”

“Beneran nih? Nggak ngerepotin?”

“Nggak Mam. Jangankan ke pemandian air panas. Mama minta diantarkan ke Jakarta juga akan kuantarkan. Asalkan besok sore aku masih bisa kuliah.”

“Ya udah… kita ke pemandian air panas aja sekarang. Tapi harus bawa handuk dan sabun ya?”

“Iya, sebaiknya begitu Mam.”

Beberapa saat kemudian Mama Aleta sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan hitam yang kukemudikan menuju ke luar kota.

“Enaknya sih ke pemandian air panas itu malam - malam,” kata Mama Aleta ketika mobilku sudah meluncur menuju ke daerah pemandian air panas itu.

“Iya Mam. Kan pemandian air panas itu buka duapuluhempat jam.”

“Betul. Lain kali kalau mau ke sana lagi, harusnya malem - malem. Ohya, Chep… hubunganmu sudah sejauh mana dengan Shanti?”

“Sangat dekat Mam.”

“Siapa yang duluan jatuh cinta? Kamu apa Shanti?”

“Aku Mam. Sudah berbulan - bulan kupendam perasaan ini. Tapi akhirnya diucapkan juga. Kebetulan dia juga jatuh hati padaku. Jadi begitulah.”

“Kamu sudah pernah berhubungan seks sama dia?”

“Belum Mam,” sahutku berbohong, seperti yang dianjurkan oleh Bu Shanti.

“Masa?!”

“Betul Mam.”

“Perlu mama ajarin supaya bisa memuaskan Shanti kelak? Hihihiii…”

“Haaa?! Diajarin gimana Mam?”

“Ah masa kamu gak ngerti?! Mmm… di matamu, mama sama Shanti cantikan mana?”

Aku bingung menjawabnya. Kok ada ya seorang ibu ingin dibandingkan kecantikan dengan anaknya. Tapi aku berusaha menjawab sejujur mungkin, “Mama sama Shanti sama cantiknya. Cuma Mama punya nilai plus di mataku.”

“Apa itu nilai plusnya?”

“Mama lebih itu… mmm… berat ngomonginnya.”

“Ah cuma ditanya segitu aja pakai berat segala. Mama jadi penasaran nih. Apa nilai plus mama Chep?”

“Mama… mmm… Mama lebih seksi.”

“Ohya?! Terima kasih ya,” ucap Mama Aleta yang dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku, membuatku terkejut. Lalu pikiranku jadi ngelantur ke mana - mana.

Lebih dari itu, Mama pun menggenggam tangan kiriku sambil berkata, “Nanti sepulangnya dari pemandian air panas, mama ajarin kamu ya…”

“Mau ngajarin aku dalam soal apa Mam?” tanyaku ingin mendapat kejelasan.

“Dalam soal seks. Kamu mau kan diajarin masalah seks?”

“Teorinya atau mmm… atau prakteknya Mam?”

“Dua - duanya.”

“Wah… mungkin Mama mau menjebakku. Ingin menguji kesetiaanku pada Shanti ya Mam?”

“Mama tidak selicik itu Chep. Bahkan kalau kamu diajarin prakteknya nanti, jangan sampai Shanti tau nanti.”

Pikiranku semakin tak menentu. Seandainya Mama Aleta punya niat yang sebenarnya padaku, tentu saja aku takkan menolaknya.

“Apa motivasi Mama sehingga mau mengajariku dalam masalah seks?” tanyaku.

“Supaya kamu trampil nantinya. Dan jujur saja… mama juga membutuhkan laki - laki yang masih segar seperti kamu.”

“Jadi nanti kita harus take and give ya mam.”

“Ya… take and give di dalam bahasa Belandanya… genomen en gegeven.”

Tak lama kemudian mobilku sudah kuhentikan di areal parkir pemandian air panas mineral yang terkenal ini. Peralatan mandi Mama Aleta dan peralatan mandiku dikeluarkan dan kujinjing menuju loket penjualan tiket. Aku mendahului Mama Aleta membayar tiket masuk, karena jangan sampai beliau yang membayar.

Setelah berada di dekat kolam renang air panas, aku bertanya pada Mama Aleta, “Mau mandi di kolam itu atau mau di kamar mandi?”

Mama Aleta menjawabnya dengan bisikan, “Kalau di kolam kan harus poakai bajku renang. Mama gak bawa baju renang. Di kamar mandi aja.”

“Mau pakai dua kamar apa satu kamar Mam?”

“Satu aja. Ngapain dua - dua?”

Lalu kupesan dan kubayar satu kamar mandi.

Beberapa saat kemudian aku dan Mama Aleta sudah berada di dalam kamar mandi yang tertutup dan terkunci. Ada bak mandinya yang hampir menghabiskan lantai kamar mandi ini saking besarnya.

Air panas mineralnya sedang dikucurkan dengan derasnya, sehingga uap pun mengepul dari permukaan air panas yang berasal dari gunung berapi itu.

Mama Aleta seperti tak sabar lagi. Beliau melepaskan blouse putih dan celana panjang corduroy biru tuanya. Disusul dengan pelepasan beha dan celana dalam serba putihnya. Lalu Mama Aleta turun ke bak mandi yan g lebih tepat disebut kolam kecil itu. Padahal airnya baru sebatas lutut.

Sementara aku cuma terlongong menyaksikan betapa indahnya tubuh wanita Belanda itu. Biasanya perempuan yang sudah berumur kepala empat, perutnya suka buncit. Tapi perut Mama Aleta kecil, tidak kelihatan buncit sedikit pun.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu