2 November 2020
Penulis —  Neena

Malam Malam Jahanam

**Part 10

A

**ku dan Mbak Nindie habis - habisan di kamar yang sudah kuberikan padanya untuk ditempati itu.

Setelah posisi doggy, Mbak Nindie ingin melakukannya dalam posisi WOT. Maka untuk kesekian kalinya dia orgasme dan orgasme lagi. Sampai akhirnya ia minta untuk kembali ke posisi missionary lagi. Dia di bawah, aku di atas.

Dalam posisi missionary ini pun Mbak Nindie memperlihatkan identitasnya. Bahwa ia suka diperlakukan lebih keras daripada semestinya. Ketika aku meremas toketnya, ia berkata, “Remas aja kuat - kuat… jangan nanggung begitu.”

Aku memang ingin meremasnya lebih kuat, tapi tadinya aku tidak tega, takut menyakiti kakakku. Setelah mendapat “instruksi” seperti itu, aku jadi tega meremas toketnya kuat - kuat, sambil menjilati dan menggigit - gigit leher Mbak Nindie.

Mbak Nindie pun merintih dan merintih lagi, “Ooooh… Cheeepiiii… ini luar biasa enaknya Sayaaaaang… sekalian cupangin leherku sebanyak mungkin Chepi Sayaaang…”

“Nanti ada bekasnya gak apa - apa?”

“Biarin. Aku kan bakal tinggal di sini… di rumah yang masih kosong ini.”

“Mulai minggu depan bakal ada satpam yang menjaga rumah ini Mbak.”

“Iya… gak ada satpam juga aku berani tinggal sendirian di sini. Kamu tau kan siapa aku sebelum nikah dahulu?”

“Heheheee… iyaaaa… aku ingat, dahulu Mbak kan pelatih bela diri… baru ingat sekarang… makanya kalau menghadapi tiga orang aja sih Mbak pasti unggul.”

“Ayo cupangin sayaaang… jangan ngobrol dulu…”

Kuikuti keinginan kakakku itu. Ketika kontolku sedang mengentot liang memeknya, tanganku sedang meremas - remas toket gedenya, mulutku pun mulai menyedot - nyedot leher Mbak Nindie sekuatnya. Sampai meninggalkan bekas merah kehitaman.

Lebih dari lima cupangan kutinggalkan di leher Mbak Nindie. Kemudian aku konsentrasi ke ayunan kontolku lagi.

Bahkan pada suatu saat aku bertanya terengah, “Aku udah deket - deket ngecrot ni Mbak. Lepasin di mana?”

Mbak Nindie menyahut, “Di dalam memek aja. Aman kok. Tapi tahan dulu sebentar… aku juga udah mau orga lagi Chep… ooooh… usahakan lepasin bareng - bareng yaaa… biar nikmaaaat…”

Lalu aku mengatur pernafasanku agar jangan dulu ngecrot sampai Mbak Nindie memperlihatkan gejala mau orgasme lagi untuk yang kesekian kalinya.

Sampai pada suatu saat, Mbak Nindie mulai berkelojotan sambil menjambak - jambak rambutku. Aku pun menggencarkan entotanku dalam gerakan yang sangat cepat.

Sampai pada suatu saat, kubenamkan kontolku sedalam mungkin sambil meremas sepasang toket Mbak Nindie kuat - kuat.

Lalu terjadilah sesuatu yang sangat indah itu. Bahwa ketika liang memek Mbak Nindie mengejut - ngejut, kontolku pun sedang mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crooooottt… crooot… croooooootttttt… croootttt… crotcrot… crooootttttttt…!

Aku pun terkapar di atas perut Mbak Nindie. Dengan tubuh sama - sama bermandikan keringat.

“Kamu luar biasa Chep. Setelah aku berkali - kali orgasme, kamu baru ngecrot,” kata Mbak Nindie sambil memjat hidungku dengan sikap seperti gemas.

“Memek Mbak terlalu enak sih. Sehingga aku sengaja mengulur waktu agar jangan cepat - cepat ejakulasi.”

“Kamu sengaja mengatur pernafasanmu agar durasinya lebih lama ya?”

“Hehehee… iya. Kalau ahli bela diri seperti Mbak, pasti tau apa yang kulakukan,” kataku sambil mencabut kontolku dari liang memek Mbak Nindie.

Kemudian kami masuk ke kamar mandi. Dan mandi bareng, sambil saling menyabuni dengan cermat serta penuh kasih sayang. Aku tahu Mbak Nindie sejak aku masih kecil sangat menyayangiku bahkan sering juga menghadiahiku mainan anak - anak.

Wajar kalau kami saling menyayangi karena kalau ditanya bin siapa, kami sama - sama bin Imron (nama Papa), meski berlainan ibu.

Pada waktu Mbak Nindie sedang menyabuni tubuhku, ia berkata, “Biar bagaimana pun kita tidak bisa menjadi suami - istri. Karena itu kita tidak boleh menyimpan perasaan cemburu. Karena pada suatu saat baik aku mau pun kamu bakal punya pasangan masing - masing. Aku punya suami lagi, kamu pun punya istri.

“Tapi kita tetap bisa melakukannya di belakang pasangan kita masing - masing kan Mbak.”

“Bisa, tapi harus secara rahasia. Agar jangan bikin heboh nantinya.”

“Tentu aja. Sekarang pun kita harus merahasiakannya.”

“Sebenarnya saat ini ada yang sangat membutuhkanmu Chep.”

“Membutuhkan apa?”

“Membutuhkan ini,” sahut Mbak Nindie sambil memegang kontolku yang sudah lemas.

“Maksud Mbak?”

“Mbak Susie tuh yang membutuhkanmu… agar bisa menghamilinya.”

“Dia sampai sekarang belum punya anak?”

“Belum.”

“Dia di Sulawesi kan?”

“Sudah di Jakarta bersama suami keduanya.”

“Suami kedua?”

“Iya Dengan suaminya yang dahulu sudah bercerai. Lalu kawin lagi dengan seorang pengusaha tajir, tapi sudah tua.”

Kemudian Mbak Nindie menceritakan keadaan Mbak Susie yang sudah lima tahun menikah dengan seorang pengusaha tua dan tidak juga dikaruniai keturunan.

Ucapan Mbak Nindie itu mengingatkanku kepada Tante Aini, yang mengalami nasib sama. Menikah dengan raja minyak, tapi belum punya anak juga. Padahal ketiga istri lainnya sudah pada punya keturunan semua.

“Tapi ingat… jangan ngomong - ngomong ke Papa. Karewna waktu kawin kedua kalinya itu Mbak Susie pakai wali hakim. Bukan Papa walinya. Jadi sampai saat ini Papa belum tau kalau Mbak Susie itu sudah kawin lagi.”

Lalu banyak lagi yang Mbak Nindie ceritakan mengenai Mbak Susie.

Kemudian Mbak Nindie bertanya, “Ohya, mengenai satpam yang mau menjaga rumah dan kantor ini nanti, sudah dapat satpamnya?”

“Belum nyari,” sahutku, “rencananya besok baru akan mendatangi biro jasa yang menyediakan tenaga untuk satpam.”

“Padahal aku bisa merekrut beberapa orang untuk satpam. Semuanya dijamin tangkas, tapi semuanya cewek,” ucap Mbak Nindie.

“Boleh. Mbak aja yang siapin satpamnya ya. Terutama untuk di kantor, tanggal satu bulan depan akan mulai sibuk.”

“Kira - kira butuh berapa orang?” tanya Mbak Nindie.

“Enam atau tujuh orang lah. Lalu dikasih shift, atur aja sama Mbak nanti. Bahkan Mbak sekalian kuangkat menjadi kepala security, bersedia?”

“Nggak apa jadi kepala security merangkap bagian kitchen?”

“Boleh - boleh aja. Mbak kan kakakku. Kita bisa atur semuanya.”

“Tapi yang akan kurekrut untuk anggota satpam itu cewek semua. Mereka adalah mantan murid - muridku waktu aku masih aktif menjadi pelatih beladiri dahulu.”

“Yang penting mereka semua mampu mengamankan rumah dan kantor ini. Mau cowok atau cewek boleh aja.”

Sebenarnya aku masih mampu untuk mengajak Mbak Nindie bersetubuh lagi. Tapi aku teringat pada Mama Aleta yang pasti meminta “sesuatu” nanti setelah aku pulang ke rumah Bu Shanti. Karena itu aku meninggalkan Mbak Nindie di rumah hadiah dari Tante Aini itu. Tentu saja aku memberi uang ala kadarnya dulu kepada Mbak Nindie, untuk kebutuhan sehari - harinya di rumah megah itu.

Tentang Mbak Susie, Mbak Nindie bilang bahwa ia akan berunding dulu lewat handphone. Nanti kalau sudah ada persetujuan, pasti Mbak Susie akan meneleponku, yang nomornya akan diberikan oleh Mbak Nindie kepada kakak sulung kami itu.

Setibanya di rumah Bu Shanti, jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Jadi aku masih bisa mengikuti permintaan Mama Aleta, agar jangan pulang terlalu malam.

Seperti yang telah kuprediksi sebelumnya, setelah aku mandi malam di kamar Bu Shanti, ternyata Mama Aleta sudah menungguku di ruang keluarga. Dengan senyum seorang wanita yang sedang naik birahi.

Untunglah aku tidak terlalu habis - habisan dengan Mbak Nindie tadi, sehingga aku masih menyisakan spirit dan energi untuk menyetubuhi Mama Aleta.

Bahkan di malam - malam selanjutnya, Mama Aleta selalu menggugahkan kejantananku untuk menggaulinya.

Sampai akhirnya Bu Shanti pulang dari Singapore, dengan oleh - oleh yang cukup banyak.

Tadinya kukira Bu Shanti akan membahas masalah hubunganku dengan Mama Aleta. Tapi ternyata tidak sama sekali. Bu Shanti malah memperlihatkanh surat keputusan universitasnya di UK, bahwa Bu Shanti mendapatkan beasiswa untuk meraih program doctornya di Inggris.

Secara kebetulan di Singapore Bu Shanti ketemu dengan rektornya yang dari Inggris itu. Dan langsung menyatakan persetujuannya untuk memberikan beasiswa kepada Bu Shanti, untuk mengejar program doctornya.

“Kalau diijinkan oleh universitas kita, minggu depan aku akan langsung terbang ke London,” kata Bu Shanti di ujung penuturannya.

Bu Shanti mencium sepasang pipiku, kemudian bertanya, “Kok dari tadi diem aja? Gak setuju kalau aku meraih es-tigaku di Inggris?”

“Aku tak boleh menentang kjemajuanmu Beib. Cuma kebayang aja nanti aku bakal kesepian kalau Mamie sudah terbang ke London. Kan nggak cukup setahun untuk kuliah lagi di sana?!”

“Papie kan banyak duit. Kalau kangen sama aku, terbang aja ke UK.”

“Nggak mungkin bisa Beib. Mulai tanggal satu bulan depan, aku akan sangat sibuk mengurus perujsahaan punya tanteku. Bahkan kuliah pun mungkin akan cuti dulu satu tahun, karena aku akan sangat sibuk di perusahaan nanti.”

“Kalau begitu, ketika kamu sedang kangen sama aku, ada Mama di sini. Mama akan kularang meninggalkan rumjah ini sampai aku menyelesaikan pendidikanku di Inggris nanti. Dia bisa menggantikan peranku kan?”

“Dan Mamie mau kangen - kangenan sama orang bule di Inggris?”

Bu Shanti tampak marah dengan ucapanku itu. “Kamu meragukan kesetiaanku padamu?” tanyanya dengan nada tinggi.

Aku menghela nafas, “Yaaaahhhh… whatever will be, will be.”

Dalam kenyataannya, Bu Shanti terbang juga ke London, karena akhirnya aku mengijinkannya dan bahkan mendukungnya agar cepat mengejar program S3 nya di Inggris.

Aku bahkan mengantarkan Bu Shanti ke bandara Soetta, sampai dia mau boarding.

Setelah Bu Shanti masuk ke dalam, aku pun melambaikan tangan sambil melakukan kiss bye (sun jauh). Kemudian meninggalkan gerbang keberangkatan itu.

Tiba - tiba aku mendengar suara perempuan memanggilku, “Cheepiii… !”

Dengan kaget aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Seorang wanita muda bergaun orange dengan motip taburan bintik - bintik putih menghampiriku.

“Mbak Susie?!” sapaku setelah wanita muda itu berdiri di depanku.

“Iya… masa lupa sama kakakmu sendiri?” sahutnya sambil merentangkan kedua lengannya.

Tanpa ragu aku pun menghambur ke dalam pelukannya.

Mbak Susie malah tak ragu untuk mencium sepasang piupiku, lalu mencium bibirku dengan hangatnya. “Kamu makin tampan aja Chep… !” ucapnya setelah melepaskan ciumannya.

“Mbak juga makin cantik aja. Dan… tetap muda,” sahutku, “Kalau berdampingan dengan Mbak Nindie, Mbak Susie kelihatan jauh lebih muda.”

“Hush… usiaku sebaya dengan Mamie lho.”

“Tapi kalau Mbak berdampingan dengan Mamie, pasti orang mengira Mbak jauh lebih muda daripada Mamie.”

“Begitu ya… mmm… lagi ngapain ada di sini?”

“Abis nganterin dosenku yang mau terbang ke London. Mbak sendiri mau ngapain di sini?”

“Abis nganterin suamiku yang mau terbang ke Tashkent. Nanti transit dulu di Dubai.”

“Tashkent Uzbekistan?”

“Iya. Ibunya kan orang Uzbekistan.”

“Owh begitu ya.”

Sebenarnya dalam seminggu belakangan ini aku sering main WA dengan Mbak Susie, tapi gak nyangka b akal ketemu di bandara ini.

“Sekarang kamu mau lanjut ke mana?”

“Mau pulang Mbak. Mau ikut?”

“Jangan hari ini. Ada urusan yang harus diselesaikan dulu di rumah. Besok aja kita ketemuan di villaku, di Puncak. Gimana?”

“Boleh. Puncaknya di mana?”

“Dekat Puncak Pass,” sahut Mbak Susie yang lalu menjelaskan letak villa dan ciri - cirinya secara lengkap.

“Besok kan hari Jumat. Jadi sorenya sudah masuk weekend. Kita weekend-an di villaku aja. Oke?”

“Iya Mbak. Nanti kalau tersesat, aku call Mbak aja.”

“Oke. Kamu nyetir sendiri?”

“Iya Mbak.”

“Hati - hati di jalan ya. Gak usah ngebut.”

“Iya Mbak.”

Kemudian aku mencium tangan dan cipika - cipiki lagi dengan Mbak Susie. Pada saat cipika - cipiki itulah aku mendengar bisikan Mbak Susie, “Aku siap dihamili olehmu Chep.”

“Aku juga siap melakukan yang terbaik buat Mbak,” sahutku sambil tersenyum.

Dalam perjalanan pulang ke kotaku, wajah cantik Mbak Susie terus - terusan membayangi pikiranku. Memang benar usia Mbak Susie sebaya dengan usia Mamie. Tapi dia benar - benar awet muda, sehingga tampak jauh lebih muda daripada Mamie. Apakah karena Mbak Susie belum pernah “turun mesin” melahirkan? Ataukah karena dia selalu merawat tubuh tinggi langsingnya?

Aku tiba di rumah Papa ketika Mamie sudah tidur. Maka aku pun langsung masuk lewat pintu yang kuncinya selalu kubekal, memasukkan mobilku ke garasi dan langsung nyungsep di bedku.

Besok paginya, setelah mandi kuambil dua set pakaian untuk ganti dan kumasukkan ke dalam ranselku. Lalu menghampiri Mamie yang sedang menikmati bubur ayam di ruang makan.

“Jam berapa tadi malam pulang?” tanya Mamie sambil memperhatikanku yang sudah siap pergi lagi.

“Jam setengah dua belas Mam. Sekarang kandungan Mamie udah berapa bulan?”

Tiga bulan kurang seminggu.”

Kucium pipi Mamie lalu membisikinya, “Semoga Mamie dan anak kita tetap sehat sampai lahir dengan selamat dua - duanya.”

“Amiiin,” sahut Mamie, “Ohya… si Keyla suka nanyain tuh. Kayaknya dia naksir kamu Chep.”

“Keyla? Siapa itu Keyla?” tanyaku bingung.

“Lho… belum kenalan sama sekretaris baru mamie ya?”

“Sekretaris baru? Sekretaris Mamie kan Bu Tuti.”

“Bu Tuti sudah jadi bagian marketing. Makanya mamie merekrut sekretaris baru. Ya Keyla itu.”

“Belakangan ini kamu jarang ada di rumah sih.”

“Iya. Lagian ruang tamu kan udah dijadikan kantor sama Mamie. Aku tiap kali keluar masuk rumah selalu lewat pintu samping. Jadi gak pernah merhatiin suasana di dalam kantor Mamie.”

“Cantik lho Keyla itu. Mamie setuju kalau dia dijadikan pacarmu.”

“Mamie kok ngomongnya gitu. Emangnya Mamie udah gak cinta lagi ya sama aku?”

“Cinta mamie padamu takkan luntur sampai kapan pun. Tapi kita kan hanya sebatas punya hubungan rahasia. Takkan bisa naik ke pelaminan. Makanya mamie akan mendukung kalau ada cewek yang bisa kamu cintai.”

“Sudah ada Mam. Tapi dia baru saja terbang ke Inggris untuk mengejar es-tiganya.”

“Ngejar es-tiga? Sudah tua dong.”

“Dua tahun lebih muda darik Mamie.”

“Kamu lebih suka sama wanita yang usianya lebih tua ya?”

“Iya.”

“Sejak kapan kamu seperti itu?”

“Sejak punya hubungan rahasia sama Mamie.”

“Hihihiii kamu… hai… mau ke mana lagi Sayang?”

“Mau ke Bogor Mam. Ada urusan perusahaan.”

“Ogitu ya. Semoga sukses bisnisnya, ya Sayang.”

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam sedan hitamku, menuju rumah megah dari Tante Aini itu.

Sebenarnya aku ingin menengok Mbak Nindie yang sudah merekrut 7 orang satpam yang semuanya wanita itu. Tapi sebelum tiba di rumahku, tiba - tiba aku ingat sahabat karibku yang sudah sangat lama tidak berjumpa.

Niko. Ya, Niko itu sahabatku sejak kecil. Tapi sejak aku duduk di bangku SMA sampai sekarang tak pernah berjumpa lagi.

Usia Niko 3 tahun lebih tua dariku. Tapi dia benar - benar sahabatku yang selalu kompak denganku dahulu.

Kalau dia belum punya pekerjaan tetap, apa salahnya kalau aku merekrutnya untuk dijadikan tangan kananku di perusahaan punya Tante Aini itu?

Niko bisa dipercaya dalam segala hal. Aku yakin itu.

Maka mobilku pun dibelokkan arahnya menuju rumah orang tua Niko, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah hadiah dari Tante Aini itu.

Rumah orang tua Niko masih tetap seperti dahulu. Hanyha cat dindingnya saja yang berubah. Dahulu cat dindingnya berwarna biru langit, sekarang berwarna coklat tua, sesuai dengan pintu dan jendelanya yang terbuat dari kayu jati dan diplitur mengkilap.

Kumasukkan mobilku ke pekarangan rumahnya yang di kanan kirinya ada pohon sirsak, masih seperti dahulu.

Seorang wanita 40 tahunan muncul di ambang pintu depan. Memperhatikanku yang baru turun dari mobilku. Aku masih ingat benar, wanita itu adalah mamanya Niko yang biasa kupanggil Tante Lien.

Setelah menghampirinya di teras depan, Tante Lien seperti sedang mengingat - ingat aku yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya.

“Tante masih ingat saya?” tanyaku dengan sikap sopan.

“Siapa ya? Rasa - rasa pernah lihat, tapi lupa lagi,” sahutnya.

“Aku Chepi Tante.”

“Ya Tuhaaan… kamu Chepi? Sobatnya Niko dahulu?”

“Iya Tante,” sahutku sambil menjabat dan mencium tangannya.

“O my God! Chepi sekarang sudah gede, jadi jauh berubah. Jadi jauh lebih tampan begini. Ayo masuk Chep.”

Aku mengangguk, lalu masuk ke ruang tamu rumah Tante Lien. Dan duduk di sofa ruang tamu setelah dipersilakan duduk oleh Tante Lien.

“Niko ada Tante?” tanyaku.

“Niko baru aja berangkat kerja,” sahut wanita keturunan Tionghoa itu sambil duduk di sofa yang berhadapan dengan sofaku.

“Owh… udah kerja? Kerja di mana?”

“Cuma jadi buruh pabrik Chep. Setelah ayahnya meninggal, dia nyari kerja dan tidak melanjutkan sekolahnya.”

“Owh, Oom sudah meninggal. Aku ikut prihatin mendengarnya. Kalau tidak salah, Niko melanjutkan sekolahnya ke SMK, ya Tante.”

“Iya. Setamatnya SMK dia langsung nyari kerja. Karena tidak punya uang untuk membiayai kuliah segala macam,” sahut Tante Lien ytang lalu menengok ke dalam sambil berseru, “Nike! Liat nih ada siapa?”

Terdengar suara cewek menyahut dari dalam, “Ya Mam.”

Lalu muncullah seorang cewek tinggi langsing bermata sipit dan cantik sekali. Ia memperhatikanku sebentar lalu berkata ragu, “Ini Chepi bukan?”

“Iya. Apa kabar Nik?” aku berdiri dan berjabatan tangan dengan cewek yang sebaya denganku itu.

“I am fine. Duuuh Chepi kok jadi tampan gini sih?! “sambut Nike dengan sikap familiar.

“Dari dulu juga tampan kali. Heheheheee… dan kamu… jadi cantik sekali… kayak artis Korea…”

“Aku juga dari dulu cantik kok,” sahut Nike sambil duduk di samping ibunya.

“Tapi dulu kamu cengeng sekali. Dikit - dikit nangis. Sekarang Nike masih cengeng Tante?”

“Nggak dong. Sekarang kan udah gede,” sahut Tante Lien.

“Sayang Niko lagi kerja ya. Kalau ada dia pasti rame nih, “sambung Nike.

“Iya. Kangen sekali sama Niko. Tadinya sih mau sekalian ngajak kerja di perusahaanku. Tapi Niko udah kerja ya?”

“Chepi udah punya perusahaan sendiri? Pantesan mobilnya juga mobil keren tuh,” ucap Nike.

“Kalau mau nawarin kerja, mendingan Nike tuh tempatin Chep,” kata Tante Lien, “Dia kan kuliah nggak, kerja juga nggak.”

“Kalau Nike mau, boleh aja,” sahutku.

“Perusahaannya bergerak di bidang apa Chep? “tanya Nike.

“Kegiatan utamanya ekspor pakaian ke beberapa negara di Timur Tengah. Nggak ribet kok kerjanya. Cuma ngecek pakaian yang akan dikirim. Perusahaannya baru akan dibuka tanggal satu bulan depan.”

“Terus… kalau aku kerja di perusahaanmu, bakal dijadiin apa?” tanya Nike.

“Bisa aktif di komputer gak?”

“Bisa dong. Bikin program juga bisa.”

“Aku akan menempatkanmu sebagai sekretaris. Tapi sambil ikut pendidikan sekretaris. Gak usah muluk - muluk, ambil de-satu juga boleh. Biar setahun selesai.”

“Mau… mau! Aku mau jadi sekretaris. Kerjanya kan gak berlepotan kayak Koko Niko.”

“Ya udah. Sebelum tanggal satu bulan depan, datang aja ke alamat ini. Untuk mengikuti pengarahan awal dulu,” kataku sambil menyerahkan secarik kartu nama.

Nike menjemput kartu namaku sambil bertanya, “Boleh tau gak, gajiku berapa nanti?”

“Dua kali lebih besar dari UMR ditambah dengan uang makan.”

“Asyiiik… !” wajah cantik Nike tampak ceria.

“Tapi kantorku kecil Nik. Cuma satu ruangan. Karyawannya juga hanya sepuluh orang,” kataku.

“Nggak apa,” sahut Nike, “Daripada jadi kambing di kandang macan, mending jadi macan di kandang kambing.”

“Hahahaaa… iya juga tuh. Bekerja di perusahaan besar, kalau cuma jadi OG mendingan jadi sekretaris di perusahaan kecil. Tapi kalau perusahaanku ada perkembangan yang positif, bisa saja nanti bangun kantor baru, sesuai dengan kebutuhannya.”

“Berarti mulai sekarang aku harus manggil Boss sama Chepi ya?”

“Alaaa… biasa aja. Gak usah terlalu protokoler. Ohya… bahasa Inggrismu lancar?”

“Kalau bahasa Inggris sih lancar. Kan sejak masih di SMP aku ikutan kursus bahasa Inggris.”

“Lengkaplah sudah kalau gitu. Soalnya surat - menyurat dengan pihak importir di Timur Tengah menggunakan bahasa Inggris semua.”

“Ohya?! Untung gak pakai bahasa Arab. Kalau pake bahasa Arab, mati aku… !”

“Bahasa Mandarin bisa?”

“Cuma sepatah dua patah kata. Kami kan orang hoakiau. Biasanya kalau orang Kek, bisa berbahasa Mandarin,” sahut Nike.

“Ya udah, soal itu sih gak penting,” kataku, “Yang terpenting, ikuti program de-satu kesekretarisan ya. Biaya pendidikannya aku yang nanggung nanti.”

“Siap Boss,” sahut Nike dengan sikap formal.

Aku tersenyum menyaksikan sikap Nike itu. Lalu berkata, “Kalau gitu aku mauj pamit dulu ya.”

“Eee… kenapa buru - buru amat Chep? Disuguhin minum juga belum,” kata Tante Lien.

“Biar aja gak usah repot - repot Tante,” sahutku.

“Sekarang mau ke kantor?” tanya Nike.

“Iya,” sahutku.

“Boleh aku ikut? Kan biar tau suasana tempat kerjanya nanti.”

“Ayo kalau mau ikut sih,” sahutku.

Beberapa saat kemudian Nike sudah duduk di samping kiriku, dalam mobil yang tengah kukemudikan. Tapi aku tidak langsung menuju rumah dan kantor pemberian Tante Aini itu. Aku membelokkannya di pelataran parkir sebuah rumah makan padang besar.

“Kita sarapan dulu ya. Suka masakan padang gak?” tanyaku.

“Suka. Terutama rendang dan gulai kikilnya,” sahut Nike.

“Hihihiii… seleramu sama dengan seleraku,” ucapku sambil mematikan mesin mobil. Kemudian kami turun dan masuk ke dalam rumah makan itu.

Kami duduk berhadapan, sehingga aku bisa sepuasnya memperhatikan betapa cantiknya adik Niko itu.

“Kamu udah punya pacar?” tanyaku ketika makanan belum dihidangkan di meja kami.

“Nggak punya.”

“Masa sih cewek secantik kamu gak punya pacar?!”

“Serius,” sahut Nike, “Jadikan aku pacarmu aja Chep.”

Aku agak tersentak mendengar ucapan adik Niko itu. Lalu kataku, “Pacaran doang sih gak ada gunanya. Buang - buang waktu doang. Makanya aku gak nyari calon pacar, tapi calon istri.”

“Ya udah. Jadiin aku calon istrimu.”

“Kalau jadi istriku, kamu harus jadi mualaf dulu.”

“Siap jadi mualaf. Saudara Mama banyak kok yang jadi mualaf.”

“Serius nih?” tanyaku ragu, karena aku lihat Nike itu cantik sekali. Bahkan mungkin terlalu cantik bagiku. Orang Tionghoa pula. Namun dengan cepat aku membayangkan, kalau Nike jadi istriku… pasti keren…!

“Kita sudah saling kenal sejak bertahun - tahun yang lalu. Masa aku gak serius dalam hal yang sangat penting ini,” sahut Nike.

Maka kujulurkan tanganku di atas meja sambil bertanya, “Berarti kita jadian nih?”

Nike menjabat tanganku sambil, tersenyum manis. “Iya. Mulai saat ini aku siap dijadikan calon istrimu Chep.”

Tangan Nike yang masih memegang tanganku terasa halus dan hangat. Senyum manisnya pun terasa hangat. “Kita sudah lama gak berjumpa, sekalinya ketemu lagi langsung jadian ya?”

“Dan yang nembak duluan aku ya?”

“Iya. Kalau kamu gak nembak, aku gak berani nembak duluan.”

“Kenapa? “Nike tampak heran.

“Karena kamu cantik sekali… bahkan terlalu cantik bagiku. Jadi takut ditolak.”

Nike tersenyum manis dan berkata perlahan, “Kamu juga tampan sekali Chep… makanya aku nekad nembak duluan. Takut kamu keburu nembak cewek lain.”

“Tapi dari mana kamu yakin bahwa aku belum punya pacar?”

“Dari ucapanmu sendiri,” sahut Nike, “Tadi kamu nanya aku udah punya pacar belum? Pertanyaan seperti itu biasanya diucapkan oleh cowok yang naksir kepada si cewek. Dan berharap sama - sama jomblo.”

“Iya… “gumamku tepat pada saat pelayan menghidangkan makanan di meja kami. Seperti biasa, semua makanan yang ada di rumah makan padang suka dihidangkan. Nanti tinggal menghitung apa saja yang dimakan oleh konsumennya.

Pada waktu makan, seringkali aku memperhatikan wajah Nike. Kalau kebetulan Nike memandangku juga, kami jadi sama - sama tersenyum.

Semua ini memang di luar dugaanku. Bertamu untuk menjumpai Niko, malah mendapatkan adiknya sebagai calon istriku.

Lalu bagaimana dengan Bu Shanti?

Entahlah… setelah Bu Shanti terbang ke Inggris, gairahku jadi melemah. Karena aku punya teman yang ayahnya mengejar S3 di Jerman. Sampai 4 tahun belum pulang - pulang juga.

Lalu kalau Bu Shanti lebih dari 3 tahun berada di Inggris, adakah jaminan bahwa dia masih mencintaiku?

Lagian aku disebut sebagai “calon suami” kepada Mama Aleta hanya sekadar pura - pura belaka. Karena Bu Shanti ingin menghindari perjodohannya dengan lelaki tua itu. Sementara aku sendiri belum pernah menyiapkan mental untuk menjadi seorang suami di usia yang masih “mentah” ini.

Maka kini jadianku dengan Nike, bukanlah suatu pengkhianatan.

Begitu juga setelah makan dan masuk kembali ke dalam mobilku, kuciumi tangan Nike lalu berkembang menjadi ciuman di pipinya, aku tak merasa berkhianat kepada siapa pun.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu