2 November 2020
Penulis —  Neena

Diario Segreto

BAB 03

Ketika pulang dari luar negeri, suamiku terheran - heran setelah mendengar laporanku, bahwa Boyke sudah mulai kuliah di fakultas ekonomi.

Lalu suamiku berkata, “Sudah kuduga dari semula, sebagai sarjana psikologi, Mamie pasti mampu memperbaiki sikap dan perilaku Boyke. Hahahaaaa… aku senang mendengarnya, Sayang.”

“Tapi Pap… dia meminta sesuatu sebagai kompensasinya kalau IPKnya di atas tiga terus kelak.”

“Apa yang dimintanya? Sedan sport?” tanya Papie.

“Bukan Pap,” sahutku yang lalu kulanjutkan dengan bisikan di dekat telinga suamiku, “Kalau IPKnya di atas tiga terus, dia ingin menyetubuhiku Pap…”

“Haaah?! Serius?!” Papie tersentak kaget. Aku pun menyiapkan mental untuk menghadapi kemarahan suamiku.

“Iya. Tapi itu nanti kalau sudah dua semester baru akan keluar IPKnya.”

Papie menunduk sambil memijat - mijat keningnya sendiri. Lalu memandangku sambil berkata, “Aku harus berbesar jiwa menghadapi masalah ini. Karena biar bagaimana pun Boy itu anakku, darah dagingku sendiri. Jadi… kalau memang keinginannya seperti itu, kabulkan aja Mam.”

“Kabulkan?!” ucapku dengan sikap seolah - olah tidak setuju pada keputusan suamiku itu. Padahal… ooo… batinku melonjak girang. Karena belakangan ini aku pun sudah mulai terobsesi oleh kegantengan dan kemudaan Boy.

“Iya. Memang kalau dipikir oleh otak picik sih, aku takkan mengijinkan. Tapi setelah dipikir secara luas, dia kan anakku sendiri. Lalu apa salahnya kalau aku berbagi rasa dengannya, agar dia semakin bersemangat kuliahnya? Di sisi lain, dalam beberapa bulan ke depan ini aku akan semakin sibuk mewngurus bisnisku.

“Lalu… nanti cinta Papie padaku akan pudar, karena aku dianggap istri yang serong kan?”

“Tidak, “Papie menggeleng, “Bahkan di dunia Barat, banyak suami yang sengaja men - sharing istrinya, justru karena ingin membahagiakan istrinya itu. Sedangkan aku men - sharing dengan anak sendiri, demi masa depan anak bungsuku itu. Kalau hal itu sudah terjadi, pasti akju akan semakin mencintaimu, sebagai istri yang bijaksana dalam menentukan langkah yang sangat krusial itu.

“Jadi… “lanjut Papie, “Kasih aja apa yang dia inginkan itu. Tapi semangatnya harus dipacu terus. Dan… jangan bilang - bilang kalau aku sudah ngasih ijin begini. Supaya dia tidak sewenang - wenang padamu nanti.”

Aku tertunduk, seperti bingung. Padahal hatiku sedang bersorak kegirangan. Karena aku sudah membayangkan semua itu. membayangkan segarnya daun muda seperti Boy. Kalau memakai istilah umum, aku akan menikmati segarnya brondong ganteng, dengan seijin suamiku sendiri.

“Terus… apa dia sudah dikasih?” tanya suamiku.

“Belum lah,” sahutku, “Kan dia janjinya juga kalau IPKnya di atas tiga terus, baru akan minta bonus istimewa itu.”

“Kalau nunggu setahun lagi, kasihan dia dong. Kasih aja nanti setelah aku terbang ke Eropa. Tapi dia harus berjanji akan mencapai nilai tinggi terus di kampusnya.”

“Memangnya kapan Papie mau terbang ke Eropa?”

“Sekarang kan hari Selasa. Hari Senin mendatang aku akan terbang ke Eropa bersama beberapa stafku. Untuk menandatangani beberapa perjanjian di sana.”

Tiba - tiba terdengar derum motor gede Boy di pekarangan, lalu mendekat ke arah garasi.

“Nah itu Boy datang Pap, “katgaku.

“Iya, “Papie mengangguk, “aku akan menyambut dia dengan pelukan seorang ayah yang bangga melihat anaknya bersedia melanjutkan pendidikannya. soal yang tadi itu, aku akan pura - pura tidak tahu aja.”

Kemudian Papie melangkah ke ruang keluarga.

Karena sebelum masuk ke dalam kamarnya, Boy pasti harus melewati ruang keluarga dulu.

Pada waktu baru masuk ke ruang keluarga, Boy tampak kaget melihat papienya sudah berdiri tegak di depan matanya.

“Papie udah pulang?” tanya Boy.

“Iya. Dari mana kamu Boy?”

“Pulang kuliah Pap.”

“Hahahahaaaaa… akhirnya anak kesayangan papie sadar juga pada masa depannya ya?” ucap Papie sambil memeluk Boy dengan sikap hangat sekali. “Papie bahagia sekali mendengar kamu mau kuliah seperti yang sering papie anjurkan. Syukurlah Boy. Papie gak punya ganjalan lagi sama kamu. Semoga kamu sukses kuliah dan menata masa depanmu ya.

“Iya Pap,” sahut Boy sambil melirik ke arahku, yang membuatnya seperti salah tingkah. Karena itu aku meninggalkan ruang keluarga, menuju ke belakang. Ke arah kolam renang yang bisa diset menjadi hangat airnya. Tapi aku masih mendengar suara Papie berkata, “Dengar Boy… untuk membuktikan kebahagiaan papie, mulai saat ini uang jajanmu dinaikkan duaratus persen.

“Iya Pap. Terima kasih.”

Aku yang sedang berjalan menuju kolam renang, cuma tersenyum mendengar suara Papie dan Boy itu.

Tadinya aku berniat untuk melepaskan housecoatku, lalu melompat ke kolam renang. Tapi tiba - tiba Papie menghampiriku sambil berkata setengah berbisik ke dekat telingaku, “Uang belanja Mamie juga akan kunaikkan empatratus persen. Jadi mulai saat ini transferku ke buku rekening Mamie akan menjadi lima kali lipat.

“iya, terima kasih Papie Sayaaang…” sahutku. Dan terpaksa kubatalkan niat berenangku, karena takut Papie merasa dinomorduakan olehku. Lalu aku melangkah mengikuti Papie yang berkata sambil berjalan, “Ada oleh - oleh dari Jepang tuh Sayang.”

Pada hari Senin yang sudah ditetapkan, pagi - pagi sekali Papie sudah siap - siap mau berangkat ke bandara. Papie menerangkan bahwa rombongannya harus transit di Singapore dulu, kemudian dari Singapore terbang langsung menuju Bandara Internasional Schiphol (di selatan Amsterdam - Nederland) sebagai tujuan utamanya.

Menjelang keberangkatan Papie dan rombongannya, aku mencium bibir suamiku yang bijaksana itu, disusul dengan ucapan, “Semoga penerbangannya lancar, bisnisnya sukses dan pulang kembali dalam keadaan lancar juga, ya Papieku Sayang.”

Papie mengangguk sambil menepuk - nepuk bahuku dan berkata, “Take care ya Sweetheart. Semoga keadaan di rumah tetap damai dan nyaman selama ditinggalkan olehku.”

Sejam kemudian Boy mengetuk pintu kamarku. Setelah kusuruh dibuka pintunya, Boy pun membuka pintu dan masuk menghampiriku yang sedang duduk di pinggiran bed, “Aku mau kuliah Mamie,” ucapnya yang disusul dengan ciumannya di tanganku.

“Iya… nanti pulangnya jangan ngeluyur dulu ya Sayang. Mamie mau mengajak ke suatu tempat nanti sore.”

“Iya Mam,” sahut Boy sambil mengecup pipi kanan dan pipi kiriku.

Kemudian Boy berlalu.

Meninggalkanku dalam sedikit keresahan. Karena aku sudah sangat tergiur oleh kemudaan dan kegantengan Boy. Meski sudah menjanjikan baru akan “dikasih” setelah terbukti IPKnya di atas tiga, kini justru aku yang tak sabar lagi menunggunya sampai setahun lagi, setelah ada hasil ujian dari dua semesternya.

Itulah sebabnya, aku jadi gelisah dibuatnya. Dan menunggu Boy pulang rasanya lama sekali.

Untungnya jam 12.15 siang terdengar derum motor gede Boy sudah memasuki garasi. Buru - buru kubukakan pintu kamarku, untuk menyambut kedatangan sang pangeran yang sudah membuatku resah gelisah ini.

Di balik kimono sutera putih aku berdiri di ambang pintu, menunggu munculnya sang pangeran. Dan ketika ia muncul, aku langsung bertanya, “Kok tumben siang - siang begini sudah pulang?”

“Kebetulan dosennya gak bisa datang, karena ada acara kawinan di rumahnya. Mau ngajak ke mana Mam?”

Kutarik pergelangan tangan Boy ke dalam kamarku sambil berkata, “Mau ngajak ke sini,” kataku.

“Heheheee… Mamie… ada - ada aja. Kirain mau ngajak ke mana.”

“Sini… mamie mau nanya,” kataku sambil mengajak Boy duduk berdampingan denganku di sofa bedroomku.

“Mau nanya apa Mam? Aku ini sangat setia lho sama Mamie… jangan mikir yang bukan - bukan.”

“Nggak Sayang. Mamie sangat percaya pada kesetiaanmu. Cuma mau bilang bahwa Papie di Eropanya akan makan waktu tiga bulan.”

“Asyik dong Mam. Sedikitnya aku bisa ngemut toket Mamie tiap hari selama tiga bulan.”

“Sekarang mamie mau nanya, masalah apa yang membuatmu masih penasaran? Jawab sejujur mungkin. Apa pun jawabanmu takkan membuat mami marah.”

“Mamie nanya masalah yang membuatku masih penasaran? Tapi maaf ya Mam… Mamie jangan marah… mmm… yang membuatku masih penasaran ya punya Mamie itu,” sahut Boy sambil menunjuk ke arah kemaluanku yang masih tertutup oleh kimono sutera putihku.

Aku lalu berbisik ke dekat telinganya, “Maksudmu… memek mamie?”

“Iya Mam. Tapi Mamie kan bilang, aku baru boleh menikmati yang satu itu kalau IPK-ku tiga ke atas. Berarti aku harus menunggu setahun lagi, baru aku bisa nagih janji Mamie.”

“Kalau mamie nyuruh kamu jilatin memek mamie, mau nggak?”

“Waaaah… mau banget Mam. Aku sering nonton filmnya… film yang jilatin memek, tapi aku belum pernah jilatin memek. Sedangkan memek Mamie… megang aja belum pernah. Baru dilihatin sekilas di puncak bukit tempo hari.”

Saat itu aku tidak mengenakan beha mau pun celana dalam. Sehingga kalau kimono ini kulepaskan aku akan langsung telanjang bulat di depan mata Boy.

Lalu kulepaskan ikatan talki kimono di pinggangku. Dan kurentangkan kedua sisi kimonoku sambil berkata, “Kalau begitu, jilatin deh memek mamie sekarang…”

“Mamie…! Oooooh…! “seru Boy tertahan, sambil melompat ke depanku. Lalu duduk bersila di lantai, di antara kedua kakiku yang sudah kurenggangkan.

Lalu tangannya seperti mau menyentuh kemaluanku yang senantiasa dicukur bersih ini. “Mam… boleh aku megang memek Mamie ini?” tanyanya dengan suara parau, dengan tangan gemetaran pula.

“Boleh. Dijilatin juga boleh…”

“Mamie… berarti aku… akju akan mendapatkan keringanan hari ini?”

“Iya. Narapidana juga suka dikasih remisi kan? Karena itu kamu pun boleh jilatin memek mamie sepuasnya. Bahkan boleh juga ngentot mamie sekarang. Asalkan kamu berjanji akan benar - benar membuktikan IPK-mu yang harus di atas tiga. Oke?”

“Siap Mam!” sahut Boy sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu