2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

**Part 19

Sebenarnya aku merasa kecewa juga, karena tidak bisa menyetubuhi Mamie. Hal itu membuatku jadi gragasan. Maka ketika Mamie sedang menidurkan Ade, aku keluar dari kamarnya dan menghampiri adik Mamie yang bernama Anna itu. Lalu kubisikkan sesuatu di dekat telinganya. Tapi apa jawabannya? “Aku lagi datang bulan Sayang.

Akhirnya aku pulang lagi ke kantorku, karena saat itu baru jam duabelas siang. Masih jam kerja.

Tapi di kantor sedang sepi. Karena jam makan siang. Karyawan dan karyawatiku memang diijinkan untuk makan di luar selama sejam. Tadinya Mbak Nindie yang mengurus makanan mereka. Tapi belakangan Mbak Nindie lebih sering tinggal di rumahnya dan tidak mengurusi makan karyawanku lagi. Sehingga karyawanku diijinkan untuk makan di luar sambil istirahat selama sejam.

Tiba - tiba satpam memberitahuku bahwa di luar ada seorang wanita yang ingin menghadap padaku. Meski kantor sedang istirahat, kuijinkan tamu itu masuk ke ruang kerjaku.

Alangkah kagetnya aku ketika kulihat tamu itu, seorang wanita bule yang sudah sangat kukenal, karena beliau dosenku yang blasteran Indo-Spanyol bernama Claudia…!

“Chepi?!” ucapnya setelah berhadapan denganku.

“Bu Claudia?!” sahutku dengan perasaan resah. Takut mempertanyakan kenapa aku cuti kuliah selama setahun.

“Jadi yang pasang iklan itu Chepi?”

“Iya Bu. Silakan duduk.”

“Kantornya sepi begini Chep?” Bu Claudia duduk di sofa ruang tamu kantor.

“Sedang pada makan siang Bu.”

“Owh. Jadi kesibukan dalam bisnismu yang membuat cuti kuliah dua semester Chep?”

“Betul Bu. Terus Ibu mau menitipkan siapa?”

“Aku datang untuk diriku sendiri Chep. Karena membaca iklanmu itu.”

“Ibu kan dosen. Masa mau nyari kerja pula.”

“Why not? Kalau ada pekerjaan yang punya prospek lebih bagus, apa salahnya aku beralih profesi?”

“Ibu pakai apa ke sini?”

“Pakai taksi.”

“Kalau begitu bisa Ibu ikut aku ke kantor yang baru akan dibuka dua bulan lagi?”

“Boleh.”

“Nanti kita ngobrolnya di sana saja ya Bu.”

“Iya Boss.”

“Aaah, jangan manggil boss dulu lah. Ibu kan belum jadi karyawati saya.”

Aku memang memasang iklan di media cetak dan elektronik. Isinya, mencari tenaga profesional untuk beberapa posisi manager. Tapi gak nyangka kalau dosen yang terkenal jutek di kampus itu akan melamar kerja pula.

Tak lama kemudian Bu Claudia sudah berada di dalam mobilku, menuju kantor yang masih dibangun dan mendekati tahap finishing itu.

Kantor yang sedang dibangun itu terletak di luar kota, dekat perumahan di mana aku sudah membelikan rumah untuk Nike itu.

Dosen - dosen di kampusku memang banyak blasterannya. Bahkan yang asli bule juga ada. Tapi tentu saja mereka sudah bisa berbahasa Indonesia semua.

Menurut berita dari mulut ke mulut, Bu Claudia itu blasteran Indo Spanyol. Ayahnya orang Indonesia, ibunya orang Spanyol. Tapi melihat dari bentuknya yang tinggi langsing itu, Bu Claudia itu seperti bule asli. Tidak kelihatan darah Indonesianya sedikit pun.

Bu Claudia memang cantik. Tapi sayang, sikapnya di kampus selalu jutek. Sehingga aku kurang menyukainya. Tapi kalau dia menjadi anak buahku kelak, pasti lain lagi masalahnya.

“Ibu ingin mengisi posisi yang mana?” tanyaku ketika mobilku sudah meluncur di jalan raya.

“Maunya sih manager marketing. Biar sesuai dengan pendidikanku Chep.”

Meski Bu Claudia itu dosenku, tetap kupertimbangkan keinginannya secara profesional. Terutama setelah aku tahu sikap sehari - harinya yang jutek itu. Mungkin lebih tepat beliau kutempatkan sebagai manager produksi.

Maka tanyaku, “Kalau manager produksi bagaimana?”

“Yang diproduksi apa saja Chep?” Bu Claudia balik bertanya.

Lalu kujelaskan apa saja yang akan diproduksi setelah perusahaan baru itu aktif.

“Kalau jadi manager produksi, aku harus belajar dulu dong. Aku kan harus menguasai ilmu mengenal barang - barang yang diproduksi itu,” kata Bu Claudia.

“Jadi Ibu berkeras ingin mendapatkan jabatan manager marketing?” tanyaku.

“Bukan berkeras… aku cuma memohon padamu agar ditempatkan sebagai manager marketing,” sahut Bu Claudia dengan suara memohon.

“Maaf Bu… boleh aku bicara terus - terang?”

“Tentu aja. Sebaiknya kita sama - sama berterus terang Chep,” sahut Bu Claudia sambil memegang lutut kiriku. Nah… ini pertama kalinya dosen jutek itu menyentuh fisikku.

Tapi aku berusaha untuk tetap bersikap profesional. Maka kataku, “Di samping pendidikannya harus sesuai dengan jabatannya, manager marketing itu harus ramah dan murah senyum Bu.”

“Hihihi…! Kamu nyindir ya? Karena aku jarang tersenyum di kampus?”

“Tidak pernah tersenyum. Bukan jarang lagi.”

“Di kampus kan beda dengan di perusahaan Chep. Nih lihat… sekarang aku tersenyum buat Chepi…”

Aku menoleh. Gila… dia tersenyum padaku dalam jarak yang sangat dekat dengan wajahku.

“Nah… kalau tersenyum begitu… kelihatan jelas bahwa Ibu ini sangat cantik.”

“Masa sih?! Mmm… sebenarnya ada latar belakang yang membuatku sering kelihatan murung di kampus. Murung ya, bukan jutek.”

Aku tidak menanggapi.

Bu Claudia melanjutkan, “Suamiku menderita kanker hati. Hal itu sangat menyita waktuku. Membuatku murung juga. Dan akhirnya, enam bulan yang lalu suamiku meninggal.”

“Owh… maaf… aku ikut belasungkawa Bu.”

“Terima kasih.”

“Tapi sekarang Ibu sudah bisa move on kan?”

“Dari mana Chepi tau kalau aku sudah mulai move on?”

“Sekarang Ibu kan sudah bisa tersenyum dan tertawa.”

“Iyalah. Suamiku sudah beristirahat untuk selama - lamanya. Sementara aku harus berjuang terus untuk menghidupi diriku sendiri.”

“Bu Claudia belum punya anak?”

“Belum.”

“Kalau masalahnya seperti itu, mungkin aku bisa mempertimbangkan Ibu untuk menduduki jabatan manager marketing.”

“Naaah… aku bahagia sekali mendengarnya.”

Kemudian aku menjelaskan gaji dan profit yang akan dia terima setelah menjadi manager marketing nanti. Tentu saja Bu Claudia kaget, karena nominal gaji dan profitnya pasti jauh di atas gajinya sebagai dosen.

Tiba - tiba Bu Claudia mencium pipi kiriku, disusul dengan ucapan, “Jadikan aku manager marketing ya. Aku mohon Chep…”

Aku terkesiap, karena tak menduga bakal mendapat kecupan di pipi segala. Maka aku pun tidak bisa bersikap kaku lagi. Kubelokkan mobilku ke bahu jalan, lalu kuhentikan tapi mesinnya tetap aktif.

“Kenapa berhenti di sini Chep?” tanyanya.

“Ciuman Ibu barusan membuat hatiku berdesir. Jadi harus kutenangkan dulu.”

“Hihihiii… kamu bisa aja. Kalau aku diterima sebagai manager marketing, nanti aku berikan semuanya untukmu Chep.”

“Terus profesi Ibu sebagai dosen gimana?”

“Ya ditinggalkan aja. Aku ingin move on dan seolah dilahirkan kembali, dengan profesi dan suasana baru.”

“Ibu lihat bangunan yang belum selesai di sebrang jalan itu?”

“Owh… keren sekali… itu bangunan yang akan dijadikan kantor barumu Chep?”

“Iya. Mau lihat - lihat ke sana?”

“Gak usahlah. Kecuali kalau Chepi mau memeriksanya ke sana.”

“Aku tidak ada urusan dengan buruh yang sedang bekerja di situ. Aku hanya berurusan dengan kontraktornya. Kalau dua bulan lagi belum siap juga, aku pasti claim nanti.”

“Kalau Chepi gak keberatan, sekarang anterin aja aku pulang. Supaya Chepi tau di mana rumahku.”

“Boleh. Tapi kita makan siang dulu ya.”

“Terserah Boss,” sahutnya sambil tersenyum.

Gila… dalam keadaan tersenyum seperti itu, Bu Claudia memang cantik sekali. Terutama matanya yang sayu dan bibibrnya yang sensual itu… membuatku jadi rikuh. Ingin sekali mencium bibirnya. Tapi aku masih menghormatinya sebagai dosenku.

Tapi Bu Claudia seolah tahu apa yang kuinginkan. Dan… ia mendahuluiku. Mencium bibirku dengan mesranya. Membuatku gelagapan, tapi lalu kulingkarkan lenganku di lehernya. Dan melumat bibirnya dengan lahap.

Bermenit - menit kami saling lumat bibir di dalam mobilku yang kacanya gelap semua ini. Tanpa rasa takut kelihatan dari luar.

Setelah ciuman kami terlepas, Bu Claudia menyandarkan kepalanya di bahu kiriku. Lalu terdengar suaranya, “Kalau aku diangkat sebagai manager marketing, Chepi akan menjadi orang pertama move-on ku.”

Aku tidak cepat menyahut, meski hatiku sudah menerimanya. “Sekarang kita isi perut dulu ya. Kalau perut lapar, tidak bisa bicara secara normal.”

Tapi Bu Claudia bicara terus: “Kalau aku dijadikan manager marketing, dijadikan perempuan simpananmu pun aku siap Boss.”

“Is that your promise?” tanyaku.

“Yes. That’s my promise,” sahutnya.

Di belakang setir mobil yang sudah kujalankan di jalan raya, aku membayangkan seandainya hal itu terjadi. Bahwa dosenku yang usianya 31 atau 32 tahunan, yang kulitnya bule, berperawakan tinggi langsing dan sangat cantik itu menjadi simpananku… pasti menyenangkan.

Lalu belokkan mobilku ke pelataran parkir sebuah restoran bertaraf internasional.

Suasana di dalam restoran itu kebetulan sedang lengang, karena jam makan siang sudah lewat. Sudah jam empat sore.

Sementara itu suasana perasaanku jadi berubah drastis kalau dibvandingkan dengan suasana di kampus. Karena Bu Claudia terus - terusan menatapku dengan mata sayunya, bibir sensualnya pun menyunggingkan senyum manis terus.

Aku memesan steak double combo, whiskey cola dan kopi esspresso tanpa gula. Sementara Bu Claudia memesan spaghetti bolognesse, hot wings dan juice guava.

“Jadi keputusannya gimana? Apakah aku diterima?” tanya Bu Claudia pada suatu saat.

“Dua - duanya diterima,” sahutku.

“Dua - duanya gimana?”

Akuj menengok ke sekitarku, karena takut ada yang ikut nguping pembicaraan kami. Setelah merasa aman, aku berkata perlahan, “Diterima sebagai manager marketing dan menjadi perempuan simpananku.”

“Hihihiii… point kedua sih bukan lamaran. Harus Chepi yang nembak duluan.”

“Ya udah, sekarang kutembak… dooorrr…” ucapku sambil menodongkan telunjukku ke dada Bu Claudia.

Bu Claudia memegang dadanya sambil memejamkan mata dan berkata, “Aku siap meladeni boss siang mau pun malam.”

Aku yang duduk di sampingnya pun mendekatkan mulutku ke telinganya, lalku berbisik, “Si dede langsung bangun Sweetheart…”

Bu Claudia menatapku dengan bola mata bergoyang. Dan berkata perlahan, “Nanti nginep aja di rumahku ya.”

“Boleh?”

“Boleh lah. Aku kan sendirian di rumah. Ada juga pembantu, biasanya jam segini sudah pulang.”

“Oke. Untuk pendekatan profesi dan pribadi, aku akan tidur di rumah Ibu.”

“Aku kan calon anak buahmu. Jangan manggil Ibu lah. Panggil apa saja asal jangan manggil Ibu.”

“Manggil Beib boleh?”

“Hihihiii… iya… enak juga dipanggil beib sama brondong.”

“Umurku sudah sembilanbelas tahun Beib.”

“Iya… sebelas tahun lebih muda dariku.”

“Memangnya udah tigapuluh tahun? Kelihatannya kayak di bawah duapuluhlima.”

“Masa sih?! “Bu Claudia mengerling centil. Memang perempuan paling suka kalau dibilang cantik dan lebih muda daripada usianya. Padal tadi aku mengira usianya sudah di atas 30 tahun. Ternyata pas 30.

“Itu kopi esspresso tanpa gula?”

“Iya.”

“Bagus tuh minum kopi tanpa gula. Biar terasa manfaatnya. Apalagi espresso begitu.”

“Iya Beib.”

Bu Claudia mengerling manja lagi mendengar sebutan Beib terlontar dari mulutku.

Setelah selesai makan, kami tinggalkan pelataran parkir restoran itu, menuju ke rumah Bu Claudia. Ternyata rumahnya terletak di kompleks perumahan kelas menengah. Tidak sederhana namun tidak terlalu mewah.

Tapi begitu masuk ke dalam rumah dosenku itu, kelihatan penataannya serba klasik. Mungkin almarhum suaminya punya selera serba klasik. Tapi untuk seorang dosen seperti Bu Claudia, penataan serba klasik begitu memang cocok. Sehingga segalanya tampak serba intelektual.

“Mau minum apa?” tanya Bu Claudia setelah aku duduk di ruang tamu.

“Gak usah repot - repot. Duduk aja sini,” kataku sambil menepuk sofa klasik yang tengah kududuki.

“Sebentar ya. Mau ganti baju dulu,” sahutnya sambil melangkah masuk ke dalam.

Aku ditinggalkan sendirian di ruanmg tamu itu. Dengan perasaan seperti sedang bermimpi. Bahwa Bu Claudia yang terkenal jutek di kampus itu, kini hampir berada di dalam genggamanku.

Tak lama kemudian Bu Claudia muncul lagi. Sudah mengenakan gaun tanpa lengan yang terbuat dari bahan kaus berwarna biru tua.

Tadinya kupikir dia akan langsung duduk di sampingku. Tapi ternyata tidak. Dia malah berdiri di depanku sambil menyingkapkan gaun kaus birunya tinggi - tinggi, sehingga paha putih mulusnya terlihat jelas.

“Bagaimana? Apakah aku punya nilai yang sesuai dengan kriteriamu untuk dijadikan kekasih rahasiamu?”

“O my God! Sa… sangat sesuai…!” sahutku dengan mata melotot.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu