2 November 2020
Penulis —  Neena

Diario Segreto

BAB 06

Pagi itu aku mengenakan spanrok abu - abu dengan blouse putih yang ditutupi lagi oleh blazer berwarna abu- abu, sama dengan spanrok yang kukenakan.

“Kenapa tadi kamu bengong ketika melihatku sudah dandan begini?” tanyaku yang sudah duduk di samping Ivan yang tengah mengemudikan mobilku.

“Pakaian itu… membuat Pampam jadi cantik plus sesuatu,” sahut Ivan tidak formal -formalan lagi padaku.

“Plusnya apa?” tanyaku.

“Mmm… maaf ya… cantik plus seksi abis.”

Aku cuma tersenyum. Ivan bilang aku ini seksi abis. Apalagi kalau dia tahu bahwa saat ini aku sengaja tidak mengenakan celana dalam… pasti tambah lagi komentarnya…!

“Ohya… kamu udah ketemu mamaku lagi?” tanyaku tiba - tiba berbelok ke topik Mama.

“Belum. Kan kalau mau ketemu Tante Rini harus dibarengi putrinya.”

“Kamu udah tau nama mamaku segala ya?”

“Iya. Kemaren dia nelepon. Dia nanya apa gak kangen sama Tante Rini? Nah saaat itulah saya tau siapa nama beliau.”

“Kamu kalau kangen sama mamaku, datang aja sendiri. Asalkan jangan di jam kerja aja. Kemaren kamu kan dapet libur dua hari. Kenapa gak pergi aja sendiri ke sana?”

“Belum dapet ijin dari Pampam sih gak berani. Kalau sudah dikasih ijin gini, mungkin besok atau lusa akan dateng ke sana malem - malem.”

Aku tidak menyahut. Karena lampu merah di depan menyala. Sehingga Ivan harus menghentikan mobilku. Pada saat itulah aku diam - diam menarik spanrokku ke atas. Lalu kutarik tangan kiri Ivan sambil berkata, “Tempo hari aku sempat megang kontolmu. Sekarang giliranmu…”

Telapak tangan Ivan kutempelkan di permukaan memekku yang tidak bercelana dalam ini.

Ivan terkejut setelah menyadari bahwa tangannya sedang menempel di permukaan kemaluanku. “Pam… oooo… oooooh… Pampam… ti… tidak pake celana dalem?”

“Iya… kalau gak pake celana dalem gini lebih seksi apa malah menakutkan?”

“Iii… iiini sih super seksiiiiii… oooo… oooooohhhhhhhh… “jemari Ivan mengelus - elus mulut memekku. Tapi lampu merah sudah berganti jadi lampu kuning, lalu lampu hijau pun menyala.

“Ayo jalan lagi. Sudah hijau tuh,” kataku sambil menjauhkan tangan Ivan dari kemaluanku. Spanrokku juga kubetulkan lagi.

Ivan segera menjalankan lagi mobilku. Sambil bergumam, “Apakah ini sebagai lampu hijau juga bagi saya Pam?”

“Lampu hijau apa? Itu tadi lampu hijaunya udah ditinggalin,” sahutku sambil diam - diam mengeluarkan celana dalam dari tas kecilku. Lalu kutempelkan celana dalamku ke mulut Ivan.

Ivan agak terkejut. Tapi lalu diambilnya celana dalamku sambil tetap nyetir mobilku dengan kecepatan rendah. Lalu diciuminya celana dalamku sambil bergumam, “Harum… harum sekali…”

Aku malah menunjuk ke mulut jalan yang hampir terlewati, “Pelan - pelan… itu di depan ada belokan ke kiri… !” kataku.

“Jadi belok ke kiri, ke jalan yang kecil itu?” tanya Ivan.

“Nggak kecil - kecil amat kok. Dua truk berpapasan juga bisa lewat,” sahutku.

Ivan membelokkan mobilku ke kiri.

“Setelah warteg itu ada gang ke kiri lagi. Tapi mobil gak bisa masuk. Tinggalin aja mobilnya,” kataku.

“Di sini aman? Maksudnya aman untuk ninggalin mobil di jalan?”

“Alaaa… mobilku dicuri sih ada asuransi,” sahutku, “Biar pihak asuransi yang nyariin malingnya. Santai aja. Eh kembaliin celana dalamku. Masa diciumin terus?”

Ivan mengembalikan celana dalamku, lalu menghentikan mobilku di dekat mulut gang yang menuju ke rumah lama itu.

“Ayo turun Van,” kataku sambil membuka pintu di sampingku. Dan turun dari mobilku, setelah memasukkan celana dalamku ke dalam tas kecilku.

Sambil berjalan di gang menuju rumah lama itu, kukeluarkan kunci - kunci rumah lamaku. Lalu melangkah ke depan rumahku dengan perasaan terharu. Terharu melihat rumah yang jadi tempat tinggalku sejak bayi hingga dewasa.

Lalu kubuka kunci pintu depan dan masuk ke dalam rumah lama yang bersejarah ini.

Tadinya kupikir rumah lama ini kotor dan penuh debu. Tapi ternyata bersih sekali. semua furniture kucolek - colek dengan ujung jari, untuk melihat banyak debu atau tidak. Ternyata memang tidak ada debu di rumah tua ini.

Mungkin Mama suka membersihkan rumah ini, karena Mama memegang kunci cadangan untuk pintu - pintu di rumah tua tapi bersejarah ini.

Ivan duduk di sofa yang berhadapan dengan sofaku. Dan aku jahil lagi. Sengaja aku duduk dengan kedua lutut direntangkan lebar lebar. Sehingga Ivan melotot nyaris tak berkedip… memandang ke arah kemaluanku yang sengaja dipamerkan padanya ini.

“Kenapa melototin memek terus? Pengen jilatin ya?” tanyaku sambil menahan tawaku.

“Kalau diijinkan sih mau banget. Mau jilatin memek Pampam,” sahut Ivan dengan sikap malu - malu.

“Ya udah. Jilatin deh sepuasmu. Tapi aku hanya ngasih ijin menjilati doang ya. Gak pake yang lain - lain.”

“Megang pake tangan gak apa - apa kan?”

“Boleh. Mau masukin hidung juga boleh. Yang penting jangan masukin kontol. Itu aja.”

Ivan menghampiri sofaku. Seperti sudah mau jongkok di depanku. Tapi aku berkata, “Eiiittt… nanti dulu… kunciin dulu dong pintu itu. ntarf kalau ada tamu nyelonong masuk, bisa heboh se-RW… !”

Ivan nyengir. Lalu bergegas menuju pintu depan dan memutar anak kuncinya… klik…! Lalu menghampiriku lagi.

“Van… aku pengen memekku dijilatin, tapi pengen sambil megang kontolmu. Gimana caranya ya?”

Ivan tmapak berpikir. Lalu menjawab, “Kalau begitu, mungkin harus pake posisi 69. Jadi saya jilatin memek Pampam, sementgara Pampam juga bisa mainin kontol saya. Gimana?”

“Kalau begitu mendingan di kamarfku aja yok. Biar bisa sama - sama telanjang,” ucapku sambil berdiri.

Ivan mengangguk, “Siap Bu Boss.”

Setelah sama - sama berada di dalam kamarku, Ivabn duluan melepaskan segala yang melekat di tubuhnya.

Aku pun melepaskan blazer, blouse, spanrok dan behaku. Lalu berdiri sambil bertolak pinggang, “Gimana kalau sudah telanjang gini? Masih seksi?” tanyaku sambil memperhatikan penis Ivan yang tampaknya sudah ngaceng.

“Sangat menggiurkan Pam. Makanya kontol saya langsung ngaceng gini nih,” sahut Ivan sambil memegang penisnya yang memang sudah ngaceng itu.

Lalu Ivan melompat ke atas bed yang sudah berbulan - bulan tidak kutiduri itu.

“Kamu mau di bawah?” tanyaku ketika melihat Ivan sudah celentang di atas bedku.

“Terserah… saya sih ikut keinginan Bu Boss aja.”

“Kamu bukan budakku, Van. Makanya jangan pakai istilah saya, karena saya itu berasal dari kata sahaya, yang artinya budak belian.”

“Rasa kurang sopan aja kalau pake istilah aku. Karena biar bagaimana pun Pampam ini kan istri Big Boss.”

Aku pura - pura tak mendengar ucapan Ivan itu. “Kamu yang di bawah ya. Supaya aku tidak menanggung berat badanmu,” kataku sambil merayap ke atas perut Ivan. Lalu memegang penisnya yang panjang gede ini. Membuatku membanding - bandingkan antara penis Ivan dengan penis Walter. Rasanya sama persis…

Tapi yang jelas, kalau melihat penis sepanjang dan segede ini, aku suka tergiur… ingin menyelomotinya sepuasku.

Tapi kalau nonton video dewasa, aku paling tergiur pada adegan facesitting. Maka aku pun berubah pikiran. Aku menaiki perut Ivan, lalju naik lagi sehingga kedua kakiku berada di kan - kiri leher Ivan, sementara kemaluanku berada persis di atas mulut Ivan.

“Ayo facesitting dulu van… “pintaku sambil mendekatkan memekku ke mulutnya…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu