2 November 2020
Penulis —  Neena

Diario Segreto

BAB 04

Entotan penis Boy makin lama makin nikmat saja rasanya.

Aku pun sadar bahwa persetubuhan di kamar hotel bintang lima ini merupakan persetubuhan yang kedua, karena yang pertama berlangsung di kamarku tadi.

Dengan sendirinya ketahanan Boy pun jauh lebih tangguh daripada persetubuhan yang pertama tadi. Batang kemaluannya sudah sangat lama mondar - mandir di dalam liang memekku. Keringatnya pun sudah bercucuran dan berjatuhan di muka, leher dan dadaku. Namun belum kelihatan juga gejala - gejala mau ejakulasi.

Padahal aku sudah dua kali orgasme, sementara Boy jadi sedemikian tangguhnya menyetubuhiku.

Aku pun sudah menggoyang pinggulku dengan geolan - geolan yang makin lama makin menggila. Sehingga liang memekku begini gencarnya membesot - besot dan memilin - milin batang kemaluan anak tiriku.

Namun Boy tetap mantap mengantotku, sementara bibir dan lidahnya sudah berpindah - pindah sasaran. Terkadang menjilati leherku, terkadang mengemut dan menjilati pentil - pentil sepasang toketku. Di saat lain ia pun begitu asyik menjilati ketiakku yang selalu bersih dari bulu ketek ini.

Namun aku tak menyerah. Aku bahkan ingin merasakan multi orgasme seperti yang pernah kubaca di sebuah media asing, media khusus membahas masalah seksual.

Ya… aku mulai merasakannya lagi. Merasakan seolah sedang melesat ke langit tinggi, lalu melayang - layang di angkasa… membuatku takut jatuh dan… aaaaah… aku sudah mencapai orgasme lagi untuk yang ketiga kalinya.

Apakah aku akan mencapai orgasme yang keempat nanti?

Ternyata tidak. Sesaat kemudian Boy berkelojotan di atas perutku. Kemudian membenamkan penisnya sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang sanggamaku. Lalu kurasakan lagi sesuatu yang indah ini. Penis Boy memancarkan air maninya yang hangat di dalam liang kewanitaanku.

Crooootttt… crot… croooootttttttt… crotttt… crooooottt… crooootttt…!

Lalu Boy terkulai lemas di atas perutku. Dengan tubuh bermandikan keringat.

Karena merasa berat, kudorong dada Boy. Maka ia pun mencabut batang kemaluannya dari liang kewanitaanku. Cepat aku bangkit untuk mengambil kertas tissue basah dari tas kecilku. Untuk menyeka kemaluanku yang berlepotan air mani anak tiriku.

Kulihat Boy masih menelentang dengan tubuh penuh keringat. “Di kamar mandi pasti ada handuk. Lap dulu keringatmu gih. Kita kan mau makan di lantai satu,” kataku.

“Iya Mam, “Boy bangkit, lalu turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi.

Aku pun ikut masuk ke kamar mandi. Untuk menyemprot kemaluanku dengan air hangat shower. Sementara Boy sedang menghanduki badannya. Aku pun mengambil handuk yang satunya lagi, untuk mengeringkan kemaluanku.

Lalu iseng kugednggam penis Boy yang sudah terkulai lemas. “Masih kuat berapa kali lagi ngentot mamie heh?” cetusku.

“Nggak tau Mam. Sekarang sih masih letih,” sahutnya lirih.

“Emang juga jangan terlalu sering. Nanti energimu habis di memek mamie. Lalu kekurangan energi di kampus.”

“Iya Mam. Tapi besok dan lusa aku kan gak kuliah,” sahutnya.

“Iya… kalau hari - hari weekend sih ada pengecualian. Ayo kita makan dulu.”

“Iya Mam.”

Beberapa saat kemudian kami sudah berada di resto, yang selalu menyediakan makanan “all you can eat” dengan system buffet.

Aku hanya makan sedikit, karena terbiasa makan sedikit waktu malam. Takut badanku jadi gendut. Tapi Boy makan habis - habisan, mungkin karena mengikuti cara all you can eat. Rugi kalau makan sedikit.

Kebetulan di lantai satu ada boutique. Maka setelah selesai makan aku membeli kimono sehelai. Boy pun mengambil kimono yang cocok untuk pria.

Dan malam itu aku tidur sambil memeluk Boy. Inilah pertama kalinya aku tidur bersama anak tiriku yang muda, ganteng dan perkasa itu.

Tapi menjelang subuh aku terbangun karena pengen pipis. Lalu aku turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi.

Setelah pipis, aku kembali lagi ke bed, di mana Boy masih tertidur nyenyak. Tanpa menyadari bahwa kimononya terbuka. Sedangkan penisnya yang “sedang tidur” itu terbuka, karena ia tak mengenakan celana dalam.

Melihat penis lemas seperti itu aku pun jadi penasaran. Karena aku ingin menikmati hubungan sex menjelang subuh ini. Karena menurut pengalamanku, bersetubuh menjelang pagi begini nikmat sekali rasanya.

Maka tanpa ragu lagi aku duduk di dekat pangkal paha Boy. Lalu perlahan - lahan kupegang penis lemasnya.

Kujilati moncong penis Boy, lalu kuselomoti dengan sepenuh gairah mudaku.

Boy terjaga. Membuka kelopak matanya sambil menatapku yang sedang asyik menyelomoti penisnya. Tapi dia diam saja. Membiarkanku mengoral tongkat kejantanannya yang mulai menegang… dan akhirnya ngaceng full…!

Begitu mudahnya membangunkan penis Boy. Maklum usianya baru 18 tahun.

Lalu kutanggalkan kimonoku dan berlutut dengan kedua lutut berada di kanan - kiri pangkal paha Boy, dengan kemaluan berada di atas penis Boy yang sudah ngaceng itu. Penis yang sedang kupegang dan kuarahkan ke mulut vaginaku.

Kuturunkan pinggulku dengan hati - hati, sehingga kepala penis Boy mulai melesak ke dalam liang memekku.

Cukup seret masuknya, karena penis Boy gede sekali. Butuh “perjuangan” untuk memasukkannya ke dalam liang kemaluanku.

Namun akhirnya liang memekku berhasil juga “menelan” penis Boy. Bahkan kemudian aku mulai mengayun pinggulku, membuat penis Boy mulai bergesekan dengan dinding liang memekku.

Tampaknya Boy sangat senang dengan aksiku di subuh yang masih gelap ini.

Cukup lama aku beraksi dalam posisi WOT ini. Tapi seperti biasa, posisi ini membuatku cepat orgasme. Karena dasar liang kemaluanku terasa disodok - sodok terus, menciptakan rasa yang terlalu nikmat dan memaksaku cepat orgasme.

Maka aku pun ambruk di atas perut Boy. Lalu menggulingkan badan jadi terlentang di samping Boy. “Ayo masukin lagi Boy, “pintaku sambil mengusap - usap memekku yang sudah orgasme dan masih basah ini.

Boy pun merayap ke atas perutku sambil memegang penis ngacengnya.

Tampaknya Boy sudah mulai “pandai”. Penisnya membenam ke dalam liang memekku, tanpa harus dibantu lagi.

Lalu mulailah Boy mengayun penisnya di dalam liang memekku yang basah licin ini.

“Enak kan ngentot di waktu subuh - subuh gini?” ucapku sambil menepuk - nepuk pantat Boy.

“Iiii… iyaaa Mam… enak sekali… !” sahut Boy terengah.

“Para pakar bilang, bersetubuh menjelang pagi begini sangat bagus. Karena sperma dalam keadaan fresh setelah tidur semalaman. Ayo entot sepuasmu Boy… mamie barusan udah lepas, tapi sekarang udah bergairah lagi…”

“Iiii… iiiyaaaa Maaaam… dudududuuuuh… enak banget Mamie Sayaaaang…”

Dengan nafas berdengus - dengus Boy menggencarkan entotannya, karena liang memekku sudah sangat licin, sehingga dia bisa mempercepat gerakan penisnya… maju mundur dan maju mundur terus di dalam liang kenikmatanku.

Aku pun jadi bergairah untuk menggoyang pinggulku sebinal mungkin. Sehingga nafas Boy semakin berdengus - dengus, sementara penisnya terbesot - besot oleh dinding liang kemaluanku.

Tiba - tiba Boy membenamkan penisnya, sehingga moncongnya mentok di dasar liang memekku. Disusul dengan bermuncratannya air mani Boy di dalam liang memekku.

Crot… crooottttt… croooooottttttttt… crooootttt… crotcrottt… crooootttttttt…!

“Ugh… cepat sekali ngecrotnya ya Mam, “keluh Boy sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

“Saking enaknya jadi cepat ngecrot kan?”

“Iiii… kiya Mam. Barusan terlalu enak…”

Aku tidak menyahut. Kubiarkan saja Boy tetap menghimpitku dalam keadaan yang sudah lunglai itu.

Tapi diam - diam aku jadi teringat kembali kejadian beberapa hari yang lalu…

Bahwa aku tertegun ketika melihat satpam baru itu. Karena wajahnya masih sangat kuingat.

Satpam itu kupanggil. Dia bergegas menghampiriku di teras depan.

“Kamu Ivan kan?”

“Betul Bu Boss.”

“Masih ingat aku?”

Satpam itu takut - takut menatapku. Lalu mengangguk, “Masih ingat Bu Boss.”

“Coba sebutkan siapa namaku?”

“Iiii… ibu Pamela.”

“Di mana kamu mengenalku?”

“Waktu… waktu sama - sama di SMA.”

Aku ketawa kecil sambil menepuk bahu satpam yang di dadanya tertulis nama Hartawan.

“Nama panjangmu Hartawan?”

“Betul Bu Boss. Tapi nasib saya sebaliknya, tidak sesuai dengan nama yang diberikan orang tua saya. Sebenarnya saya malu memakai nama ini. Tapi dalam akte kelahiran memang begini nama saya. Hartawan yang melarat.”

“Jangan mengutuk dirimu sendiri. Siapa tau di masa tuamu beneran jadi seorang hartawan.”

“Amiiin…”

“Sudah berapa lama jadi satpam di sini?”

“Baru dua hari dengan hari ini.”

“Jadi baru kemaren tugas di sini?”

“Betul Bu Boss. Tadinya saya jadi satpam di perusahaan. Lalu kemaren dimutasikan ke sini.”

“Bisa nyetir?”

“Bisa Bu Boss. Di perusahaan juga tugas saya jadi valet boy.”

“Tukang parkir mobil VIP kan?”

“Betul Bu Boss.”

“Sebenarnya bangsa kita salah sebut. Kata valet berarti pelayan laki - laki. Tidak ada hubungannya dengan mobil.”

“Betul Bu Boss.”

“Terus… kamu punya SIM?”

“SIM A punya Bu Boss.”

“Kamu jadi driver pribadiku aja ya. Nanti manager HRD akan kutelepon. Agar menugaskan seorang satpam lain, untuk menggantikanmu di sini.”

“Siap Bu Boss.”

“Sebentar lagi aku mau keluar. Sekalian ngetes kamu yang bawa ya Van.”

“Siap Bu Boss.”

Lalu aku masuk ke dalam rumah yang berkali - kali kunilai mirip istana kekaisaran Romawi dahulu.

Di dalam rumah kugunakan telepon rumah untuk menelepon kantor perusahaan suamiku dan minta berbicara dengan manager HRD.

Lalu terdengar suara lelaki di ujung sana. “Hallo… ada yang bisa kami bantu?”

“Ini dengan manager HRD kan?”

“Betul. Ini dengan siapa ya?”

“Dengan Nyonya Mathias.”

“Ooooh… Ibu Boss? Maaf Bu, saya pikir siapa yang nelepon ini. Ada yang bisa saya bantu Bu?”

“Manager HRD ini siapa namanya?”

“Nama saya Benny Bu Boss.”

“Oke deh. Begini Pak Benny, satpam yang baru ditugaskan di rumah kami, sangat dibutuhkan untuk menjadi sopir pribadi saya. Jadi, bisakah Pak Benny mengirim satpam lain untuk menggantikan satpam yang bernama Hartawan itu?”

“Oh, bisa… bisa Bu Boss. Silakan aja kalau terpakai untuk jadi sopir pribadi Bu Boss sih. Soal satpam untuk menggantikannya di rumah Bu Boss, hari ini juga saya akan mengirim seorang anggota satpam ke rumah Bu Boss. Ada lagi yang bisa saya bantu, Bu Boss?”

“Cukup, itu saja. Terima kasih Pak.”

“Sama - sama Bu Boss. Selamat siang.”

“Siang.”

Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam sedan merah metalic-ku, yang dikemudikan oleh Ivan Hartawan. Mantan teman seSMA denganku dahulu.

Sebenarnya aku ingin duduk di depan, tapi aku sudah dibiasakan duduk di belakang oleh suamiku. Karena itu aku duduk di belakang sebelah kanan, tepat di belakang Ivan.

“Anakmu sudah berapa Van?” tanyaku ketika sedanku baru menginjak jalan aspal.

“Saya belum punya istri Bu Boss,” sahutnya.

“Kamu kok jadi kaku gitu Van? Kalau sedang bewrduaamn gini gak usah manggil boss - bossan. Lagian dulu kita kan selalu memakai istilah gue dan elu. Kenapa sekarang pakai saya - sayaan?”

“Saya tau diri aja… karena kedudukan saya sekarang rendah sekali. Sementara Bu Boss kan sudah menjadi istri sang Big Boss. Masa saya harus nyebut nama.”

“Nggak ah. Kalau sedang berdua gini, panggil aku Pam atau Pampam aja seperti waktu masih sama - sama di SMA dahulu.”

“Iya Bu eh Pam… hehehe.”

“Dulu waktu masih sama - sama di SMA, kamu cuek banget sama aku. Bahkan cenderung sombong kan?”

“Bukan sombong. Saya… eh… aku hanya tau diri, gak berani deketin cewek mana pun, karena aku cuma anak seorang janda tua yang hidupnya pun serba pas - pasan.”

“Kalau soal itu, aku juga sama - sama tidak punya ayah lagi sejak aku baru kelas satu SMP dahulu.”

“Iya Bu eh… Pa… Pam.”

“Santai aja Van,” ucapku sambil menepuk bahunya dari belakang, “Aku gak bakalan gigit kok. Biar aku udah jadi bini boss, aku tetap teman lamamu kok.”

Ivan hanya tertawa kecil di belakang setir mobilku. Aku pun mulai merasakan bahwa Ivan cukup trampil dan halus nyetirnya.

“Kalau jadi sopir pribadi, mungkin pakaiannya harus hitam - hitam seperti seragam security ya Pam,” ucapnya.

“Gak usah. Pakaian casual juga gak apa - apa,” sahutku, “Kamu kan sopir pribadi istri Boss. Bukan sopir Boss. Ada bedanya kan?”

“Iya Pam.”

“Ohya, tadi aku udah nelepon manager HRD. Dia sudah tau kalau kamu udah jadi sopir pribadiku. Jadi nanti aku yang akan bayar gajimu. Bukan dari perusahaan lagi.”

“Iya, terima kasih. Ohya… sekarang mau ke mana?”

“Ke rumah ibuku,” sahutku. Lalu kujelaskan alamat rumah yang harus dituju. Rumah pemberian Papie yang kini jadi tempat tinggal Mama.

Ivan pun melarikan mobilku ke arah wilayah di mana rumah megah itu berdiri.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu